Jumat, 25 November 2011

Insomia (Curhat)

Sudah sebulan ini saya mengalami insomnia. Saya sendiri bingung apa yang bikin saya jadi susah tidur. paling cepet saya tertidur antara pukul 3-6 pagi. Bayangkan betapa tersiksanya saya! What`s wrong with me Ya Allah... 

Saya iseng googling tentang insomnia dan ini hasilnya :

Insomnia bukanlah suatu penyakit tetapi lebih tepatnya adalah suatu gejala dari masalah lain atau beberapa masalah lain entah itu fisik, emosi atau tingkah laku.

Jenis Insomnia
• Insomnia kronis, merupakan insomnia yang paling parah karena penderitanya selama sebulan atau lebih tidak bisa tidur pada sebagian besar malam.
• Insomnia jangka pendek, penderita sulit tidur selama 2-4 minggu.
• Insomnia sementara, yaitu insomnia yang berlangsung hanya beberapa hari.

Proses Kimia
Hormon melatonin yang dikeluarkan kelenjar pineal adalah jam alamiah bagi tubuh. Hormon ini mulai mengalir ketika sinar matahari mulai redup. Kehadiran hormon melatonin di dalam tubuh memerintahkan istirahat. Di siang hari, hormon ini tidak diproduksi. Oleh karena itu, tidur siang sebenarnya tidak terlalu diperlukan tubuh. Tidur siang diperlukan hanya untuk memberikan relaksasi bagi tubuh dan juga pemulihan stamina bagi orang yang mengalami kelelahan ataupun telah melakukan aktifitas yang berlebihan daripada biasanya.

Penyebab Insomnia
• STRESS & DEPRESI.
• TIDUR SIANG BERLEBIHAN.
• LINGKUNGAN TERLALU BISING.
• SUHU LINGKUNGAN.
• MEROKOK & MINUM ALKOHOL BERLEBIH.
• MINUM KOPI BERLEBIHAN.
• SAKIT MEDIS.
• SIKLUS MENSTRUASI.
• PENGARUH OBAT-OBATAN.

Dampak Insomnia
• TIDAK PRODUKTIF. Dampak serius insomnia adalah turunnya produktivitas sehingga seringkali mengganggu kegiatannya.
• TIDAK FOKUS. Penderita insomnia sering mengantuk di siang hari dan tidak bisa memusatkan perhatian pada hal-hal detail.
• TIDAK BISA MEMBUAT KEPUTUSAN. Mereka tidak dapat memberikan pertimbangan untuk mengatasi masalah, sehingga seringan apapun masalah yang ada, akan terasa berat untuk diatasi.
• PELUPA. Orang insomnia juga sering lupa, bahkan bagi hal yang baru saja dialaminya.
• PEMARAH. Tubuh lelah akibat tidak tidur semalaman membuat penderita insomnia mudah terusik. Hal-hal kecil dapat menimbulkan kemarahan karena penderita insomnia menjadi pribadi yang sensitif.

Kiat atau Cara mengatasi insomnia ialah :
  1. Berolah raga dengan teratur, paling sedikit dua atau tiga kali seminggu.
  2. Biasakan diri tidur pada waktu yang tetap setiap malam, begitu pula saat bangun pagi.
  3. Makan atau minumlah sesuatu, tetapi jangan meminum minuman keras, sebelum kita tidur.
  4. Usahakan agar ruangan tidur anda sangat gelap.
  5. Mendengar musik-musik ringan saat hendak tidur.
  6. Jangan melihat jam lagi apabila sudah masuk ke tempat tidur. Dengan begitu kita merasa masih punya banyak waktu untuk tidur dan merasa rileks.
  7. Yakinkan diri sendiri bahwa anda akan merasa segar keesokan harinya dan tidak peduli bisa tidur lama atau tidak.
  8. Jangan terlalu dipikirkan di hati tentang masalah insomnianya. Jangan risaukan. Jalani saja hidup ini seperti apa adanya. Dan tidurlah.
  9. Jauhi makanan pemicunya. Kafein dalam kopi dan coklat juga merupakan salah satu pemicunya walau sedikit karena dapat membuat terus terjaga.
  10. Konsumsilah makanan yang lebih ringan sebab jika perut yang terlalu kenyang dapat menyebabkan anda terjaga dari tidur.
  11. Jangan tidur dalam keadaan perut kosong. Hindari makanan pedas atau mengkonsumsi makanan dan sayuran yang berpotensi memproduksi gas dalam perut. Jangan meminum alkhol terlebih-lebih di tengah malam.
  12. Kurangi ganguan suara-suara yang tidak menyenangkan, kurangi gangguan cahaya yang tidak menyilaukan mata.
  13. Jangan tidur pada saat kondisi perut sedang lapar, hal ini dapat membuat anda terbangun dan nantinya hanya karena anda ingin mencari makanan.
  14. Percayakanlah waktu bangun pada alarm jam. Terlalu sering melihat jam dikamar akan mempengaruhi reaksi emosi.
  15. Hilangkan segala kecemasan pikiran tentang rencana besok, pikiran tentang tugas yang belum selesai.
  16. Berdo’a sebelum anda memejamkan mata agar anda dapat tidur dengan baik dan nyaman.
    Saatnya menerapkan tips-tips diatas. (nengok jam lepi ternyata udah lewat tengah malam. Tuh Kaaaan). Satu-satunya penyebab yang agak masuk akal bagi saya adalah sepertinya saya punya tingkat stres yang cukup mengkhawatirkan.

Sinopsis The Musical Episode 1 (Link)

 Ah ya... saya balik lagi dari hiatus yang lumayan lama. Tanpa postingan. Padahal udah pernah janji mo bikin Sinopsis The Musical. Saya gak lupa kok. Tapi karena beberapa kendala yang menimpa saya di belakang, sinopsis The Musical akhirnya datang terlambat di blog ini *Plak! Banyakan prolognya...

Berhubung hasil donlotan saya ludes gak bersisa gara-gara Leptop abis diinstal, jadi untuk episode 1 saya hanya akan memposting link yang memuat sinopsis The Musical. Sebenarnya pengen posting recapan gambar yang udah saya buat dari kapan tau, tapi udah sejam upload gak kelar-kelar gara-gara inet lambreta. Mohon maaf bagi yang kebetulan singgah di sini untuk nyari sinopsis The Musical. Saya akan berusaha konsisten dengan janji saya sebelumnya. Kudu nge-DL ulang The Musical.

Spoiler untuk The Musical episode 1 bisa dibaca di sini dan ini link versi lengkapnya :



Hwaiting!!

[Download] Ost The Musical

Part 1
1. GilGu Bonggu 

Part 2




 
Beige


Source : Kpop7

Amadiora (Part IV)


HELAI EMPAT
Musim Baru
Stadion kampus berlambang pohon beringin itu dibaluti keriuhan. Bangku penonton sesak oleh mahasiswa yang turut memeriahkan acara tahunan itu. sebuah baner hijau di pintu masuk stadion bertuliskan Dies Natalis Campus Hijau ke-47. Salah satu kegiatan yang rutin diadakan adalah pertandingan sepakbola antara fakultas. Boleh dibilang pertandingan sepakbola inilah yang merupakan pusat kegiatan ulang tahun kampus. Orang-orang tumpah ruah saling mendukung fakultas masing-masing.
 Meriah. Itulah kesan yang ditangkap Arin. Berada di antara ratusan pengunjung yang saling berteriak membuat telinganya berdenging sakit. Kalau bukan karena permintaan Rayna yang merengek agar mau menemaninya menonton anak-anak FMIPA berlaga di babak penyisihan group, ia lebih memilih tetap tinggal di laboratorium melanjutkan penelitiannya. Ia tidak menyukai keramaian. Poin utamanya adalah, ia tak suka sepakbola! Jadi, tetap berada di tempat super sesak itu adalah siksaan terbesar baginya. Aishhh!
“FMIPA go! Go! Go! Aku mendukungmu! Ciaayooow! Semangkaaaa!!”
Arin terlonjak kaget akibat teriakan Rayna persis di kupingnya!
“Ya Allah, lindungilah gadis malang ini….” Arin bergumam setengah kesal. Ia gelisah. Menengok jarum jam tangannya sekali lagi.
“Na, Aku harus pulang!” Arin berteriak sambil menutupi telinganya.
“Apa?” balas Rayna tanpa melihat ke arah Arin. Tetap asyik berteriak. Memainkan pom-pom warna-warni di tangannya.
“Pulang!”
“Sedikit lagi, Rin! Tanggung ah! Masih seru ini!”
“Kamu saja yang nonton, aku pulang ya! Jangan lupa bahwa fakultas kita belum pernah memiliki riwayat indah dalam dunia persepakbolaan kampus. Catet!” Arin berusaha mencari jalan keluar. Ia hampir saja kehabisan napas. Apapun yang terjadi ia harus segera keluar.
Bersamaan seseorang tak sengaja menyikut rusuk Arin. Gadis itu menjerit kesakitan. Ya Allah, tempat macam apa ini? Ia bersumpah tidak akan dua kali ke tempat seperti ini. Tidak akan!
Sesampainya di dekat pintu masuk utama, Arin menghenyakkan pantatnya di bangku panjang, menarik dan membuang napas berulang kali. Keringat mengucur deras di wajah dan lehernya. Kesalahan terfatalanya adalah menyanggupi permintaan Rayna.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Tidak. Aku akan mati pelan-pelan kalau aku tetap bertahan di dalam sana. Itu tempat terburuk yang pernah aku lihat!” Arin mengomel. Mendadak ia mengangkat wajahnya. Keningnya berkerut.
“Sejak kapan kamu di sini?” ketusnya. Wajahnya makin terlipat suntuk.
Laki-laki yang kena semprot adalah Praha. Fisika semester 8. Makhluk yang tidak mengenal kata menyerah dalam kamus hidupnya. Yang percaya segala sesuatu di muka bumi ini bersifat relatif. Selalu kembali ke keadaan paling sederhana. Praha menganggap tak ada yang tak bisa dicari jalan keluar. Demikian pula Arin. Kejutekan Arin padanya kelak akan menemui jalan keluar. Bila perasaan Arin padanya adalah sebuah rute labirin yang sangat panjang, maka yang perlu ia lakukan adalah melalui labirin itu dengan tenang dan sabar. Setelah itu, waktu yang akan menjawab. Rumus paling uzur yang dianutnya. Ia sudah menyukai Arin seperti ia mencintai angka-angka.
Praha berdiri di depan Arin. Mengulum senyum. Sayang sekali ia tak menyadari, Arin kerap puyeng setiap kali melihat Praha tersenyum. Entah mengapa!
“Aku kira kamu tidak suka ke tempat seperti ini. Apa yang membuatmu berubah?”
“Apa urusannya denganmu? Daripada kamu sibuk tidak penting akan lebih menyenangkan kalau kamu membelikanku minuman dingin!” cetus Arin.
“Aku sudah tahu.” Praha menyodorkan sekaleng minuman dingin yang sejak tadi ia sembunyikan di belakangnya.
“Kamu bawa kendaraan?” tanya Arin setelah menegak minuman dinginnya. Matanya tak melihat Praha melainkan ke arah kerumunan orang-orang di sekitar stadion.
“Kenapa?”
“Temani aku ke suatu tempat.”
“Sekarang?”
“Bukan. Kita tunggu lebaran kodok sekalian!”
Praha menggelengkan kepalanya. Geli sendiri melihat tingkah Arin. Inilah yang membuatnya bisa bertahan sekian lama. Tak ada yang lebih jujur dari Arin. Ia akan mengatakan apa adanya tanpa perlu menutupi apa-apa walaupun itu seringkali membuat orang-orang menganggap gadis itu menyebalkan dan menakutkan. Praha berani bertaruh ia harus menunggu lama untuk menemukan gadis semacam itu.
“Kenapa senyam-senyum? Apa yang lucu?” tegur Arin ketika mereka sudah berada dalam mobil. Praha mengemudikan mobilnya dengan tenang.
“Kamu.”
“Apa?” Arin melototkan matanya. Galak.
“Dasar gadis bodoh! Kalau kamu seperti ini terus-menerus aku tidak bisa menghentikan perasaanku padamu. Setiap saat kamu menunjukkan rasa tidak sukamu padaku dan di saat yang sama pula kamu bersikap ketergantungan padaku. Perbuatan tak bertanggung macam apa itu?” sergah Praha.
Arin mendecih.
“Berhentilah mengatakan omong kosong, jangan ge-er ya! Sekarang menyetirlah dengan hati-hati. Aku akan memberimu tendangan memutar kalau kamu tidak menyetir dengan becus.”
“Siap Nona galak!”
Mobil yang dikemudikan Praha melaju membelah jalan utama kota.
“Sebenarnya kita akan kemana, Rin?” Praha merasa mengenal jalan yang sedang mereka lewati.
“Ke suatu tempat.”
Arin membuang tatapannya keluar. Genderang rindu menyeruak dari bilik paling rahasia di hatinya. Matanya memanas. Lima belas menit kemudian ia meminta Praha memarkiran mobilnya di pinggir jalan.
“Kenapa menyuruhku berhenti di sini?” tanya Praha sambil mengikuti Arin keluar dari mobil.
“Ini tempat yang aku maksud.”
“Ini rumahmu kan? Kenapa tidak bilang? aku pikir….” Praha mengitarkan pandangannya. Ia mengenal kompleks perumahan ini karena ia pernah diajak Arin beberapa kali. Tidak istimewa karena sepanjang ini ia masih beredar sebagai sopir dadakan bagi gadis itu. Tak ada lain. Pun demikian itu sudah cukup.
“Kita tidak akan ke rumahku,” potong Arin.
“Lalu?”
“Kenapa hari ini aku merasa kamu terlalu cerewet?”
Praha menggaruk kepalanya (kebiasaan). Dihelanya napas. Sepertinya hari ini akan berjalan pelan dan berat. Firasatnya mengabarkan demikian.
Arin mendahuluinya. Oke. Praha tahu kalau di belakang rumah Arin ada bukit yang lumayan terjal dan menurut cerita gadis itu, bukit Amarilis luar biasa indah dengan menampakan pemandangan kota secara keseluruhan dari atas ketinggian sana. Pertanyaannya adalah untuk apa mereka ke bukit Amarilis di siang bolong? Di bawah terik matahari menjelang sore?
=oOo=
“Selamat ulang tahun, Tira….”
Air matanya menetes satu-satu. Matahari mulai condong ke bagian barat. Cahaya keemasannya membentuk siluet tubuh Diora. Gadis itu terduduk menekuk lututnya di depan sebuah pusara. Rerumputan yang tumbuh meninggi menujukkan tempat makam itu tak terurus dengan baik.
Diora menyentuhkan tangannya pada nisan.
“Apa kabar? Tolong maafkan aku karena tidak pernah menengokmu. Aku tahu kamu akan tetap baik-baik saja sekalipun tak ada yang memedulikanmu. Bukankah itu yang selalu ingin kamu katakan padaku?”
Diora terisak dalam. Mulutnya tak sanggup berucap.
Ibu…. Ibu…. Ibu…. Harusnya kau membawaku pergi bersamamu.
Diora sempurna mencium tanah.
=oOo=
Mereka duduk bersisian menjeplok rumput-rumput berwarna kekuningan. Nampaknya musim panas berencana menghanguskan seluruh rerumputan dimana-mana. Tak ada yang tidak indah jika berada di ketinggian semacam ini.
“Hari ini ulang tahunnya,” ucap Arin serak.
“Siapa?”
“Tira.”
Praha mencoba mengingat nama itu. sayang sekali tak ada file di otaknya yang menyimpan ingatan mengenai nama yang disebutkan Arin.
“Dia kakakku.” Arin memotong rantai kebingungan di wajah Praha.
Praha bergeming. Arin punya kakak? Ia baru tahu fakta itu.
“Ceritanya panjang dan menyakitkan untuk diceritakan. Sampai sekarang aku masih belum tahu dimana Tira berada. Bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja, apakah dia masih mengingatku, aku mendadak kehilangan semua tentang dirinya. Menyakitkan bukan?”
Air mata Arin jatuh. Pelan tangisnya berubah isakan. Arin terduduk menumpukan keningnya di ujung lututnya.
Praha berusaha keras agar tangannya tidak bergerak menyentuh punggung Arin. Ini pertama kalinya ia melihat gadis itu menangis.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa melakukan sesuatu, setidaknya... untuk mengurangi kesedihanmu.” Praha mencoba tersenyum walaupun gagal. Justru senyuman itu terlihat janggal di mata Arin.
“Jelek! Aku tidak memintamu untuk menghiburku. Aku benar-benar sedih sekarang. Tetaplah di tempatmu dan jangan melakukan apa-apa.” Arin sesenggukan. Wajahnya basah oleh air mata.
Praha akhirnya memegang kepala Arin. Mengelusnya.
“Aku belum mengenalmu dengan baik ya?”
Arin masih menangis.

Amadiora (Part III)


HELAI TIGA
Rindu, Aku Tak Ingin Pulang
“189 kali!”
Ia tersenyum. Tingkah pria di depannya sungguh menggelikan. Sebisa mungkin ia menahan agar tawa super keras tanpa belas kasihan tidak terhambur dari mulutnya. Bisa-bisa pria ini memberinya tiga kali getokan di batok kepalanya.
“Kamu menghitungnya?” tanyanya.
Pria itu membuang napas. “Tentu saja aku menghitungnya. Aku tidak akan berhenti datang ke sini sampai kamu mau kuajak keluar. Oya, ingat baik-baik. Aku akan terus menghitung dan aku berani memastikan tembok China di hatimu akan babak belur sebelum hitunganku sampai ke-200!” tandasnya galak. Aih, lebih tepatnya berpura-pura galak. Biar bagaimanapun, ia sudah mengenal pria itu lebih dahulu. Tahu kapan pria itu marah dan mengerti saat pria itu apa adanya. Ia belum pernah menangkap kemarahan mendalam di mata itu. Pertemuan mereka terjadi jauh sebelum ia berkenalan dan jatuh cinta kepada bunga-bunga di toko bunganya. Lalu, apakah ia juga jatuh cinta pada pria tengil sok kecakepan itu? Nah, itu cerita lain  Ia mengenalnya, terhitung musim gugur pertama saat ia keluar dari rumah sakit. Entah virus gila dari mana yang menjangkiti mata dan hati pria itu, mereka bertabrakan di pintu masuk rumah sakit dan mulai saat itulah pria itu memilih membayang-bayangi dirinya. Terang-terangan mengaku jatuh cinta tanpa ba-bi-bu atau paling tidak isyarat terlebih dahulu.
Menyukai seseorang tak harus memakai embel-embel ini itu. aku melihatmu dan aku jatuh cinta padamu. Tunjukan padaku, aturan mana yang melarangku menyukaimu? Tidak ada. Jadi, berhentilah melarangku mencintaimu!
Benar. Apa yang dikatakan pria itu padanya ketika ia berusaha mengindarinya pertama kali, tidak salah juga tidak bisa dengan sengaja ia benarkan. Cinta atau apapun alasannya, hatinya belum bisa menerima. Lihatlah, setiap hari pada jam-jam istirahat kantor pria itu datang menjumpainya di toko bunganya yang terletak di seberang jalan kantor tempat pria bekerja. Mengajaknya makan siang sampai merayu dayu tak bosan-bosan. Meskipun kemudian di akhir jam makan siang, pria itu pulang tanpa mengantongi apa-apa selain kecewa, ia akan muncul keesokan harinya dan keesokan harinya lagi. Setiap hari. Seperti itukah polah orang yang jatuh cinta dan mencitai? Ia tak tahu. Belum tahu.
“Aku pulang ya,” ucap pria itu sambil beranjak dari bangku panjang yang sengaja diletakkan di depan jendela kaca yang memagari seluruh bagian depan toko bunga, dimaksudkan agar koleksi bunga-bunga di sana terlihat dengan sempurna dari luar.
“Aku tidak pernah melarangmu berlama-lama di sini.” Ia menyahut datar.
Pria itu mengangkat bahunya. “Well. Dan kamu juga tidak pernah berniat mengusirku.”
“Belum.”
“Benarkah? Kapan kamu akan mengusirku?” Pria itu mendekatinya. Ia meraih sebuket kembang krisan putih. Mengangkatnya hingga setara wajahnya. Ia bersembunyi. Tanpa sepengetahuan pria itu, jantungnya hampir tak pernah alpa berdetak lebih cepat dari biasanya apabila sepasang mata kebiruan pria itu menatapnya dari jarak dekat. Perasaannya tak nyaman.
“Baiklah…. Bersembunyilah sesukamu, Nona Nanti jika tiba saatnya kamu menyadari ketulusanku, kamu bahkan tak tahu akan lari kemana demi menghindariku. Oke? Aku pulang. Jaga hatimu baik-baik ya? Aku pencuri yang ulung lho.
Pria itu melangkah santai. Bibirnya mengulum senyum. Pria itu keluar toko bunga setelah sebelumnya mencomot setangkai krisan yang berada dalam genggamannya.
“Itu bunga ke 200, ingat!”
Pria itu terbahak keras. “Aku juga menghitungnya!”
Pria itu melambai.
“Aku mencintaimu!” Pria itu berteriak sembari mengangkat kedua tangannya menbentuk tanda hati di atas kepalanya.
“Norak!”
Beberapa pejalan kaki yang kebetulan melihat mereka tersenyum lebar. Hey, ada yang mendengar bisikan doa dari dalam hati para pejalan kaki itu? Mereka berdoa. Untuk pria itu? Mungkin.
=oOo=
“Hei, Bung!”
Baru saja ia menghenyakkan pantatnya di kursi kerjanya, sebuah keplakan keras menghantam punggungnya.
“Ayam! Kapan ya kamu bisa masuk secara baik-baik ke ruanganku tanpa ada acara mengagetkan?”
Rayga terbahak.
“Habis menemui masa depanmu lagi?”
“Yo`i!”
“Betah ya?”
“Jangan berani menyukai seseorang kalau perasaanmu cuma bertahan bilangan hari,” sergahnya. Alis kirinya terangkat sedikit. Sepasang tangannya sedang sibuk membuka sejumlah map berwarna-warni yang tertumpuk di atas mejanya.
“Pak Teguh mencarimu, kuhitung-hitung beliau sudah 4 kali bolak-balik mengecek ruanganmu.”
Huft. Bakalan ada pekerjaan tambahan nih. Lembur. Lembuuurrrr. Lemper!
Mendadak pintu ruangannya terdorong. Ada yang membukanya dari luar.
“Lintang, ke ruangan saya sekarang!” Sebentar saja. Tak cukup sepersekian detik, kepala semi gundul Pak Teguh menghilang dari balik pintu.
Satu. Dua. Tiga. Rayga tertawa tertahan.
“Ralat, Lin. 5 kali! Pak Teguh mengunjungi ruanganmu 5 kali dengan yang barusan.”
“Ayam!”
Lintang mau tak mau ikut tertawa. Baginya hari ini akan sesulit dan selelah bagaimanapun, tak masalah. Melihat paras Diora dari kejauhan telah menjadi semacam imun bagi kepenatan otaknya. Lembur semalaman? Gue jabanin dah!
“Udaaah. Tenang saja, masa depanmu tak akan lari kemana-mana Lin. Pak Teguh menunggumu!” ucap Rayga setengah berkelakar. Dilihatnya Lintang belum berniat mengajak matanya meninggalkan jendela kantornya yang membingkai manis toko bunga Diora di seberang jalan kantornya.
Lintang keluar. Cukup lama Rayga berdiri membisu di sana. Di depan jendela yang ditinggalkan Lintang. Sketsa aneh meliputi wajahnya.
Gadis itu….
=oOo=
Setiap orang sudah mengambil atau baru akan mengambil pilihan dan bertindak demi hidupnya. Sebab bagaimanapun juga waktu akan terus melaju dan hidup pun demikian, berjalan ke depan. Dan di sinilah ia berakhir. Ia menjatuhkan pilihan untuk mati lalu hidup dengan melupakan segala tentang dirinya di masa lalu.
Diora berdiri melipat tangan di dadanya di depan jendela kaca toko bunganya. Malam merayap semakin jauh. Ia belum berniat pulang. Dinikmatinya suasana malam kota yang ditaburi keramaian gaduh namun indah. Lalu lalang kendaraan, pejalan kaki di trotoar jalan yang sibuk, gedung-gedung pencakar langit beserta lelampunya, Diora tak pernah merasa bosan dengan pemandangan dan perasaan semacam ini. Nun jauh di dalam hatinya, ada kesunyian yang tak pernah habis ia resapi. Ia lupa sejak kapan ia merasa paling sunyi. Bukankah itu sudah terlalu terlambat untuk ditangisi? Diora tidak lagi berniat untuk menangis. Ia tidak akan menangis lagi.
Ponselnya yang diletakkan di atas meja kecil di dekat buket bunga krisan putih bergetar berulang kali.
Pasti Ibu.
Diora beranjak.
“Assalamu alaikum….” Suara lembut di seberang sana.
“Wa`alaikum salam Ibu, sebentar lagi Dio pulang. Iya, Ibu jangan khawatir,” sambut Diora sambil tersenyum. Terlintas paras menua Ibu di ujung matanya. Menunggunya pulang di ruangan depan sembari menonton siaran tivi. Tak jarang Ibu jatuh tertidur. Ah, Ibu….
“Ibu suruh Pak Giman jemput?”
“Tidak usah, Bu. Dio naik Bus saja ya?”
“Baiklah. Jangan berlama-lama mengkhayal di depan bunga-bungamu. Ibu tutup ya,”
Klik.
Diora tercenung sekian detik. ini semua karena Ibu. Alasan ia bertahan adalah Ibu.
Beberapa menit kemudian Diora keluar dari toko bunganya setelah merapikan beberapa bagian dan terakhir mengunci toko bunganya. Ia berjalan menyusuri trotoar, sesekali merapatkan sweater cokelat yang membungkus hangat tubuhnya. Angin malam bulan Agustus memang selalu dingin. Iaberbaur bersama para pejalan kaki lainnya. Pukul 9 malam. Ia menuju halte bus terdekat.
Diora selalu melewatkan satu hal. Tak sengaja tidak menyadari sesuatu. Bahwa sejak pertama kali ia mulai senang berlama-lama termenung di depan jendela kaca toko bunganya, pria di gedung seberang betah berlama-lama menatap wajahnya di kejauhan. Hingga toko bunga milik Diora tutup, ia tak akan beranjak dari sisi jendela ruangan kantornya. Bila sedang tak ada jam lembur ia biasa menunggu Diora menutup toko bunganya di bawah pohon ketapang di depan kantornya. Memandang dari kejauhan dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.
Di dalam bus hijau yang membawanya pulang, Diora merebahkan punggungnya di jok yang ia duduki, mengatupkan matanya, meresapi keheningan yang menguasai penumpang bus. Menjelang tengah malam kota kecil itu semakin ramai saja. Seolah tak ada waktu jeda istirahat. Bagi Diora, kota ini lebih mirip rumah tua di dalam belantara hutan yang lebat. Seperti yang dikisahkan salah satu cerita dalam buku kumpulan dongeng yang selalu ia bawa dalam tasnya. Rumah yang menyimpan kesepian, kesedihan, air mata juga kerinduan. Entah dari mana semua perasaan itu datang, ia hanya tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain bertahan. Ia merasa berada di satu titik dan ia tak bisa berbalik untuk pulang dan kembali. Ia sudah mati berulang kali, tetapi rumah tua itu tak pernah hilang dari pelupuk matanya.
Diora jatuh tertidur. Ia tak merasakan kehadiran seseorang yang duduk di kursi di dekatnya. Menatapnya sangat lama.