Pada setiap inci rindu yang
kujelajahi
Pada setiap jejak yang kupijak
Pada ranum kenangan yang tak
kunjung terjatuh dari ingatanku
Pada luka-duka yang kusembuhkan
seorang diri meski tertatih
Pada desir angin, kecipak air, pada
senja yang tak pernah terlambat dijemput malam...
Pada dingin tatapan yang membikin
gigil
Pada kata-kata nan riuh yang telah
banyak kehilangan makna
Juga pada malam-malam tak bernama
yang kupeluk erat sambil sesekali menangisi entah...
Aku hanya ingin selalu pulang
pada-Mu
Tuhanku.
Pemilik sah atas seluruhku.
Segalaku.
=oOo=
Malam demikian melankolik untuk
kutinggal tidur. Aku teringat beberapa kawan yang sudah cukup lama tak pernah
lagi saling bertukar kabar. Bilang saja aku sedang rindu. Cukup.
Tak jarang aku berpikir dan menuduh
diriku sebagai seseorang yang anti-sosial. Terlalu penyendiri, menarik diri
dari lingkaran lingkungan. Tetapi, kalau kupikir-pikir lagi, aku bukan orang
seperti itu. Ada alasan lain yang membuatku lebih memilih menikmati waktu
seorang diri. Aku tidak pernah berniat sedikit pun menjauhi siapapun. Aku—yang kata
banyak orang adalah tipe orang yang susah ditebak—tidaklah sesulit itu.
Seseorang hanya perlu meluangkan
jeda seluas-luasnya untuk mengenaliku. Mungkin terdengar egois, tapi bukankah
sebelum menjatuhkan penilaian terhadap seseorang atau sesuatu ada baiknya mendekat lalu
belajar membaca apa yang tak tertulis
pada setiap gerak, warna, sorot, dan garis waktu yang melekat padanya? Dengan
demikian, lambat laun kau pun akan melihat jelas apa yang samar, tersamarkan
dan berusaha disamarkan? Meski pada akhirnya, tak pernah ada yang benar-benar
tahu ada berapa lapisan yang dimiliki bawang (kecuali kamu sedang kurang
kerjaan dan mencoba menghitungnya hehehe).
Menyukai, menyayangi, mencintai,
adalah perjalanan mengenal sesuatu bukan berdasarkan sudut pandangmu saja.
Tapi orang terlalu sibuk hanya
untuk sekadar mengenal dekat kamu hahaha.
Dan kamu boleh mengabaikanku
kapanpun kamu menginginkannya karena aku, tanpa kamu tahu aku selalu
mengingatmu secara acak pada rentang waktu yang tak terbaca. Mendoakan yang
terbaik bagi hidupmu diam-diam. Karena aku, tak pernah lupa menyimpan nama dan
wajah orang-orang yang pernah beriteraksi intens denganku di dalam ingatan. Menguncinya
di tempat yang bisa kukunjungi setiap waktu.
Tak terhitung berapa kali aku
menahan diri untuk tidak menelpon nama-nama familiar di phonebook-ku. Setiap kali keinginan itu datang, kutekankan pada
diriku bahwa orang-orang ini pasti sibuk—terlalu sibuk—untuk sekadar menjawab
hallo-mu. Begitu saja. Dan selesai. Ng, sebenarnya di samping itu... aku tidak
terlalu suka berbicara lama di telepon. Mengirim pesan singkat penuh basa-basi?
Orang-orang pasti sangat sibuk dan tidak sempat membalas pesanmu. Atau membalasnya
duapuluh jam kemudian.
Kusibukkan
saja hatiku dengan mendoakanmu.
Aku benar-benar tidak sesulit yang
kamu bayangkan.
Ada jenis-jenis orang yang secara
tanpa terencana, aku hindari.
Aku tidak bisa menjelaskan ini, kamu
boleh tidak percaya. Ketika bertemu seseorang, aku—tanpa sadar—akan membaca apa yang bersembunyi di balik
wajah, kata-kata serta gerak orang tersebut. Dan hasilnya jarang sekali meleset
dari kebenaran. Barangkali akibat terlalu sering jadi telinga bagi curhatan
orang lain atau karena aku tidak pernah lepas mengamati apapun yang terjangkau
mata dan telingaku membentuk ruang kepekaanku terlalu tinggi yang seringkali
berimbas tidak baik pada kebiasaanku. Aku cenderung menghindari orang-orang
yang di matanya kutemukan rasa tidak aman dan tidak nyaman. Yang sorotnya
menyiratkan hal-hal yang tidak akan pernah dia katakan terang-terangan
melainkannya menyimpannya untuk diumbar habis-habisan di belakang punggungku—orang-orang
seperti ini yang menguatkan niatku menjauh—mereka, yang bertampang ramah tapi
bertopeng ganda. Daripada tinggal berlama-lama di dekat orang yang hanya
menumbuhkan kemunafikan—berpura-pura tak terjadi apa-apa—maka aku lebih memilih
tidak berinteraksi. Itu jauh lebih menyenangkan bagi kedua pihak. Aku tidak
perlu mengumbar kepalsuan.
Bersikaplah apa adanya, bukan ada
apanya.
Kamu mesti ingat, aku kadang-kadang
bisa sangat membosankan. Hihi....
Malam ini, kutandaskan rinduku
dalam rumpun doa-doa ritmis pada Tuhan untuk nama-nama yang pernah kuakrabi dan
akan terus kuakrabi. Aku punya keinginan menceritakannya pada anak-anakku
kelak. Tentang kamu, kalian, yang pernah sangat mesra denganku.
Semoga.
Aku tidak pernah berharap
dilupakan, tapi jika memang harus, kita harus tetap bahagia. Sudah semestinya
kita berbahagia untuk hal-hal yang pernah dan belum sempat kita miliki.
Aduhai. Begitu melankoliknya ini
malam.
Aku
memanggilmu, sayup-sayup tak jelas iramanya. Tapi suara ini, tahu ke mana ia
harus menuju. Bisa ke dinding-dinding atau jendela kamarmu, bisa langsung ke
langit. Menggantung di sana dengan sabar hingga kelak pulang menemuimu. Ketika
kamu tanpa sengaja membuka-buka catatan-catatan lama di bukumu yang usang, atau
kamu secara acak mendengarkan lagu-lagu lama dari siaran radio di suatu jalan
atau tempat ramai.
Jika
saat itu tiba, aku berdoa semoga kita selalu berbahagia.
Teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^