Rabu, 06 Mei 2015

Surat Untuk Hati #1

26 April 2015
Jarum jam menunjukkan sudah lewat pukul 12, lima menit menuju satu malam. Mata saya belum menampakkan tanda-tanda mengantuk. Padahal seharusnya saya kelelahan—dengan kata lain akan membuat saya cepat didatangi kantuk—sehabis membereskan kamar yang berantakan. Tapi nyatanya tidak sama sekali. Sejak bergiat mengejar penyelesaian tugas akhir awal tahun ini, pola makan dan tidur saya memang agak berantakan—sangat berantakan—seperti sudah menjadi kebiasaan. Saya menderita insomnia parah, makan terkadang sehari sekali doang tergantung daya ingat saya dan parahnya, saya pelupa.
Ah sudahlah, kita tinggalkan di belakang curhat berkaitan tugas akhir saya yang Alhamdulillah sudah selesai, hanya tinggal menantikan wisuda awal Mei depan.
Saya ingin bercerita yang ringan-ringan saja.
Omong-omong, ini postingan pertama saya setelah mengganti url dan nama blog ini. Sebenarnya, saya pernah berniat men-delete blog Rumah Angin ini. Saya merasa isi blog kebanyakan curhatan dan aib-aib yang semestinya tidak perlu saya publikasikan melalui media sosial. Dan saya benar-benar pernah men-delete Rumah Angin. Peraturan Om Google, blog yang telah dihapus masih bisa di-aktifkan kembali tiga bulan atau 90 hari setelah proses penghapusan dilakukan. Lewat dari itu, penghapusan resmi terjadi. Dua bulan setelah menghapus, saya memutuskan membatalkannya. Salah satu pertimbangan saya adalah, ada beberapa tulisan saya yang bagi saya sangat berharga dan sayang untuk saya hapus.
Tentang entri yang erat hubungannya dengan lingkungan kehidupan saya, saya hanya perlu menerima bahwa saya pernah melewati masa-masa yang mungkin bagi sebagian orang cuma perkara sepele tetapi bagi saya justru sanggup menyita waktu saya sekadar untuk mendamaikan hati. Sekali lagi, saya bukan orang yang cukup terlatih untuk bilang saya baik-baik saja kepada orang-orang yang mengenal saya. Nyatanya, saat sendirian saya berubah menjadi sosok yang berkebalikan dari yang terlihat. Barangkali setiap orang memang seperti itu, selalu ada yang tidak bisa diceritakan kepada yang lain.
Ada dua hal yang saya ingat betul pernah menjungkirbalikkan ketenangan dan ketegaran saya, ibarat seeorang yang sudah babak belur dipukuli tapi masih dihajar sampai tidak berdaya, untuk bergerak pun tidak bisa. Hingga akhirnya saya mencurahkannya melalui postingan demi postingan di blog ini. Saya khawatir bila tidak mengeluarkannya maka kesehatan hati dan pikiran saya akan semakin buruk lalu kolaps. Gelap. Pekat. Dan setan akan berpesta pora menyambut kejatuhan saya. Di waktu-waktu yang terasa berat itu saya tidak cukup berani dan percaya pada orang-orang di dekat saya.
Menulis menolong saya menemukan ketenangan meski bukan seutuhnya.
Pertama, Bapak.
Saya dan Bapak memiliki hubungan aneh. Saya teringat betapa asingnya saya dan Bapak dulu. Dulu sekali, ketika saya masih belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Kemarahan dan kekecewaan memenuhi ingatan saya tentang Bapak. Saya tidak menemukan tipe ayah ideal pada beliau. Memasuki usia duapuluh dan bertahun-tahun kemudian saya tinggal terpisah jauh dari rumah karena urusan kuliah tidak lantas mengubah hubungan saya dan beliau menjadi hangat. Ada beberapa  jeda waktu yang saya kira bisa menjembatani kami namun kenyataannya jauh dari harapan. Semakin saya coba berusaha menjadi anak baik, berbanding lurus dengan semakin besar kekecewaan yang saya telan. Seolah-olah hanya ada satu pihak yang menginginkan damai. Itu saya. Begitulah kesimpulan yang tertanam subur di benak saya, menjelma racun yang pelan-pelan meninggikan tembok antara saya dan Bapak.
Lalu tibalah satu waktu yang sukses meruntuhkan seluruh hipotesa saya.
Malam itu, entah keberanian dari mana, saya menelpon Bapak. Hati saya sedang luar biasa rusuhnya. Pusing dengan Draft Hasil Penelitian dan perkara lain. Saya tiba-tiba merindukan Bapak. Detik itu yang terbesit di kepala saya hanya, ‘saya ingin minta maaf’, seperti itu. Dan saya benar-benar meminta maaf dari beliau. Sekuat hati saya menahan agar air mata saya tidak jatuh. Saya sampaikan apa yang telah membuat saya memendam amarah hingga dua puluh tahun lamanya. Kami benar-benar serupa. Dua orang yang tidak bisa mengekspresikan warna emosi. Bapak menimpali saya dengan bercanda begitupun saya—saya sadar setelah malam itu, tidak akan ada lagi tembok yang akan menghalangi saya dan Bapak—damai.
Kesadaran saya membulat. Bahwa bertahun-tahun saya membenamkan diri dalam kubangan egoisme yang sangat kental. Tidak saja kepada Bapak, namun juga kepada tiga adik-adik saya dan perempuan yang saya kasihi sepenuh hati—Ibu. Saya tidak pernah menyempatkan sejenak melongok ke arah Bapak. Benar-benar menolehkan kepala dan mengamatinya lebih lekat lebih dekat. Benarkah Bapak tidak pernah berusaha mendekati kami? Saya abai melihat betapa sepi-nya dunia beliau. Bahwa apa yang membentuknya di masa sekarang merupakan imbas masa lalu yang mungkin saja tidak sesuai harapannya. Saya lupa bagaimana beliau memprotes bernada cemburu ketika saya dan adik-adik saya yang akhirnya mengikut kuliah di kota seberang hanya menelepon Ibu, dan jarang menghubungi ponsel beliau. Saya dengan cepat melupakan ungkapan kebahagiaan beliau menjelang kepulangan kami ke rumah pada libur lebaran. Sungguh, setan punya jurus kamuflase jitu yang akan menyesatkanmu nun jauh ke dalam jelaga yang akan menghitamkan hatimu—amarah.
Ah. Bapak.
Mengingat waktu-waktu itu, air mata saya jatuh lagi. Ini perjalanan panjang untuk mengenali wajah-wajah kita. Wajah Bapak. Wajah saya. Wajah kerinduan seorang kanak-kanak kepada bapaknya yang ingin dia cintai setulus hati.
Ada sirat kebanggaan di wajah Bapak tatkala menceritakan pada teman-teman beliau. “ Anak saya sudah sarjana…”
Maafkan saya telah membuat Bapak menunggu lama untuk menyambut uluran tangan damai itu. Kesalahan terbesar saya adalah diam, memendam kemarahan dan berharap Bapak menyadarinya. Saya-lah yang memegang andil besar pada komunikasi sepihak yang berjalan limbung itu. Seringkali manusia salah mengambil sikap, seolah orang lain bisa transparan membaca keinginannya dan berharap pengertian. Yang akhirnya menimbulkan prasangka aneka macam jika kenyataan tidak berjalan seperti keinginan.
Bicaralah agar orang mengerti.
Setelah sidang skripsi Februari kemarin, saya pulang ke rumah. Saya bercerita banyak pada Bapak. Tentang apa saja.
Kedua, cinta platonik berhasil menjatuhkan saya. Telak. Saya paham dan sangat tahu saya berada dalam posisi yang tidak membolehkan saya menerjunkan diri ke sebuah hubungan yang tidak semestinya. Sebab itulah proses move on saya terasa berat. Dijatuhkan cinta pada seseorang bisa sangat melelahkan dan menyakitkan, tetapi di sisi lain akan mempertemukanmu dengan macam-macam pengalaman emosional. Namanya saja jatuh, pasti ada sakitnya.
Saya tidak akan malu mengakui, saya pernah sangat menyukai seseorang dan berhasil berdamai dengan perasaan asing itu. Butuh waktu memang, namun hasilnya cukup memuaskan. Terhitung setelah saya sukses move on, saya belum jatuh cinta lagi. Setidaknya doa saya kepada Tuhan agar jangan dijatuhkan cinta sebelum datang waktu yang tepat, dikabulkan.
Dan jejak cinta saya bisa ditemukan di blog ini.
Saat ini, Alhamdulillah kondisi emosional saya jauh lebih stabil. Saya belum pernah selega ini.
Saya mengurungkan niat menghapus blog ini. Saya hanya mengganti alamat url dan nama. Adapun postingan-postingan bernada curhat dan aib, saya menganggapnya masa lalu yang pada potongan-potongan kenangan tersebut, saya belajar menjadi pribadi yang semoga jauh lebih baik lagi dan lagi besok, dan seterusnya. Insya Allah…
Jika saya merasa malu dengan masa lalu saya yang tidak menyenangkan, maka yang seharusnya saya lakukan adalah berjanji untuk tidak mengulanginya, bukan? Hm… Tetapi, siapa yang bisa mengomandoi hati untuk jangan atau jatuh cintalah pada seseorang? Kapan dan kepada siapa? Jatuh cinta bukan kesalahan, dan baru akan menjadi kesalahan bila diteruskan ke muara yang biasa disebut—pacaran. Setidaknya, itulah yang saya percayai.
Selamat berbahagia,
-Love-

@Kaliandrabayu        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^