Senin, 29 Juni 2015

Dear Kamu

Dear kamu yang inisialnya masih dirahasiakan Allah,
Setelah berpikir dan menimbang banyak hal saya akhirnya memutuskan menulis surat tanpa judul ini. Kamu tahu sendiri kan, jika sudah menyangkut berbicara empat mata, saya selalu gagal. Maka menulis adalah satu-satunya cara paling ampuh untuk berkomunikasi dengan kamu dan siapa saja yang saya kenal.
 Saya tidak mau memungkiri bahwa selepas wisuda ada dua hal yang selalu merisaukan pikiran saya. Urusan pekerjaan dan menikah.
Menikah.
Iya, menikah.
Di awal usia puluh, saya pernah berandai-andai ingin menikah pada usia duapuluh enam. Pun kepada teman-teman, saya selalu menceritakan keinginan saya yang satu itu.
Beberapa bulan lagi, tepatnya di penghujung November, saya genap berusia duapuluh enam. Dan saya belum melakukan pencapaian apa-apa dalam banyak hal yang saya rencanakan. Rasanya target menikah juga semakin jauh dalam angan saya. Entahlah, saya tidak merasa harus terburu-buru. Di lain sisi, saya menentang keras ikatan pacaran. I’m single and I’m very happy. Soal menikah, secara psikis dan emosional, saya belum siap. Begitu juga dalam urusan finansial. Akan tetapi jika saya terus-menerus berpatokan pada dua hal tersebut, maka saya akan sulit menikah. Sejujurnya, ada ketakutan besar dalam diri saya. Anggaplah ini sebagai akumulusi ketakutan demi ketakutan yang tanpa sengaja dikumpulkan sel-sel otak saya sejak kecil hingga menjelang dewasa, dalam kumparan ingatan yang mengikuti saya ke mana pun kaki saya melangkah. Jika saya menikah kelak, saya takut akan mengalami hal yang pernah dialami  ibu saya. Saya tidak ingin anak-anak saya mengalami apa yang saya pernah alami. Saya tidak ingin mereka tumbuh dalam lingkungan yang membuat jiwa mereka kerdil dan kehilangan pegangan dan panutan. Ah, belum apa-apa, saya sudah berpikir macam-macam. Dan beginilah saya. Si pemikir yang kadang suka ribet sendiri dengan hasil pikirannya.
Menikah hanya sekali sepanjang hayat.
Saya rasa, setiap perempuan menginginkan hal ini. Tidak ada perempuan yang ingin gagal dalam berumah tangga. Demikian pula saya.
Mungkin, tersebab hal-hal tersebut sehingga saya begitu hati-hati menyebut satu kata ini; menikah. Seringkali menjelang tidur, selepas shalat lima waktu, atau saat sendiri di kamar, saya teringat dan seketika sekujur tubuh saya mendadak dingin, gugup dan blank. Separah inikah traumatis tumbuh dalam diri saya? Saya berangkat dari keluarga yang nyaris hancur. Alhamdulillah Allah menyelamatkan kami. Tapi bayangan-bayangan buruk yang terekam dengan sempurna oleh otak saya, tidak mau hilang. Mengendap, menjadi racun yang mengerikan. Menumbuh suburkan kekhawatiran demi kekhawatiran.
Jika kamu membaca surat tanpa judul ini, saya hanya ingin kamu tahu saya tidak pernah menuntut kamu menjadi sosok tanpa cela karena kita bukan malaikat. Bagi saya, terlepas dari banyak tetek-bengek syarat-syarat soal sosok ideal seorang suami, nomor satu adalah agama. Seorang imam yang bijaksana dan bertanggungjawab. Kepada siapa anak-anak saya kelak belajar dasar-dasar akidah dan agamanya jika bukan kepada kedua orangtuanya? Saya tidak menuntut seseorang yang hapal 30 juz, atau hapalan hadis yang banyak, paling tidak shalat lima waktu yang konsisten. Seorang laki-laki yang menyayangi ibunya, keluarga dan sosialnya baik. Dan saya benci asap rokok hehe.
Kata ibu saya, saya ini orangnya keras kepala—darah Bapak begitu kental mengaliri darah saya—semoga kamu tidak keras kepala seperti saya.
Orang-orang bilang, jodohmu adalah cerminan dirimu. Maka saya pun sedang berusaha memantaskan diri agar jodoh yang ditakdirkan Allah untuk saya sesuai dengan potongan kalimat ini, “perempuan-perempuan baik untuk laki-laki yang baik pula”. Manalah masuk akal bila saya sebagai perempuan menginginkan jodoh yang baik sedang saya sendiri tidak mengusahakan diri saya menjadi pribadi yang pantas untuk dijadikan istri? Tidak tahu malu doooong namanya. Sepertinya langkah saya masih terlampau jauh ya :D
Jikapun saya dan kamu tidak berjodoh, saya berdoa dengan sungguh-sungguh, semoga Allah memberimu jodoh yang baik pula.

Sincerely, me.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^