Oleh : Nafilah Nurdin
“Aku akan datang menemuimu di hari ketigabelas bulan hujan. Kau harus bersabar menunggu, sayangku....”
Pejuang sejati tidak akan pernah ingkar janji, katanya. Dan Rahi selalu memercayai apapun yang dikatakan lelaki itu padanya. Itulah pemaknaan cinta menurut gadis itu. Cinta yang memberi harapan.
“Dia akan datang, Ina.”
Ibunya diam. Meneruskan memotong batang-batang kangkung tanpa mengalihkan tatapan padanya.
“Dia sudah berjanji.”
“Kau sudah memutuskan pilihanmu, kan? Setelah Ina dan Amamu memberimu pertimbangan kau tetap berjalan di jalan yang kau yakini. Maka itulah jawaban kami. Kau sudah kenali konsekuensinya, nak. Co`o nta morasai nya cami....”
Demikianlah. Penutup ketidakrelaan Ina dan Amanya terhadap keputusannya menerima pinangan lelaki itu sekaligus pembuka jalannya menuju lelaki itu. Hanya karena waktu kelahiran mereka yang bertolak belakang maka tahayul tanah kelahirannya dijadikan alasan demi mematahkan niat mereka. Ia lahir subuh hari dan lelaki itu senja hari. Kebersamaan mereka adalah tragedi. Hei, cinta bukan dongeng semata. Mereka saling mencintai jauh sebelum mereka tahu cinta itu seperti apa gerak-geriknya. Bila seperti itu bukankah tragedi harusnya terjadi di masa-masa itu?
Rahi sumringah. Kebahagiannya tak terpetakan. Ah... sekelumit cinta masa kecilnya akan mewujud nyata. Hari ketigabelas bulan hujan.... Sayangku.
=oOo=
Perayaan besar-besaran di tanah Tokotu`a.
Anak kepala adat akan melangsungkan pernikahan. Segala persiapan adat telah diusaikan. Pelamaran dan pengajuan mahar telah ditunaikan. Hari ini adalah Pesinca`a. Yang utama dan utama. Keramaian yang mendatangkan keharuan sekaligus kecemasan di hati masing-masing warga. Pernikahan dua waktu. Kecelakaan adat.
Rahi sengaja menutup pendengarannya terhadap kasak-kusuk di bawah rumah panggungnya. Ini cinta dan cinta bukan pembunuh lewat dongeng-dongeng.
Ia pasti datang. Janji akan dipenuhi. Sebentar lagi. Sabarlah...
Rahi memperbaiki Ta`i ncombo yang membalut seluruh tubuhnya.
Waktu merangkak riuh seriuh pertanyaan-pertanyaan lewat bisik-bisik itu.
“Sudah lewat.”
“Mana pengantin laki-lakinya?”
“Sudah kubilang, tragedi.”
“Hussshhh.”
Ina mengelus punggungnya. Ama tak berucap apa-apa kecuali mata tuanya yang tak pernah berhenti menyiratkan ketenangan. Para tetua adat menunduk. Entahlah. Berdoa barangkali.
Satu jam berlalu. Watu Sangia yang berdiri kokoh di puncak tanah tertinggi Tokotu`a mulai disaputi kabut pertanda hujan akan segera tiba. Seirama denting cemas di bilik jantung Rahi.
Pejuang sejati tidak....
Genderang kepastian itu tiba di detik bersamaan ia melantunkan doa.
“Anamea! Innalillahi Rajiuun!” Anamea Mesambo!” Teriakan panik seseorang yang menyulut keributan.
Laki-laki bertubuh kecil yang bertugas menunggu di perbatasan kampung tergopoh-gopoh menaiki satu-persatu anak tangga.
Ama beserta para tetua bersegera menyambutnya. Rahi menggigil dalam rangkulan Ina. Dia tidak pernah terlambat. Kecuali...
“Ada apa?” Suara Ama tenang.
“Celaka. Seluruh rombongan pengantin hilang!”
Seluruh keriuhan itu berubah hening.
“Hilang bagaimana, Rat?” sela Ama .
Rahi beranjak bangun.
“Perahu yang membawa rombongan hilang di tengah lautan. Kami menunggu di dermaga dan waktu kedatangan mereka sudah lewat. Pasang yang sangat tinggi menghadang kami saat kami berusaha mendekat ke tengah laut, posisi terakhir kami melihat titik perahunya. Anamea Mesambo hilang...”
Belum habis keheningan itu, suara-suara dari arah dapur pecah. Asap membumbung menggenapi seluruh ruangan. Ribut. Kacau.
Ya Tuhan...
“Kebakaran! Tolong! Tolong!
Panik.
Rahi ambruk setelah berteriak keras. Histeris seiring lalu-lalang orang-orang di rumah panggung itu. Semua mencoba melarikan diri.
Ket :
-Mpakavi`o vita = pernikahan tanah
-Ina = Ibu
-Ama = Bapak
-Ta`i ncombo = pakaian adat suku Moronene
- Co`o nta morasai nya cami = kau yang merasakannya bukan kami.
-Pesinca`a = pernikahan
*FF ini tercipta kurang lebih 2-3 jam. Jadi kalau nemu `keganjilan` wajar saja. Saya gak sempat ngedit. Tau kenapa? Dikejar deadline *parah* 15 menit sebelum lomba ditutup barulah FF ini saya kirim. Ceritanya ini diikutkan dalam ujian semester di kelas CeNDoL