“...
Everybody screaming, I try to make a sound but no one hears me...”
-Simple
Plan/Untitled
Pernah gak kamu
ngerasain kayak gini? Kamu seperti ditenggelamkan kebisingan sekitar sementara
nun jauh di dalam hatimu, kesepian justru semakin menggenapkan kehadirannya di
sana.
Dulu. Dulu sekali, saya
selalu berpikir di dunia yang hanya selebar
daun kelor ini, hanya saya yang mengalaminya—masa-masa paling sunyi dan muram
yang pernah saya lalui—ada saat saya tertawa
tapi di dalam hati saya menangis diam-diam, atau ketika saya bertemu
teman-teman lalu terlibat interaksi dan jujur saja pertemuan demi pertemuan
tersebut tidak terserap manis di benak dan hati saya. Ya—saya merasa selalu kosong. Selalu ada satu titik
penemuan yang entah apa, meneguhkan keyakinan saya agar terus mencari apa itu.
Maka menjelmalah saya
sebagai si pembaca. Saya membaca apa
saja yang tertangkap dan terekam mata dan pendengaran. Buku-buku, lagu-lagu,
televisi, percakapan di jalan, di angkot, di pasar, di rumah sakit, di bank, di
kampus, di halte bus—di mana pun saya menjejakkan kaki.
Membaca
manusia. Itulah yang coba saya lakukan. Menyelami dan
mengkaji tingkah polah manusia dari berbagai macam sudut pandang. Sesuatu
terjadi pasti ada alasannya. Si Fulan berbuat ini, pasti ada motif yang memicunya melakukan itu.
Saya lantas tidak
bermaksud sok tahu dengan
segala-galanya.
Bagi saya, dengan
melakukan ini saya menganggap diri saya sedang melakukan perjalanan
spiritualnya dengan cara paling sederhana. Mengenal manusia—makhluk ciptaan
Allah yang dengan segera akan mempertemukan
saya Sang Maha Pemilik. Dengan mengenal manusia, itu sama halnya dengan
mengenal titik terdalam diri saya sendiri. Karena dengan ini, saya akhirnya
menyadari betapa banyak kesalahan dan kekhilafan yang telah saya perbuat.
Setiap orang ingin
menjadi lebih baik dari menit ke menit, dari hari ke hari. Saya pun demikian
adanya. Walaupun untuk menuju ke sana, kita dituntut untuk rela kehilangan
banyak hal. Contoh dekatnya, kita harus merelakan kebiasaan-kebiasaan jelek
yang tanpa kita sadari telah mendarah-daging dalam diri. Bukan sesuatu yang
mudah mengubah persepsi negatif ke persepsi positif. Gak segampang bagaimana Om
Mario Teguh menjejali telinga kita dengan kalimat-kalimat morivasinya yang
zzzuuuppeer itu. Dan kita pun menyambutnya sendu sambil manggut-manggut
mengaminkan. Lalu tibalah saatnya kita kembali ke dunia nyata—terjun langsung
ke medan pertempuran—di mana satu-satunya lawan yang harus dihadapi adalah tak
lain diri kita sendiri.
Okelah, kita memang butuh
angsuran motivasi dari orang lain. Akan tetapi akhirnya pada kitalah kembalinya
satu keputusan penting apakah kita mau berubah atau tidak.
Berapa banyak dari kita
yang masih gagal bangun pagi, melewatkan shalat subuh, menulikan telinga dari
panggilan menghadap Tuhan? Sembari pada waktu lain kita muncrat berkata-kata
soal kedisiplan bla bla bla... Berapa banyak dari kita yang masih merasa
memegang kebenaran atas sesuatu—gontok-gontokkan pake paragraf-paragraf makian
di medsos—dan entah lupa atau memang dasarnya egois dan emoh menerima kekalahan, terus saja menggelontorkan
argumentasi basi yang terdengar lucu di telinga anak TK. Belakangan ini kita
menjadi saksi hidup bagaimana orang-orang—bahkan mungkin termasuk diri
kita—yang mengaku orang dewasa terjebak dalam lingkaran setan yang dipenuhi
kebencian.
“Kamu tidak setuju dengan saya
berarti kamu musuh saya dan saya berhak menghakimi kamu seenak udel dan
seperlunya saya.”
Yap. Seolah ada aturan
tak tertulis bahwa kalau saya tidak memilih kanan maka saya adalah pihak kiri.
Saya gagal memahami atraksi teman-teman saya di medsos akhir-akhir ini. Apa
yang sebenarnya kita bela? Benarkah kita membela apa yang kita labeli kebenaran
dan kebaikan? Ataukah yang kita bela justru keegoisan kita sendiri?
Mengubah kebiasaan
buruk seumpama membunuh satu sisi dirimu yang selama ini kamu sayangi sepenuh
hati, yang kamu akrabi dan peluk sepanjang waktu. Kenapa ya, dosa terasa nikmat
dan kebaikan terlalu sulit ditempuh?
Membaca
manusia kian membuat saya terpekur. Saya tidak tahu harus
memulai dari mana agar bisa menebus apa yang pernah saya kerjakan. Saya
mengalami langsung betapa sulitnya menangangi kekeraskepala-an diri saya
sendiri, mencoba memahami jalan pikiran orang lain—nggak usah jauh-jauh ngambil
sampel, memahami saudara kandung saya sendiri sulitnya minta ampun. Lebih
banyak makan ati-nya ketimbang senengnya. Belum lagi orang lain di luar rumah
saya?
Sampai di sini, saya
masih belum bisa mengaplikasikan apa yang pernah dikatakan ibu salah satu teman
saya bahwa satu-satunya tips agar bisa hidup tenang dan bahagia adalah dengan
ikhlas. Mengikhlaskan semua kejadian yang menimpa kita.
Akhir-akhir ini juga,
saya banyak menitikkan air mata tanpa sadar. Saya malu sama Allah. Tak
terhitung berapa banyak kali saya mengkhianati dan menjauhkan diri dari Allah
namun hingga detik ini Allah masih belum membuka aib saya kepada orang lain,
sedangkan saya begitu rapi membentangkan kesalahan demi kesalahan yang pernah
orang lain perbuat terhadap saya, sulit sekali meluruskan dan meluluskan kata
maaf.
Saya masih berusaha
menemukan apa yang saya cari dengan cara membaca manusia atau apalah namanya.
Sungguh, saya cemburu melihat bagaimana orang lain begitu khidmat mencintai
Tuhan-nya. Saya ingin sekali seperti mereka. Mungkin dosa-dosa saya terlampau
menggunung sehingga menghalangi pandangan saya sehingga yang perlu saya lakukan
adalah mengikis gunung itu sedikit demi sedikit, hati-hati, sabar dan tabah....
Semoga
jalan pulang untuk saya belum tertutup....
Teruntuk kalian yang
pernah tersakiti oleh saya secara sadar dan tidak sadar, izinkan saya meminta
maaf, tolong berikan saya maaf yang ikhlas serta doakan saya semoga saya
istiqamah dalam pencarian saya ini...
Sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dan alhamdulillah, dalam
situasi dan kondisi apapun, saya selalu mengusahakan menempuh bahagia
akhir-akhir ini. Sepi yang saya rasa bukan lagi kekosongan yang menyakitkan lagi sendu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^