HELAI TIGA
Rindu, Aku Tak Ingin Pulang
“189 kali!”
Ia tersenyum. Tingkah pria di depannya sungguh menggelikan. Sebisa mungkin ia menahan agar tawa super keras tanpa belas kasihan tidak terhambur dari mulutnya. Bisa-bisa pria ini memberinya tiga kali getokan di batok kepalanya.
“Kamu menghitungnya?” tanyanya.
Pria itu membuang napas. “Tentu saja aku menghitungnya. Aku tidak akan berhenti datang ke sini sampai kamu mau kuajak keluar. Oya, ingat baik-baik. Aku akan terus menghitung dan aku berani memastikan tembok China di hatimu akan babak belur sebelum hitunganku sampai ke-200!” tandasnya galak. Aih, lebih tepatnya berpura-pura galak. Biar bagaimanapun, ia sudah mengenal pria itu lebih dahulu. Tahu kapan pria itu marah dan mengerti saat pria itu apa adanya. Ia belum pernah menangkap kemarahan mendalam di mata itu. Pertemuan mereka terjadi jauh sebelum ia berkenalan dan jatuh cinta kepada bunga-bunga di toko bunganya. Lalu, apakah ia juga jatuh cinta pada pria tengil sok kecakepan itu? Nah, itu cerita lain Ia mengenalnya, terhitung musim gugur pertama saat ia keluar dari rumah sakit. Entah virus gila dari mana yang menjangkiti mata dan hati pria itu, mereka bertabrakan di pintu masuk rumah sakit dan mulai saat itulah pria itu memilih membayang-bayangi dirinya. Terang-terangan mengaku jatuh cinta tanpa ba-bi-bu atau paling tidak isyarat terlebih dahulu.
Menyukai seseorang tak harus memakai embel-embel ini itu. aku melihatmu dan aku jatuh cinta padamu. Tunjukan padaku, aturan mana yang melarangku menyukaimu? Tidak ada. Jadi, berhentilah melarangku mencintaimu!
Benar. Apa yang dikatakan pria itu padanya ketika ia berusaha mengindarinya pertama kali, tidak salah juga tidak bisa dengan sengaja ia benarkan. Cinta atau apapun alasannya, hatinya belum bisa menerima. Lihatlah, setiap hari pada jam-jam istirahat kantor pria itu datang menjumpainya di toko bunganya yang terletak di seberang jalan kantor tempat pria bekerja. Mengajaknya makan siang sampai merayu dayu tak bosan-bosan. Meskipun kemudian di akhir jam makan siang, pria itu pulang tanpa mengantongi apa-apa selain kecewa, ia akan muncul keesokan harinya dan keesokan harinya lagi. Setiap hari. Seperti itukah polah orang yang jatuh cinta dan mencitai? Ia tak tahu. Belum tahu.
“Aku pulang ya,” ucap pria itu sambil beranjak dari bangku panjang yang sengaja diletakkan di depan jendela kaca yang memagari seluruh bagian depan toko bunga, dimaksudkan agar koleksi bunga-bunga di sana terlihat dengan sempurna dari luar.
“Aku tidak pernah melarangmu berlama-lama di sini.” Ia menyahut datar.
Pria itu mengangkat bahunya. “Well. Dan kamu juga tidak pernah berniat mengusirku.”
“Belum.”
“Benarkah? Kapan kamu akan mengusirku?” Pria itu mendekatinya. Ia meraih sebuket kembang krisan putih. Mengangkatnya hingga setara wajahnya. Ia bersembunyi. Tanpa sepengetahuan pria itu, jantungnya hampir tak pernah alpa berdetak lebih cepat dari biasanya apabila sepasang mata kebiruan pria itu menatapnya dari jarak dekat. Perasaannya tak nyaman.
“Baiklah…. Bersembunyilah sesukamu, Nona Nanti jika tiba saatnya kamu menyadari ketulusanku, kamu bahkan tak tahu akan lari kemana demi menghindariku. Oke? Aku pulang. Jaga hatimu baik-baik ya? Aku pencuri yang ulung lho.”
Pria itu melangkah santai. Bibirnya mengulum senyum. Pria itu keluar toko bunga setelah sebelumnya mencomot setangkai krisan yang berada dalam genggamannya.
“Itu bunga ke 200, ingat!”
Pria itu terbahak keras. “Aku juga menghitungnya!”
Pria itu melambai.
“Aku mencintaimu!” Pria itu berteriak sembari mengangkat kedua tangannya menbentuk tanda hati di atas kepalanya.
“Norak!”
Beberapa pejalan kaki yang kebetulan melihat mereka tersenyum lebar. Hey, ada yang mendengar bisikan doa dari dalam hati para pejalan kaki itu? Mereka berdoa. Untuk pria itu? Mungkin.
=oOo=
“Hei, Bung!”
Baru saja ia menghenyakkan pantatnya di kursi kerjanya, sebuah keplakan keras menghantam punggungnya.
“Ayam! Kapan ya kamu bisa masuk secara baik-baik ke ruanganku tanpa ada acara mengagetkan?”
Rayga terbahak.
“Habis menemui masa depanmu lagi?”
“Yo`i!”
“Betah ya?”
“Jangan berani menyukai seseorang kalau perasaanmu cuma bertahan bilangan hari,” sergahnya. Alis kirinya terangkat sedikit. Sepasang tangannya sedang sibuk membuka sejumlah map berwarna-warni yang tertumpuk di atas mejanya.
“Pak Teguh mencarimu, kuhitung-hitung beliau sudah 4 kali bolak-balik mengecek ruanganmu.”
Huft. Bakalan ada pekerjaan tambahan nih. Lembur. Lembuuurrrr. Lemper!
Mendadak pintu ruangannya terdorong. Ada yang membukanya dari luar.
“Lintang, ke ruangan saya sekarang!” Sebentar saja. Tak cukup sepersekian detik, kepala semi gundul Pak Teguh menghilang dari balik pintu.
Satu. Dua. Tiga. Rayga tertawa tertahan.
“Ralat, Lin. 5 kali! Pak Teguh mengunjungi ruanganmu 5 kali dengan yang barusan.”
“Ayam!”
Lintang mau tak mau ikut tertawa. Baginya hari ini akan sesulit dan selelah bagaimanapun, tak masalah. Melihat paras Diora dari kejauhan telah menjadi semacam imun bagi kepenatan otaknya. Lembur semalaman? Gue jabanin dah!
“Udaaah. Tenang saja, masa depanmu tak akan lari kemana-mana Lin. Pak Teguh menunggumu!” ucap Rayga setengah berkelakar. Dilihatnya Lintang belum berniat mengajak matanya meninggalkan jendela kantornya yang membingkai manis toko bunga Diora di seberang jalan kantornya.
Lintang keluar. Cukup lama Rayga berdiri membisu di sana. Di depan jendela yang ditinggalkan Lintang. Sketsa aneh meliputi wajahnya.
Gadis itu….
=oOo=
Setiap orang sudah mengambil atau baru akan mengambil pilihan dan bertindak demi hidupnya. Sebab bagaimanapun juga waktu akan terus melaju dan hidup pun demikian, berjalan ke depan. Dan di sinilah ia berakhir. Ia menjatuhkan pilihan untuk mati lalu hidup dengan melupakan segala tentang dirinya di masa lalu.
Diora berdiri melipat tangan di dadanya di depan jendela kaca toko bunganya. Malam merayap semakin jauh. Ia belum berniat pulang. Dinikmatinya suasana malam kota yang ditaburi keramaian gaduh namun indah. Lalu lalang kendaraan, pejalan kaki di trotoar jalan yang sibuk, gedung-gedung pencakar langit beserta lelampunya, Diora tak pernah merasa bosan dengan pemandangan dan perasaan semacam ini. Nun jauh di dalam hatinya, ada kesunyian yang tak pernah habis ia resapi. Ia lupa sejak kapan ia merasa paling sunyi. Bukankah itu sudah terlalu terlambat untuk ditangisi? Diora tidak lagi berniat untuk menangis. Ia tidak akan menangis lagi.
Ponselnya yang diletakkan di atas meja kecil di dekat buket bunga krisan putih bergetar berulang kali.
Pasti Ibu.
Diora beranjak.
“Assalamu alaikum….” Suara lembut di seberang sana.
“Wa`alaikum salam Ibu, sebentar lagi Dio pulang. Iya, Ibu jangan khawatir,” sambut Diora sambil tersenyum. Terlintas paras menua Ibu di ujung matanya. Menunggunya pulang di ruangan depan sembari menonton siaran tivi. Tak jarang Ibu jatuh tertidur. Ah, Ibu….
“Ibu suruh Pak Giman jemput?”
“Tidak usah, Bu. Dio naik Bus saja ya?”
“Baiklah. Jangan berlama-lama mengkhayal di depan bunga-bungamu. Ibu tutup ya,”
Klik.
Diora tercenung sekian detik. ini semua karena Ibu. Alasan ia bertahan adalah Ibu.
Beberapa menit kemudian Diora keluar dari toko bunganya setelah merapikan beberapa bagian dan terakhir mengunci toko bunganya. Ia berjalan menyusuri trotoar, sesekali merapatkan sweater cokelat yang membungkus hangat tubuhnya. Angin malam bulan Agustus memang selalu dingin. Iaberbaur bersama para pejalan kaki lainnya. Pukul 9 malam. Ia menuju halte bus terdekat.
Diora selalu melewatkan satu hal. Tak sengaja tidak menyadari sesuatu. Bahwa sejak pertama kali ia mulai senang berlama-lama termenung di depan jendela kaca toko bunganya, pria di gedung seberang betah berlama-lama menatap wajahnya di kejauhan. Hingga toko bunga milik Diora tutup, ia tak akan beranjak dari sisi jendela ruangan kantornya. Bila sedang tak ada jam lembur ia biasa menunggu Diora menutup toko bunganya di bawah pohon ketapang di depan kantornya. Memandang dari kejauhan dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.
Di dalam bus hijau yang membawanya pulang, Diora merebahkan punggungnya di jok yang ia duduki, mengatupkan matanya, meresapi keheningan yang menguasai penumpang bus. Menjelang tengah malam kota kecil itu semakin ramai saja. Seolah tak ada waktu jeda istirahat. Bagi Diora, kota ini lebih mirip rumah tua di dalam belantara hutan yang lebat. Seperti yang dikisahkan salah satu cerita dalam buku kumpulan dongeng yang selalu ia bawa dalam tasnya. Rumah yang menyimpan kesepian, kesedihan, air mata juga kerinduan. Entah dari mana semua perasaan itu datang, ia hanya tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain bertahan. Ia merasa berada di satu titik dan ia tak bisa berbalik untuk pulang dan kembali. Ia sudah mati berulang kali, tetapi rumah tua itu tak pernah hilang dari pelupuk matanya.
Diora jatuh tertidur. Ia tak merasakan kehadiran seseorang yang duduk di kursi di dekatnya. Menatapnya sangat lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^