Sabtu, 10 Oktober 2015

KEPADA SEORANG KAKAK YANG BAIK HATINYA

(Sebuah catatan untuk ulang tahun  yang terlambat)

Note : tulisan ini berisi kenangan-kenangan yang merentang acak.
Pada satu dari banyak tahun yang telah kami lewati, dia mengajak saya menyepi di stadion mini di tak jauh dari fakultas MIPA. Siang itu terik, kami duduk berdua di salah satu deretan bangku beton yang hening ditemani lagu milik Hadad Alwi. Waktu itu, kami belum sedekat seperti sekarang, hitungannya masih sebagai senior-yunior dari jurusan yang berbeda tetapi bernaung di bawah organisasi dakwah kampus yang sama. Ada alasan mengapa siang itu, dia mengajak saya ke tempat itu. Kakak yang baik itu sedang riuh hatinya karena ujian skripsi yang sudah digadang-gadangkan akan segera dijalaninya terpaksa harus di-pending satu semester lagi. Ada satu mata kuliah yang tertinggal entah karena tidak teliti atau sebab lain, hal itu baru disadarinya ketika hendak membuat transkrip nilai sementara sebagai salah satu persyaratan sidang. Saya adalah pendengar yang baik dan sopan, tetapi terlalu kikuk jika harus memberikan penguatan pada orang yang sedang rusuh hatinya. Hemat saya, seseorang yang sedang mengalami masalah tidak akan mempan dicekoki nasihat-nasihat bak motivator luar biasa, cukup tempatkan diri sebagai pendengar, itu adalah pilihan paling bijak yang bisa kita jalani. Maka seperti itulah saya. Jika pun menimpali sesekali, saya berusaha agar tidak terdengar menggurui.
Satu kalimat dari dia yang saya  ingat hingga detik ini,
“Semua pasti ada hikmahnya...”
Sederhana.
Ya, apalagi yang bisa kita usahakan kalau memang keadaannya sudah stuck di jeda itu. Hanya sebuah penerimaan yang disertai upaya menabah-nabahkan diri dengan segenap kekuatan hati yang tersisa. Berusaha menaruh prasangka baik kepada Allah. Itu saja yang bisa kita lakukan  sebagai manusia yang tahu diri dan tahu kapan harus berhenti sejenak.
Setelah hari berat itu, saya tiba pada kesimpulan, dia—kakak yang baik itu—memiliki mental yang kuat. Di tengah peliknya hati,dia masih bisa tersenyum. Lalu, datanglah tahun-tahun yang semakin mendekatkan kami. Saya semakin sadar, dia—kakak yang baik itu—benar-benar baik hatinya. Baik bukan dalam standar sederhana. Baik yang tidak cukup dikalkulasikan dalam bentuk kata atau nominal angka.
Sambil menulis ini, saya teringat lagi kenangan tahun pertama saya memasuki universitas yang akan menjadi rumah bagi saya menuntut ilmu empat tahun ke depan—mirisnya saya menghabiskan nyaris seluruh usia dua puluhan saya di sana—saya, yang datang dari satu desa di sebuah kabupaten yang seumur-umur bisa dihitung jari berapa kali keluar kampung halaman, kali ini harus rela meninggalkan rumah dan menetap di satu kota asing bersama orang-orang yang masih terasa asing, dan tentu saja situasi lingkungan yang juga asing. Saya penasaran, apakah orang dengan kepribadian kaku dan kikuk macam saya, bisa berinteraksi dengan orang-orang di sini? Apakah saya akan memiliki teman-teman yang bila bersama mereka, akan mengikis pelan-pelan homesick yang melanda di semester awal kuliah?
Potret kepribadian saya di masa-masa sulit itu sangat mengkhawatirkan.
Saya pun turut menjalani inisiasi sebagai mahasiswa baru bersama teman-teman satu angkatan baru di jurusan. Di tingkat fakultas, di sanalah saya bertemu pertama kali dengan mereka—termasuk si kakak yang baik hati itu—akhawat-akhawat berjilbab lebar selebar senyum yang senantiasa mengambang di bibir. Perlakuan kakak-kakak senior yang sangat ramah meninggalkan kesan mendalam di hati saya. Itulah yang mengantarkan kaki saya bergabung bersama mereka di organisasi dakwah kampus di tahun yang sama, 2008.
Saya pernah baca di suatu tempat bahwa darah memang kental, namun ikatan yang dilandaskan cinta karena Allah terkadang bisa melampaui logika terbatas manusia. Itulah yang saya alami. Terkadang, saya lebih merasa nyaman berada di sekitar orang-orang yang saya kenal dekat melalui tarbiyah dibandingkan dengan orang-orang secara ikatan darah masih ada hubungan keluarga dengan saya. Sekali lagi, bagi saya perasaan nyaman dan aman adalah satu point penting.
Kakak yang baik itu adalah satu dari sekian banyak nama yang melekat di hati saya sampai kapan pun karena kebaikan dan ketulusannya. Tidak akan cukup susunan kata-kata untuk saya tuliskan satu persatu kebaikan yang pernah dia berikan untuk hidup saya. Salah satunya adalah kesabarannya menemani saya dalam proses menyelesaikan skripsi yang terkatung-katung hampir tiga tahun lamanya. .
Saat itu, teman-teman seangkatan sudah menyelesaikan kuliah, saya saja yang tersisa sendiri. Jangan tanya bagaimana rupa perasaan saya. Andai tembok di kamar kosan saya bisa berbicara, mereka akan mendongengkannya padamu selama tujuh hari tujuh malam, dan itu takkan terasa cukup saking saratnya kegalauan dan kesedihan yang mengendap di hati serta pikiran saya.
Kakak yang baik itu selalu ada—menyediakan waktu dan seluruhnya—bila saya datang menghampirinya. Beberapa hari sebelum sidang hasil, ponsel butut saya hilang entah di mana. Belum lagi, isi kantong pas-pasan, jadi saya tidak bisa secepat kilat membeli ponsel baru. Pikir saya, bagaimanalah bisa saya lancar berurusan kalau ponsel yang selalu saya gunakan untuk berkomunikasi dengan dosen pembimbing dan penguji, saya tidak punya? Dia lah yang mengusahakan agar saya dapat pinjaman ponsel sementara hingga urusan skripsi saya selesai. Usai sidang hasil, dia tetap tinggal walau kampus sudah kosong menjelang magrib, diajaknya saya makan sebelum pulang, menghibur saya yang ketika ujian lebih banyak salahnya menjawab pertanyaan dosen. Beberapa jam setelah sidang hasil, saya jatuh sakit. Tepar. Saya menghilang dari peredaran beberapa hari lamanya, dia lah—yang mungkin satu-satunya orang yang kelimpungan mencari saya—yang kalau saya renungkan lagi, saya jahat sekali membiarkan orang lain mengkhawatirkan saya sedemikian rupa—maafkan saya, Kak. Kejadian lain, di hari ketika saya sidang skripsi, dia dan adik-adik yunior di organisasi-lah yang membantu menyiapkan konsumsi dosen penguji. Sekali lagi takkan cukup barisan paragraf untuk menuliskan kebaikan-kebaikan yang telah dia berikan untuk saya. Coba tanyakan pada adik-adik di organisasi dakwah kampus siapa yang paling bisa dan selalu diandalkan menyangkut banyak urusan-urusan di kampus? Saya sangat yakin ada satu nama yang akan selalu terlontar—Kak Via--namanya. Kakak yang baik hatinya ini, selalu menjadi titik mula pertemuan titik-titik lain yang telah memencar.
--Kak, berapa banyakkah persediaan sabar dan sanggup yang kamu miliki? Saya ingin mencemburuimu dalam hal ini. Ketika saya memutuskan pelan-pelan–tanpa sadar—menarik diri dari tarbiyah dan dakwah kampus, kamu masih di sana, berdiri di garda terdepan. Saya lebih dari yakin, terlalu banyak hal-hal tak menyenangkan yang kamu lalui namun kamu pilih menyimpannya sendiri. Karena itu saya cemburu, Kak. Belakangan ini, saya tak lagi hanya menyimpan kesedihan sendiri tapi juga ikut menepikan diri dari siapapun—pilihan yang tidak bijak sama sekali—tapi, sekali lagi saya melakukannya karena saya pikir tak baik membagi aura negatif ke orang lain. Masalah-masalah itu saya anggap membawa aura negatif, jadi saya pilih menghadapinya sendiri.
--Kak, percayalah. Saya menarik diri, menepi, atau semacamnya, bukan berarti saya melupakanmu. Agak sulit menjabarkan kebiasaan saya ini. Beginilah saya adanya, tak berkabar bukan berarti tak ingat. Saya mengingatmu, mengingat kalian dalam pelukan hangat doadoa yang Insya Allah tidak akan pernah putus.    
Dari lubuk hati terdalam saya selalu berdoa semoga Allah yang maha luas karuniaNya senantiasa memberikan kelapangan di hatinya untuk menerima kebaikan, menegarkan pijakan kakinya menghadapi hari-hari sulit, menguatkan pundaknya memanggul beban yang datang entah dari penjuru mana.

--Kak, kelak hari-hari baik—yang jauh lebih baik dari hari ini—akan datang menemuimu, memelukmu dan mengiringi langkahmu. Insya Allah. Saya percaya. Dan bila hari itu tiba, tolong ikutkan nama saya dalam ingatanmu.

Untuk hari-hari yang telah terlewati, untuk hari-hari yang akan kita jelang, tolong maafkan saya yang belum sanggup memenuhi kriteria sebagai adik yang baik untukmu, Kak.
Terimakasih telah menjadi kakak untuk orang seperti saya :)



With love,
--Nafilah Nurdin--