Rabu, 06 Maret 2013

[Cerpen] Sehangat Pelukan Ibu


SEHANGAT PELUKAN IBU
Oleh : Nafilah Nurdin
Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibu!
Tanpa ragu-ragu aku pasti mengacungkan telunjukku paling pertama demi menjawab pertanyaan sederhana itu. Iya, siapa lagi yang paling aku sayangi jika bukan Ibu? Aku yakin seratus persen, teman-teman sekelasku pun tentu akan meluncurkan jawaban sama denganku. Berulang kali, pertanyaan yang sama selalu kujawab sama hingga aku meninggalkan bangku sekolah dasar.Tatkala aku beranjak remaja dan meninggalkan rumah demi menimba ilmu di tanah orang, rasanya menjadi lain bila ada orang yang mengajukan pertanyaan tersebut padaku.
Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibu. Masih tetap Ibu. Namun untuk mengucapkan satu kata itu, aku membutuhkan miliyaran detik. Bukan karena aku enggan atau merasa berat tetapi karena ada berton-ton rindu turut serta membayangi lidahku menyebut nama Ibu. Mengingat Ibu berarti mengingat sederet kenangan dimulai masa kecil hingga detik ini, bagaimana Ibu menampilkan sosoknya sebagai pejuang di garda paling depan bagi aku dan ketiga adikku. Ibu adalah perkara paling sentimental menurutku. Orang yang paling aku sayangi di dunia ini adalah Ibu. Suluh penyemangatku agar tetap bisa bertahan mengejar cita-cita di tanah orang adalah Ibu. Tahun ini, Ibu berkeinginan melihatku memakai baju sarjana. Itulah doa yang paling rajin Ibu sampaikan dalam salat malamnya.
 Dan pada hari ini di bawah rerimbunan pepohonan kersen di depan pelataran parkiran kampusku, air mataku mengucur deras tanpa sempat kutahan. Akumulasi rindu dan kesedihan menguar, berhasil menstimulasi saraf kelenjar air mataku.
“Belum waktunya, Ra. Ini jalan yang sudah ditentukan Allah. Kamu disuruh sabar... Kamu percaya kan kalo rencana Allah untuk hambanya jauh lebih indah dari yang kita pikirkan?” ucapan Nena belum bisa menangkanku, justru isakanku kian dalam. Terbayang wajah lelah Ibu. Bagaimanalah ini... betapa kecewanya beliau bila mengetahui aku belum bisa meraih gelar sarjanaku tahun ini, aku belum bisa menerbitkan senyum kelegaan di pelupuk matanya. Aku teringat sepasang baju yang beliau persiapkan untuk menghadiri acara wisudaku.
Ibu... aku ingin berlari ke pelukanmu...
=oOo=
 “Aku ingin pulang kampung, Na.”
Sore memeluk hari ini. Warna keemasan menyebar di seantero musholla kampus FMIPA. Suasana sudah sepi. Pada jam seperti ini, mahasiswa sebagian besar sudah pulang kecuali yang melakukan praktikum laboratorium. Bahkan hingga malam mereka masih berkeliaran di sekitar kampus.
Nena melipat mukenanya, memasukkan mushaf kecilnya ke dalam tas ransel. Tak ada sahabat yang begitu setia seperti Nena. Gadis yang sebentar lagi memakai toga itu tak rela meninggalkanku sendirian meskipun aku bersikeras mengusirnya. Ia betah menemaniku sambil sesekali menghiburku. Ah... seharusnya kami diwisuda bersama. Tapi apa mau dikata? Wisuda hanya sebatas angan bagiku, tahun ini.
Nena menatapku, sangat lama.
“Jangan melarikan diri.”
“Tidak. Ini bukan rencana pelarian diri” elakku.
“Kita tidak pernah merencanakan kegagalan, Ra. Aku sangat percaya Allah menitipkan hikmah dalam musibah ini.”
Aku tersenyum. Senyum pertamaku hari ini sejak aku menerima pemberitahuan dari dosen pembimbing akademik kalau aku belum siap mengajukan sidang hasil dan skripsi karena masih ada satu mata kuliah tertinggal.
“Aku butuh suasana penenangan diri, Na. Kupikir rumah akan membantu proses berdamai dalam diriku.”
“Berapa lama? Kau tidak berniat melupakan wisudaku, kan?”
“Kita lihat saja nanti. Di sini nyeri, Na. Sakit sekali kalau mengingat wisuda.”
Nena bergerak maju, memelukku erat. air mataku kembali jatuh. Aku ingat Ibu.
“Semoga Allah menguatkanmu...”
=oOo=
“Sekolah yang rajin, Nak. Coba kau lihat orang-orang yang sekolahnya tinggi-tinggi itu. Mereka bersungguh-sungguh menjadi orang sukses. Kau tahu, Nak? Hanya orang dengan tekad bulat serta kerja keras yang bisa menjadikan cita-citanya nyata. Kau ingin menjadi sukses to, Nak? Haa, kau sekolah lah yang serius.”
Usiaku belum genap dua belas tahun kala itu. Sembari menunggu jadwal mengaji sesudah bakda asar, aku membaca buku cerita yang kupinjam di perpustakaan sekolah. Ibu sedang menapis beras. Butir-butir beras yang kecil-kecil terpental jatuh menjadi santapan kerumunan ayam peliharaan Ibu di bawah lantai dapur rumah panggung kami. Sepoi angin menjelang sore menyentuh dedaunan jambu air yang tumbuh tepat di sisi kanan tangga dapur. Aku ingat betul raut wajah Ibu ketika mengucapkan kalimat bertuah itu. Ada pengharapan yang tinggi di sana.
Maka sejak saat itu, aku menanam janji atas semua harapan itu, sekolah setinggi-tingginya agar semakin dekat dengan kesuksesan. Pemaknaan tersebut membuatku terpacu. Ialah Ibu yang tiada pernah mengenal lelah menyemangatiku. Bila musim ulangan tiba, Ibu selalu tepat waktu membangunkanku di sepertiga malam untuk belajar, menyiapkan sarapan pagiku, melepas kepergianku di depan pintu rumah bersama wajah bersemangatnya. Adik-adikku masih teramat kecil untuk mengerti sinergi yang tumbuh antara aku dan Ibu. Sementara Bapak, beliau sudah meninggalkan rumah sebelum matahari pagi sempurna menyepuh seluruh tanah kelahiranku di kaki Batu Sangia. Kebun yang digarap Bapak terletak di belakang kampung. Bapak baru pulang ke rumah menjelang matahari terbenam bersama sapi-sapi gembalaannya. Demikianlah masa kecil aku habiskan.
Pernahkah kau menginginkan suatu hal? Ketika keinginanmu mencapai puncak tertinggi, menyisakan selangkah lagi maka kau sukses menggenggamnya namun di saat yang sama sebuah kenyataan pahit menebus jerih payahmu. Gagal. Rasanya dunia seperti membelakangimu. Itulah yang sedang aku rasakan sekarang.
Kurasakan gerakan pelan di atas tubuhku. Mataku membuka sedikit. Sorot lampu 5 watt membentuk siluet Ibu. Kebiasaan Ibu saat kami sudah jatuh terlelap, membetulkan letak selimut kami. Ibu terdiam cukup lama di samping ranjangku. Tak ada suara. Tapi kutahu ada berjuta bahasa dalam diamnya. Mungkinkah Ibu sudah tahu? Aku belum berbicara apapun soal urusan kuliah sejak kedatanganku sore tadi setelah menempuh perjalanan darat dan laut selama hampir 12 jam. sehabis bercerita sedikit dengan Bapak dan mengusili adik-adikku, aku beranjak mengistirahatkan diri di kamar.
Tak berapa lama kudengar langkah kaki Ibu bergabung dengan Bapak di ruang tengah. Suara televisi lamat-lamat tertangkap telingaku.
“Naira lebih pendiam ya, Pak.” Suara Ibu.
“Barangkali kecapekan, Bu. Besok dia pasti akan kembali cerewet lagi.”
“Yah, semoga sajalah. Kira-kira kenapa Naira pulang ya, Pak? Setahu Ibu libur semester belum lewat. Kata Naira kan, Insya Allah dia diwisuda bulan depan jadi pasti saat sekarang adalah masa-masa sibuk...”
Aku menahan napas. Sesak.
“Aaah, Ibu ini... selalu banyak mikir. Bersyukur Naira pulang. Ndak usah tanya ini-itu. Bukannya kemarin-kemarin Ibu yang bilang kangen sama Nai? Nah, berarti Nai pun kangen juga sama kita makanya dia pulang. Ya to, Bu?”
Perbincangan itu masih berlanjut dengaan topik bahasan bermacam-macam mulai dari berita di tivi, sapi-sapi Bapak yang baru melahirkan, kebun Bapak yang pagarnya dijebol babi hutan dan pemilihan kepala daerah beberapa bulan ke depan.
Aku terisak pelan di kamarku yang lampunya sudah dimatikan Ibu.
=oOo=
Kokok ayam di atas pohon sawo besar depan jendela kamarku mengiringi suara azan muadzin di masjid kampung kami. Merdu memecah kebisuan subuh yang suhunya selalu lebih dingin dari kota tempatku menimba ilmu. Kata orang-orang, geliat awal hari berawal dari kampung-kampung kecil. Benar sekali. Lekas kubangunkan ketiga adikku untuk salat Subuh berjamaah. Ibu sudah sibuk di dapur. Kepulan asap dari tungku menyebar ke mana-mana. Bagian mana dari rumah yang tak membuatku rindu? Seluruh bagiannya membuatku rindu tak terkecuali
.Pagi cepat sekali datang. Semburat matahari mengintip dari celah Batu Sangia.
“Ibu ndak ngajar?” tanyaku melihat Ibu belum juga bersiap-siap dengan  baju seragamnya. Sejak dua tahun lalu Ibu diangkat sebagai kepala sekolah sebuah SD tertinggal sekitar sembilan kilometer dari kampung kami. Akses ke sana masih sangat sulit, jadi Ibu biasanya menempuhnya dengan berjalan kaki melewati kawasan hutan dan kebun jambu mete warga.
“Hari ini Ibu izin. Ada kamu, kok.” Ibu menyahut.
“Lah, biasanya juga kalo Nai pulang ibu tetap ngajar...”
“Ibu merasa kepulanganmu ini berbeda dengan sebelumnya. Tidak ada liburan, tidak ada pemberitahuan eh tiba-tiba Nai sudah ada di depan pintu dengan mata lebih sipit dari biasanya.”
Aku membuang tatapanku keluar, pura-pura tak melihat sepasang mata Ibu yang berusaha menangkapku dalam tatapannya. Bunga-bunga jambu air mulai bermekaran. Rumah sunyi, bapak sudah berangkat ke kebun dan ketiga adikku sudah melesat ke sekolah masing-masing.
“Ada yang ingin kamu ceritakan pada Ibu, Nai?”
Aku memainkan ujung jilbab lebarku. Ada, Bu. Terlalu banyak yang ingin kuceritakan sampai aku tidak tahu harus memulai dari mana...
“Kalau Nai bingung mulai dari mana, pelan-pelan saja... Apa yang membuatmu murung, Nak? Ibu belum pernah melihat wajahmu sekeruh sekarang ini.”
Lihatlah, Ibu selalu tahu... Ibu bermata jeli...
“Nai...” suaraku tertahan. Kurasakan mataku memanasa demikian cepat.
Ibu mendekatiku. Kami duduk saling berhadapan di pintu dapur yang terbuka lebar.
“Nai tidak jadi diwisuda tahun ini, Bu. Nai tidak bisa selesai kuliah tepat waktu. Nai...” isakanku pecah seketika.
Hening.
“Maafkan Nai, Bu. Nai mengecewakan Ibu dan Bapak.”
Ibu memelukku. Hangat benar rasanya.
“Ini yang membuatmu sedih sepanjang waktu, Nak? Kenapa kau demikian terbebani? Apakah harapan kami melukaimu sedalam ini?” suara Ibu turut basah.
“Nai tidak bisa membanggakan, Bapak dan Ibu.” Dan mengalirlah cerita itu, tentang aku yang tidak hati-hati memerhatikan Kartu Hasil Studiku, hingga melupakan satu mata kuliah semester ganjil. Itulah yang menghalangiku wisuda tahun ini.
“Kata siapa kau tidak membuat kami bangga? Ya Allah, anak ibu ini... siapa yang bilang kamu tidak bisa membuat ibu dan bapakmu bangga, Nak?”
Ibu mengusap wajahku lembut, menghapus jejak air mata di sana.
“Bagi Ibu, kalian lahir ke dunia ini lalu tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia adalah sebuah kebanggaan terbesar. Jika kalian berprestasi, itu bonus buat kami. Apakah pernah Ibu mematok kau harus selesai tepat waktu? apakah pernah sekali saja Ibu memintamu menyelesaikan kuliah secepatnya? Tidak pernah, kan?”
“Tapi Nai sudah berjanji akan selesai tahun ini...”
“Lalu Nai merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi janji itu? Nai sedih berkepanjangan bahkan untuk tersenyum lebar pada Ibu pun terasa sulit bagimu...”
Aku diam.
“Nak, sebagai manusia kita hanya bisa sebatas merencanakan dan berusaha keras agar rencana itu terwujud. Ketika apa yang kita usahakan tidak berhasil berarti Allah sudah menyiapkan rencana yang jauh lebih indah dari rencana kita. Coba ingat, apakah Bapak pernah sedih berlarut-larut ketika hasil kebunnya tidak sesuai harapan? Apakah Bapak mengaggap dirinya tidak becus ketika babi hutan merusak seluruh isi kebunnya? Tidak pernah. Kenapa? Karena Bapak tahu sebatas mana kapasitasnya sebagai petani. Nah, seperti itulah Nai juga... Nai bukan gagal tapi Nai hanya belum sukses tahun ini. Insya Allah tahun depan Nai bisa wisuda.”
Aku melihat kesungguhan di mata Ibu. Tidak ada kekecewaan seperti yang aku bayangkan sebelumnya.
“Sampai kapanpun, Nai adalah anak Ibu yang selalu hebat. Kakak yang super bagi Nadir, Rambu dan Aqsa! Ayok, sini peluk Ibu!”
Air mataku kembali tumpah. Aku tidak pernah menyangka penyelesaiannya akan sedemikian ringkas dan melegakkan seperti ini.
 Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibuku. Pelukan Ibu adalah rumah yang paling aku rindukan. Hangat dan sanggup membayar lunas seluruh lelahku sepanjang tahun.
*Cerpen ini pernah dimuat di Kendari Post edisi Februari 2013

2 komentar:

  1. betul-betul mengaduk-aduk emosiku.. Prasanya mbak Nafilah indah-indah semua. Syahdu deh mbacanya.. :D

    Ngangenin.

    BalasHapus
  2. Makasih, Arsjad udah rajin mengunjungi blog ini, aku jarang apdet nih...
    Kata penulis favoritku nulis 'pake' hati biar pesannya nyampe ke pembaca. hehe
    Semoga cerpennya memberikan manfaat... :)

    BalasHapus

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^