Rabu, 20 Maret 2013

[Cerpen] SURAT UNTUKMU, LELAKI YANG MENCINTAI KOPI

SURAT UNTUKMU, LELAKI YANG MENCINTAI KOPI
Oleh : Nafilah Nurdin

Kita adalah setapak kecil dan pepohonan pinus, bersama tapi bukan melebur. Hanya bisa saling mengamati...
Usiamu 224 tahun dan aku 22 tahun.
Aku mencintaimu.
Di antara riuh cerita tentang Pramoedya, Soe Hoek Gie & Rendra. Ada cerita lain ikut terjalin. Kasat mata dan halus. Ya. Ketika tersadar aku telah terjatuh di tempat yang di kemudian hari terlalu sering memonopoli air mataku. Ah, cinta platonisku sayang...
“Tolong maafkan aku.” Aku berucap sambil menatap bola mata cokelatmu. Seperti biasa kau menyunggingkan senyum pembunuhmu. Tak sadar kalau hanya dengan melihatnya aku bisa dilanda sesak napas sekian detik.
“Ada apa?” Kau memajukan kursimu hingga berjarak sekian senti lebih dekat denganku. Aroma rokok dan kopi mengelus penciumanku.
“Kau tahu apa yang sedang terjadi belakangan ini padaku?”
Kau menggeleng.
“Aku bukan Cenayang,” tawamu.
“Sepertinya aku sudah keluar dari jalur yang kita pijak. Aku tidak lagi searah perjalanmu. Maafkan aku, Ndra.”
“Maksudmu?”
“Aku menyukaimu.”
Hening. Kau menyesap kopimu. Menyalakan sebatang rokok dan mengepulkan asapnya ke udara.
“Aku juga menyukaimu. Sangat mencintaimu.” Datar tanpa riak.
Saat itu, di detik kau mengucapkan kalimat itu aku merasakan duniaku melenggang sunyi. Aku mengenalmu seperti aku mengenal wangi tubuhmu. Kopi, rokok, buku dan malam. Ndra, kau sudah sudah terlampau sering mengatakan “Aku menyukaimu”. Dan jawaban yang kau berikan malam itu di kedai kopi langganan kita adalah penolakan paling menyakitkan setelah aku kehilangan ibuku setahun silam. Aku terhempas di dasar rasaku. Setelah ibuku menolak membawaku pergi bersamanya ke surga, kini kau pun melakukan hal yang sama. Menolakku menempati salah satu tempat di hatimu bukan sebagai aku tapi sebagai kita.
Sebelum kau memutuskan menyukai atau tidak menyukai seseorang, kau sudah harus tahu terlebih dahulu isi pikirannya, katamu. Benar, Ndra. Tapi sayangnya, aku memutuskan menyukaimu bersamaan keinginan untuk mengenalmu lebih jauh lagi. Aku lupa kalau kau punya sebuah dunia yang kau huni. Sendirian. Tadinya aku bermaksud masuk dan turut serta tinggal bersamamu. Akan tetapi kau dengan halus menolak membuka pintu untukku. Duniamu hanya untukmu sendiri. Tidak ada tempat untukku di sana. Perih.
=oOo=
Seperti inilah kisah kita.
Pada sebuah hari yang biasa, kita bertukar cerita tentang Sastra, Filsafat, Psikologi, Politik dan hidup. Aku merasa telah menemukan apa yang pernah aku doakan kepada Tuhan. Kau penjelmaan doa itu. Lelaki yang mencintai kopi, malam dan buku-buku. Semakin sering aku bercengkrama denganmu maka semakin nyata aku kagum padamu. Kagum lalu cinta. Sebuah jembatan yang aneh, bukan? Orang-orang akan menganggap aku terlalu mudah jatuh hati padamu. Barangkali memang seperti itulah adanya. Aku, perempuan yang mudah jatuh hati. Tapi padamu, perasaan ini seolah mengakar subur. Menjelma cerita yang tiada lelah aku tuturkan pada sang waktu.
Setelah insiden pengakuanku, hubungan kita tetap berjalan seperti   hari-hari biasa. Itu apa yang kau lihat. Ndra, tahukah kamu betapa keras perjuanganku hanya agar kau melihat aku baik-baik saja? Aku memilih menangis diam-diam jika aku merasa kelelahan dengan pertahananku. Pada malam-malam sunyi, coba kau tanyakan siapa juaranya menangis tanpa suara? Itu aku. Coba kau tanya lagu yang kuputar saban hari aku merindukanmu? Lagu favoritmu, Donna Donna. Sayang sekali kau tak akan punya jeda waktu sekadar menengok hal remeh-temeh tentangku. Sekali lagi, kau ibarat bayangan yang berjalan ke Barat. Tak terkejar siapapun. Aku adalah salah satu dari sekian banyak hal yang luput dari kalkulasi pentingmu. Sedih bila aku membayangkan itu, Ndra.
Ndra, tentangmu adalah rupa rasa warna-warni. Aku bisa sangat berbinar walau hanya dengan membaca pesan singkatmu di ponselku (yang terkadang hanya emoticon senyum saja), betapa gugupnya aku menunggu balasan SMS-mu, membaca statusmu di beranda Facebook-ku, dan hanya bisa terisak tatkala kuat keinginan untuk mendengar suaramu atau sekadar menatap senyum pembunuhmu. Aku tak punya keberanian untuk mengganggumu. Pertemuan demi pertemuan di kedai kopi langganan kita kurasakan makin hambar dan jarang. Kau lebih sering terlihat tenggelam dalam buku-buku yang kau bawa dari kost dan aku yang masih tabah menunggumu membuka percakapan. Ternyata ada yang hilang dari kita. Kehangatan, Ndra. Apakah kau merasakannya? Ataukah memang kau sengaja menjalankan skenario yang pelan-pelan memisahkan kita di atas jarak kasat mata?
Lalu tibalah aku pada sebuah keputusan gila. Meninggalkanmu. Menaruh harapan di tempat baru mendapatkan oksigen baru. Melupakanmu. Perhitungan hatiku, aku akan tenang bila berjauhan dengan sosokmu. Jika ini benar-benar cinta, aku menyerah.
Aku seperti melihat luka di bola matamu di hari aku pamit padamu. Namun buru-buru kutepis khayalan fana itu. Kata orang, jatuh cinta bisa menstimulasi otak untuk melamunkan apa yang disebut harapan. Itulah rupaku. Banyak sekali file-file adegan yang aku harapkan bisa kulewati bersamamu dan mentah di alam antah berantah.
“Kau benar-benar akan meninggalkanku?”
“Kau punya banyak kawan selain aku, Ndra. Kau masih punya buku yang banyak, kopi, rokok dan malam-malam panjang. Lagipula kita masih bisa kontek-kontekan. Nomor ponsel dan akun Fesbukku tidak akan kuganti. Kau akan dengan mudah menemukanku kapanpun kau mau. Kau juga bisa mengunjungiku di sana. Cuman tiga jam perjalanan.”
Aku menarik koperku menuju bus antarkota. Kau membisu. Tak bergerak hingga aku meninggalkan kota lama kita bersama bus yang melaju konstan. Patah hati itu sungguh tak enak. Hatiku serasa digilas roda bergerigi. Luka tetapi tidak berdarah.
=oOo=
Di kota kecilku yang baru. Hidupku masih dipenuhi aroma dirimu. Sekuat hati ingin melupakanmu justru berbanding lurus dengan kekuatan ingatan itu datang menjajahku. Ndra... sepeninggalku, apakah kau masih sering insomnia? Ngopi-ngopi hingga bergelas-gelas? Menghembuskan asap rokok berbungkus-bungkus? Buku-buku tebalmu.... kecuali rokok aku menyukai aromamu. Ah, bahkan untuk yang satu ini aku pernah nyaris berkompromi untuk memahami ketergantunganmu pada materi tembakau itu. Cinta butakah? Bukan. Cinta yang penuh kompromi.
Kapan rindu ini redam, Ndra? Aku mulai lelah.  Ingin benar aku mendengar alasan yang lebih masuk akal darimu mengapa kau membuang jauh-jauh inginmu menerima perasaanku. Terlalu banyak ketidakmungkinan menghadang kita, katamu. Benarkah? Ah, itu alasan mati yang menurutku tidak pernah masuk di akal. Ndra, Aku ingin tidur lebih lama dengan harapan bodoh nantinya saat aku terbangun, hatiku telah berdamai dengan perasaan ganjil ini.
=oOo=
Dua tahun tanpa kabarmu, bukan karena kita tak sempat mengirim jejak tapi karena kita sepertinya sudah sama-sama memaklumi bahwa saling menghindari adalah jalan keluar paling indah agar kita masih bisa saling mengenang sebagai kawan yang baik satu sama lain. Sebuah kenaifan yang mengada-ada. Tapi justru dengan cara itu aku belajar memahami peta nyata yang kita torehkan lewat kisah tanpa pengakuan. Kau menuntunku menemukan jalan bagaimana semestinya aku mencintaimu dengan sabar dan tekun. Kediamanmu yang hening. Kau tahu? Mencintaimu juga adalah melepaskanmu. Kau tahu bagaimana rasanya? Bagi lelaki sepertimu yang menganggap perkara ini terlampau sederhana bagi pemahamanmu bahkan tak cukup sadar mengapa aku selalu terseok-seok menangisimu. Kau takkan pernah paham rupa cintaku sebab kau menakar semua ini dari kelogisanmu berpikir. Sedang aku menggenggamnya dengan rasa. Cinta kau kalkulasikan dengan untung rugi. Manalah sempat kompromi menyatukan kita?
Aku tidak lagi apa-apa. Akhirnya. Kau tahu kenapa? Karena kamu. Masih ingat percakapan kita tentang mimpi? Kau tanya apa mimpiku dan kujawab menjadi penulis. Aku memilih jalan itu sebagai penyembuh lukaku. Manjur, Ndra. Ketika aku rindu, ketika aku menangis, ketika aku sesak karenamu, kupilih menuangkannya dalam aksara. Hanya dengan begitu hatiku tenang. Suatu saat kau harus membaca apa yang kutulis. Ada banyak namamu terserak di sana. Jangan besar kepala ya...
Pepatah bijak berkata bahwasanya cinta adalah membiarkannya tetap pada tempatnya. Tak perlu menggenggamnya erat apalagi meminta balasan atas apa yang kita berikan sebab cinta adalah sebuah penerimaan. Menerima. Benar.
Duhai lelaki yang mencintai kopi, malam & buku-buku...
Ketahuilah, aku selalu memohon kepada Tuhan semoga kau & aku dikaruniakan waktu yang panjang agar kelak entah kapan dan dimana kita sempat bersua. Duduk bersama sebagai kawan lama di kedai kopi langganan kita. Membincangkan Pramoedya, Soe Hoek Gie dan Rendra seperti yang sering kita lakukan sebelum cinta membawaku menjauh dari hatimu. Aku ingin kembali menikmati celotehanmu. Ndra, walaupun sekarang aku masih merindukanmu namun aromanya bukan lagi isyarat luka. Percayalah.
Aku baik-baik saja. Kau juga kan? Aku harap begitu. Kau pun harus baik-baik saja sekeras apapun dunia menempamu.
Always Remember You. Re.
=oOo=
“Re pergi dengan tenang, Ndra. Malam sebelum kecelakaan itu kami bersama-sama di gedung teater kampus. Tadinya aku ingin menghubungimu soal kedatangannya. Tapi dia melarang, kau pasti sedang sibuk katanya. Re terlihat sangat baik. Ia sudah mengenakan jilbab. Ia juga menunjukkan beberapa cerpennya yang dimuat di media Nasional. Re yang kita kenal dulu sudah jauh berbeda. Tawanya masih lebar tentu saja. Aku kangen Re...”
Mata Saras mengkristal. Sedetik kemudian pecah menjadi tangis tanpa suara. Sementara lelaki itu masih bergeming. Entah apa yang sedang berkecamuk di dalam batok kepalanya. Tak ada kepulan asap rokok seperti biasanya. Tak ada tumpukan buku-buku di atas meja. Tak ada kopi pekat di dalam cangkir putihnya. Meja kedai kopi yang ditempatinya sunyi sejak pertama kali ia memilih berdiam diri di situ demi menahan sesuatu yang merangsek menghancurkan ketenangannya. Berita itu, Re.
“Dia tidak ingin menemuiku karena aku telah melukainya.” Akhirnya ia bersuara. Serak.
“Ndra.”
“Begitulah aku, Ras. Aku bahkan mengacuhkan pesan singkatnya berkali-kali hingga dia memutuskan berhenti menghubungiku. Aku juga menyuruhnya jangan menyukaiku berlebihan karena aku bukan orang baik. Aku mendorongnya menjauhiku. Dan sekarang, Re benar-benar menjauhiku. Dia pergi tanpa memberitahuku. Apa yang bisa aku lakukan, Ras? Re... ah, dia pergi. Kenapa dia harus pergi sejauh itu?”
Saras menunduk. Tak sanggup menimpali. Ia sendiri sedang sibuk memaksa hatinya agar percaya berita yang disampaikan koran pagi mengenai bus antarkota terjatuh ke dalam jurang di kilometer 14 memuat nama Re. Sahabatnya. Padahal belum genap 24 jam setelah pertemuan mereka di teater kampus. Re datang ke kota lama mereka sebagai Penulis tamu mantan kampusnya.
Lelaki itu bangkit. Terhuyung-huyung.
“Kau mau kemana, Ndra?”
“Kemana saja. Aku lelah.”
“Ndra... Re tidak pernah menyalahkanmu. Kau tahu sendiri kan dia bukan orang seperti itu?” Saras terlihat khawatir.
“Aku ingin menemui, Re. Aku harus memberitahunya. Aku bukannya tidak menyukainya. Aku sangat menyukainya. Karena aku sangat menyukainya makanya aku tidak ingin ia bersama orang yang salah sepertiku. Re terlalu baik. Kenapa dia meninggalkanku dengan cara seperti ini? Kenapa dia tidak memberiku isyarat sedikitpun? Ya Tuhan, persetan dengan kesedihan ini!”
Lelaki itu terduduk di lantai. Saras menutup mukanya dengan dua telapak tangannya. Isakannya kali ini terdengar sangat jelas. Dini hari, kedai kopi yang lengang membisu melihat air mata Andra jatuh satu-satu.
Dear Kopi...
Ndra, semalam sebelum bertolak dari kotamu aku bermimpi indah sekali. Kita duduk berhadapan di kedai kopi langganan kita. Wajahmu cerah. Kau tersenyum sepanjang kebersamaan kita. Ah, setelah berbulan-bulan tak melihat senyummu. Walaupun kita tak sempat bertemu, Saras memberitahuku kau sehat. Lega rasanya mengetahui kau baik-baik saja.
Perjalanan pulang ke kota kecilku agak melelahkan. Aku ingin tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^