Kami bertemu pertama kali di perpustakaan kota. Ia tiba-tiba datang menepuk bahuku seraya mengambil duduk di hadapanku, di antara buku-buku yang aku tumpuk di atas meja. Lalu ia menunjuk buku yang sementara ku baca.
“SDD,” katanya santai.
Alhasil aku melongo. Benar-benar melongo seperti seseorang yang terkena pengaruh hipnotis. Siapa sih? Mau apa pula orang ini? Ia tiba-tiba mencondongkan badannya ke arahku. Ia menangkapku dengan tatapannya.
“Ap, apa?” sentakku tergagap menatap bola matanya. Aku berpikir ia tersenyum padaku. Tidak. tidak. Barangkali matanya memang selalu tersenyum.
“Aku juga menyukai beberapa puisi Sapardi. Aku mencintaimu dengan sederhana seperti… aha, bukan beberapa melainkan semuanya. Kau juga kan?” Matanya menukik tajam ke dalam bola mataku.
Dasar aneh. Aku bahkan belum bertanya lebih jauh kepadanya tetapi dia sudah melipir jauh. Ehm. Sebentar, apakah sebelum ini aku sudah pernah bertemu dengannya? Kurasa belum. Ya. belum Aku tidak merasa pernah bertemu manusia dengan klasifikasi menyebalkan begini. Sorot mata yang terlihat seperti menyepelekkan. Selalu tersenyum.
Aku gagal menata raut wajahku. Lekas kutundukkan kepalaku. Sesaat kemudian aku angkat sembari melempar senyum paling manis yang kupunya saat ini kepadanya. Oke. Aku setengah menyeringai persis seringai Si Garfied. Astaga! Makhluk dari negeri antah berantah manakah lelaki yang kini sedang menyita seluruh konsentrasiku? Ia yang tanpa surat undangan datang mengaduk-aduk keseriusanku membaca. Dan dengan santainya mengajakku berbincang di ruangan yang mempunyai aturan tak boleh ada suara melebihi dua oktav! Padahal sudah kupilih tempat paling strategis, di pojok kiri, agak tersembunyi di antara rak-rak buku yang berderet rapi yang berarti orang yang duduk di sana adalah ciri khas seseorang yang tidak ingin menerima gangguan sekecil apapun itu ketika sedang tenggelam dalam lautan kata-kata. Apakah ia tak menyadari hal penting itu? Sepertinya belum. Baiklah, besok-besok akan aku akan membawa kertas karton besar bertuliskan “SEDANG TIDAK INGIN DIGANGGU!!”. Hmmm… ide yang cemerlang.
“Aku mengamatimu sudah sebulan ini. Aku sudah menghapal dan tahu pada jam-jam apa kau mampir ke sini. Aku mengenalmu sebelum kau tahu aku ada. Jadi, kau tak harus merasa perlu memasang tampang seolah-olah aku ini algojo yang datang membawa aroma kematian untukkmu, santai saja…” katanya lagi-lagi dengan intonasi datar.
Dessss. Aku skakmat. Dia bisa membaca tampilan wajahku. Aku menghela napas panjang sebelum membuka suara. Oke. Aku yang terlalu canggung meladeninya. Laki-laki tinggi, kurus, langsing dan sepasang matanya yang selalu terlihat menyepelekan. Huh.
“Maaf. Aku hanya kaget saja melihatmu tahu-tahu ada di hadapanku. Berbicara banyak sementara…”
“Sementara kita belum saling mengenal. Begitu? Namaku Senja Dwiputera. Cukupkah untuk menghilangkan kekhawatiranmu? Satu lagi, aku berani sumpah dikejar-kejar bencong Taman Lawang asal kau percaya aku ini dari keluarga baik-baik. Atau aku perlu mengeluarkan kartu keluarga dan kartu identitas lainnya supaya aku lebih terlihat meyakinkan sebagai orang baik-baik?” Ia menyerobot kalimatku, seenaknya.
Aku ternganga kaget. Meletakkan buku kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono di atas meja. Aku agak memajukkan badanku. Barangkali aku sedikit frustasi. Ya ampun, yang benar saja.
“Ini bukan area yang tepat untuk berkenalan dan bercakap-cakap, Senja.” Aku berbisik sangat pelan. Ekor mataku menangkap geliat peringatan dari pengawas perpustakaan. Mungkin sebentar lagi, kami akan diusir. Bisa jadi jika lelaki ini ngotot mengajakku mengobrol.
“Beri aku namamu dan aku akan pergi.”
Pengawas perpustakaan di seberang sana sedang berjalan ke arah kami. Mampus.
Senja tersenyum.
“Aku akan menjadi teman yang baik untukmu. Percayalah… aku sudah menunggu momen ini jauh-jauh hari. Mengetahui namamu sudah cukup baik bagi perkenalan pertama ini.”
Mataku menyipit tajam.
“kau tidak perlu mencurigaiku seperti orang jahat berkepala delapan, Nona…”
Aku bangkit dari dudukku. Menyerobot buku yang sedianya akan aku pinjam. Lalu melangkah cepat-cepat menuju bagian peminjaman. Sengaja kuacuhkan dia. Biar saja. Memangnya dia pikir gampang apa mengajak kenalan seorang perempuan dengan menampilkan lagak slenge`annya itu? No way! Sory Jek!
“Ari Andhira Argiwerdhani. Aku suka namamu!” Aku mendengar suara menyebalkan itu di balik punggungku. Memenuhi seantero ruang baca itu. Suara yang sarat kemenangan.
Braaakkk! Tanpa sadar aku menjatuhkan semua buku yang ada dalam tentenganku. Dan menoleh ke belakang hanya dalam hitungan detik. Dia tahu nama lengkapku!
“Aku tahu kau tak akan mau dengan ikhlas memberitahu namamu. Untuk sebuah nama, apa salahnya mencari tahu sendiri, bukan? Ari, atau aku harus memanggilmu Dhira…? Bersikap baiklah padaku sejak saat ini, atau kau akan kubuat gila karena kehadiranku!”
Percayalah, ini kali pertama dalam hidupku aku merasa tak perlu mengindahkan betapa tak mengenakannya ditatap seluruh penghuni perpustakaan. Untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku tak merasa gentar dikepung sekian banyaknya tanya dari berpasang-pasang mata itu. Dan untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku dibuat tak berkutik dalam liang kemarahan! Sial!
Lelaki menyebalkan itu….
=oOo=
Pernah bertemu seseorang yang mendadak mengubah seluruh ritme hidupmu sejak pertama kehadirannya dan kau tidak bisa mengambil tindakan apa-apa karena tanpa kau sadari, seseorang itu seolah memiliki rumus atau formula canggih yang membuatmu ikut berenang di dalam arus yang ia ciptakan? Aku sedang menjadi pihak yang diubah ritme hidupnya itu oleh dia, Dia yang tanpa ba-bi-bu datang menawarkan bahasa teman.
Senja. Manusia paling aneh yang pernah aku temui. Suka seenaknya, ngotot, tak tertebak, kadang suka berlaku seolah hanya dia satu-satunya makhluk di muka bumi ini. Dan keakraban kami berjalan sangat aneh. Sejak pertemuan di perpustakaan itu, kami selalu bertemu. Ralat, dia yang sebenarnya menemuiku. Kadang-kadang malah kehadirannya mengagetkanku. Ia bisa muncul di pelataran parkir kampusku, di perpustakaan kota, di toko bunga tempatku bekerja paruh waktu. ia selalu hadir ketika aku sedang sendirian tanpa Karin. Juga di halte, tempat biasa aku menanti bus. Aku curiga laki-laki itu memiliki semacam radar khusus di atas kepalanya semacam halo untuk mendeteksi keberadaanku.
Sungguh, sejauh ini, sejak aku mengenalnya beberapa bulan silam, aku belum bisa sepenuhnya memahami pola dan jalan pikirannya. Bisa menjadi sangat ramah dan di lain waktu berubah teramat menyebalkan. Maka kawan, jangan tanya mengapa aku masih betah menjadi temannya, aku khawatir dia bakal menodongkan pistol di belakangku jika aku nekat mencoretnya dari daftar pertemananku. Kalian pasti bisa membayangkan orang seperti apakah Senja Dwiputera itu.
Di awal-awal aku masih merasa aneh dan ada yang mengganjal. Entah apa. Kami dipertemukan oleh dan karena apa, aku masih tak habis pikir.
“Kamu seperti hantu,” cetusku suatu ketika.
Ia hanya tertawa keras mendengar tudinganku.
“Aku memang setan yang di kirim Tuhan untuk mengacaukan hidupmu. Keberatan?”
“Apakah kamu akan berhenti menemuiku jika kukatakan aku keberatan?”
Ia menggeleng pasti.
Aku melengos.
“Jadi apa perlunya aku mengajukan protes kalau kamu pada akhirnya akan bersikap keras kepala seperti batu?” Dan di ujung kalimatku, ia tertawa lepas.
“Baguslah kau sadar!” katanya.
Ia juga adalah si tukang cerita yang ulung. Ia tak pernah bosan membagi cerita-cerita dari buku-buku yang ia baca kepadaku. Tak pernah bosan. Meskipun ia terkadang menelan kekecewaan karena aku lebih sering menggeleng tak tahu bila ia bertanya tentang seorang tokoh atau meminta pendapatku tentang buku yang pernah ia baca. Gila apa? Aku tak pernah berani menyebut diriku sebagai penikmat buku seperti dirinya. Mengapa? Jelas, karena aku hanya sebatas suka membaca. Perlu di garis bawahi, aku membaca hanya terbatas pada buku-buku yang aku anggap menarik. Menarik kalau jalan ceritanya bagus dan enak di baca. Kalau aku merasa buku yang aku baca itu njelimet dan bikin pusing, tak perlu menunggu lama untuk kutamatkan lebih dini minus penghayatan. Dan mengenai kegilaanku pada beberapa puisi Sapardi, itu karena aku memang sudah menggandrunginya sejak duduk di bangku SMA. Aku kebiasaan hanya fokus pada jalan cerita sebuah buku tanpa mau sedikit peduli pada siapa yang mengarang buku itu, diterbitkan oleh penerbit mana.
Jadi kesimpulannya, aku ini tipikal pembaca yang semau gue. Belakangan, berkat kegigihannya mengajakku diskusi tentang novel-novel sastra, prosa, roman, puisi dan penulis-penulis besar, aku sadar dunia yang ku tahu terlalu sempit untuk aku banggakan. Malu berkubik-kubik rasanya. Jika ia bercerita tentang Stephen King, aku membalasanya dengan cengiran. Stephen king itu siapa? Ia juga seorang kawan seperjalanan yang baik. Penyuka puisi, pengamat yang cerdas. Kawan yang telaten mendengar seluruh keluh kesahku mulai dari hal remeh-temeh sampai hal-hal super penting dalam hidupku. Satu yang membuat kami menjadi begitu dekat. Puisi Sapardi. Aku tidak tahu apakah harus bersyukur atau justeru merasa menjadi manusia paling malang sedunia karena mengenalnya. Untuk saat ini aku bersyukur. Entah nanti.
=oOo=
“Aku mencintai buku-buku,” katanya di suatu petang. Semburat senja di ufuk barat perlahan beringsut pulang bertukar dengan gelagat gelap malam. Maghrib yang syahdu lagi khusyuk. Dia datang ke rumahku bersama setumpuk kesal di wajahnya. Aku menangkapnya sebagai isyarat kurang baik.
“Mereka membakar buku-buku itu seolah tak ada harganya sama sekali. Bukan rupiah yang aku maksudkan. Kau tahu bukan? Betapa bernilai dan mulianya buku-buku itu? Terlepas dari apa yang diceritakan di dalam buku-buku itu, tidak bisakah mereka memberikan sedikit saja penghargaan kepada penulisnya? Tidak bisakah mereka merasakan perjalanan panjang seorang penulis demi paragraf-paragraf di dalam buku-buku itu? Demi Tuhan, gampang sekali orang-orang menilai baik buruknya suatu hal tanpa menelaah lebih jauh ke dalam. Lalu apa gunanya kita berpikir? Baik dan buruk ada untuk menyeimbangkan hidup agar tetap berjalan. Kalau kita hanya tahu warna baik melulu, bagaimana kita akan bisa membedakan ketika warna buruk itu datang menabrak hidup kita? Dan pada buku-buku itu kita belajar! Bah!” Dan Senja menutup pidato panjangnya dengan melemparkan koran lecek yang sedari tadi digenggamannya ke hadapanku.
Dihempaskannya tubuhnya ke kursi rotan. Teras rumahku sesaat lengang tanpa suara. aku baca berita utama di Koran itu. Tentang pemusnahan dan larangan terbit ribuan eksemplar buku karena isinya dinilai menghina `orang besar` di atas sana. . Mendadak aku paham gejolak yang kini meruak di hatinya. Aku tahu betapa ia sangat menghargai buku. Pernah, ia meminjamiku sebuah buku karangan seorang penulis handal negeri ini. Aku tak sengaja menumpahkan kecap di atas lembar halaman depannya. Tebak, ia mendiamkanku selama 2 hari berturut-turut. Ia memang menemuiku tetapi bersama kebisuannya. Tanpa kata.
“Kalau kau tak menjaga dan menghargai buku, bagaimana kau bisa mengatakan kau suka membaca? Apa yang kau baca di buku itu akan kau wariskan kepada anak-anakmu kelak, maka kau pun harus menjaga agar lembar-lembarnya tetap awet,” cetusnya pada hari ketiga kedatangannya kala itu.
Manusia yang aneh bukan?
Dan sekarang ia datang bersama kemarahannya kepada para pelaku pemusnahan buku itu. Aku menanggapinya wajar.
“Kita bisa apa? Mereka yang paling berkuasa kan?” timpalku penuh kehati-hatian. Aku tidak mau jadi bulan-bulanan kemarahanannya hanya karena aku salah menanggapi.
“Maka dari itu kau harus memperkaya hatimu dengan pengetahuan agar kelak anak-anakmu tak menjadi pribadi-pribadi yang doyan membabi-buta seenak kepala!”
Apa kubilang.
Aku tersenyum kecil demi mendengar intonasinya yang masih meninggi. Wajahnya keruh.
“Akhir-akhir ini aku perhatikan kau sering marah-marah. Ada apa?”
Ia diam. Membuang pandangannya ke jalanan depan rumahku yang gelap.Pertanyaanku mengambang.
“Seandainya kau tahu esok adalah hari kematianmu, apa yang akan kau lakukan hari ini? Seandainya esok tidak akan pernah datang kembali, apa yang akan kau lakukan hari ini? Apakah kau sudah yakin kau tahu semua yang ada di sekelilingmu? Apa kau benar-benar yakin kau ini pintar?”
Aku tersedak kaget. Oke. Senja memang orang yang rajin mengganti topik pembicaraan seenaknya, lompatan-lompatan pikirannya seringkali mengagetkanku, tetapi topik pembicaraan yang ia buka kali ini sungguh sangat melenceng dari kebiasaannya. Mati? Sejak kapan makhluk ini sadar mati? Dan dia menghinaku. Secara tidak langsung menyebutku bodoh. lha!
“Apa yang kamu bicarakan?”
“Kematian. Apakah kau pernah berpikir tentangnya?” Wajahnya terlihat ganjil. “Kalau kita mati, apa yang akan tinggalkan? Apakah kita sudah cukup berharga untuk diingat oleh mereka yang masih hidup? Apakah kau akan mengingatku jika aku nantinya meninggalkanmu lebih dahulu? Apakah kau akan seperti itu?”
Aku berharap aku salah melihat. Ada jelaga di matanya. Mata yang selalu tersenyum itu. aku terdiam cukup lama. Ia sepertinya ngotot menunggu jawaban dariku.
“Ada sesuatu yang terjadi atau kau salah minum obat?”
Ia tertawa sumbang.
“Kau ini lucu. Aku hanya bertanya tetapi kau menjawabku dengan pertanyaan juga. Sudahlah kalau kau merasa keberatan untuk menjawab. Suasana malam ini sepertinya sedang tidak bersahabat. Aku sebaiknya pulang saja. Selamat malam, Ari.”
Ia lalu beranjak meninggalkan teras rumahku tanpa menoleh lagi. Meninggalkan gugusan pertanyaan yang tak sanggup aku jawab. Sendirian. Ada apa dengan laki-laki itu? Dasar aneh.
=oOo=
Senja Dwiputera. Datang tanpa aku undang dan kini lenyap ketika aku mulai menyadari kehadirannya. Lancang. Lancang sekali dia! Berhari-hari hingga berbulan-bulan kemudian aku menunggunya datang membawa berlembar-lembar kisah cerita. Aku berharap dia menghilang dalam pengembaraannya hanya sebentar dan akan kembali secepatnya. Pada akhirnya, aku memang hanya berkhayal. Yah. Berkhayal. Bukan berharap. Berkhayal dan berharap, jelas sekali perbedaannya. Berkhayal, berarti hanya sebatas menginginkan. Sedangkan berharap, selain menginginkan berarti juga berusaha. Aku tak melakukan usaha apapun untuk mengetahui keberadaannya. Bukan karena aku merasa tak perlu melainkan semata karena aku tidak pernah tahu apa-apa mengenai dirinya!
Senja Dwiputera. Selain tahu nama lengkapnya aku hanya tahu bahwa dia termasuk orang yang mencintai buku. Ia penghuni paling rajin di perpustakaan kota. Ia menggilai sastra. Apalagi yang kutahu tentang dirinya? Lelaki brengsek itu!
Jika tak dilarang keras oleh Kiran, sudah kupasang pengumuman di Koran atau paling gawatnya akan kusebarkan pengumuman orang hilang lewat selebaran dengan spesifikasi rambut lurus sebahu, punya sepasang mata, satu hidung, dua telinga, tinggi, kurus, langsing, selalu mengenakan kaos hitam tanpa kerah dan celana jeans ngatung, cuek dan kumpulan puisi Sapardi yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi.
Kata Kiran, dengan ciri-ciri yang aku sebutkan, aku bukannya akan menemukan Senja, yang terjadi nantinya justeru aku yang keburu berubah jadi nenek ompong karena terlalu lama menunggu. Penampilan Senja memang seperti orang kebanyakan yang membedakan ya itu, pembawaannya.
“Sampai kiamat juga kamu tidak akan menemukannya!”
Kiran benar soal itu. Sepekan kemudian aku menyerah. Toh ia datang tanpa isyarat dan kini pergi juga tanpa isyarat. Aku tidak peduli lagi. Inginku benar-benar tidak peduli. Masalahnya adalah, berbulan-bulan ke belakang Senja memenuhi hampir semua kenanganku. Mana mungkin aku berpura-pura bermasa bodoh? Sial. Hati dan pikiranku ambigu.
“Ari, coba deh kamu ingat kembali. Sejak kapan kamu mau mengorbankan waktumu untuk sesuatu yang tidak jelas? Senja adalah wujud ketidakjelasan itu. Kamu baik-baik aja sebelum dia datang, lalu mengapa kamu harus pontang-panting mencari dia seperti orang yang kehilangan suami di medan perang? Dia bahkan bukan siapa-siapa bagimu! Ini jelas salah, Ari…”
Kalimat pedas Kiran meluncur bak roket yang menghunjam kesadaranku bertubi-tubi. Sejak kapan? Sejak Senja menghilang? Senja Dwiputera. Dia bukan siapa-siapa bagiku. Senja Dwiputera, kau dengar itu? Kau bukan siapa-siapa bagiku! Bagi Ari Andhira Argiwerdhani. Tetapi apa yang kau tinggalkan di sini menjadi sesuatu yang harus aku pikirkan. Kau memang seenaknya, bahkan untuk sekadar memberitahuku keberadaanmu saat ini, kau emoh.
Kuangkat kepalaku menghadap langit. Air mataku terlalu mahal untuk kisah seperti ini. Kecuali jika aku tak sadar bahwa namaku Ari. Aku bukan si cengeng.
“Waktu adalah tabib penyembuh yang paling mumpuni, Ari,” ucap Kiran sembari menggenggam jemariku.
Tiba-tiba saja aku merasa kali ini Kiran keliru. Sama halnya pada hatiku. Aku berusaha untuk terlihat biasa namun di lain sisi aku sedih setengah mampus. Lihatlah, betapa jahatnya lelaki bernama Senja Dwiputera itu. ia meninggalkan jejak yang tidak bisa aku hapus hanya dengan mengatakan aku membencinya seumur dunia. Kawan, kalian pernah mendengar seorang pintar berkata bahwasanya kau baru akan merasakan betapa dalam dan pentingnya kehadiran seseorang ketika ia telah pergi meninggalkanmu? Seperti itulah perasaanku sekarang. aku kehilangan kawan seperjalanan.
=oOo=
See! Aku gagal, Jek.
Dua hari setelahnya sebuah email atas nama Rerimbunanrindu@YMail.com bertandang ke inboxku. Membacanya, aku seperti di buang ke luar angkasa. Di asingkan di sebuah planet asing tanpa penghuni kecuali aku sendirian. Dan kau hanya bisa merasakan dingin di sekujur tubuhmu. Sepi. Sunyi. Bahkan seolah angin ikut mati. Jejak kehilangan itu kini terpampang nyata di pelupuk mataku. Senja tidak akan pernah kembali. Email itu aku yakini berasal dari dirinya.
Ari Andhira Argiwerdhani
Aku selalu menyukai namamu. Masih ingat pertanyaan terakhirku padamu? Seandainya kau tahu esok adalah hari kematianmu, apakah yang akan kau lakukan hari ini? Seandainya esok tidak akan pernah datang kembali, apa yang akan kau lakukan hari ini?
Jawabanku adalah, aku akan memintamu menikah denganku saat itu juga. Tetapi sayangnya aku sudah tak punya waktu juga keberanian untuk mengatakan itu kepadamu. Aku sakit parah. Aku benci mendengar vonis dokter mengenai umurku.
Aku melihatmu pertama kali di pementasan teater di dewan kesenian. Aku tahu kau pasti sudah lupa padaku. Aku yang tak sengaja melemparimu kaleng bekas minuman ringan ke kepalamu. Kau tidak marah hanya melototiku dengan sejumput kekesalan tingkat tinggi. Usai pementasan itu kau menghilang. Ah, bukan. Aku yang harus sejenak mundur ke ruangan serba putih itu. Berbulan-bulan aku di opname di rumah sakit. Mencintai jarum suntik, obat-obatan dan nuansa rumah sakit yang terkadang membuatku seolah sudah berada di alam kematian. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mengenalmu sebelum aku pamit. Kau tahu kan kata pamit yang ku maksud. Maka mulailah aku berburu informasi tentang Dhira. Nama yang kau pakai sewaktu pementasan. Aku tak sengaja melihatmu di perpustakaan kota. Tuhan menyayangiku. Kau tak pernah jauh dari jangkauan radarku. Dari sanalah aku tahu semua tentang dirimu.
Dan pada akhirnya aku memang mengenalmu. Seiring sakit yang makin sering menyerang sistem imunku, mencuri semangatku dengan beringas. aku merasa sudah saatnya pergi. Maaf jika aku seenaknya menghilang tanpa pesan. Aku rasa kau tak perlu mendengar kisah tragis ini dari mulutku sendiri. Oleh sebab itu aku mengirim email ini. Oya, makasih untuk kelapanganmu menerima kehadiran orang aneh sepertiku. Kau teman yang baik. Aku bersyukur kau tak memanggilku autis seperti yang sering orang-orang lontarkan terhadapku.
Ku mohon, ceritakanlah pada anak-anakmu kelak tentang aku. Berceritalah sesukamu, asal jangan kau ceritakan pada mereka bahwa aku nyaris saja memintamu menikah denganku! Hehe…
Aku kirimkan seluruh buku koleksiku ke alamatmu. Baca dan rawatlah setiap lembarannya. Untuk anak-anakmu kelak. Senja Dwiputera, sebaiknya kau namai anak lelakimu dengan namaku. Ini bukan permintaan tetapi keinginan dariku, untuk mengenang keberadaanku. Lanjutkan hidupmu, Ari. Ari Andhira Argiwerdhani, aku selalu menyukai namamu.
Hatiku terasa hampa. Aku ingin menangis tetapi aku tidak bisa menangis.
=oOo=
Senja Dwiputera. Lelaki yang aneh. Manusia paling aneh yang pernah ku temui. Suka seenaknya, ngotot, tak tertebak. Kau bisa menjadi kawan diskusi yang baik dan di lain waktu bisa menjadi sangat menyebalkan. Mencintai buku dan puisi Sapardi Djoko Damono. Bagian menyebalkannya adalah, kau tak mau membagi secuilpun rasa sakitmu padaku. Dan kau hanya mengirimiku sebuah surat elektronik sekedar memberi kabar bahwa kau sedang meregang nyawa di suatu tempat yang tak kutahu letaknya. Tega betul!
Hei, kau yang bernama Senja Dwiputera! Tak sadar dirikah bahwasanya kau tak punya sopan santun, seenaknya menyambangi hatiku. Membangun rumah di atas pondasi yang rapuh. Menanam daysi dan Lavender di pekarangannya. Dan ketika tiba saatnya kau semestinya masuk dan menghuni rumah itu, kau berbalik pergi dengan kepala tertunduk! Apa-apaan ini! Seandainya kau ada di hadapanku, ingin rasanya aku memberimu tendangan memutar. Melemparmu ke ujung langit sekalian (kalau memang langit memiliki ujung).
Aku marah. Marah besar karena tak punya keberanian lebih untuk sekedar mengakui kau berhasil merebut ketenanganku. Kehadiranmu mengajariku menjadi lebih sabar. Rasanya aku ingin tertawa keras melihat pantulan keras kepalaku di dirimu. Kita dua orang yang sama namun berbeda. Sama karena kita adalah penganut sekte keras kepala yang unggul, kita sealiran dan menjadi berbeda karena aku perempuan dan kau lelaki. Korelasinya adalah kita berdua tak cocok membangun rumah untuk anak-anak kita kelak. Mana mau aku dipinang lelaki yang tak tahu bagaimana cara memperlakukan hati seorang perempuan? Setelah dirasa kau cukup berhasil mencuri perkakas hatiku, kau lalu melarikan diri dan tidak mengembalikan suasana hatiku seperti sedia kala. Tetapi tenang saja, permintaanmu yang bejibun itu akan ku pertimbangkan.
Rumah yang kau bangun diam-diam nun jauh di dalam sana, di sebuah pedataran hatiku yang paling indah kini menjadi tak terurus. Kelopak-kelopak daysi dan lembar-lembar Lavender tak lagi menguar manis. Layu dan perlahan jatuh ke tanah. Kering. Rumahmu bukan di hatiku, Senja. Kau yang memutuskannya sendiri. Kau yang lagi-lagi memilih seenaknya. Aku tidak akan pernah sudi memaafkan kelancanganmu mengabaikanku. Dengarlah, aku percaya Tuhan telah menyediakan sebuah rumah yang paling layak dan indah untukmu. Di syurga. Semoga. Amin….
Senja Dwiputera, aku pastikan aku akan baik-baik saja (maafkan kalau aku masih sering menangis karena kau sama sekali tak memberiku kesempatan mengetahui jejak pelarianmu. Paling tidak, aku ingin tahu dimana peristirahatan terakhirmu. Rumah terakhirmu di dunia).
sajak kecil tentang cinta (Sapardi Djoko Damono)
mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu(mu) harus menjadi aku