HELAI EMPAT
Musim Baru
Stadion kampus berlambang pohon beringin itu dibaluti keriuhan. Bangku penonton sesak oleh mahasiswa yang turut memeriahkan acara tahunan itu. sebuah baner hijau di pintu masuk stadion bertuliskan Dies Natalis Campus Hijau ke-47. Salah satu kegiatan yang rutin diadakan adalah pertandingan sepakbola antara fakultas. Boleh dibilang pertandingan sepakbola inilah yang merupakan pusat kegiatan ulang tahun kampus. Orang-orang tumpah ruah saling mendukung fakultas masing-masing.
Meriah. Itulah kesan yang ditangkap Arin. Berada di antara ratusan pengunjung yang saling berteriak membuat telinganya berdenging sakit. Kalau bukan karena permintaan Rayna yang merengek agar mau menemaninya menonton anak-anak FMIPA berlaga di babak penyisihan group, ia lebih memilih tetap tinggal di laboratorium melanjutkan penelitiannya. Ia tidak menyukai keramaian. Poin utamanya adalah, ia tak suka sepakbola! Jadi, tetap berada di tempat super sesak itu adalah siksaan terbesar baginya. Aishhh!
“FMIPA go! Go! Go! Aku mendukungmu! Ciaayooow! Semangkaaaa!!”
Arin terlonjak kaget akibat teriakan Rayna persis di kupingnya!
“Ya Allah, lindungilah gadis malang ini….” Arin bergumam setengah kesal. Ia gelisah. Menengok jarum jam tangannya sekali lagi.
“Na, Aku harus pulang!” Arin berteriak sambil menutupi telinganya.
“Apa?” balas Rayna tanpa melihat ke arah Arin. Tetap asyik berteriak. Memainkan pom-pom warna-warni di tangannya.
“Pulang!”
“Sedikit lagi, Rin! Tanggung ah! Masih seru ini!”
“Kamu saja yang nonton, aku pulang ya! Jangan lupa bahwa fakultas kita belum pernah memiliki riwayat indah dalam dunia persepakbolaan kampus. Catet!” Arin berusaha mencari jalan keluar. Ia hampir saja kehabisan napas. Apapun yang terjadi ia harus segera keluar.
Bersamaan seseorang tak sengaja menyikut rusuk Arin. Gadis itu menjerit kesakitan. Ya Allah, tempat macam apa ini? Ia bersumpah tidak akan dua kali ke tempat seperti ini. Tidak akan!
Sesampainya di dekat pintu masuk utama, Arin menghenyakkan pantatnya di bangku panjang, menarik dan membuang napas berulang kali. Keringat mengucur deras di wajah dan lehernya. Kesalahan terfatalanya adalah menyanggupi permintaan Rayna.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Tidak. Aku akan mati pelan-pelan kalau aku tetap bertahan di dalam sana. Itu tempat terburuk yang pernah aku lihat!” Arin mengomel. Mendadak ia mengangkat wajahnya. Keningnya berkerut.
“Sejak kapan kamu di sini?” ketusnya. Wajahnya makin terlipat suntuk.
Laki-laki yang kena semprot adalah Praha. Fisika semester 8. Makhluk yang tidak mengenal kata menyerah dalam kamus hidupnya. Yang percaya segala sesuatu di muka bumi ini bersifat relatif. Selalu kembali ke keadaan paling sederhana. Praha menganggap tak ada yang tak bisa dicari jalan keluar. Demikian pula Arin. Kejutekan Arin padanya kelak akan menemui jalan keluar. Bila perasaan Arin padanya adalah sebuah rute labirin yang sangat panjang, maka yang perlu ia lakukan adalah melalui labirin itu dengan tenang dan sabar. Setelah itu, waktu yang akan menjawab. Rumus paling uzur yang dianutnya. Ia sudah menyukai Arin seperti ia mencintai angka-angka.
Praha berdiri di depan Arin. Mengulum senyum. Sayang sekali ia tak menyadari, Arin kerap puyeng setiap kali melihat Praha tersenyum. Entah mengapa!
“Aku kira kamu tidak suka ke tempat seperti ini. Apa yang membuatmu berubah?”
“Apa urusannya denganmu? Daripada kamu sibuk tidak penting akan lebih menyenangkan kalau kamu membelikanku minuman dingin!” cetus Arin.
“Aku sudah tahu.” Praha menyodorkan sekaleng minuman dingin yang sejak tadi ia sembunyikan di belakangnya.
“Kamu bawa kendaraan?” tanya Arin setelah menegak minuman dinginnya. Matanya tak melihat Praha melainkan ke arah kerumunan orang-orang di sekitar stadion.
“Kenapa?”
“Temani aku ke suatu tempat.”
“Sekarang?”
“Bukan. Kita tunggu lebaran kodok sekalian!”
Praha menggelengkan kepalanya. Geli sendiri melihat tingkah Arin. Inilah yang membuatnya bisa bertahan sekian lama. Tak ada yang lebih jujur dari Arin. Ia akan mengatakan apa adanya tanpa perlu menutupi apa-apa walaupun itu seringkali membuat orang-orang menganggap gadis itu menyebalkan dan menakutkan. Praha berani bertaruh ia harus menunggu lama untuk menemukan gadis semacam itu.
“Kenapa senyam-senyum? Apa yang lucu?” tegur Arin ketika mereka sudah berada dalam mobil. Praha mengemudikan mobilnya dengan tenang.
“Kamu.”
“Apa?” Arin melototkan matanya. Galak.
“Dasar gadis bodoh! Kalau kamu seperti ini terus-menerus aku tidak bisa menghentikan perasaanku padamu. Setiap saat kamu menunjukkan rasa tidak sukamu padaku dan di saat yang sama pula kamu bersikap ketergantungan padaku. Perbuatan tak bertanggung macam apa itu?” sergah Praha.
Arin mendecih.
“Berhentilah mengatakan omong kosong, jangan ge-er ya! Sekarang menyetirlah dengan hati-hati. Aku akan memberimu tendangan memutar kalau kamu tidak menyetir dengan becus.”
“Siap Nona galak!”
Mobil yang dikemudikan Praha melaju membelah jalan utama kota.
“Sebenarnya kita akan kemana, Rin?” Praha merasa mengenal jalan yang sedang mereka lewati.
“Ke suatu tempat.”
Arin membuang tatapannya keluar. Genderang rindu menyeruak dari bilik paling rahasia di hatinya. Matanya memanas. Lima belas menit kemudian ia meminta Praha memarkiran mobilnya di pinggir jalan.
“Kenapa menyuruhku berhenti di sini?” tanya Praha sambil mengikuti Arin keluar dari mobil.
“Ini tempat yang aku maksud.”
“Ini rumahmu kan? Kenapa tidak bilang? aku pikir….” Praha mengitarkan pandangannya. Ia mengenal kompleks perumahan ini karena ia pernah diajak Arin beberapa kali. Tidak istimewa karena sepanjang ini ia masih beredar sebagai sopir dadakan bagi gadis itu. Tak ada lain. Pun demikian itu sudah cukup.
“Kita tidak akan ke rumahku,” potong Arin.
“Lalu?”
“Kenapa hari ini aku merasa kamu terlalu cerewet?”
Praha menggaruk kepalanya (kebiasaan). Dihelanya napas. Sepertinya hari ini akan berjalan pelan dan berat. Firasatnya mengabarkan demikian.
Arin mendahuluinya. Oke. Praha tahu kalau di belakang rumah Arin ada bukit yang lumayan terjal dan menurut cerita gadis itu, bukit Amarilis luar biasa indah dengan menampakan pemandangan kota secara keseluruhan dari atas ketinggian sana. Pertanyaannya adalah untuk apa mereka ke bukit Amarilis di siang bolong? Di bawah terik matahari menjelang sore?
=oOo=
“Selamat ulang tahun, Tira….”
Air matanya menetes satu-satu. Matahari mulai condong ke bagian barat. Cahaya keemasannya membentuk siluet tubuh Diora. Gadis itu terduduk menekuk lututnya di depan sebuah pusara. Rerumputan yang tumbuh meninggi menujukkan tempat makam itu tak terurus dengan baik.
Diora menyentuhkan tangannya pada nisan.
“Apa kabar? Tolong maafkan aku karena tidak pernah menengokmu. Aku tahu kamu akan tetap baik-baik saja sekalipun tak ada yang memedulikanmu. Bukankah itu yang selalu ingin kamu katakan padaku?”
Diora terisak dalam. Mulutnya tak sanggup berucap.
Ibu…. Ibu…. Ibu…. Harusnya kau membawaku pergi bersamamu.
Diora sempurna mencium tanah.
=oOo=
Mereka duduk bersisian menjeplok rumput-rumput berwarna kekuningan. Nampaknya musim panas berencana menghanguskan seluruh rerumputan dimana-mana. Tak ada yang tidak indah jika berada di ketinggian semacam ini.
“Hari ini ulang tahunnya,” ucap Arin serak.
“Siapa?”
“Tira.”
Praha mencoba mengingat nama itu. sayang sekali tak ada file di otaknya yang menyimpan ingatan mengenai nama yang disebutkan Arin.
“Dia kakakku.” Arin memotong rantai kebingungan di wajah Praha.
Praha bergeming. Arin punya kakak? Ia baru tahu fakta itu.
“Ceritanya panjang dan menyakitkan untuk diceritakan. Sampai sekarang aku masih belum tahu dimana Tira berada. Bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja, apakah dia masih mengingatku, aku mendadak kehilangan semua tentang dirinya. Menyakitkan bukan?”
Air mata Arin jatuh. Pelan tangisnya berubah isakan. Arin terduduk menumpukan keningnya di ujung lututnya.
Praha berusaha keras agar tangannya tidak bergerak menyentuh punggung Arin. Ini pertama kalinya ia melihat gadis itu menangis.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa melakukan sesuatu, setidaknya... untuk mengurangi kesedihanmu.” Praha mencoba tersenyum walaupun gagal. Justru senyuman itu terlihat janggal di mata Arin.
“Jelek! Aku tidak memintamu untuk menghiburku. Aku benar-benar sedih sekarang. Tetaplah di tempatmu dan jangan melakukan apa-apa.” Arin sesenggukan. Wajahnya basah oleh air mata.
Praha akhirnya memegang kepala Arin. Mengelusnya.
“Aku belum mengenalmu dengan baik ya?”
Arin masih menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^