(Sebuah catatan untuk ulang tahun yang terlambat)
Note : tulisan ini
berisi kenangan-kenangan yang merentang acak.
Pada
satu dari banyak tahun yang telah kami lewati, dia mengajak saya menyepi di stadion mini di tak jauh dari
fakultas MIPA. Siang itu terik, kami duduk berdua di salah satu deretan bangku
beton yang hening ditemani lagu milik Hadad Alwi. Waktu itu, kami belum sedekat
seperti sekarang, hitungannya masih sebagai senior-yunior dari jurusan yang
berbeda tetapi bernaung di bawah organisasi dakwah kampus yang sama. Ada alasan
mengapa siang itu, dia mengajak saya ke tempat itu. Kakak yang baik itu sedang riuh hatinya karena ujian skripsi yang
sudah digadang-gadangkan akan segera dijalaninya terpaksa harus di-pending satu semester lagi. Ada satu
mata kuliah yang tertinggal entah karena tidak teliti atau sebab lain, hal itu
baru disadarinya ketika hendak membuat transkrip nilai sementara sebagai salah
satu persyaratan sidang. Saya adalah pendengar yang baik dan sopan, tetapi
terlalu kikuk jika harus memberikan penguatan pada orang yang sedang rusuh
hatinya. Hemat saya, seseorang yang sedang mengalami masalah tidak akan mempan
dicekoki nasihat-nasihat bak motivator luar biasa, cukup tempatkan diri sebagai
pendengar, itu adalah pilihan paling bijak yang bisa kita jalani. Maka seperti
itulah saya. Jika pun menimpali sesekali, saya berusaha agar tidak terdengar
menggurui.
Satu
kalimat dari dia yang saya ingat hingga
detik ini,
“Semua pasti ada hikmahnya...”
Sederhana.
Ya,
apalagi yang bisa kita usahakan kalau memang keadaannya sudah stuck di jeda itu. Hanya sebuah penerimaan
yang disertai upaya menabah-nabahkan diri dengan segenap kekuatan hati yang
tersisa. Berusaha menaruh prasangka baik kepada Allah. Itu saja yang bisa kita
lakukan sebagai manusia yang tahu diri
dan tahu kapan harus berhenti sejenak.
Setelah
hari berat itu, saya tiba pada
kesimpulan, dia—kakak yang baik itu—memiliki
mental yang kuat. Di tengah peliknya hati,dia masih bisa tersenyum. Lalu,
datanglah tahun-tahun yang semakin mendekatkan kami. Saya semakin sadar, dia—kakak yang baik itu—benar-benar baik hatinya. Baik bukan dalam standar sederhana. Baik yang
tidak cukup dikalkulasikan dalam bentuk kata atau nominal angka.
Sambil
menulis ini, saya teringat lagi kenangan tahun pertama saya memasuki universitas
yang akan menjadi rumah bagi saya
menuntut ilmu empat tahun ke depan—mirisnya saya menghabiskan nyaris seluruh
usia dua puluhan saya di sana—saya, yang datang dari satu desa di sebuah
kabupaten yang seumur-umur bisa dihitung jari berapa kali keluar kampung
halaman, kali ini harus rela meninggalkan rumah dan menetap di satu kota asing
bersama orang-orang yang masih terasa asing, dan tentu saja situasi lingkungan
yang juga asing. Saya penasaran, apakah orang dengan kepribadian kaku dan kikuk
macam saya, bisa berinteraksi dengan orang-orang di sini? Apakah saya akan
memiliki teman-teman yang bila bersama mereka, akan mengikis pelan-pelan homesick yang melanda di semester awal
kuliah?
Potret
kepribadian saya di masa-masa sulit itu sangat mengkhawatirkan.
Saya
pun turut menjalani inisiasi sebagai mahasiswa baru bersama teman-teman satu
angkatan baru di jurusan. Di tingkat fakultas, di sanalah saya bertemu pertama
kali dengan mereka—termasuk si kakak yang
baik hati itu—akhawat-akhawat berjilbab lebar selebar senyum yang
senantiasa mengambang di bibir. Perlakuan kakak-kakak senior yang sangat ramah
meninggalkan kesan mendalam di hati saya. Itulah yang mengantarkan kaki saya
bergabung bersama mereka di organisasi dakwah kampus di tahun yang sama, 2008.
Saya
pernah baca di suatu tempat bahwa darah memang kental, namun ikatan yang
dilandaskan cinta karena Allah terkadang bisa melampaui logika terbatas
manusia. Itulah yang saya alami. Terkadang, saya lebih merasa nyaman berada di
sekitar orang-orang yang saya kenal dekat melalui tarbiyah dibandingkan dengan
orang-orang secara ikatan darah masih ada hubungan keluarga dengan saya. Sekali
lagi, bagi saya perasaan nyaman dan aman adalah satu point penting.
Kakak yang baik itu adalah
satu dari sekian banyak nama yang melekat di hati saya sampai kapan pun karena
kebaikan dan ketulusannya. Tidak akan cukup susunan kata-kata untuk saya tuliskan
satu persatu kebaikan yang pernah dia berikan untuk hidup saya. Salah satunya
adalah kesabarannya menemani saya dalam proses menyelesaikan skripsi yang
terkatung-katung hampir tiga tahun lamanya. ㅠ.ㅠ
Saat
itu, teman-teman seangkatan sudah menyelesaikan kuliah, saya saja yang tersisa
sendiri. Jangan tanya bagaimana rupa perasaan saya. Andai tembok di kamar kosan
saya bisa berbicara, mereka akan mendongengkannya
padamu selama tujuh hari tujuh malam, dan itu takkan terasa cukup saking
saratnya kegalauan dan kesedihan yang mengendap di hati serta pikiran saya.
Kakak
yang baik itu selalu ada—menyediakan waktu dan
seluruhnya—bila saya datang menghampirinya. Beberapa hari sebelum sidang hasil,
ponsel butut saya hilang entah di mana. Belum lagi, isi kantong pas-pasan, jadi
saya tidak bisa secepat kilat membeli ponsel baru. Pikir saya, bagaimanalah
bisa saya lancar berurusan kalau ponsel yang selalu saya gunakan untuk berkomunikasi
dengan dosen pembimbing dan penguji, saya tidak punya? Dia lah yang mengusahakan
agar saya dapat pinjaman ponsel sementara hingga urusan skripsi saya selesai. Usai
sidang hasil, dia tetap tinggal walau kampus sudah kosong menjelang magrib,
diajaknya saya makan sebelum pulang, menghibur saya yang ketika ujian lebih
banyak salahnya menjawab pertanyaan dosen. Beberapa jam setelah sidang hasil,
saya jatuh sakit. Tepar. Saya menghilang
dari peredaran beberapa hari lamanya, dia lah—yang mungkin satu-satunya orang
yang kelimpungan mencari saya—yang kalau saya renungkan lagi, saya jahat sekali
membiarkan orang lain mengkhawatirkan saya sedemikian rupa—maafkan saya, Kak. Kejadian
lain, di hari ketika saya sidang skripsi, dia dan adik-adik yunior di
organisasi-lah yang membantu menyiapkan konsumsi dosen penguji. Sekali lagi
takkan cukup barisan paragraf untuk menuliskan kebaikan-kebaikan yang telah dia
berikan untuk saya. Coba tanyakan pada adik-adik di organisasi dakwah kampus
siapa yang paling bisa dan selalu diandalkan menyangkut banyak urusan-urusan di
kampus? Saya sangat yakin ada satu nama yang akan selalu terlontar—Kak Via--namanya. Kakak yang baik hatinya ini, selalu
menjadi titik mula pertemuan titik-titik lain yang telah memencar.
--Kak, berapa
banyakkah persediaan sabar dan sanggup yang kamu miliki? Saya ingin
mencemburuimu dalam hal ini. Ketika saya memutuskan pelan-pelan–tanpa sadar—menarik
diri dari tarbiyah dan dakwah kampus, kamu masih di sana, berdiri di garda
terdepan. Saya lebih dari yakin, terlalu banyak hal-hal tak menyenangkan yang
kamu lalui namun kamu pilih menyimpannya sendiri. Karena itu saya cemburu, Kak.
Belakangan ini, saya tak lagi hanya menyimpan kesedihan sendiri tapi juga ikut
menepikan diri dari siapapun—pilihan yang tidak bijak sama sekali—tapi, sekali
lagi saya melakukannya karena saya pikir tak baik membagi aura negatif ke orang
lain. Masalah-masalah itu saya anggap membawa aura negatif, jadi saya pilih
menghadapinya sendiri.
--Kak,
percayalah. Saya menarik diri, menepi, atau semacamnya, bukan berarti saya
melupakanmu. Agak sulit menjabarkan kebiasaan saya ini. Beginilah saya adanya,
tak berkabar bukan berarti tak ingat. Saya mengingatmu, mengingat kalian dalam pelukan
hangat doadoa yang Insya Allah tidak akan pernah putus.
Dari
lubuk hati terdalam saya selalu berdoa semoga Allah yang maha luas karuniaNya
senantiasa memberikan kelapangan di hatinya untuk menerima kebaikan, menegarkan
pijakan kakinya menghadapi hari-hari sulit, menguatkan pundaknya memanggul
beban yang datang entah dari penjuru mana.
--Kak, kelak
hari-hari baik—yang jauh lebih baik dari hari ini—akan datang menemuimu,
memelukmu dan mengiringi langkahmu. Insya Allah. Saya percaya. Dan bila hari
itu tiba, tolong ikutkan nama saya dalam ingatanmu.
Untuk hari-hari yang telah
terlewati, untuk hari-hari yang akan kita jelang, tolong maafkan saya yang
belum sanggup memenuhi kriteria sebagai adik yang baik untukmu, Kak.
Terimakasih telah menjadi kakak
untuk orang seperti saya :)
With
love,
--Nafilah
Nurdin--