SEHANGAT
PELUKAN IBU
Oleh
: Nafilah Nurdin
Siapa
yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibu!
Tanpa ragu-ragu aku
pasti mengacungkan telunjukku paling pertama demi menjawab pertanyaan sederhana
itu. Iya, siapa lagi yang paling aku sayangi jika bukan Ibu? Aku yakin seratus
persen, teman-teman sekelasku pun tentu akan meluncurkan jawaban sama denganku.
Berulang kali, pertanyaan yang sama selalu kujawab sama hingga aku meninggalkan
bangku sekolah dasar.Tatkala aku beranjak remaja dan meninggalkan rumah demi menimba
ilmu di tanah orang, rasanya menjadi lain bila ada orang yang mengajukan
pertanyaan tersebut padaku.
Siapa
yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibu. Masih tetap Ibu.
Namun untuk mengucapkan satu kata itu, aku membutuhkan miliyaran detik. Bukan
karena aku enggan atau merasa berat tetapi karena ada berton-ton rindu turut
serta membayangi lidahku menyebut nama Ibu. Mengingat Ibu berarti mengingat
sederet kenangan dimulai masa kecil hingga detik ini, bagaimana Ibu menampilkan
sosoknya sebagai pejuang di garda paling depan bagi aku dan ketiga adikku. Ibu
adalah perkara paling sentimental menurutku. Orang yang paling aku sayangi di
dunia ini adalah Ibu. Suluh penyemangatku agar tetap bisa bertahan mengejar
cita-cita di tanah orang adalah Ibu. Tahun ini, Ibu berkeinginan melihatku
memakai baju sarjana. Itulah doa yang paling rajin Ibu sampaikan dalam salat
malamnya.
Dan pada hari ini di bawah rerimbunan
pepohonan kersen di depan pelataran parkiran kampusku, air mataku mengucur
deras tanpa sempat kutahan. Akumulasi rindu dan kesedihan menguar, berhasil
menstimulasi saraf kelenjar air mataku.
“Belum waktunya, Ra.
Ini jalan yang sudah ditentukan Allah. Kamu disuruh sabar... Kamu percaya kan
kalo rencana Allah untuk hambanya jauh lebih indah dari yang kita pikirkan?”
ucapan Nena belum bisa menangkanku, justru isakanku kian dalam. Terbayang wajah
lelah Ibu. Bagaimanalah ini... betapa kecewanya beliau bila mengetahui aku
belum bisa meraih gelar sarjanaku tahun ini, aku belum bisa menerbitkan senyum
kelegaan di pelupuk matanya. Aku teringat sepasang baju yang beliau persiapkan
untuk menghadiri acara wisudaku.
Ibu...
aku ingin berlari ke pelukanmu...
=oOo=
“Aku ingin pulang kampung, Na.”
Sore memeluk hari ini.
Warna keemasan menyebar di seantero musholla kampus FMIPA. Suasana sudah sepi.
Pada jam seperti ini, mahasiswa sebagian besar sudah pulang kecuali yang
melakukan praktikum laboratorium. Bahkan hingga malam mereka masih berkeliaran
di sekitar kampus.
Nena melipat mukenanya,
memasukkan mushaf kecilnya ke dalam tas ransel. Tak ada sahabat yang begitu
setia seperti Nena. Gadis yang sebentar lagi memakai toga itu tak rela
meninggalkanku sendirian meskipun aku bersikeras mengusirnya. Ia betah menemaniku sambil sesekali menghiburku. Ah...
seharusnya kami diwisuda bersama. Tapi apa mau dikata? Wisuda hanya sebatas
angan bagiku, tahun ini.
Nena menatapku, sangat
lama.
“Jangan melarikan
diri.”
“Tidak. Ini bukan
rencana pelarian diri” elakku.
“Kita tidak pernah
merencanakan kegagalan, Ra. Aku sangat percaya Allah menitipkan hikmah dalam
musibah ini.”
Aku tersenyum. Senyum
pertamaku hari ini sejak aku menerima pemberitahuan dari dosen pembimbing
akademik kalau aku belum siap mengajukan sidang hasil dan skripsi karena masih
ada satu mata kuliah tertinggal.
“Aku butuh suasana
penenangan diri, Na. Kupikir rumah akan membantu proses berdamai dalam diriku.”
“Berapa lama? Kau tidak
berniat melupakan wisudaku, kan?”
“Kita lihat saja nanti.
Di sini nyeri, Na. Sakit sekali kalau mengingat wisuda.”
Nena bergerak maju,
memelukku erat. air mataku kembali jatuh. Aku ingat Ibu.
“Semoga Allah
menguatkanmu...”
=oOo=
“Sekolah yang rajin,
Nak. Coba kau lihat orang-orang yang sekolahnya tinggi-tinggi itu. Mereka bersungguh-sungguh menjadi orang sukses.
Kau tahu, Nak? Hanya orang dengan tekad bulat serta kerja keras yang bisa
menjadikan cita-citanya nyata. Kau ingin menjadi sukses to, Nak? Haa, kau sekolah
lah yang serius.”
Usiaku belum genap dua
belas tahun kala itu. Sembari menunggu jadwal mengaji sesudah bakda asar, aku membaca buku cerita yang
kupinjam di perpustakaan sekolah. Ibu sedang menapis beras. Butir-butir beras
yang kecil-kecil terpental jatuh menjadi santapan kerumunan ayam peliharaan Ibu
di bawah lantai dapur rumah panggung kami. Sepoi angin menjelang sore menyentuh
dedaunan jambu air yang tumbuh tepat di sisi kanan tangga dapur. Aku ingat
betul raut wajah Ibu ketika mengucapkan kalimat bertuah itu. Ada pengharapan
yang tinggi di sana.
Maka sejak saat itu,
aku menanam janji atas semua harapan itu, sekolah setinggi-tingginya agar
semakin dekat dengan kesuksesan. Pemaknaan tersebut membuatku terpacu. Ialah
Ibu yang tiada pernah mengenal lelah menyemangatiku. Bila musim ulangan tiba,
Ibu selalu tepat waktu membangunkanku di sepertiga malam untuk belajar,
menyiapkan sarapan pagiku, melepas kepergianku di depan pintu rumah bersama
wajah bersemangatnya. Adik-adikku masih teramat kecil untuk mengerti sinergi
yang tumbuh antara aku dan Ibu. Sementara Bapak, beliau sudah meninggalkan
rumah sebelum matahari pagi sempurna menyepuh seluruh tanah kelahiranku di kaki
Batu Sangia. Kebun yang digarap Bapak terletak di belakang kampung. Bapak baru
pulang ke rumah menjelang matahari terbenam bersama sapi-sapi gembalaannya.
Demikianlah masa kecil aku habiskan.
Pernahkah kau
menginginkan suatu hal? Ketika keinginanmu mencapai puncak tertinggi,
menyisakan selangkah lagi maka kau sukses menggenggamnya namun di saat yang
sama sebuah kenyataan pahit menebus jerih payahmu. Gagal. Rasanya dunia seperti
membelakangimu. Itulah yang sedang aku rasakan sekarang.
Kurasakan gerakan pelan
di atas tubuhku. Mataku membuka sedikit. Sorot lampu 5 watt membentuk siluet
Ibu. Kebiasaan Ibu saat kami sudah jatuh terlelap, membetulkan letak selimut
kami. Ibu terdiam cukup lama di samping ranjangku. Tak ada suara. Tapi kutahu
ada berjuta bahasa dalam diamnya. Mungkinkah Ibu sudah tahu? Aku belum
berbicara apapun soal urusan kuliah sejak kedatanganku sore tadi setelah
menempuh perjalanan darat dan laut selama hampir 12 jam. sehabis bercerita
sedikit dengan Bapak dan mengusili adik-adikku, aku beranjak mengistirahatkan
diri di kamar.
Tak berapa lama
kudengar langkah kaki Ibu bergabung dengan Bapak di ruang tengah. Suara
televisi lamat-lamat tertangkap telingaku.
“Naira lebih pendiam
ya, Pak.” Suara Ibu.
“Barangkali kecapekan,
Bu. Besok dia pasti akan kembali cerewet lagi.”
“Yah, semoga sajalah.
Kira-kira kenapa Naira pulang ya, Pak? Setahu Ibu libur semester belum lewat.
Kata Naira kan, Insya Allah dia diwisuda bulan depan jadi pasti saat sekarang
adalah masa-masa sibuk...”
Aku menahan napas.
Sesak.
“Aaah, Ibu ini...
selalu banyak mikir. Bersyukur Naira pulang. Ndak usah tanya ini-itu. Bukannya kemarin-kemarin Ibu yang bilang
kangen sama Nai? Nah, berarti Nai pun kangen juga sama kita makanya dia pulang.
Ya to, Bu?”
Perbincangan itu masih
berlanjut dengaan topik bahasan bermacam-macam mulai dari berita di tivi,
sapi-sapi Bapak yang baru melahirkan, kebun Bapak yang pagarnya dijebol babi
hutan dan pemilihan kepala daerah beberapa bulan ke depan.
Aku terisak pelan di
kamarku yang lampunya sudah dimatikan Ibu.
=oOo=
Kokok ayam di atas
pohon sawo besar depan jendela kamarku mengiringi suara azan muadzin di masjid
kampung kami. Merdu memecah kebisuan subuh yang suhunya selalu lebih dingin
dari kota tempatku menimba ilmu. Kata orang-orang, geliat awal hari berawal
dari kampung-kampung kecil. Benar sekali. Lekas kubangunkan ketiga adikku untuk
salat Subuh berjamaah. Ibu sudah sibuk di dapur. Kepulan asap dari tungku
menyebar ke mana-mana. Bagian mana dari rumah yang tak membuatku rindu? Seluruh
bagiannya membuatku rindu tak terkecuali
.Pagi cepat sekali
datang. Semburat matahari mengintip dari celah Batu Sangia.
“Ibu ndak ngajar?” tanyaku melihat Ibu belum
juga bersiap-siap dengan baju
seragamnya. Sejak dua tahun lalu Ibu diangkat sebagai kepala sekolah sebuah SD
tertinggal sekitar sembilan kilometer dari kampung kami. Akses ke sana masih
sangat sulit, jadi Ibu biasanya menempuhnya dengan berjalan kaki melewati
kawasan hutan dan kebun jambu mete warga.
“Hari ini Ibu izin. Ada
kamu, kok.” Ibu menyahut.
“Lah, biasanya juga
kalo Nai pulang ibu tetap ngajar...”
“Ibu merasa
kepulanganmu ini berbeda dengan sebelumnya. Tidak ada liburan, tidak ada
pemberitahuan eh tiba-tiba Nai sudah ada di depan pintu dengan mata lebih sipit
dari biasanya.”
Aku membuang tatapanku
keluar, pura-pura tak melihat sepasang mata Ibu yang berusaha menangkapku dalam
tatapannya. Bunga-bunga jambu air mulai bermekaran. Rumah sunyi, bapak sudah
berangkat ke kebun dan ketiga adikku sudah melesat ke sekolah masing-masing.
“Ada yang ingin kamu
ceritakan pada Ibu, Nai?”
Aku memainkan ujung
jilbab lebarku. Ada, Bu. Terlalu banyak
yang ingin kuceritakan sampai aku tidak tahu harus memulai dari mana...
“Kalau Nai bingung
mulai dari mana, pelan-pelan saja... Apa yang membuatmu murung, Nak? Ibu belum
pernah melihat wajahmu sekeruh sekarang ini.”
Lihatlah,
Ibu selalu tahu... Ibu bermata jeli...
“Nai...” suaraku
tertahan. Kurasakan mataku memanasa demikian cepat.
Ibu mendekatiku. Kami
duduk saling berhadapan di pintu dapur yang terbuka lebar.
“Nai tidak jadi
diwisuda tahun ini, Bu. Nai tidak bisa selesai kuliah tepat waktu. Nai...”
isakanku pecah seketika.
Hening.
“Maafkan Nai, Bu. Nai
mengecewakan Ibu dan Bapak.”
Ibu memelukku. Hangat
benar rasanya.
“Ini yang membuatmu
sedih sepanjang waktu, Nak? Kenapa kau demikian terbebani? Apakah harapan kami
melukaimu sedalam ini?” suara Ibu turut basah.
“Nai tidak bisa
membanggakan, Bapak dan Ibu.” Dan mengalirlah cerita itu, tentang aku yang
tidak hati-hati memerhatikan Kartu Hasil Studiku, hingga melupakan satu mata
kuliah semester ganjil. Itulah yang menghalangiku wisuda tahun ini.
“Kata siapa kau tidak
membuat kami bangga? Ya Allah, anak ibu ini... siapa yang bilang kamu tidak
bisa membuat ibu dan bapakmu bangga, Nak?”
Ibu mengusap wajahku
lembut, menghapus jejak air mata di sana.
“Bagi Ibu, kalian lahir
ke dunia ini lalu tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia adalah sebuah
kebanggaan terbesar. Jika kalian berprestasi, itu bonus buat kami. Apakah
pernah Ibu mematok kau harus selesai tepat waktu? apakah pernah sekali saja Ibu
memintamu menyelesaikan kuliah secepatnya? Tidak pernah, kan?”
“Tapi Nai sudah
berjanji akan selesai tahun ini...”
“Lalu Nai merasa bersalah
karena tidak bisa memenuhi janji itu? Nai sedih berkepanjangan bahkan untuk
tersenyum lebar pada Ibu pun terasa sulit bagimu...”
Aku diam.
“Nak, sebagai manusia
kita hanya bisa sebatas merencanakan dan berusaha keras agar rencana itu
terwujud. Ketika apa yang kita usahakan tidak berhasil berarti Allah sudah
menyiapkan rencana yang jauh lebih indah dari rencana kita. Coba ingat, apakah
Bapak pernah sedih berlarut-larut ketika hasil kebunnya tidak sesuai harapan?
Apakah Bapak mengaggap dirinya tidak becus ketika babi hutan merusak seluruh
isi kebunnya? Tidak pernah. Kenapa? Karena Bapak tahu sebatas mana kapasitasnya
sebagai petani. Nah, seperti itulah Nai juga... Nai bukan gagal tapi Nai hanya
belum sukses tahun ini. Insya Allah tahun depan Nai bisa wisuda.”
Aku melihat kesungguhan
di mata Ibu. Tidak ada kekecewaan seperti yang aku bayangkan sebelumnya.
“Sampai kapanpun, Nai
adalah anak Ibu yang selalu hebat. Kakak yang super bagi Nadir, Rambu dan Aqsa!
Ayok, sini peluk Ibu!”
Air mataku kembali
tumpah. Aku tidak pernah menyangka penyelesaiannya akan sedemikian ringkas dan
melegakkan seperti ini.
Siapa
yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibuku. Pelukan Ibu
adalah rumah yang paling aku rindukan. Hangat dan sanggup membayar lunas
seluruh lelahku sepanjang tahun.
*Cerpen ini pernah dimuat di Kendari Post edisi Februari 2013