Minggu, 19 Februari 2012

[Picture] Random

Lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP)






Ruang Perkuliahan

Rabu, 15 Februari 2012

Si Aku (Merenung)

Jangan menggantungkan harapan terlalu tinggi pada sesama manusia seolah-olah tak ada yang lebih pantas menjadi tempat kita menjaminkan diri. Tak ada tempat paling tepat selain Allah Subhanahuwata`ala... Pemilik seluruh yang nyata dan tidak, yang bernafas dan yang mati.
Ada apa dengan saya? Kenapa saya merasa ada beberapa orang yang dahulunya dekat dengan saya mendadak seperti sengaja menjauhkan jarak dengan saya? Atau barangkali saya yang terlalu perasa dan sensitive? Ahai! Perempuan....
Saat-saat seperti inilah yang membuat saya menarik diri dari keramaian. Menasehati diri sendiri bahwa apa yang saya sedang alami hanya sebagian hal kecil tidak seharusnya membuat saya kecil hati tapi sebaliknya membesarkan hati dan menambah pundi-pundi pengalaman batin saya.
Hahay. Saya cengeng.
Jatuh bangunnya perasaan dan kejiwaan saya *tsaaaaah*, saya cermati dengan hati-hati. Berhubung saya adalah orang yang tidak cukup keren untuk membeberkan apa yang saya rasakan kepada orang lain nampaknya mengajarkan saya agar mengenali diri sendiri. Ada baiknya juga sih, kenapa? Jadi saya bisa mandiri. Minusnya, saya gampang meledak-ledak dalam tanda kutip.
Pada akhirnya... saya tetaplah si penyendiri yang lebih suka menangis diam-diam dan memaafkan semua kesalahan orang lain dengan diam-diam pula. Semoga Allah melindungi hati dan tingkah laku saya dari hal-hal yang sia-sia lagi merugikan.

[Song Of The Week] Ost Hafalan Shalat Delisa-Lagu Ibu

Silahkan download di sini

Lirik Lagu Ibu-Rafly

Lembut kukenang, kasihmu ibu
di dalam hati ku kini menanggung rindu
kau tabur kasih seumur masa
bergetar syahdu, ooh di dalam nadiku

9 bulan ku dalam rahimmu
bersusah payah, oh ibu jaga diriku
sakit dan lelah tak kau hiraukan
demi diriku, oh ibu buah hatimu

tiada ku mampu, membalas jasamu
hanyalah do'a oh di setiap waktu
oh ibu tak henti kuharapkan do'amu (2x)
mengalir di setiap nafasku (2x)


ibuuuuuuuuuuuuuu........... (3x)

Lembut kukenang, kasihmu ibu
di dalam hati ku kini menanggung rindu
engkau tabur kasih seumur masa
bergetar syahdu oh di dalam nadiku

indah bercanda denganmu ibu
di dalam hati ku kini slalu merindu
sakit dan lelah tak kau hiraukan
demi diriku, oh ibu buah hatimu

tiada ku mampu, membalas jasamu
hanyalah doa oh di setiap waktu
oh ibu tak henti kuharapkan doamu (2x)
mengalir di setiap nafasku (2x
ibuuuuuuuuuu........ (3x)

“Allahummaghfirlii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”
 

 


Jumat, 10 Februari 2012

[Novelet] PERANG BINTANG


Oleh : Nafilah Nurdin
“Kita benar-benar terkurung Zee!”
Dua lelaki itu saling bertukar pandang. Ada gelisah dan ketakutan yang terpancar dari mata mereka.
“Bagaimana ini? Sebentar lagi senja akan turun dan kita belum bisa keluar dari sini? Puteri Amadiora pasti sedang menunggu kita.”
Zee terdiam. Kalut. Ia sungguh tidak menyangka akan terjadi hal yang seperti ini. padahal tinggal selangkah lagi misi ini selesai. Sekarang dia dan Phiera malah terkurung di dalam bebatuan hitam ini. Kalau saja ia mau sedikit mendengar ucapan Phiera agar tak terlalu jauh masuk ke dalam rongga bebatuan tadi, saat ini mereka sudah tiba di Ophiuchus. Menemui puteri Amadiora di sana.
“Sekarang kita harus bagaimana, Zee? Kita harus secepatnya keluar dari tempat terkutuk ini. Jika tidak…” Phiera tak melanjutkan kalimatnya. Tatapannya menusuk tajam ke dalam bola mata Zee.
“Itu tidak akan terjadi! Tidak akan pernah! Ophiuchus tidak akan pernah jatuh ke tangan pasukan Oghuz! Kita harus bergegas,” sela Zee lalu mendahului Phiera. Mereka kembali memutar langkah menyusuri bukit batu hitam yang berupa rongga-rongga dengan ceruk-ceruk tajam di beberapa sisinya.
Di ufuk barat nampak awan jingga berkumpul. Matahari merah mulai bergulir bersama kegelisahan yang semakin menanjak ke ubun-ubun. Perang bintang. Baik Zee maupun Phiera, dua prajurit negeri bintang Ophiucuhus yang sedang dalam misi menjalankan tugas dari penguasa Ophiuchus sudah sama-sama tahu. Bersamaan dengan menghilangnya matahari maka itu akan menandai masa-masa tersuram bagi negeri bintang Ophiuchus. Kecuali mereka berdua bisa tiba di perbatasan Zukha dan menyerahkan batu krizhora kepada puteri Amadiora sebelum pasukan hitam Oghuz menyerang Ophiuchus.
Zee melengos frustasi. Lagi-lagi mereka menemui jalan buntu!
“Kita tamat di sini, Zee!” Phiera berseru tertahan. Pias!
=oOo=
“Sudah ada kabar dari mereka, Paman?” Perempuan bermata hijau itu melempar tanya. Lelaki tua dengan janggut yang nyaris menyentuh lantai itu menggeleng lemah.
“Bersabarlah sedikit, Puteri. Semoga mereka bisa tiba sebelum…”
“Aku sudah tidak bisa bersabar lagi, paman. Ini gawat. Rakyat Ophiuchus akan hancur bila batu krizhora tidak segera ditemukan! Aku benar-benar takut itu terjadi.”
“Puteri harus tetap tenang. Percayalah. Zee dan Phiera adalah orang-orang pilihan. Jadi mustahil mereka gagal membawa kembali batu krizhora ke sini,” ucap lelaki tua itu.
Amadiora mendesah. Gelisah. Mata hijaunya redup. Tubuh semampainya yang dibalut jubah beludru berwarna hijau berdiri tegak di sisi jendela. Memandang lurus ke arah matahari merah.
“Waktunya sudah hampir habis, paman.”
Lelaki tua itu ikut memandangi matahari.
Sia-sia ia mencoba tenang.
“Perintahkan kepada para panglima agar terus memperketat penjagaan di perbatasan dan segera adakan pertemuan dengan para mentri. Aku akan menemui mereka di aula.”
Lelaki yang dipanggilnya paman membungkuk patuh.
“Baik, puteri.”
=oOo=
Zee menghembuskan napas berat. Disandarkannya tubuh penatnya ke dinding batu. Ia meraba kantung hitam yang tergantung di sabuk pinggangnya. Batu krizhora, batu kehidupan bagi negeri Ophiuchus. Beratus-ratus tahun sebelumnya batu tersebut dianggap keramat oleh para pendiri Ophichus sebab itulah batu krizhora diperlakukan dengan sangat istimewa. Tempat penyimpanannya pun sangat dirahasiakan. Kehilangan krizhora sama halnya dengan kehancuran Ophiuchus. Kecuali kerabat kerajaan, tak ada satupun yang mengetahuinya.
Namun, petaka itu lalu pecah. Tiba-tiba batu tersebut menghilang. Raib tanpa jejak. Ditengarai ada yang culas mencurinya dari penyimpanan. Bersamaan itu, pemberontakan di bawah komando Jenderal Oghuz pecah di perbatasan Zukha. Jenderal Oghuz berambisi menjadi penguasa setelah raja mangkat. Dialah yang seketika berteriak tidak setuju ketika puteri Amadiora diangkat menjadi ratu selaku pewaris tunggal tahta. Kecurigaan pun merebak, hilangnya batu krizhora berkaitan dengan pemberontakan itu.
Maka diutuslah Zee dan Phiera, 2 prajurit andalan untuk menjalankan misi pencarian batu krizhora. Kecurigaan itu terpecahkan dengan ditemukannya batu krizhora di lembah hitam. Sepertinya sengaja disembunyikan oleh seseorang yang mendukung pemberontakan. Zee terpekur mengingat wajah puteri Amadiora sewaktu melepas kepergian mereka. Tugas ini menjadi sangat berat tatkala mereka terkurung di lembah berbatu hitam ini. Lembah terkutuk.   
Nampak Phiera sedang berlari menujunya. Keadaan mulai menggelap.
“Bagaimana?” sambut Zee.
“Aku menemukan celah sempit di arah selatan. Tapi aku tidak yakin itu sebagai jalan keluar,” sahut Phiera.
“Kita harus mencobanya,” cetus Zee sembari melangkah mendahului Phiera. Phiera tiba-tiba menghunus pedangnya dan menempelkannya di leher Zee.
“Apa yang kau lakukan?” bentak Zee. Kaget.
“Menahanmu!”
“Kau gila! Jangan mengajakku bermain-main, Phi. Kita harus secepatnya membawa batu krizhora. Ratu Amadiora menunggu kita.”
“Aku yang pergi dan kau harus tetap di sini!” dengus Phiera sinis.
Zee terlengak.
“Apa maksudmu?”
“Kau memang prajurit bodoh, Zee. Aku curiga kau terlalu mencintai Amadiora hingga membuat otak cerdasmu itu beku. Perempuan itu tidak berhak menduduki tahta. Ia lemah dan hanya menggantungkan diri pada Perdana Mentri. Bahkan ia tidak sadar ketika orang terdekatnya melakukan penghianatan!” Phiera terkekeh mengejek.
Zee seperti disengat petir.
“Jadi Perdana mentri ikut terlibat dalam pemberontakan ini? Dia yang sengaja mencuri batu krizhora?”
“Kau sama bodohnya dengan Amadiora. Membiarkan perasaanmu tunduk padanya! Aku masih memberimu kesempatan. Katakan kau mendukung paman Perdana mentri dan jenderal Oghuz maka aku akan membiarkanmu hidup!” ancam Phiera. Tangannya menekan ujung pedang ke leher Zee.
“Kau benar-benar sudah gila, Phi! Kau, jenderal Oghuz dan Perdana mentri akan mendapatkan balasan atas apa yang kalian lakukan!” kecam  Zee.
“Jadi kau tetap memilih Amadiora? Berarti kau memilih mati! Serahkan batu itu padaku!”
“Jangan harap!” ucap Zee bersikeras.
Dalam sebuah kesempatan, Zee mencuri kelengahan Phiera dengan menyarangkan tendangan tepat ke ulu hati Phiera membuatnya terjajar beberapa depak kebelakang. Phiera meludah. Habis kesabaran.
“Kau cari mati denganku, Zee!”
Zee mencabut pedangnya dari pinggangnya.
“Kaulah yang seharusnya mati!”
Dan duel pedang pun tak terhindarkan.
Mereka tak menyadari, langit bagian barat telah benar-benar menarik pulang matahari merah. Petaka itu menjalar dengan cepat. Terdengar dentuman keras dari kejauhan. Lembah hitam berguncang hebat. Zee dan phiera terlempar, menghantam dinding batu. Zee mengeluh tertahan bersamaan cairan kental merah keluar dari sudut bibirnya.
“Ophiuchus…” keluhnya.
Zee terbatuk-batuk. Ia tak melihat keberadaan Phiera. Dicobanya untuk berdiri dengan bertumpu pada pedang. Gagal. Batu krizhora di pinggangnya mengeluarkan cahaya putih terang. Sekali lagi ia mencoba bangun. Zee terhuyung-huyung sekian detik sebelum ambruk, pingsan di saat cahaya putih itu menyelimuti seluruh tubuhnya.
=oOo=
“Al, Aleekha! Bangun! Kamu nggak apa-apa?”
Aleekha tersentak. Seperti didorong sebuah kekuatan besar. Matanya mengerjap silau.
“Aku dimana?”
“Di kamarmu lah, masak di pasar…” Ada yang nyeletuk geli.
Aleekha mengedarkan pandangannya. Menemukan dua raut wajah yang tidak asing lagi. Cieza dan ZEE!
“Kamu kenapa melototiku seperti itu. Ada yang salah?” cetus Zee.
Aleekha tidak menyahut melainkan mengalihkan matanya pada Cieza.
“Kami menemukanmu tergeletak di depan pintu gudang sekolah, memangnya ada apa sih? Kenapa kamu bisa ada di sana? Nyari wangsit ya?”
Aleekha sedang tidak berselera bergurau. Seluruh pikirannya tersita oleh mimpi yang baru saja dialaminya.
“Za, bisa ambilin aku segelas air minum?”
Cieza mengangguk.
“Apa hubunganmu dengan Ophiuchus?” tanya Aleekha sepeninggal Cieza ke dapur.
“Apa yang kamu bicarakan?” elak Zee santai.
“Jangan berbohong dengan sok berlagak nggak ngerti maksudku. Aku menemukan ini di tasmu, dan mimpi yang barusan kualami mengatakan kalau kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Siapa kamu sebenarnya, Zee? kau bukan makhluk bumi!”
Zee merebut batu berwarna biru cerah di tangan Aleekha.
“Ini hanya batu biasa dan jangan terlalu sering membaca buku aneh karena itu berimbas kurang baik terhadap otakmu. Jadi suka ngayalin yang enggak-enggak aja,” ucap Zee. Tangannya bergerak mengacak-acak rambut Aleekha.
“Aku siapa? Aku Zee. Teman sekolahmu, sahabatmu yang baik hati. Ok?”
Aleekha hendak mengucapkan sesuatu tetapi tertahan oleh kemunculan Cieza. Gadis berlesung pipi itu menenteng nampan berisi segelas air putih dan sepiring pisang goreng hangat.
“Mamamu emang paling ngerti kalo kita lagi kelaparan sehabis mengangkutmu dari sekolah!
Ucapan Cieza berbuah lemparan bantal oleh Aleekha di wajahnya.
Zee tercenung beberapa saat. Ia menggenggam erat batu biru itu.
=oOo=
Zee mendongak ke atas. Memandangi langit malam hari. Ratusan rasi bintang nampak di kejauhan. Bentangan Bima Sakti membuat hati Zee hangat. Ia merindukan tempat itu.
Semua berlangsung sangat cepat. Ia ingat setelah bunyi dentuman keras yang membuat lembah hitam berderak runtuh, ia jatuh pingsan dan ketika bangun ia mendapati dirinya di rumah ini. Ini sungguh sangat membingungkan bagi Zee. Bagaimana mungkin?
Zee mengeluh pendek. Apa yang ia cari tak ada di atas sana.
Apakah Ophiuchus benar-benar sudah hancur? Bagaimana dengan Amadiora? Apakah ia baik-baik saja? Suatu saat yang tepat, Zee berjanji akan pulang ke sana, kembali ke negerinya membawa krizhora.
“Oi! Bengong aja Kak! Eh, apa ini?”
Tahu-tahu Ilda, adik perempuannya satu-satunya menowel punggungnya.
Zee buru-buru memasukan batu biru itu ke dalam saku celananya.
“Kamu ngagetin aja. Bukan apa-apa Cuma batu.”
“Lihat dong!”
“Nggak boleh.” Zee menumpukan tangannya di pembatas balkon kamarnya seraya mendongak ke atas.
“Itu bintangku!” Ilda nyeletuk riang.
Zee tersenyum getir.
“Bintang kakak sedang bersembunyi.”
Ophiuchus. Amadiora.