HELAI DUA
Namaku Amadiora
Pukul 01.35 dini hari.
Kesibukan mendadak terlihat di rumah sakit kecil yang terletak di bagian selatan kota. Beberapa suster dan dokter jaga segera menyambut pasien yang diturunkan dari mobil ambulance. Seorang wanita paruh baya ikut berlari mengiringi kereta dorong yang membawa pasien tersebut menuju IGD.
Tuhan, selamatkan gadis malang ini…. Aku memohon.
“Anda keluarganya?” seorang dokter senior menemuinya.
“Pasien mengalami pendarahan hebat di bagian kepala, beberapa bagian tulang belakangnya juga mengalami keretakan. Dia harus menjalani operasi secepatnya. Kami butuh persetujuan dari pihak keluarga untuk melaksanakan operasi ini, anda keluarganya?”
Wanita itu terdiam beberapa jenak. Ia tidak mengenal adanya gadis malang itu, ia menemukannya terbaring di trotoar jalan yang lengang di pinggir kota. Gadis itu terluka parah, oleh sebab itulah ia bergegas membawanya ke rumah sakit.
“Maaf? Anda keluarganya atau bukan? Waktu kita tidak banyak,” desak sang dokter.
Wanita itu masih menenimbang.
“Saya keluarganya, saya yang akan bertanggung jawab. Lakukan operasinya, dok.”
“Baiklah. Silahkan ke bagian administrasi.”
Benar-benar gadis yang malang. Dari mana ia mendapatkan luka separah itu? Tergeletak tak sadarkan diri di pinggir jalan jauh dari pusat kota. Mungkinkah korban tabrak lari? Mengapa tak ada yang tergerak menolongnya? Jadi, seperti inikah hidup? Sudah macam belantara pula. Andai urusan kantor di luar kota tak selesai malam ini dan ia tak mengemudikan mobil pulang ke rumah, adakah yang akan menolongnya? Apakah gadis itu akan meregang nyawa sendirian di tempat sunyi itu? Terima kasih, nak. Kalau bukan karena rengekanmu meminta Mama pulang, entah siapa yang akan menolongnya….
Tak kurang setengah jam kemudian operasi berlangsung.
=oOo=
Arin merasa seluruh energinya tersedot habis. Kemana lagi ia mencari Tira? Orang terakhir yang ia kira bisa membantunya menemukan keberadaan Tira justeru mengantarkan pencariannya ke titik gelap.
“Tira memang sempat ke tempatku. Ia menginap semalam dan keesokan paginya dia pergi. Aku sudah coba menahannya, tapi kamu tahu sendiri Tira seperti apa. Dia tidak ingin kehadirannya merepotkan orang lain. Dia bersikeras tetap pergi,” ucap Kamila.
Ada jeda sekian detik.
“Tira selalu seperti itu. dia tidak memiliki tempat tujuan, akan kemana dia?” Suara Arin bergetar. Cengkeramannya pada gelas berisi juice melon mengencang.
“Aku juga mencemaskan Tira. Belum pernah aku melihat Tira sekusut itu. dia seperti kehilangan pegangan dan semangat hidupnya.”
“Semalam aku bermimpi Tira datang menemuiku. Ia tidak mengatakan apapun, itu membuatku takut,” lirih Arin. Tatapannya menerawang jauh.
Diam. Keramaian kantin kampus berbanding terbalik dengan situasi hati Kamila dan Arin. Terlebih Arin. Jadi seperti inikah kehilangan itu? Bahkan untuk bernapas saja rasanya sangat sulit. Setiap ia mencoba mencari celah untuk memasukan oksigen ke dalam paru-parunya, saat itu pula darah merembes keluar dari perih hatinya. Sesak tak terperih.
Arin terisak. Ia belum bisa menguatkan diri. Dua pekan setelah kepergian Tira, labirin kenangan itu semakin bermakna. Kehilangan. Aih.
=oOo=
Sepasang mata bulan itu membuka perlahan.
“Apa kabarmu, nak? Bagaimana perasaanmu hari ini?”
Ia belum sepenuhnya sadar sedang berada dimana sekarang ini. Wanita di depannya terlihat ramah. Malaikatkah dia? Ia mengedip lambat. Kepalanya berdenyut sakit. Ia meringis.
Dimana aku?
“Rumah sakit.” Wanita itu seperti bisa membaca tanda tanya yang tersirat di matanya.
Ah, rumah sakit. Amadiora, aku pikir aku sudah tiba di sana….
“Kamu tertidur lama usai menjalani operasi. Ibu menemukanmu terluka parah dan tak sadarkan diri di pinggir jalan. Syukurlah operasinya berjalan lancar. Bagaimana perasaanmu?” Wanita paruh baya itu menyentuh kepalanya yang dibalut perban tebal.
“Kata dokter kamu masih harus menjalani perawatan intensif agar bisa sembuh total.”
“Oh ya, aku tidak menemukan tanda pengenal di antara barang-barangmu yang lain. Kalau boleh tahu siapa namamu, nak?” tanya wanita itu lagi.
Nama?
Hening.
“Tidak apa-apa. Mungkin kamu masih shock terhadap apa yang kamu alami sebelumnya. Kamu boleh pelan-pelan bercerita setelah sembuh nanti. Sekarang beristirahatlah. Ibu ada di luar. Kalau kamu memerlukan sesuatu tekan saja tombol hijau ini ya? Ibu akan datang. Oke?” Wanita itu tersenyum lembut.
Teduh betul wajah itu, ya Allah, mengingatkannya pada seseorang.
“Namaku Dio….” Suara itu terdengar lirih.
Wanita paruh baya itu mendekatkan wajahnya. “Ya?”
“Namaku. Namaku Diora. Amadiora.” Pelan.