![]() |
Sumber gambar : Google |
Belakangan ini grafik melankolis saya sedang meningkat tajam, dan itu meminta harga yang setimpal pula. Saya kerap menangis diam-diam di kamar kost-an. Lucunya, saya kadang tidak terlalu mengenal muasal mengapa saya menangis. Saya tiba-tiba sedih, kantong air mata saya berunjuk rasa lalu... Yah. Begitu saja. Tapi mana ada akibat tanpa sebab? Ya, kan? Di mana-mana, ada asap pasti ada api, ada hujan pasti ada siklus *eh*
Oke, jadi saya mengambil pemisalan pada hujan. Penjelasan sederhana, turunnya hujan akibat adanya pengumpulan titik-titik air di atmosfer dalam wujud awan yang bergerak sesuai arah angin kemudian jatuh ke Bumi karena gaya gravitasi. Dari mana titik-titik air tersebut? Sungai, waduk, got, laut, kolam dan sejenisnya, penguapan yang terjadi pada tempat-tempat itulah yang menjadi sumbernya. Akumulasi. Yap, hujan terjadi akibat adanya pengumpulan/akumulasi titik-titik air. Lalu hubungannya dengan paragraf pertama postingan ini, apa dong?
Akumulasi. Sejak awal saya menyadari bahwa sebenarnya hidup saya berjalan di atas akumulasi hal-hal yang belum selesai, hingga sewaktu-waktu ketika saya mencapai titik rawan paling lemah hidup saya, hal-hal yang belum selesai tersebut seperti berbondong-bondong menyerang saya. Puncaknya saya kembali menjadi penyendiri, menepi sejenak dari rutinitas, menjauh dari kawan-kawan baik saya, merenung di kamar, saya lakukan apapun yang bisa menyamankan zona kritis saya. Seperti siklus hujan, berulang-ulang sesuai arah angin hati.
Di situlah momen ketika saya merindukan rumah...
Kemudian saya mengirim sms ke nomer hape ibu saya. Firasat seorang ibu belum ada duanya di dunia ini. Beberapa detik setelah pesan berita terkirim masuk, panggilan telepon dari ibu datang. Sampai di tahap ini, air mata saya meledak keluar sebelum sapaan salam ibu saya jawab. Ibu saya panikan sekali, hal pertama yang akan beliau tanyakan adalah apakah saya sakit? Beda halnya dengan Bapak, kalimat pertama yang akan beliau tanyakan adalah, uang kamu sudah habis, nak? Ah, bapakku sayang... Demi apapun betapa saya sangat mencintai mereka. Saya bilang, kangen.
"Osie dena mokoau... nganam miano ki sicola. Kua nta taha`o mokoau`u. Sicola momoico keari ka ari. Nyaba?"
Pesan itu selalu ibu sampaikan setiap kali saya mengaku merindukan rumah. Kata beliau, seperti itulah perjalanan seorang penuntut ilmu. Harus siap berkorban demi masa depan yang lebih baik, salah satunya dengan kuliah. Saya tipikal anak rumahan. Mulai bangku Sekolah Dasar hingga SMA, saya tidak pernah bepergian jauh dan lama seperti saat ini. Pusat gravitasi saya adalah rumah. Maka terasa berbeda tatkala empat tahun silam saya meninggalkan rumah menuju ibukota Provinsi untuk melanjutkan studi. Sendirian.
Ibu saya sangat sederhana. Katanya, kalau saya dengan galau *cieh* saya disuruh baca Qur`an, shalat, intinya lebih mendekatkan diri sama Allah. Dari jaman saya baru masuk kuliah hingga di tingkat akhir ini, pesan ini tidak pernah berubah.
Saya menyadari, saya juga butuh kondisi ini. Kondisi melankolik yang membuat saya lebih kuat lagi dan lagi. Jika saya tidak pernah jatuh, maka saya tidak akan bisa menikmati manisnya nikmat perjuangan menuju ketenangan dan kehidupan penuh semangat. Saya tidak malu dikatai cengeng, lagipula saya tidak mengumbar tangis di depan orang banyak. Sebagai manusia, saya pikir kita tetap perlu menyediakan ruang untuk hati kita sendiri. Benar-benar berdua, hati dan Allah...
Ketika saya merindukan rumah.... Ibu menyuruh saya berlari lebih dekat kepada Allah.
Bukankah pelangi baru bisa muncul bila matahari dan hujan bertemu? Bahagia itu sederhana... Dan sebenarnya, saya sedang bercerita tentang ketakabadian juga kehilangan ^^
![]() |
Sumber gambar : Google |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^