Minggu, 29 Desember 2013

Untuk Bapak :)


Bapak.
Saya yang Setahun lalu dan tahun-tahun yang telah lewat pernah sangat membenci nama itu. Saya dan Bapak memiliki sejarah panjang yang boleh dibilang tidak terlalu bagus untuk dikenang.  Bapak saya tidak seperti bapak yang kebanyakan saya lihat pada keluarga teman-teman saya.

Ketika saya kecil dulu, dalam benak saya beliau adalah sosok menyeramkan. Suka membanting barang, bersuara keras yang kerap menciutkan nyali saya, dan ringan tangan. Beranjak remaja, imej itu tetap tinggal di ingatan saya. Sebab itulah saya pernah menjadi orang yang sangat pendiam, tidak peduli dengan sekitar, pemarah dan tidak memiliki banyak teman. Di rumah, tempat favorit saya adalah kamar dan buku-buku bacaan. Saya sengaja mengunci diri di ruang yang hanya ada saya bersama segala kesepian dan luka yang sudah saya miliki jauh sebelum saya mulai belajar paham tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saya menyimpan kemarahan demi kemarahan yang kemudian melahirkan dendam. Saya membenci Bapak.

Saya dan Bapak ibarat dua mata uang yang tidak pernah bertemu. Terkadang saya merasa asing. Tidak pernah ada perbincangan hangat dan santai di antara kami berdua.

Satu hal yang semakin memantik api kebencian di hati saya, semakin dalam sakit yang Ibu rasakan maka semakin dalam pula pusaran benci itu.

Lalu, suatu ketika, entah bermula di titik mana, saya begitu merindukan Bapak.  Di tempat yang jauh dari rumah ini, saya belajar banyak hal. Salah satunya belajar memaafkan, mencintai dan berusaha memahami cara berpikir Bapak. Saya mendapati kenyataan bahwa saya sangat membenci sekaligus menyayangi Bapak. Saya dan Bapak memiliki satu kesamaan, sulit mengungkapkan perasaan terhadap satu sama lain.


Liburan kemarin, saya membonceng motor Bapak ke lokasi penelitian tugas akhir saya. Duduk di belakang beliau serta merta memanggil pulang kenangan yang tak banyak bersama Bapak. Kembali ke masa ketika saya masih bocah dan membonceng di motornya, memeluk pinggangnya dan menempelkan wajah saya ke punggungnya. Kembali ke masa ketika Bapak memukuli saya untuk kesalahan yang tidak saya lakukan. Kembali ke masa ketika saya menyaksikan kemarahan-kemarahan, keegoisan dan ketidakpeduliaan Bapak. Kembali ke masa ketika saya berlari kencang meninggalkan rumah sambil menangis dan berdoa dalam hati semoga saya lekas tamat sekolah, dan kuliah di tempat yang jauh.

Saya menangis.

Kepulangan saya ke rumah liburan kemarin sangat berarti bagi saya. Allah mengabulkan doa yang saya kirimkan menjelang keberangkatan saya. Saya berharap agar seluruh kenangan buruk yang pernah saya terima di rumah, luruh. Saya berdoa semoga kepulangan saya ke rumah, melahirkan penerimaan dan kedamaian yang utuh. Meskipun kelak, mungkin saja hal-hal itu akan terulang lagi, saya sudah bisa menghadapinya dengan penuh kedewasaan.

Perasaan yang pernah saya dambakan selama 24 tahun hidup saya di dunia akhirnya bisa saya rasakan. Saya tahu Bapak menyayangi saya dengan caranya sendiri. Jarak membuat saya dan Bapak menyadari betapa hati kami sebenarnya dekat. Tanpa harus dibarengi kata-kata, tapi tindakan Bapak sudah mencerminkan beliau sudah mulai berubah setidaknya sedikit demi sedikit. Sungguh Allah memiliki cara yang hebat untuk menyentuh hati-hati hamba-Nya.

Saya memutuskan berhenti menyalahkan keadaan, berhenti memunggungi Bapak. Sekarang saya punya kebiasaan baru, mendoakan Bapak dan Ibu menjelang tidur. Terkadang air mata saya membanjir, teringat masih banyak hutang kehidupan yang belum saya tunaikan. Untuk Bapak. Untuk Ibu. Untuk adik-adik saya :')

Bapak juga punya kebiasaan baru, rajin menelpon. Bapak sudah punya hape :D

Saya menyayangi Bapak. Sangat... Saya tidak akan pernah meninggalkan rumah hingga tiba saatnya Bapak ikhlas memercayakan hidup dunia dan akhirat saya pada 'seseorang' yang beliau percayai.

Sabtu, 28 Desember 2013

Hey, You! I'm Still Alive! :)

Bismillah....

Alhamdulillah, saya kembali :')
“Live as if you were to die tomorrow. Learn as if you were to live forever.”
― Mahatma Gandhi
I will... Setelah semua yang saya lewati sepanjang tahun 2013, saya berharap tahun 2014 semua ketololan, kealpaan dan hal-hal buruk lainnya bisa saya hindari dan tidak lagi saya ulangi. Hati saya diberi kelapangan untuk belajar. Iya, semoga... Aamiin :')

"Those who don't learn from history are doomed to repeat it."
-George Santayana

Senin, 15 Juli 2013

Dear, dad...

Dad... God knows how much i love you...

I don't hate you.

Sincerely, your daughter

Minggu, 30 Juni 2013

Bukan Entah (Lagi)

Sebuah kesadaran yang belum terlambat datang menghantam kepalaku hingga membuatku terpental tapi tidak sampai lupa ingatan. Aku lupa mulai kapan aku lebih sering berdiam diri dan hanya mengajak isi kepalaku bercakap-cakap dengan entah siapa ( hati?), aku juga tidak tahu kapan pastinya aku lebih sering memutar list lagu-lagu saat aku masih di rumah dulu, Westlife, MLTR, lagu-lagu itu seolah memanggil pulang kenangan demi kenangan yang tak kutahu sembunyi di mana sebelumnya.

Hari ini aku terlalu melankolis. Ingat ibuku, ingat masa depanku. I'm feeling unsafe after that... than i'm crying alone. 

  Sesak sekali, Tuhan... :')

Minggu, 23 Juni 2013

Another Day, Another Pain... I'm A Good Liar

God knows me so well more than anyone. 

Mengingat diriku, mengingat keburukan-keburukan yang aku lakukan berulang-ulang. Aku bertanya-tanya sendiri apakah hatiku sudah sedemikian berkarat hingga sulit menerima perubahan yang lebih baik? I dunno what's wrong with myself. 

I'm a good liar. Yes i'm.

Sometimes, i pretend to be sick. I think i'm having a psychological illness. Someone who always pretended to be sick when encountering an urgent situation. It's me.

I'm tired of being like this...  

No one can help me, only Allah... 

Kamis, 16 Mei 2013

Long Time No See!

Kalo dengan sengaja menghitung-hitung hari, rasanya sudah terlampau lama saya tidak menulis di blog tersayang ini. Banyak penyebabnya. Malas, terlanjur jauh dari blog, serta beberapa alasan psikis lainnya. Ummm... Lumanyan banyak kejadian penting dan gak penting yang terjadi dalam rentan waktu di belakang.

Teman, sahabat, karib saya banyak yang berbahagia. Sepupu saya Insha Allah akan menikah besok, menyusul sahabat saya berturut-turut 25 Mei, dan 2 Juni. Sedih memang karena saya tidak bisa turut hadir menyaksikan langsung wajah sumringah mereka tapi Insha Allah hati saya dekat dan selalu ada doa yang mengalir untuk mereka.

Sahabat saya, Matt sudah diwisuda dan saya masih luntang-lantung di kampus.

Dan yang lebih penting adalah, hati saya... hati saya sudah tidak kacrut kacau balau macam beberapa bulan lalu. Saya sudah berdamai, benar-benar lapang. Sebuah proses yang panjang dan banyak menyita air mata tapi setelahnya saya merasa semakin kuat dan kuat.

Saya percaya skenario Allah jauh lebih indah dari yang  saya impikan. Saya hanya perlu berikhtiar sebanyak-banyaknya. Doa dan kerja keras, kerja keras....

Rabu, 20 Maret 2013

[Cerpen] SURAT UNTUKMU, LELAKI YANG MENCINTAI KOPI

SURAT UNTUKMU, LELAKI YANG MENCINTAI KOPI
Oleh : Nafilah Nurdin

Kita adalah setapak kecil dan pepohonan pinus, bersama tapi bukan melebur. Hanya bisa saling mengamati...
Usiamu 224 tahun dan aku 22 tahun.
Aku mencintaimu.
Di antara riuh cerita tentang Pramoedya, Soe Hoek Gie & Rendra. Ada cerita lain ikut terjalin. Kasat mata dan halus. Ya. Ketika tersadar aku telah terjatuh di tempat yang di kemudian hari terlalu sering memonopoli air mataku. Ah, cinta platonisku sayang...
“Tolong maafkan aku.” Aku berucap sambil menatap bola mata cokelatmu. Seperti biasa kau menyunggingkan senyum pembunuhmu. Tak sadar kalau hanya dengan melihatnya aku bisa dilanda sesak napas sekian detik.
“Ada apa?” Kau memajukan kursimu hingga berjarak sekian senti lebih dekat denganku. Aroma rokok dan kopi mengelus penciumanku.
“Kau tahu apa yang sedang terjadi belakangan ini padaku?”
Kau menggeleng.
“Aku bukan Cenayang,” tawamu.
“Sepertinya aku sudah keluar dari jalur yang kita pijak. Aku tidak lagi searah perjalanmu. Maafkan aku, Ndra.”
“Maksudmu?”
“Aku menyukaimu.”
Hening. Kau menyesap kopimu. Menyalakan sebatang rokok dan mengepulkan asapnya ke udara.
“Aku juga menyukaimu. Sangat mencintaimu.” Datar tanpa riak.
Saat itu, di detik kau mengucapkan kalimat itu aku merasakan duniaku melenggang sunyi. Aku mengenalmu seperti aku mengenal wangi tubuhmu. Kopi, rokok, buku dan malam. Ndra, kau sudah sudah terlampau sering mengatakan “Aku menyukaimu”. Dan jawaban yang kau berikan malam itu di kedai kopi langganan kita adalah penolakan paling menyakitkan setelah aku kehilangan ibuku setahun silam. Aku terhempas di dasar rasaku. Setelah ibuku menolak membawaku pergi bersamanya ke surga, kini kau pun melakukan hal yang sama. Menolakku menempati salah satu tempat di hatimu bukan sebagai aku tapi sebagai kita.
Sebelum kau memutuskan menyukai atau tidak menyukai seseorang, kau sudah harus tahu terlebih dahulu isi pikirannya, katamu. Benar, Ndra. Tapi sayangnya, aku memutuskan menyukaimu bersamaan keinginan untuk mengenalmu lebih jauh lagi. Aku lupa kalau kau punya sebuah dunia yang kau huni. Sendirian. Tadinya aku bermaksud masuk dan turut serta tinggal bersamamu. Akan tetapi kau dengan halus menolak membuka pintu untukku. Duniamu hanya untukmu sendiri. Tidak ada tempat untukku di sana. Perih.
=oOo=
Seperti inilah kisah kita.
Pada sebuah hari yang biasa, kita bertukar cerita tentang Sastra, Filsafat, Psikologi, Politik dan hidup. Aku merasa telah menemukan apa yang pernah aku doakan kepada Tuhan. Kau penjelmaan doa itu. Lelaki yang mencintai kopi, malam dan buku-buku. Semakin sering aku bercengkrama denganmu maka semakin nyata aku kagum padamu. Kagum lalu cinta. Sebuah jembatan yang aneh, bukan? Orang-orang akan menganggap aku terlalu mudah jatuh hati padamu. Barangkali memang seperti itulah adanya. Aku, perempuan yang mudah jatuh hati. Tapi padamu, perasaan ini seolah mengakar subur. Menjelma cerita yang tiada lelah aku tuturkan pada sang waktu.
Setelah insiden pengakuanku, hubungan kita tetap berjalan seperti   hari-hari biasa. Itu apa yang kau lihat. Ndra, tahukah kamu betapa keras perjuanganku hanya agar kau melihat aku baik-baik saja? Aku memilih menangis diam-diam jika aku merasa kelelahan dengan pertahananku. Pada malam-malam sunyi, coba kau tanyakan siapa juaranya menangis tanpa suara? Itu aku. Coba kau tanya lagu yang kuputar saban hari aku merindukanmu? Lagu favoritmu, Donna Donna. Sayang sekali kau tak akan punya jeda waktu sekadar menengok hal remeh-temeh tentangku. Sekali lagi, kau ibarat bayangan yang berjalan ke Barat. Tak terkejar siapapun. Aku adalah salah satu dari sekian banyak hal yang luput dari kalkulasi pentingmu. Sedih bila aku membayangkan itu, Ndra.
Ndra, tentangmu adalah rupa rasa warna-warni. Aku bisa sangat berbinar walau hanya dengan membaca pesan singkatmu di ponselku (yang terkadang hanya emoticon senyum saja), betapa gugupnya aku menunggu balasan SMS-mu, membaca statusmu di beranda Facebook-ku, dan hanya bisa terisak tatkala kuat keinginan untuk mendengar suaramu atau sekadar menatap senyum pembunuhmu. Aku tak punya keberanian untuk mengganggumu. Pertemuan demi pertemuan di kedai kopi langganan kita kurasakan makin hambar dan jarang. Kau lebih sering terlihat tenggelam dalam buku-buku yang kau bawa dari kost dan aku yang masih tabah menunggumu membuka percakapan. Ternyata ada yang hilang dari kita. Kehangatan, Ndra. Apakah kau merasakannya? Ataukah memang kau sengaja menjalankan skenario yang pelan-pelan memisahkan kita di atas jarak kasat mata?
Lalu tibalah aku pada sebuah keputusan gila. Meninggalkanmu. Menaruh harapan di tempat baru mendapatkan oksigen baru. Melupakanmu. Perhitungan hatiku, aku akan tenang bila berjauhan dengan sosokmu. Jika ini benar-benar cinta, aku menyerah.
Aku seperti melihat luka di bola matamu di hari aku pamit padamu. Namun buru-buru kutepis khayalan fana itu. Kata orang, jatuh cinta bisa menstimulasi otak untuk melamunkan apa yang disebut harapan. Itulah rupaku. Banyak sekali file-file adegan yang aku harapkan bisa kulewati bersamamu dan mentah di alam antah berantah.
“Kau benar-benar akan meninggalkanku?”
“Kau punya banyak kawan selain aku, Ndra. Kau masih punya buku yang banyak, kopi, rokok dan malam-malam panjang. Lagipula kita masih bisa kontek-kontekan. Nomor ponsel dan akun Fesbukku tidak akan kuganti. Kau akan dengan mudah menemukanku kapanpun kau mau. Kau juga bisa mengunjungiku di sana. Cuman tiga jam perjalanan.”
Aku menarik koperku menuju bus antarkota. Kau membisu. Tak bergerak hingga aku meninggalkan kota lama kita bersama bus yang melaju konstan. Patah hati itu sungguh tak enak. Hatiku serasa digilas roda bergerigi. Luka tetapi tidak berdarah.
=oOo=
Di kota kecilku yang baru. Hidupku masih dipenuhi aroma dirimu. Sekuat hati ingin melupakanmu justru berbanding lurus dengan kekuatan ingatan itu datang menjajahku. Ndra... sepeninggalku, apakah kau masih sering insomnia? Ngopi-ngopi hingga bergelas-gelas? Menghembuskan asap rokok berbungkus-bungkus? Buku-buku tebalmu.... kecuali rokok aku menyukai aromamu. Ah, bahkan untuk yang satu ini aku pernah nyaris berkompromi untuk memahami ketergantunganmu pada materi tembakau itu. Cinta butakah? Bukan. Cinta yang penuh kompromi.
Kapan rindu ini redam, Ndra? Aku mulai lelah.  Ingin benar aku mendengar alasan yang lebih masuk akal darimu mengapa kau membuang jauh-jauh inginmu menerima perasaanku. Terlalu banyak ketidakmungkinan menghadang kita, katamu. Benarkah? Ah, itu alasan mati yang menurutku tidak pernah masuk di akal. Ndra, Aku ingin tidur lebih lama dengan harapan bodoh nantinya saat aku terbangun, hatiku telah berdamai dengan perasaan ganjil ini.
=oOo=
Dua tahun tanpa kabarmu, bukan karena kita tak sempat mengirim jejak tapi karena kita sepertinya sudah sama-sama memaklumi bahwa saling menghindari adalah jalan keluar paling indah agar kita masih bisa saling mengenang sebagai kawan yang baik satu sama lain. Sebuah kenaifan yang mengada-ada. Tapi justru dengan cara itu aku belajar memahami peta nyata yang kita torehkan lewat kisah tanpa pengakuan. Kau menuntunku menemukan jalan bagaimana semestinya aku mencintaimu dengan sabar dan tekun. Kediamanmu yang hening. Kau tahu? Mencintaimu juga adalah melepaskanmu. Kau tahu bagaimana rasanya? Bagi lelaki sepertimu yang menganggap perkara ini terlampau sederhana bagi pemahamanmu bahkan tak cukup sadar mengapa aku selalu terseok-seok menangisimu. Kau takkan pernah paham rupa cintaku sebab kau menakar semua ini dari kelogisanmu berpikir. Sedang aku menggenggamnya dengan rasa. Cinta kau kalkulasikan dengan untung rugi. Manalah sempat kompromi menyatukan kita?
Aku tidak lagi apa-apa. Akhirnya. Kau tahu kenapa? Karena kamu. Masih ingat percakapan kita tentang mimpi? Kau tanya apa mimpiku dan kujawab menjadi penulis. Aku memilih jalan itu sebagai penyembuh lukaku. Manjur, Ndra. Ketika aku rindu, ketika aku menangis, ketika aku sesak karenamu, kupilih menuangkannya dalam aksara. Hanya dengan begitu hatiku tenang. Suatu saat kau harus membaca apa yang kutulis. Ada banyak namamu terserak di sana. Jangan besar kepala ya...
Pepatah bijak berkata bahwasanya cinta adalah membiarkannya tetap pada tempatnya. Tak perlu menggenggamnya erat apalagi meminta balasan atas apa yang kita berikan sebab cinta adalah sebuah penerimaan. Menerima. Benar.
Duhai lelaki yang mencintai kopi, malam & buku-buku...
Ketahuilah, aku selalu memohon kepada Tuhan semoga kau & aku dikaruniakan waktu yang panjang agar kelak entah kapan dan dimana kita sempat bersua. Duduk bersama sebagai kawan lama di kedai kopi langganan kita. Membincangkan Pramoedya, Soe Hoek Gie dan Rendra seperti yang sering kita lakukan sebelum cinta membawaku menjauh dari hatimu. Aku ingin kembali menikmati celotehanmu. Ndra, walaupun sekarang aku masih merindukanmu namun aromanya bukan lagi isyarat luka. Percayalah.
Aku baik-baik saja. Kau juga kan? Aku harap begitu. Kau pun harus baik-baik saja sekeras apapun dunia menempamu.
Always Remember You. Re.
=oOo=
“Re pergi dengan tenang, Ndra. Malam sebelum kecelakaan itu kami bersama-sama di gedung teater kampus. Tadinya aku ingin menghubungimu soal kedatangannya. Tapi dia melarang, kau pasti sedang sibuk katanya. Re terlihat sangat baik. Ia sudah mengenakan jilbab. Ia juga menunjukkan beberapa cerpennya yang dimuat di media Nasional. Re yang kita kenal dulu sudah jauh berbeda. Tawanya masih lebar tentu saja. Aku kangen Re...”
Mata Saras mengkristal. Sedetik kemudian pecah menjadi tangis tanpa suara. Sementara lelaki itu masih bergeming. Entah apa yang sedang berkecamuk di dalam batok kepalanya. Tak ada kepulan asap rokok seperti biasanya. Tak ada tumpukan buku-buku di atas meja. Tak ada kopi pekat di dalam cangkir putihnya. Meja kedai kopi yang ditempatinya sunyi sejak pertama kali ia memilih berdiam diri di situ demi menahan sesuatu yang merangsek menghancurkan ketenangannya. Berita itu, Re.
“Dia tidak ingin menemuiku karena aku telah melukainya.” Akhirnya ia bersuara. Serak.
“Ndra.”
“Begitulah aku, Ras. Aku bahkan mengacuhkan pesan singkatnya berkali-kali hingga dia memutuskan berhenti menghubungiku. Aku juga menyuruhnya jangan menyukaiku berlebihan karena aku bukan orang baik. Aku mendorongnya menjauhiku. Dan sekarang, Re benar-benar menjauhiku. Dia pergi tanpa memberitahuku. Apa yang bisa aku lakukan, Ras? Re... ah, dia pergi. Kenapa dia harus pergi sejauh itu?”
Saras menunduk. Tak sanggup menimpali. Ia sendiri sedang sibuk memaksa hatinya agar percaya berita yang disampaikan koran pagi mengenai bus antarkota terjatuh ke dalam jurang di kilometer 14 memuat nama Re. Sahabatnya. Padahal belum genap 24 jam setelah pertemuan mereka di teater kampus. Re datang ke kota lama mereka sebagai Penulis tamu mantan kampusnya.
Lelaki itu bangkit. Terhuyung-huyung.
“Kau mau kemana, Ndra?”
“Kemana saja. Aku lelah.”
“Ndra... Re tidak pernah menyalahkanmu. Kau tahu sendiri kan dia bukan orang seperti itu?” Saras terlihat khawatir.
“Aku ingin menemui, Re. Aku harus memberitahunya. Aku bukannya tidak menyukainya. Aku sangat menyukainya. Karena aku sangat menyukainya makanya aku tidak ingin ia bersama orang yang salah sepertiku. Re terlalu baik. Kenapa dia meninggalkanku dengan cara seperti ini? Kenapa dia tidak memberiku isyarat sedikitpun? Ya Tuhan, persetan dengan kesedihan ini!”
Lelaki itu terduduk di lantai. Saras menutup mukanya dengan dua telapak tangannya. Isakannya kali ini terdengar sangat jelas. Dini hari, kedai kopi yang lengang membisu melihat air mata Andra jatuh satu-satu.
Dear Kopi...
Ndra, semalam sebelum bertolak dari kotamu aku bermimpi indah sekali. Kita duduk berhadapan di kedai kopi langganan kita. Wajahmu cerah. Kau tersenyum sepanjang kebersamaan kita. Ah, setelah berbulan-bulan tak melihat senyummu. Walaupun kita tak sempat bertemu, Saras memberitahuku kau sehat. Lega rasanya mengetahui kau baik-baik saja.
Perjalanan pulang ke kota kecilku agak melelahkan. Aku ingin tidur.

Rabu, 06 Maret 2013

[Cerpen] Sehangat Pelukan Ibu


SEHANGAT PELUKAN IBU
Oleh : Nafilah Nurdin
Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibu!
Tanpa ragu-ragu aku pasti mengacungkan telunjukku paling pertama demi menjawab pertanyaan sederhana itu. Iya, siapa lagi yang paling aku sayangi jika bukan Ibu? Aku yakin seratus persen, teman-teman sekelasku pun tentu akan meluncurkan jawaban sama denganku. Berulang kali, pertanyaan yang sama selalu kujawab sama hingga aku meninggalkan bangku sekolah dasar.Tatkala aku beranjak remaja dan meninggalkan rumah demi menimba ilmu di tanah orang, rasanya menjadi lain bila ada orang yang mengajukan pertanyaan tersebut padaku.
Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibu. Masih tetap Ibu. Namun untuk mengucapkan satu kata itu, aku membutuhkan miliyaran detik. Bukan karena aku enggan atau merasa berat tetapi karena ada berton-ton rindu turut serta membayangi lidahku menyebut nama Ibu. Mengingat Ibu berarti mengingat sederet kenangan dimulai masa kecil hingga detik ini, bagaimana Ibu menampilkan sosoknya sebagai pejuang di garda paling depan bagi aku dan ketiga adikku. Ibu adalah perkara paling sentimental menurutku. Orang yang paling aku sayangi di dunia ini adalah Ibu. Suluh penyemangatku agar tetap bisa bertahan mengejar cita-cita di tanah orang adalah Ibu. Tahun ini, Ibu berkeinginan melihatku memakai baju sarjana. Itulah doa yang paling rajin Ibu sampaikan dalam salat malamnya.
 Dan pada hari ini di bawah rerimbunan pepohonan kersen di depan pelataran parkiran kampusku, air mataku mengucur deras tanpa sempat kutahan. Akumulasi rindu dan kesedihan menguar, berhasil menstimulasi saraf kelenjar air mataku.
“Belum waktunya, Ra. Ini jalan yang sudah ditentukan Allah. Kamu disuruh sabar... Kamu percaya kan kalo rencana Allah untuk hambanya jauh lebih indah dari yang kita pikirkan?” ucapan Nena belum bisa menangkanku, justru isakanku kian dalam. Terbayang wajah lelah Ibu. Bagaimanalah ini... betapa kecewanya beliau bila mengetahui aku belum bisa meraih gelar sarjanaku tahun ini, aku belum bisa menerbitkan senyum kelegaan di pelupuk matanya. Aku teringat sepasang baju yang beliau persiapkan untuk menghadiri acara wisudaku.
Ibu... aku ingin berlari ke pelukanmu...
=oOo=
 “Aku ingin pulang kampung, Na.”
Sore memeluk hari ini. Warna keemasan menyebar di seantero musholla kampus FMIPA. Suasana sudah sepi. Pada jam seperti ini, mahasiswa sebagian besar sudah pulang kecuali yang melakukan praktikum laboratorium. Bahkan hingga malam mereka masih berkeliaran di sekitar kampus.
Nena melipat mukenanya, memasukkan mushaf kecilnya ke dalam tas ransel. Tak ada sahabat yang begitu setia seperti Nena. Gadis yang sebentar lagi memakai toga itu tak rela meninggalkanku sendirian meskipun aku bersikeras mengusirnya. Ia betah menemaniku sambil sesekali menghiburku. Ah... seharusnya kami diwisuda bersama. Tapi apa mau dikata? Wisuda hanya sebatas angan bagiku, tahun ini.
Nena menatapku, sangat lama.
“Jangan melarikan diri.”
“Tidak. Ini bukan rencana pelarian diri” elakku.
“Kita tidak pernah merencanakan kegagalan, Ra. Aku sangat percaya Allah menitipkan hikmah dalam musibah ini.”
Aku tersenyum. Senyum pertamaku hari ini sejak aku menerima pemberitahuan dari dosen pembimbing akademik kalau aku belum siap mengajukan sidang hasil dan skripsi karena masih ada satu mata kuliah tertinggal.
“Aku butuh suasana penenangan diri, Na. Kupikir rumah akan membantu proses berdamai dalam diriku.”
“Berapa lama? Kau tidak berniat melupakan wisudaku, kan?”
“Kita lihat saja nanti. Di sini nyeri, Na. Sakit sekali kalau mengingat wisuda.”
Nena bergerak maju, memelukku erat. air mataku kembali jatuh. Aku ingat Ibu.
“Semoga Allah menguatkanmu...”
=oOo=
“Sekolah yang rajin, Nak. Coba kau lihat orang-orang yang sekolahnya tinggi-tinggi itu. Mereka bersungguh-sungguh menjadi orang sukses. Kau tahu, Nak? Hanya orang dengan tekad bulat serta kerja keras yang bisa menjadikan cita-citanya nyata. Kau ingin menjadi sukses to, Nak? Haa, kau sekolah lah yang serius.”
Usiaku belum genap dua belas tahun kala itu. Sembari menunggu jadwal mengaji sesudah bakda asar, aku membaca buku cerita yang kupinjam di perpustakaan sekolah. Ibu sedang menapis beras. Butir-butir beras yang kecil-kecil terpental jatuh menjadi santapan kerumunan ayam peliharaan Ibu di bawah lantai dapur rumah panggung kami. Sepoi angin menjelang sore menyentuh dedaunan jambu air yang tumbuh tepat di sisi kanan tangga dapur. Aku ingat betul raut wajah Ibu ketika mengucapkan kalimat bertuah itu. Ada pengharapan yang tinggi di sana.
Maka sejak saat itu, aku menanam janji atas semua harapan itu, sekolah setinggi-tingginya agar semakin dekat dengan kesuksesan. Pemaknaan tersebut membuatku terpacu. Ialah Ibu yang tiada pernah mengenal lelah menyemangatiku. Bila musim ulangan tiba, Ibu selalu tepat waktu membangunkanku di sepertiga malam untuk belajar, menyiapkan sarapan pagiku, melepas kepergianku di depan pintu rumah bersama wajah bersemangatnya. Adik-adikku masih teramat kecil untuk mengerti sinergi yang tumbuh antara aku dan Ibu. Sementara Bapak, beliau sudah meninggalkan rumah sebelum matahari pagi sempurna menyepuh seluruh tanah kelahiranku di kaki Batu Sangia. Kebun yang digarap Bapak terletak di belakang kampung. Bapak baru pulang ke rumah menjelang matahari terbenam bersama sapi-sapi gembalaannya. Demikianlah masa kecil aku habiskan.
Pernahkah kau menginginkan suatu hal? Ketika keinginanmu mencapai puncak tertinggi, menyisakan selangkah lagi maka kau sukses menggenggamnya namun di saat yang sama sebuah kenyataan pahit menebus jerih payahmu. Gagal. Rasanya dunia seperti membelakangimu. Itulah yang sedang aku rasakan sekarang.
Kurasakan gerakan pelan di atas tubuhku. Mataku membuka sedikit. Sorot lampu 5 watt membentuk siluet Ibu. Kebiasaan Ibu saat kami sudah jatuh terlelap, membetulkan letak selimut kami. Ibu terdiam cukup lama di samping ranjangku. Tak ada suara. Tapi kutahu ada berjuta bahasa dalam diamnya. Mungkinkah Ibu sudah tahu? Aku belum berbicara apapun soal urusan kuliah sejak kedatanganku sore tadi setelah menempuh perjalanan darat dan laut selama hampir 12 jam. sehabis bercerita sedikit dengan Bapak dan mengusili adik-adikku, aku beranjak mengistirahatkan diri di kamar.
Tak berapa lama kudengar langkah kaki Ibu bergabung dengan Bapak di ruang tengah. Suara televisi lamat-lamat tertangkap telingaku.
“Naira lebih pendiam ya, Pak.” Suara Ibu.
“Barangkali kecapekan, Bu. Besok dia pasti akan kembali cerewet lagi.”
“Yah, semoga sajalah. Kira-kira kenapa Naira pulang ya, Pak? Setahu Ibu libur semester belum lewat. Kata Naira kan, Insya Allah dia diwisuda bulan depan jadi pasti saat sekarang adalah masa-masa sibuk...”
Aku menahan napas. Sesak.
“Aaah, Ibu ini... selalu banyak mikir. Bersyukur Naira pulang. Ndak usah tanya ini-itu. Bukannya kemarin-kemarin Ibu yang bilang kangen sama Nai? Nah, berarti Nai pun kangen juga sama kita makanya dia pulang. Ya to, Bu?”
Perbincangan itu masih berlanjut dengaan topik bahasan bermacam-macam mulai dari berita di tivi, sapi-sapi Bapak yang baru melahirkan, kebun Bapak yang pagarnya dijebol babi hutan dan pemilihan kepala daerah beberapa bulan ke depan.
Aku terisak pelan di kamarku yang lampunya sudah dimatikan Ibu.
=oOo=
Kokok ayam di atas pohon sawo besar depan jendela kamarku mengiringi suara azan muadzin di masjid kampung kami. Merdu memecah kebisuan subuh yang suhunya selalu lebih dingin dari kota tempatku menimba ilmu. Kata orang-orang, geliat awal hari berawal dari kampung-kampung kecil. Benar sekali. Lekas kubangunkan ketiga adikku untuk salat Subuh berjamaah. Ibu sudah sibuk di dapur. Kepulan asap dari tungku menyebar ke mana-mana. Bagian mana dari rumah yang tak membuatku rindu? Seluruh bagiannya membuatku rindu tak terkecuali
.Pagi cepat sekali datang. Semburat matahari mengintip dari celah Batu Sangia.
“Ibu ndak ngajar?” tanyaku melihat Ibu belum juga bersiap-siap dengan  baju seragamnya. Sejak dua tahun lalu Ibu diangkat sebagai kepala sekolah sebuah SD tertinggal sekitar sembilan kilometer dari kampung kami. Akses ke sana masih sangat sulit, jadi Ibu biasanya menempuhnya dengan berjalan kaki melewati kawasan hutan dan kebun jambu mete warga.
“Hari ini Ibu izin. Ada kamu, kok.” Ibu menyahut.
“Lah, biasanya juga kalo Nai pulang ibu tetap ngajar...”
“Ibu merasa kepulanganmu ini berbeda dengan sebelumnya. Tidak ada liburan, tidak ada pemberitahuan eh tiba-tiba Nai sudah ada di depan pintu dengan mata lebih sipit dari biasanya.”
Aku membuang tatapanku keluar, pura-pura tak melihat sepasang mata Ibu yang berusaha menangkapku dalam tatapannya. Bunga-bunga jambu air mulai bermekaran. Rumah sunyi, bapak sudah berangkat ke kebun dan ketiga adikku sudah melesat ke sekolah masing-masing.
“Ada yang ingin kamu ceritakan pada Ibu, Nai?”
Aku memainkan ujung jilbab lebarku. Ada, Bu. Terlalu banyak yang ingin kuceritakan sampai aku tidak tahu harus memulai dari mana...
“Kalau Nai bingung mulai dari mana, pelan-pelan saja... Apa yang membuatmu murung, Nak? Ibu belum pernah melihat wajahmu sekeruh sekarang ini.”
Lihatlah, Ibu selalu tahu... Ibu bermata jeli...
“Nai...” suaraku tertahan. Kurasakan mataku memanasa demikian cepat.
Ibu mendekatiku. Kami duduk saling berhadapan di pintu dapur yang terbuka lebar.
“Nai tidak jadi diwisuda tahun ini, Bu. Nai tidak bisa selesai kuliah tepat waktu. Nai...” isakanku pecah seketika.
Hening.
“Maafkan Nai, Bu. Nai mengecewakan Ibu dan Bapak.”
Ibu memelukku. Hangat benar rasanya.
“Ini yang membuatmu sedih sepanjang waktu, Nak? Kenapa kau demikian terbebani? Apakah harapan kami melukaimu sedalam ini?” suara Ibu turut basah.
“Nai tidak bisa membanggakan, Bapak dan Ibu.” Dan mengalirlah cerita itu, tentang aku yang tidak hati-hati memerhatikan Kartu Hasil Studiku, hingga melupakan satu mata kuliah semester ganjil. Itulah yang menghalangiku wisuda tahun ini.
“Kata siapa kau tidak membuat kami bangga? Ya Allah, anak ibu ini... siapa yang bilang kamu tidak bisa membuat ibu dan bapakmu bangga, Nak?”
Ibu mengusap wajahku lembut, menghapus jejak air mata di sana.
“Bagi Ibu, kalian lahir ke dunia ini lalu tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia adalah sebuah kebanggaan terbesar. Jika kalian berprestasi, itu bonus buat kami. Apakah pernah Ibu mematok kau harus selesai tepat waktu? apakah pernah sekali saja Ibu memintamu menyelesaikan kuliah secepatnya? Tidak pernah, kan?”
“Tapi Nai sudah berjanji akan selesai tahun ini...”
“Lalu Nai merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi janji itu? Nai sedih berkepanjangan bahkan untuk tersenyum lebar pada Ibu pun terasa sulit bagimu...”
Aku diam.
“Nak, sebagai manusia kita hanya bisa sebatas merencanakan dan berusaha keras agar rencana itu terwujud. Ketika apa yang kita usahakan tidak berhasil berarti Allah sudah menyiapkan rencana yang jauh lebih indah dari rencana kita. Coba ingat, apakah Bapak pernah sedih berlarut-larut ketika hasil kebunnya tidak sesuai harapan? Apakah Bapak mengaggap dirinya tidak becus ketika babi hutan merusak seluruh isi kebunnya? Tidak pernah. Kenapa? Karena Bapak tahu sebatas mana kapasitasnya sebagai petani. Nah, seperti itulah Nai juga... Nai bukan gagal tapi Nai hanya belum sukses tahun ini. Insya Allah tahun depan Nai bisa wisuda.”
Aku melihat kesungguhan di mata Ibu. Tidak ada kekecewaan seperti yang aku bayangkan sebelumnya.
“Sampai kapanpun, Nai adalah anak Ibu yang selalu hebat. Kakak yang super bagi Nadir, Rambu dan Aqsa! Ayok, sini peluk Ibu!”
Air mataku kembali tumpah. Aku tidak pernah menyangka penyelesaiannya akan sedemikian ringkas dan melegakkan seperti ini.
 Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibuku. Pelukan Ibu adalah rumah yang paling aku rindukan. Hangat dan sanggup membayar lunas seluruh lelahku sepanjang tahun.
*Cerpen ini pernah dimuat di Kendari Post edisi Februari 2013