Senin, 03 September 2012

Tentang Dia yang Saya Panggil Kehilangan

Ada yang datang ada yang pergi, ada yang meninggalkan ada yang ditinggalkan, ada yang menaruh harap ada yang menyerah, menyisakan sebuah ruang di ingatan yang dipenuhi catatan-catatan kecil tentang bagaimana memaknai semua itu... juga tentang kehilangan. ^^
- Nafilah Nurdin

Temui janji kehidupanmu di jalan yang mana. Tetaplah menjadi orang keren, aku tidak akan menguntitmu lagi... Terimakasih ^^


Ada sebuah lirik lagu milik Letto band yang sangat saya sukai, berisi tentang kehilangan yang sangat dalam bahwa rasa kehilangan hanya akan ada jika kita pernah merasa memilikinya. Itulah yang dipanggil kehilangan. Sebuah jeda tak terlihat di dalam kenangan yang tanpa kita sadari ternyata menguras lebih banyak emosi untuk bisa menanggulanginya.

Saya sebenarnya bukan orang yang tegar. Saat saya bersedih saya akan menangis hingga saya merasa puas. Saya bukan orang yang pintar membagi apa yang saya rasakan pada orang lain. Sejak saya kecil saya cenderung menutup akses bagi orang lain yang ingin mengetahui apa yang ada di dalam kotak kenangan saya. Semuanya, seluruh yang saya anggap rahasia baik itu yang sepele atau serius, saya simpan di kotak Pandora saya. Saya menyimpannya sangat rapat. Akibatnya, saya kesulitan mengekspresikan diri sendiri. Kaku? Iya.

Bagi saya, berbicara tentang kehilangan berarti bercerita tentang hal-hal yang tidak pernah saya miliki secara nyata. Ya, kehilangan menurut versi saya adalah melepaskan apa yang sebelumnya hanya hidup dan bernapas di pikiran saya. Menyerah? Bukan. Mungkin inilah yang disebut berdamai. Saya merasa sudah cukup dan sampai di situ saja perjuangan saya. Pernah gak, menginginkan sesuatu, teramat sangat menginginkannya lalu kita mencurahkan segenap usaha kita untuk mendapatkannya? Tetapi walaupun telah berusaha, kita tidak pernah berhasil mendapatkannya. Saya menyebutnya titik kulminasi. Bukan cuma sekali dua kali saya mengalami hal seperti itu, saking seringnya saya kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya bermain dalam lapangan khayalan saya. Tentunya dengan beberapa pengecualian. Saya percaya, ada hal-hal yang memang tidak akan pernah bisa kita miliki sejauh apapun kita berusaha (memaksa) mendapatkannya.

Dalam beberapa kasus, saya bisa dengan cepat beradaptasi dan membiarkannya melebur bersama aktivitas saya. Perlahan menjadi terbiasa hingga benar-benar tak memedulikannya lagi. Tetapi nyaris setaon ini, saya masih bergumul dengan kehilangan yang satu ini. Bandel ya? Hahahaha

Saya melihatnya sebagai sosok istimewa. Hampir seluruh seluruh indera saya akan bereaksi cepat jika bersinggungan dengan satu nama itu. Hoho. Bagaimana tidak, sesuatu yang pernah kau impikan semasa remaja tiba-tiba hadir dan memaksamu percaya agar jangan main-main dengan doa yang kau minta pada Tuhan. Sebab, kelak pada waktu yang tidak kau tahu Tuhan akan mewujudkannya. Dia perwujudan doa itu.
Namanya tiga suku kata. Dia yang berasal dari tempat yang jauh, yang letak kotanya pernah saya pelajari di bangku sekolah dasar di buku Ilmu Pengetahuan Sosial. Sebuah tempat yang belum pernah saya jejaki...

Dia perpustakaan berjalan. Tanyakan padanya tentang sejarah dunia, ia akan menjawabnya dengan sangat jelas beserta fenomena-fenomenanya. Sama-sama menyukai karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Soe Hok Gie. Jika saya hanya sebatas mengagumi, ia adalah orang yang akan dengan sangat bersemangat 'menguliti' sebuah kisah/peristiwa dengan sedetailnya. Seringkali saya menggeleng tak percaya bahwa akhirnya saya bertemu orang seperti itu. Dia yang seolah-olah punya dunia sendiri. Banyak pemahaman baru yang datang merevisi pemahaman lama saya setelah berinteraksi dengan sosok itu. Walaupun saya harus mengakui bahwa tidak ada kesempurnaan pada manusia secemerlang apapun hidupnya. Tetap saja manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan pernah bisa berdiri tunggal. Tidak ada manusia yang super power. Pun dia. Untuk beberapa point pemikiran, bagi saya dia hebat tetapi sebuah lobang besar terlihat menganga di beberapa sisi, ada yang hilang. Sebuah kesadaran timbul, selama ini saya memandangnya dengan mata tertutup. Ah, bukan. Saya membiarkan sudut pandang pikiran saya berada di satu titik dan itu salah. Saya menjadi berat sebelah dan terlanjur memvonis inilah sosok yang saya cari dan ini jelas tindakan yang salah dan fatal bagi kelangsungan ke-istiqamahan saya selaku orang yang mengerti bagaimana semestinya mengelola hati.. Bukan dia, kata Tuhan.

Saya tertawa.

 
Aku dengan diam yang menanak matang air mataku, memuarakan sesak yang tak punya jalan kembali. Ia melanglang buana. Sendirian. Manalah mungkin aku sanggup membuang sepatnya kehilangan di jalan-jalan ramai, jika setiap malam yang menua aku menemukanmu sedang mengamati mataku lewat pikiranku.

Ada yang beranjak pergi saat datang. Ada yang memekik luka saat tertawa. Ada yang memilih berlari saat sadar diam hanya akan menggunungkan perih. Dan aku memilih berdiam di sini, menyapih jejak yang tertinggalkan waktuku. -Selalu ada jeda di antara kita.


Bukan dia.

Selama ini saya memanipulasi diri sendiri. Kekanakkan. Nyaris setahun saya berjuang mengembalikkan posisi duduk saya ke tempat dimana semestinya saya berada. Begitulah... Pencarian atas nama kehilangan dan hanya akan menemukan kehilangan berikutnya.

Saya telah sampai ke titik dimana saya harus berhenti. Merayakan kehilangan atas sesuatu yang tidak akan pernah saya miliki secara nyata. Ini indah sekali... Setiap inci sesaknya mengajarkan saya agar lebih hati-hati. Saya jadi punya koleksi kisah yang akan saya ceritakan pada anak-anak saya kelak jika mereka telah cukup dewasa untuk mendengarkan pengalaman Ibu mereka saat seumuran mereka hahaha (mengaminkan dalam hati dengan sangat khusyu')


Bismillah... Saya melangkahkan kaki ke depan, jauh lebih ringan rasanya dibanding hari-hari kemarin. Terimakasih sudah memberikan saya pemahaman lewat jalan ini, Ya Rabb... 'Tamparan' yang membuat saya bangkit, bangun dan bergegas. Insya Allah. Aamiin. ^^
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^