RAHASIA
CINTA
Oleh
: Nafilah Nurdin
Ada
yang pernah bilang padaku, cinta itu sederhana. Semisal kamu bangun di pagi
hari dan menangkap cahaya matahari yang jatuh di kisi-kisi jendela kamarmu.
Seperti saat kamu mencium aroma tanah basah pada hari pertama hujan di
penghujung musim panas yang panjang. Ya, perasaan yang mencuat keluar... itulah
cinta. Tetapi, mengapa mencintaimu tak sesederhana itu? Ada sesak, sedih dan
kelegaan menyerangku secara bersamaan setiap kali aku menangkap bayanganmu
melewati koridor kelasku. Aku bahagia karena masih bisa melihatmu setiap hari
dan juga sedih karena setiap hari, aku hanya bisa mengamatimu diam-diam.
Cintaku membisu. Kamu terlalu jauh untuk kutemui dalam nyata. Serupa bayangan,
kuikuti tapi tak akan pernah sanggup kurengkuh. Cinta ini, cintakah?
=oOo=
“Algi!”
Algi terhuyung,
sempoyongan menahan beban berat di tangannya. Hampir saja ia tersuruk menimpa
rak buku perpustakaan gara-gara teriakan heboh Nami ditambah tekanan kuat gadis
itu yang tiba-tiba menghajar punggungnya.
“Kebiasaan, deh! Jarak
sedekat itu masih aja pakai acara teriakan segala. Aku lama-lama bisa budeg
temenan sama kamu.” Algi menggerutu kesal.
Nami tertawa. Ia segera
mengambil alih sebagian buku yang tersusun ditangan Algi, menghalangi pandangan
cowok berkacamata itu.
“Kenapa telat?” tanya
Algi
“Porsi latihan basket
ditambah. Turnamennya udah deket ini. Walaupun telat tapi aku tetap datang kan?
Aku ini setia sama janji apalagi sama Algian Wiranata yang pinter dan cakep...”
Nami menyenggol lengan Algi. Menggoda.
“Diiih! Nggak usah
genit deh!” Algi menampakkan raut wajah geli, selekasnya menjauhi Nami sebelum
gadis tomboi binti tengil itu melanjutkan aksinya.
Detik itu, Nami
benar-benar tidak sanggup menahan tawa terbahaknya. Wajah Algi selalu terlihat
lucu bila sedang salah tingkah dan malu seperti saat ini. Dasar Peter Parker KW
10! Ada kepuasaan tersendiri bagi Nami setelah sukses mengganggu Algi.
“Buku-buku tebal ini
mau diapain sih, Gi? Berat tauk!”
=oOo=
“Kelar ngurusin
buku-buku ini kita mampir ke kelas teater, yuk!” ajak Algi.
Nami yang sedang
menyusun buku di rak teratas memakai jasa tangga sejenak menghentikan gerakan
tangannya.
“Ngintipin anak-anak
pada latihan? Ogah.”
Algi mendelik.
“Siapa juga yang
ngajakin ngintip? Aku pengen liat mereka latihan drama.”
Sesuatu seperti
menabrak kesadaran Nami.
“Kiran,” cetusnya
cepat.
“Iya. Aku dapat kabar
kalau Kiran masuk proyek drama festival sekolah bulan depan.” Algi tersipu.
“Tuh, kan. Benar
dugaanku, mana mungkin kamu bela-belain nengok kelas teater kalo bukan karena
Kirana. Deeeh, yang masih jatuh cinta sama bintang sekolah!”
“Berisik! Buruan
kerjanya, Mas Nami!”
Nami menghindar dari
lemparan buku Algi. Di satu kesempatan ia menjulurkan lidahnya ke arah Algi.
Mereka tertawa bersama.
Matahari mulai memerah
jingga di ufuk barat. Menjelang pukul 5 sore, Algi dan Nami akhirnya
menyelesaikan pekerjaan menyusun buku-buku di perpustakaan sekolah. Algi
bekerja paruh waktu di Perpustakaan. Pak Guntur selaku Kepala perpustakaan yang
memintanya secara khusus untuk membantu pekerjaan di sana. Algi yang memang
sudah mencintai buku sejak kecil tentu saja menyanggupinya. Lagipula selain
mendapat uang saku setiap bulan, ia diberi banyak kompensasi karena
pekerjaannya. Antara lain, boleh meminjam lebih dari dua judul buku dan tentu
saja harus dikembalikan tepat waktu. Urusan denda tetap berjalan.
=oOo=
Coba tanyakan ke
seantero SMA Bina Bangsa, siapa Nami dan Algi? Jagoan tim basket puteri Bina
Bangsa dan satunya lagi jawara Olimpiade Matematika tingkat Provinsi tahun lalu.
Selain itu? Yup. Mereka bersahabat sejak bangku TK. Bayangkan sendiri seberapa
dekat mereka berdua. Perbedaan karakter justru membuat mereka saling
membutuhkan, seperti otak kanan dan otak kiri yang seiring sejalan dan membuat
satu sama lain kuat jika beroperasi sempurna. Berdua. Algi berbagi segalanya
pada Nami, demikian pula sebaliknya. Tidak ada rahasia. Nami satu-satunya orang
yang tahu Algi memendam rasa sukanya terhadap Kiran. Siswi dari jurusan Bahasa
yang cantik dan mungil itu. Algi jatuh hati semenjak MOS dua tahun silam.
“Kenapa nggak jujur
aja, sih. Bilang ke Kiran kalau kamu suka dia,” ucap Nami di samping Algi
membuat cowok itu terlonjak kaget. Konsentrasinya menyimak latihan drama buyar
seketika. Lehernya seolah tercekik. Ia menoleh galak pada Nami. Dilepaskannya
tatapannya dari arah panggung, di sana Kiran sedang memainkan salah satu
adegannya sebagai Little Mermaid.
“Kenapa?”
“Suaramu... Kalau yang lain denger gimana?”
Algi menahan gemasnya. Ingin rasanya ia menjitak Nami. Gadis itu memang sering
tidak sadar kalau suaranya lumayan nyaring.
Nami nyengir.
“Tapi beneran loh, Gi.
Kenapa sih harus nyimpen selama itu? Kalo aku jadi kamu, aku nggak mau
menyia-nyiakan waktu. Urusan ditolak itu namanya resiko. Mana ada yang nggak
beresiko? Bernapas saja beresiko.” Kali ini Nami berbisik.
“Kamu pernah baca dongeng Little Mermaid? Puteri duyung berkorban asalkan pangeran yang
dicintainya bahagia walaupun bukan bersamanya. Dalam cinta kita harus
berkorban, Meeen. Kamu nggak bisa diam saja dan mengharap Kiran tahu perasaanmu
suatu saat.” Nami terus nyerocos tak sadar wajah Algi memerah. Di ujung
kalimatnya Nami mengeluh tertahan karena tangannya ditarik Algi mendadak.
“Kita pulang.”
Berpasang-pasang mata
di aula itu melihat ketika Nami diseret Algi, tak terkecuali Kiran.
Tiba di pelataran
parkiran sekolah, Nami mengomel panjang pendek.
“Kamu kenapa jadi
cerewet begitu?” dengus Algi tak memedulikan wajah kesal Nami.
“Aku cuma ngasih saran,
kok.”
“Terimakasih, Mas Nami.
Pake helm-nya cepet.”
“Sebagai sahabat, aku merasa perlu ngingetin
kamu biar nanti kamu nggak nyesel. Pernah nonton Cinta Pertama? Kamu nggak
pengen kan Kiran jadi milik orang lain dan dia nggak akan pernah tahu kalau
kamu suka sama dia sampai kita tamat nanti?”
“Urusannya nggak
sesederhana itu.”
“Ya udah, sederhanakan
saja biar gampang.”
“Kami berbeda, Nami.
Harus berapa kali sih aku bilang, Kiran itu terlalu jauh untuk kugenggam. Dia
bintang yang bersinar sementara aku?”
“Kamu Mars. Kamu
pinter. Apanya yang beda? Dasar Mr. Rempong.”
“Cerewet. Naik, nggak?
Aku tinggal, nih!” Algi menyalakan mesin motornya. Nami misuh-misuh.
“Pengecut.”
“Kamu nggak pernah
merasakan jatuh cinta sepihak, Nami.”
=oOo=
Perkara jatuh cinta
bisa serumit ini. Nami tidak tahu apa-apa. Dua tahun menyimpan perasaan suka
pada seseorang betapa tak mengenakannya. Apakah Algi tidak pernah berusaha
menunjukkan pada Kiran? Sering bahkan sudah tak terhitung berapa kali ia
mencoba mengirim sinyal namun gadis berlesung pipi itu seolah tak acuh. Algi
bukanlah jenis cowok yang bisa secara frontal mengakui perasaannya terlebih
untuk seorang gadis. Pengecut kah namanya? Entah. Selama kurang lebih dua tahun
ini, Algi malah dihadapkan dengan kabar-kabar hubungan Kiran dengan sejumlah
nama beken sekolah mereka. Lalu dua hari lalu di sebuah pusat perbelanjaan,
Algi secara tidak sengaja melihat Kiran bergandengan tangan dengan Wian, Kapten
Tim basket Putra sekolah tetangga. Bagian manakah yang terlihat sederhana?
Kiran menyukai orang lain dan Algi yang belum bisa menaruh toleransi pada
perasaan sayangnya. Cinta tidak pernah sederhana di mata rasa Algi. Ada luka
yang mengajak bertaruh.
=oOo=
“Kiran?”
Gadis berambut panjang
bergelombang itu terlonjak kaget mendengar sebuah teguran di belakang
punggungnya. Tangannya gemetar. Ia membalikkan badan.
“Hai.” Kiran gagal
menahan kegugupannya. Suaranya bergetar. Basah.
“Ngapain kamu di sini?
Kelasmu kan...”
“Maaf. Umm...
sepertinya aku salah masuk kelas. Permisi.” Kiran berlalu. Mengayuh langkahnya
cepat-cepat, setengah berlari keluar dari kelas XI Ipa2 dan berlari
ke menuju aula sekolah. Duh, rasanya ia tertangkap basah.
“Gimana, Nam? Udah
ketemu bukunya? Sampul ijo. Ya ampun, kenapa malah bengong melompong di sini?
Eh, kamu kesambet ya?” Algi yang baru saja memasuki kelas dibuat kaget oleh
Nami yang terpaku di depan mejanya. Pantas saja sahabatnya itu tidak muncul di
perpustakaan setelah ditunggu lama. Padahal Algi hanya meminta tolong Nami
mengambilkan buku catatan Kimia di dalam tasnya karena saat itu Algi sedang
sibuk mencatat daftar peminjam buku perpustakaan selama satu bulan ini.
“Woi! Namira Larasati!
Algi Wiranata memanggil! Ayo, kembali ke bumi sebelum invasi alien dimulai!”
teriak Algi seraya menepuk bahu Nami. Namun sedetik kemudian cowok itu histeris
melihat kondisi tasnya.
“Namiii! Kenapa
berantakin tasku kayak gini?”
Nami membisu.
Dipandanginya Algi dengan tatapan yang sulit diartikan. Kepalanya dipenuhi
sederet pertanyaan. Apa yang dilakukan Kiran di meja Algi? Kenapa gadis itu
terlihat ketakutan saat ia tak sengaja melihatnya di sana? Mungkinkah? Nami
meremas sepucuk surat biru langit yang ia temukan di dalam tas Algi. Tiba-tiba
ia dirayapi ketakutan yang terasa asing.
Bel panjang yang
menandakan berakhirnya jam istirahat tidak lantas membuat Nami merasa tenang.
Kalau saja Algi mau sedikit peduli, ia akan melihat gurat kesedihan pada
sepasang manik mata gadis itu. Algi terlalu sibuk mengomel gara-gara tasnya.
=oOo=
“Gi...”
“Hmmm...”
“Udah berapa lama sih
kita temenan?”
“Udah lama. Kenapa?
Heih, jangan mikir aneh-aneh, deh.”
Nami tertawa mendengar
nada bicara Algi. Ia mendorong pipi cowok itu, alhasil Algi gagal menyuapkan
sepotong pisang goreng keju yang masih hangat ke mulutnya. Omelannya pun
terbit. Nami tak habis pikir ada cowok keren tapi cerewet macam Algi. Mereka
sedang menikmati sore di atas ruko milik keluarga Nami. Itulah satu-satunya hal
yang mereka sukai bersama. Matahari terbenam. Di ruko itu, posisi matahari yang
perlahan bergulir kembali ke peraduannya selalu terlihat indah luar biasa.
Kadangkala mereka mengambil foto bersama.
“Aku sedang mikir, kita
bakalan sulit dapat pacar kalo terusan sama-sama. Banyak lho yang mengira kita
pacaran,” ujar Nami.
Algi mendelik.
“Jadi maksudmu kita
harus mengurangi porsi bersama-sama, begitu? Nggak. Aku mendingan nggak dapat
pacar seumur hidup daripada harus kehilangan kebersamaan denganmu. Biarkan saja
mereka menyangka kita seperti itu.”
“Bagaimana dengan
Kiran? Kalian berdua serasi.”
Algi terdiam sejenak.
Ditariknya napas sangat panjang. Ia mencoba mengumpulkan perbendaharaan kata
yang paling tepat demi menggambarkan hatinya saat ini.
“Kiran udah ada yang
punya. Kamu pasti kenal Wian. Aku pernah melihat mereka jalan, berkali-kali
juga Kiran dijemput di sekolah.”
Mendengar itu, wajah
Nami menjadi keruh. Hampir menangis. Lagi-lagi Algi luput melihatnya.
“Kenapa sih kamu selalu
merusak suasana dengan mengungkit hal-hal sensitif? Lihat, tuh!” Algi menunjuk
ke arah barat. Warna merah bercampur jingga berarak mengawal Sang Raja siang
kembali pulang. Penanda malam sebentar lagi akan tiba.
“Ini cinta namanya,
Nam.”
Nami menoleh.
“Apa coba namanya kalau
bukan cinta? Matahari tidak pernah ingkar janji. Dia selalu pulang tepat waktu.
Nggak pernah letih membagi kebaikan lewat energi panasnya, meski masih ada saja
orang-orang yang lupa bersyukur dan malah mengomel bila matahari bersinar
terlalu terik. Begitu pula cintaku untuk Kiran. Aku masih bisa menyukainya
tanpa harus jadi pacarnya. Iya, nggak?
Nami memandangi Algi
lama. Cowok itu terpukau menyaksikan bola api raksasa di ufuk barat. Tangannya
sesekali menjepretkan kamera digitalnya.
“Maafin aku, Gi. Benar, cinta memang butuh keberanian dan kita sama-sama
nggak punya itu...” Nami berucap sendu dalam hati. Untuk yang pertama
kalinya, ia tak bisa menikmati matahari terbenam bersama Algi.
=oOo=
Di depan taman sekolah,
Kiran mondar-mandir gelisah. Malam hampir sempurna jatuh. Tetapi yang
ditunggunya tak muncul juga. Mengapa? Ia yakin tidak keliru meletakkan surat
itu di dalam tas Algi. Kiran mendadak khwatir, mungkinkah Algi tidak mau menemuinya?
Ah, kalau bukan karena Wian yang mengomporinya, ia takkan senekat ini.
Sepupunya itu berteman akrab dengan Nami sahabat Algi. Wian tahu dari Nami
kalau Algi menyukai Kiran. Tapi...
Kenapa
kamu nggak datang, Gi...?
*Cerpen ini pernah dimuat di Majalah GADIS edisi Januari 2013 (Thanks to Chogah yang udah mau motoin majalahnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^