Rabu, 06 Maret 2013

[Cerpen] Rahasia Cinta


RAHASIA CINTA
Oleh : Nafilah Nurdin
Ada yang pernah bilang padaku, cinta itu sederhana. Semisal kamu bangun di pagi hari dan menangkap cahaya matahari yang jatuh di kisi-kisi jendela kamarmu. Seperti saat kamu mencium aroma tanah basah pada hari pertama hujan di penghujung musim panas yang panjang. Ya, perasaan yang mencuat keluar... itulah cinta. Tetapi, mengapa mencintaimu tak sesederhana itu? Ada sesak, sedih dan kelegaan menyerangku secara bersamaan setiap kali aku menangkap bayanganmu melewati koridor kelasku. Aku bahagia karena masih bisa melihatmu setiap hari dan juga sedih karena setiap hari, aku hanya bisa mengamatimu diam-diam. Cintaku membisu. Kamu terlalu jauh untuk kutemui dalam nyata. Serupa bayangan, kuikuti tapi tak akan pernah sanggup kurengkuh. Cinta ini, cintakah?
=oOo=
“Algi!”
Algi terhuyung, sempoyongan menahan beban berat di tangannya. Hampir saja ia tersuruk menimpa rak buku perpustakaan gara-gara teriakan heboh Nami ditambah tekanan kuat gadis itu yang tiba-tiba menghajar punggungnya.
“Kebiasaan, deh! Jarak sedekat itu masih aja pakai acara teriakan segala. Aku lama-lama bisa budeg temenan sama kamu.” Algi menggerutu kesal.
Nami tertawa. Ia segera mengambil alih sebagian buku yang tersusun ditangan Algi, menghalangi pandangan cowok berkacamata itu.
“Kenapa telat?” tanya Algi
“Porsi latihan basket ditambah. Turnamennya udah deket ini. Walaupun telat tapi aku tetap datang kan? Aku ini setia sama janji apalagi sama Algian Wiranata yang pinter dan cakep...” Nami menyenggol lengan Algi. Menggoda.
“Diiih! Nggak usah genit deh!” Algi menampakkan raut wajah geli, selekasnya menjauhi Nami sebelum gadis tomboi binti tengil itu melanjutkan aksinya.
Detik itu, Nami benar-benar tidak sanggup menahan tawa terbahaknya. Wajah Algi selalu terlihat lucu bila sedang salah tingkah dan malu seperti saat ini. Dasar Peter Parker KW 10! Ada kepuasaan tersendiri bagi Nami setelah sukses mengganggu Algi.
“Buku-buku tebal ini mau diapain sih, Gi? Berat tauk!”
=oOo=
“Kelar ngurusin buku-buku ini kita mampir ke kelas teater, yuk!” ajak Algi.
Nami yang sedang menyusun buku di rak teratas memakai jasa tangga sejenak menghentikan gerakan tangannya.
“Ngintipin anak-anak pada latihan? Ogah.”
Algi mendelik.
“Siapa juga yang ngajakin ngintip? Aku pengen liat mereka latihan drama.”
Sesuatu seperti menabrak kesadaran Nami.
“Kiran,” cetusnya cepat.
“Iya. Aku dapat kabar kalau Kiran masuk proyek drama festival sekolah bulan depan.” Algi tersipu.
“Tuh, kan. Benar dugaanku, mana mungkin kamu bela-belain nengok kelas teater kalo bukan karena Kirana. Deeeh, yang masih jatuh cinta sama bintang sekolah!”
“Berisik! Buruan kerjanya, Mas Nami!”
Nami menghindar dari lemparan buku Algi. Di satu kesempatan ia menjulurkan lidahnya ke arah Algi. Mereka tertawa bersama.
Matahari mulai memerah jingga di ufuk barat. Menjelang pukul 5 sore, Algi dan Nami akhirnya menyelesaikan pekerjaan menyusun buku-buku di perpustakaan sekolah. Algi bekerja paruh waktu di Perpustakaan. Pak Guntur selaku Kepala perpustakaan yang memintanya secara khusus untuk membantu pekerjaan di sana. Algi yang memang sudah mencintai buku sejak kecil tentu saja menyanggupinya. Lagipula selain mendapat uang saku setiap bulan, ia diberi banyak kompensasi karena pekerjaannya. Antara lain, boleh meminjam lebih dari dua judul buku dan tentu saja harus dikembalikan tepat waktu. Urusan denda tetap berjalan.
=oOo=
Coba tanyakan ke seantero SMA Bina Bangsa, siapa Nami dan Algi? Jagoan tim basket puteri Bina Bangsa dan satunya lagi jawara Olimpiade Matematika tingkat Provinsi tahun lalu. Selain itu? Yup. Mereka bersahabat sejak bangku TK. Bayangkan sendiri seberapa dekat mereka berdua. Perbedaan karakter justru membuat mereka saling membutuhkan, seperti otak kanan dan otak kiri yang seiring sejalan dan membuat satu sama lain kuat jika beroperasi sempurna. Berdua. Algi berbagi segalanya pada Nami, demikian pula sebaliknya. Tidak ada rahasia. Nami satu-satunya orang yang tahu Algi memendam rasa sukanya terhadap Kiran. Siswi dari jurusan Bahasa yang cantik dan mungil itu. Algi jatuh hati semenjak MOS dua tahun silam.
“Kenapa nggak jujur aja, sih. Bilang ke Kiran kalau kamu suka dia,” ucap Nami di samping Algi membuat cowok itu terlonjak kaget. Konsentrasinya menyimak latihan drama buyar seketika. Lehernya seolah tercekik. Ia menoleh galak pada Nami. Dilepaskannya tatapannya dari arah panggung, di sana Kiran sedang memainkan salah satu adegannya sebagai Little Mermaid.
“Kenapa?”
 “Suaramu... Kalau yang lain denger gimana?” Algi menahan gemasnya. Ingin rasanya ia menjitak Nami. Gadis itu memang sering tidak sadar kalau suaranya lumayan nyaring.
Nami nyengir.
“Tapi beneran loh, Gi. Kenapa sih harus nyimpen selama itu? Kalo aku jadi kamu, aku nggak mau menyia-nyiakan waktu. Urusan ditolak itu namanya resiko. Mana ada yang nggak beresiko? Bernapas saja beresiko.” Kali ini Nami berbisik.
 “Kamu pernah baca dongeng Little Mermaid? Puteri duyung berkorban asalkan pangeran yang dicintainya bahagia walaupun bukan bersamanya. Dalam cinta kita harus berkorban, Meeen. Kamu nggak bisa diam saja dan mengharap Kiran tahu perasaanmu suatu saat.” Nami terus nyerocos tak sadar wajah Algi memerah. Di ujung kalimatnya Nami mengeluh tertahan karena tangannya ditarik Algi mendadak.
“Kita pulang.”
Berpasang-pasang mata di aula itu melihat ketika Nami diseret Algi, tak terkecuali Kiran.
Tiba di pelataran parkiran sekolah, Nami mengomel panjang pendek.
“Kamu kenapa jadi cerewet begitu?” dengus Algi tak memedulikan wajah kesal Nami.
“Aku cuma ngasih saran, kok.”
“Terimakasih, Mas Nami. Pake helm-nya cepet.”
  “Sebagai sahabat, aku merasa perlu ngingetin kamu biar nanti kamu nggak nyesel. Pernah nonton Cinta Pertama? Kamu nggak pengen kan Kiran jadi milik orang lain dan dia nggak akan pernah tahu kalau kamu suka sama dia sampai kita tamat nanti?”
“Urusannya nggak sesederhana itu.”
“Ya udah, sederhanakan saja biar gampang.”
“Kami berbeda, Nami. Harus berapa kali sih aku bilang, Kiran itu terlalu jauh untuk kugenggam. Dia bintang yang bersinar sementara aku?”
“Kamu Mars. Kamu pinter. Apanya yang beda? Dasar Mr. Rempong.”
“Cerewet. Naik, nggak? Aku tinggal, nih!” Algi menyalakan mesin motornya. Nami misuh-misuh.
“Pengecut.”
“Kamu nggak pernah merasakan jatuh cinta sepihak, Nami.”
=oOo=
Perkara jatuh cinta bisa serumit ini. Nami tidak tahu apa-apa. Dua tahun menyimpan perasaan suka pada seseorang betapa tak mengenakannya. Apakah Algi tidak pernah berusaha menunjukkan pada Kiran? Sering bahkan sudah tak terhitung berapa kali ia mencoba mengirim sinyal namun gadis berlesung pipi itu seolah tak acuh. Algi bukanlah jenis cowok yang bisa secara frontal mengakui perasaannya terlebih untuk seorang gadis. Pengecut kah namanya? Entah. Selama kurang lebih dua tahun ini, Algi malah dihadapkan dengan kabar-kabar hubungan Kiran dengan sejumlah nama beken sekolah mereka. Lalu dua hari lalu di sebuah pusat perbelanjaan, Algi secara tidak sengaja melihat Kiran bergandengan tangan dengan Wian, Kapten Tim basket Putra sekolah tetangga. Bagian manakah yang terlihat sederhana? Kiran menyukai orang lain dan Algi yang belum bisa menaruh toleransi pada perasaan sayangnya. Cinta tidak pernah sederhana di mata rasa Algi. Ada luka yang mengajak bertaruh.
=oOo=
“Kiran?”
Gadis berambut panjang bergelombang itu terlonjak kaget mendengar sebuah teguran di belakang punggungnya. Tangannya gemetar. Ia membalikkan badan.
“Hai.” Kiran gagal menahan kegugupannya. Suaranya bergetar. Basah.
“Ngapain kamu di sini? Kelasmu kan...”
“Maaf. Umm... sepertinya aku salah masuk kelas. Permisi.” Kiran berlalu. Mengayuh langkahnya cepat-cepat, setengah berlari keluar dari kelas XI Ipa2 dan berlari ke menuju aula sekolah. Duh, rasanya ia tertangkap basah.
“Gimana, Nam? Udah ketemu bukunya? Sampul ijo. Ya ampun, kenapa malah bengong melompong di sini? Eh, kamu kesambet ya?” Algi yang baru saja memasuki kelas dibuat kaget oleh Nami yang terpaku di depan mejanya. Pantas saja sahabatnya itu tidak muncul di perpustakaan setelah ditunggu lama. Padahal Algi hanya meminta tolong Nami mengambilkan buku catatan Kimia di dalam tasnya karena saat itu Algi sedang sibuk mencatat daftar peminjam buku perpustakaan selama satu bulan ini.
“Woi! Namira Larasati! Algi Wiranata memanggil! Ayo, kembali ke bumi sebelum invasi alien dimulai!” teriak Algi seraya menepuk bahu Nami. Namun sedetik kemudian cowok itu histeris melihat kondisi tasnya.
“Namiii! Kenapa berantakin tasku kayak gini?”
Nami membisu. Dipandanginya Algi dengan tatapan yang sulit diartikan. Kepalanya dipenuhi sederet pertanyaan. Apa yang dilakukan Kiran di meja Algi? Kenapa gadis itu terlihat ketakutan saat ia tak sengaja melihatnya di sana? Mungkinkah? Nami meremas sepucuk surat biru langit yang ia temukan di dalam tas Algi. Tiba-tiba ia dirayapi ketakutan yang terasa asing.
Bel panjang yang menandakan berakhirnya jam istirahat tidak lantas membuat Nami merasa tenang. Kalau saja Algi mau sedikit peduli, ia akan melihat gurat kesedihan pada sepasang manik mata gadis itu. Algi terlalu sibuk mengomel gara-gara tasnya.
=oOo=
“Gi...”
“Hmmm...”
“Udah berapa lama sih kita temenan?”
“Udah lama. Kenapa? Heih, jangan mikir aneh-aneh, deh.”
Nami tertawa mendengar nada bicara Algi. Ia mendorong pipi cowok itu, alhasil Algi gagal menyuapkan sepotong pisang goreng keju yang masih hangat ke mulutnya. Omelannya pun terbit. Nami tak habis pikir ada cowok keren tapi cerewet macam Algi. Mereka sedang menikmati sore di atas ruko milik keluarga Nami. Itulah satu-satunya hal yang mereka sukai bersama. Matahari terbenam. Di ruko itu, posisi matahari yang perlahan bergulir kembali ke peraduannya selalu terlihat indah luar biasa. Kadangkala mereka mengambil foto bersama.
“Aku sedang mikir, kita bakalan sulit dapat pacar kalo terusan sama-sama. Banyak lho yang mengira kita pacaran,” ujar Nami.
Algi mendelik.
“Jadi maksudmu kita harus mengurangi porsi bersama-sama, begitu? Nggak. Aku mendingan nggak dapat pacar seumur hidup daripada harus kehilangan kebersamaan denganmu. Biarkan saja mereka menyangka kita seperti itu.”
“Bagaimana dengan Kiran? Kalian berdua serasi.”
Algi terdiam sejenak. Ditariknya napas sangat panjang. Ia mencoba mengumpulkan perbendaharaan kata yang paling tepat demi menggambarkan hatinya saat ini.
“Kiran udah ada yang punya. Kamu pasti kenal Wian. Aku pernah melihat mereka jalan, berkali-kali juga Kiran dijemput di sekolah.”
Mendengar itu, wajah Nami menjadi keruh. Hampir menangis. Lagi-lagi Algi luput melihatnya.
“Kenapa sih kamu selalu merusak suasana dengan mengungkit hal-hal sensitif? Lihat, tuh!” Algi menunjuk ke arah barat. Warna merah bercampur jingga berarak mengawal Sang Raja siang kembali pulang. Penanda malam sebentar lagi akan tiba.
“Ini cinta namanya, Nam.”
Nami menoleh.
“Apa coba namanya kalau bukan cinta? Matahari tidak pernah ingkar janji. Dia selalu pulang tepat waktu. Nggak pernah letih membagi kebaikan lewat energi panasnya, meski masih ada saja orang-orang yang lupa bersyukur dan malah mengomel bila matahari bersinar terlalu terik. Begitu pula cintaku untuk Kiran. Aku masih bisa menyukainya tanpa harus jadi pacarnya. Iya, nggak?
Nami memandangi Algi lama. Cowok itu terpukau menyaksikan bola api raksasa di ufuk barat. Tangannya sesekali menjepretkan kamera digitalnya.
Maafin aku, Gi. Benar, cinta memang butuh keberanian dan kita sama-sama nggak punya itu...” Nami berucap sendu dalam hati. Untuk yang pertama kalinya, ia tak bisa menikmati matahari terbenam bersama Algi.
=oOo=
Di depan taman sekolah, Kiran mondar-mandir gelisah. Malam hampir sempurna jatuh. Tetapi yang ditunggunya tak muncul juga. Mengapa? Ia yakin tidak keliru meletakkan surat itu di dalam tas Algi. Kiran mendadak khwatir, mungkinkah Algi tidak mau menemuinya? Ah, kalau bukan karena Wian yang mengomporinya, ia takkan senekat ini. Sepupunya itu berteman akrab dengan Nami sahabat Algi. Wian tahu dari Nami kalau Algi menyukai Kiran. Tapi...
Kenapa kamu nggak datang, Gi...?
 *Cerpen ini pernah dimuat di Majalah GADIS edisi Januari 2013 (Thanks to Chogah yang udah mau motoin majalahnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^