Senin, 21 September 2015

Sebut Saja Ini Rindu...

Pada setiap inci rindu yang kujelajahi
Pada setiap jejak yang kupijak
Pada ranum kenangan yang tak kunjung terjatuh dari ingatanku
Pada luka-duka yang kusembuhkan seorang diri meski tertatih
Pada desir angin, kecipak air, pada senja yang tak pernah terlambat dijemput malam...
Pada dingin tatapan yang membikin gigil
Pada kata-kata nan riuh yang telah banyak kehilangan makna
Juga pada malam-malam tak bernama yang kupeluk erat sambil sesekali menangisi entah...
Aku hanya ingin selalu pulang pada-Mu
Tuhanku.
Pemilik sah atas seluruhku. Segalaku.

=oOo=

Malam demikian melankolik untuk kutinggal tidur. Aku teringat beberapa kawan yang sudah cukup lama tak pernah lagi saling bertukar kabar. Bilang saja aku sedang rindu. Cukup.
Tak jarang aku berpikir dan menuduh diriku sebagai seseorang yang anti-sosial. Terlalu penyendiri, menarik diri dari lingkaran lingkungan. Tetapi, kalau kupikir-pikir lagi, aku bukan orang seperti itu. Ada alasan lain yang membuatku lebih memilih menikmati waktu seorang diri. Aku tidak pernah berniat sedikit pun menjauhi siapapun. Aku—yang kata banyak orang adalah tipe orang yang susah ditebak—tidaklah sesulit itu.
Seseorang hanya perlu meluangkan jeda seluas-luasnya untuk mengenaliku. Mungkin terdengar egois, tapi bukankah sebelum menjatuhkan penilaian terhadap seseorang  atau sesuatu ada baiknya mendekat lalu belajar membaca apa yang tak tertulis pada setiap gerak, warna, sorot, dan garis waktu yang melekat padanya? Dengan demikian, lambat laun kau pun akan melihat jelas apa yang samar, tersamarkan dan berusaha disamarkan? Meski pada akhirnya, tak pernah ada yang benar-benar tahu ada berapa lapisan yang dimiliki bawang (kecuali kamu sedang kurang kerjaan dan mencoba menghitungnya hehehe).
Menyukai, menyayangi, mencintai, adalah perjalanan mengenal sesuatu bukan berdasarkan sudut pandangmu saja.
Tapi orang terlalu sibuk hanya untuk sekadar mengenal dekat kamu hahaha.
Dan kamu boleh mengabaikanku kapanpun kamu menginginkannya karena aku, tanpa kamu tahu aku selalu mengingatmu secara acak pada rentang waktu yang tak terbaca. Mendoakan yang terbaik bagi hidupmu diam-diam. Karena aku, tak pernah lupa menyimpan nama dan wajah orang-orang yang pernah beriteraksi intens denganku di dalam ingatan. Menguncinya di tempat yang bisa kukunjungi setiap waktu.
Tak terhitung berapa kali aku menahan diri untuk tidak menelpon nama-nama familiar di phonebook-ku. Setiap kali keinginan itu datang, kutekankan pada diriku bahwa orang-orang ini pasti sibuk—terlalu sibuk—untuk sekadar menjawab hallo-mu. Begitu saja. Dan selesai. Ng, sebenarnya di samping itu... aku tidak terlalu suka berbicara lama di telepon. Mengirim pesan singkat penuh basa-basi? Orang-orang pasti sangat sibuk dan tidak sempat membalas pesanmu. Atau membalasnya duapuluh jam kemudian.
Kusibukkan saja hatiku dengan mendoakanmu.
Aku benar-benar tidak sesulit yang kamu bayangkan.
Ada jenis-jenis orang yang secara tanpa terencana, aku hindari.
Aku tidak bisa menjelaskan ini, kamu boleh tidak percaya. Ketika bertemu seseorang, aku—tanpa sadar—akan membaca apa yang bersembunyi di balik wajah, kata-kata serta gerak orang tersebut. Dan hasilnya jarang sekali meleset dari kebenaran. Barangkali akibat terlalu sering jadi telinga bagi curhatan orang lain atau karena aku tidak pernah lepas mengamati apapun yang terjangkau mata dan telingaku membentuk ruang kepekaanku terlalu tinggi yang seringkali berimbas tidak baik pada kebiasaanku. Aku cenderung menghindari orang-orang yang di matanya kutemukan rasa tidak aman dan tidak nyaman. Yang sorotnya menyiratkan hal-hal yang tidak akan pernah dia katakan terang-terangan melainkannya menyimpannya untuk diumbar habis-habisan di belakang punggungku—orang-orang seperti ini yang menguatkan niatku menjauh—mereka, yang bertampang ramah tapi bertopeng ganda. Daripada tinggal berlama-lama di dekat orang yang hanya menumbuhkan kemunafikan—berpura-pura tak terjadi apa-apa—maka aku lebih memilih tidak berinteraksi. Itu jauh lebih menyenangkan bagi kedua pihak. Aku tidak perlu mengumbar kepalsuan.
Bersikaplah apa adanya, bukan ada apanya.
Kamu mesti ingat, aku kadang-kadang bisa sangat membosankan. Hihi....
Malam ini, kutandaskan rinduku dalam rumpun doa-doa ritmis pada Tuhan untuk nama-nama yang pernah kuakrabi dan akan terus kuakrabi. Aku punya keinginan menceritakannya pada anak-anakku kelak. Tentang kamu, kalian, yang pernah sangat mesra denganku.
 Semoga.
Aku tidak pernah berharap dilupakan, tapi jika memang harus, kita harus tetap bahagia. Sudah semestinya kita berbahagia untuk hal-hal yang pernah dan belum sempat kita miliki.
Aduhai. Begitu melankoliknya ini malam.
Aku memanggilmu, sayup-sayup tak jelas iramanya. Tapi suara ini, tahu ke mana ia harus menuju. Bisa ke dinding-dinding atau jendela kamarmu, bisa langsung ke langit. Menggantung di sana dengan sabar hingga kelak pulang menemuimu. Ketika kamu tanpa sengaja membuka-buka catatan-catatan lama di bukumu yang usang, atau kamu secara acak mendengarkan lagu-lagu lama dari siaran radio di suatu jalan atau tempat ramai.
Jika saat itu tiba, aku berdoa semoga kita selalu berbahagia.
Teman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^