Sabtu, 18 Juli 2015

Untitled Part II

Teras Rumah, 18 Juli 2015
Lepas Magrib, saya duduk sendirian di sini. Merenung entah apa. Tidak jelas. Memandangi semburat senja yang memerah keemasan. Mata saya terasa panas. Sesuatu menyundul ulu hati saya, memunculkan perasaan yang saya tidak tahu apa, namun jelas membikin saya seperti orang yang ingin menangis berlama-lama. Ini sejenis kesepian yang sering saya alami dulu. Lucunya, saya ternyata menikmatinya. Lagi-lagi, saya tidak bisa mengidentifikasi apa yang membuat saya sedih.
Ini hari kedua Lebaran Idul Fitri. Tadi pagi, saya, dua adik saya dan ibu, kami berempat mengunjungi kampung halaman ibu saya dan sekaligus merangkap desa tempat saya dilahirkan Duapuluh Enam tahun silam. Seingat saya, sudah terlalu lama sejak saya menginjakkan kaki saya terakhir kali di rumah Almarhum Kakek. Sayang sekali, ketika kami tiba, Nenek saya sedang keluar—ada halal bil halal di masjid kampung—Silaturahim-nya tidak nuntas. Jadilah, kami hanya menziarahi kubur Kakek dan Nenek saya lain—iya, nenek saya banyak sekali.
Tapi saya bersedih bukan  karena itu—bukan karena tidak bisa bertemu Nenek—saya bersedih karena hal lain. Sesuatu yang abstrak dan sedikit tragik. Tolong biarkan saya berlebay ria, kali ini saja.
Ada satu keuntungan yang saya keruk ketika saya masih berstatus sebagai mahasiswa, yaitu ada bagian dari diri saya yang berhasil menemukan alasan agar tetap tertib di jalur aman sebagai dia yang sendiri. Di kosan, atau di bagian manapun saya menginjakkan kaki—sepanjang itu jauh dari rumah—saya selalu bisa mentalak ponsel saya, saya bahkan sanggup mematikan ponsel selama berhari-hari tanpa merasa perlu risau kalau-kalau ada yang mencari saya. Sebab di kampung orang, saya bertransformasi menjadi invisible girl yang tidak bakal bisa dilacak memakai radar jenis apapun. Saya punya bakat penyendiri yang luar biasa mumpuni—dan banyak mengorbankan orang lain—banyak orang kelimpungan mencari saya, tak jarang memendam kesal dan marah akibat ulah saya itu. Saya sadar ini tidak benar, tapi... ah sudahlah.
Di rumah, ceritanya menjadi berbeda. Kamu akan jarang menemukan saya tanpa ponsel tergenggam di tangan. Bisa jadi karena profesi baru saya sebagai p-e-n-g-a-n-g-g-u-r-a-n yang walhasil menyulap saya sebagai orang kurang kerjaan alias lebih banyak waktu kosong. Malangnya saya adalah si pemalas yang kapan dikasih waktu luang dikiiiiit saja, saya akan memanfaatkannya dengan semena-mena sampai bablas. Astagfirullah...
Sebaliknya, saya bisa berubah menjadi orang super sibuk yang bahkan bisa lupa makan dan mandi (huek) saking sibuknya. Contohnya, saya sibuk menikmati kemalasan saya misalnya (dikeplak-in pentungan). Tetapi, sekali lagi, akhir-akhir sekarang saya memiliki lebih banyak waktu kosongnya sehingga ruang untuk melamun yang enggak-enggak pun melebar dan mengancam kepolosan hati dan jiwa saya. Maksud saya, saya jadi sering galau-in cem-macem. Mulai dari soal pekerjaan sampai perkara jodoh.
Kalau ditanya kapan saya terakhir kali jatuh cinta, tanpa ragu saya akan menjawab; akhir duaribu sebelas dan benar-benar mencapai puncaknya sepanjang tahun duaribu dua belas. Saya jatuh cinta pada menulis dan dia yang mencintai buku-buku, sejarah dan kopi. Pria kurang ajar ini pula yang sukses menjungkirbalikkan konsep no pacaran, let’s enjoy my solitaire milik pribadi saya. Saya menjalani proses jatuh cinta, patah hati dan move on secara berkelanjutan. Andai bisa memilih, saya tidak ingin jatuh cinta jika sepanjang cerita berjalan saya-lah yang pihak yang menelan luka sendirian, meramu sendiri resep meredakan rindu dan menyembuhkan pedihnya berharap pada sesuatu yang saya sudah tahu, saya tidak akan pernah sanggup memilikinya sampe lebaran kodok datang. Jika ada jenis kehilangan atas sesuatu yang belum pernah kamu miliki, maka inilah wujudnya. Kamu memiliki perasaan sayang terhadap seseorang, dan di waktu hampir bersamaan kamu harus rela kehilangan harapan menyandingkan dua hati di singgasana yang setara. Benarkah mencintai seseorang selalu dibarengi rasa ingin memiliki atau setidaknya respon yang diberikan harus setimpal dengan kadar perasaan kita? Entah. Dua kali saya mengalami apa yang disebut orang jatuh cinta dan dua kali pula saya mengalami hal yang sama—berharap balasan. Dan ini jelas-jelas semu. Akan selalu ada aroma luka menjalar-jalar kasatmata nun jauh di sana, bersiap memanaskan sel-sel di matamu dan kamu dibikin menangis di malam-malam hening, jika yang kamu harapkan tidak kesampaian.
Ada seseorang yang datang kembali mengusik ketenangan saya. Seseorang yang pernah saya lukai. Seseorang yang punya hak membenci saya sebanyak yang dia mau. Tapi dia tidak melakukan itu. Sampai detik ini, saya dan dia masih berhubungan baik. Tidak ada ikrar baik antara saya dan dia untuk kembali menjalin sesuatu yang pernah saya putuskan sepihak dulu walau teraba jelas interaksi saya dan dia agak merepet ke sana. Inilah yang barangkali menjadi pusat kegamangan saya. Ada perasaan takut, saya takut menjejaki kembali satu hal yang sudah saya tinggalkan. Saya tidak ingin kembali ke sana. Solitaire, saya masih ingin setia dengan kamu. Itu saja.
Untungnya, saya dan dia paham batas-batas yang tidak bisa kami seberangi.
Untuk memastikan bagaimana seutuhnya perasaan saya terhadap dia, saya tidak tahu harus bagaimana. Kemarin, saya memutuskan untuk mengambil jarak. Bukan apa-apa, itu upaya saya untuk menghargainya.
Anehnya, saya tidak merasa kehilangan apa-apa.
P.s : Saya barusan ngecek kalender, woooops periode saya udah deket. Pantesan rada sensitif. Oya, saya ingin cepat-cepat punya kesibukan supaya pikiran liar saya punya juntrungan ke mana dia harus dikandangkan LOL.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^