26
April 2015
Jarum
jam menunjukkan sudah lewat pukul 12, lima menit menuju satu malam. Mata saya
belum menampakkan tanda-tanda mengantuk. Padahal seharusnya saya
kelelahan—dengan kata lain akan membuat saya cepat didatangi kantuk—sehabis
membereskan kamar yang berantakan. Tapi nyatanya tidak sama sekali. Sejak
bergiat mengejar penyelesaian tugas akhir awal tahun ini, pola makan dan tidur
saya memang agak berantakan—sangat berantakan—seperti sudah menjadi kebiasaan.
Saya menderita insomnia parah, makan terkadang sehari sekali doang tergantung daya ingat saya dan parahnya,
saya pelupa.
Ah
sudahlah, kita tinggalkan di belakang curhat
berkaitan tugas akhir saya yang Alhamdulillah sudah selesai, hanya tinggal
menantikan wisuda awal Mei depan.
Saya
ingin bercerita yang ringan-ringan saja.
Omong-omong,
ini postingan pertama saya setelah mengganti url dan nama blog ini. Sebenarnya,
saya pernah berniat men-delete blog Rumah Angin ini. Saya merasa isi blog
kebanyakan curhatan dan aib-aib yang semestinya tidak perlu saya publikasikan
melalui media sosial. Dan saya benar-benar pernah men-delete Rumah Angin.
Peraturan Om Google, blog yang telah dihapus masih bisa di-aktifkan kembali
tiga bulan atau 90 hari setelah proses penghapusan dilakukan. Lewat dari itu,
penghapusan resmi terjadi. Dua bulan setelah menghapus, saya memutuskan
membatalkannya. Salah satu pertimbangan saya adalah, ada beberapa tulisan saya
yang bagi saya sangat berharga dan sayang untuk saya hapus.
Tentang
entri yang erat hubungannya dengan
lingkungan kehidupan saya, saya hanya perlu menerima bahwa saya pernah melewati
masa-masa yang mungkin bagi sebagian orang cuma
perkara sepele tetapi bagi saya justru sanggup menyita waktu saya sekadar
untuk mendamaikan hati. Sekali lagi,
saya bukan orang yang cukup terlatih untuk bilang
saya baik-baik saja kepada
orang-orang yang mengenal saya. Nyatanya, saat sendirian saya berubah menjadi
sosok yang berkebalikan dari yang terlihat. Barangkali setiap orang memang
seperti itu, selalu ada yang tidak bisa diceritakan kepada yang lain.
Ada
dua hal yang saya ingat betul pernah menjungkirbalikkan ketenangan dan
ketegaran saya, ibarat seeorang yang sudah babak belur dipukuli tapi masih
dihajar sampai tidak berdaya, untuk bergerak pun tidak bisa. Hingga akhirnya
saya mencurahkannya melalui postingan demi postingan di blog ini. Saya khawatir
bila tidak mengeluarkannya maka
kesehatan hati dan pikiran saya akan
semakin buruk lalu kolaps. Gelap. Pekat. Dan setan akan berpesta pora menyambut
kejatuhan saya. Di waktu-waktu yang terasa berat itu saya tidak cukup berani
dan percaya pada orang-orang di dekat saya.
Menulis
menolong saya menemukan ketenangan
meski bukan seutuhnya.
Pertama,
Bapak.
Saya
dan Bapak memiliki hubungan aneh. Saya
teringat betapa asingnya saya dan Bapak dulu. Dulu sekali, ketika saya masih
belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Kemarahan dan kekecewaan memenuhi
ingatan saya tentang Bapak. Saya tidak menemukan tipe ayah ideal pada beliau.
Memasuki usia duapuluh dan bertahun-tahun kemudian saya tinggal terpisah jauh
dari rumah karena urusan kuliah tidak lantas mengubah hubungan saya dan beliau
menjadi hangat. Ada beberapa jeda waktu
yang saya kira bisa menjembatani kami namun kenyataannya jauh dari harapan.
Semakin saya coba berusaha menjadi anak
baik, berbanding lurus dengan semakin besar kekecewaan yang saya telan.
Seolah-olah hanya ada satu pihak yang menginginkan damai. Itu saya. Begitulah kesimpulan yang tertanam subur di benak
saya, menjelma racun yang pelan-pelan meninggikan tembok antara saya dan Bapak.
Lalu
tibalah satu waktu yang sukses meruntuhkan seluruh hipotesa saya.
Malam
itu, entah keberanian dari mana, saya menelpon Bapak. Hati saya sedang luar
biasa rusuhnya. Pusing dengan Draft Hasil Penelitian dan perkara lain. Saya
tiba-tiba merindukan Bapak. Detik itu yang terbesit di kepala saya hanya, ‘saya ingin minta maaf’, seperti itu. Dan
saya benar-benar meminta maaf dari beliau. Sekuat hati saya menahan agar air
mata saya tidak jatuh. Saya sampaikan apa yang telah membuat saya memendam
amarah hingga dua puluh tahun lamanya. Kami benar-benar serupa. Dua orang yang tidak bisa mengekspresikan warna emosi.
Bapak menimpali saya dengan bercanda begitupun saya—saya sadar setelah malam
itu, tidak akan ada lagi tembok yang akan menghalangi saya dan Bapak—damai.
Kesadaran
saya membulat. Bahwa bertahun-tahun saya membenamkan diri dalam kubangan
egoisme yang sangat kental. Tidak saja kepada Bapak, namun juga kepada tiga
adik-adik saya dan perempuan yang saya kasihi sepenuh hati—Ibu. Saya tidak
pernah menyempatkan sejenak melongok ke arah Bapak. Benar-benar menolehkan kepala
dan mengamatinya lebih lekat lebih dekat. Benarkah Bapak tidak pernah berusaha mendekati kami? Saya abai melihat betapa
sepi-nya dunia beliau. Bahwa apa yang
membentuknya di masa sekarang merupakan imbas masa lalu yang mungkin saja tidak sesuai harapannya.
Saya lupa bagaimana beliau memprotes bernada cemburu ketika saya dan adik-adik
saya yang akhirnya mengikut kuliah di
kota seberang hanya menelepon Ibu, dan jarang menghubungi ponsel beliau. Saya
dengan cepat melupakan ungkapan kebahagiaan beliau menjelang kepulangan kami ke
rumah pada libur lebaran. Sungguh, setan punya jurus kamuflase jitu yang akan
menyesatkanmu nun jauh ke dalam jelaga yang akan menghitamkan hatimu—amarah.
Ah.
Bapak.
Mengingat
waktu-waktu itu, air mata saya jatuh lagi. Ini perjalanan panjang untuk
mengenali wajah-wajah kita. Wajah Bapak. Wajah saya. Wajah kerinduan seorang
kanak-kanak kepada bapaknya yang ingin dia cintai setulus hati.
Ada
sirat kebanggaan di wajah Bapak tatkala menceritakan pada teman-teman beliau. “ Anak saya sudah sarjana…”
Maafkan
saya telah membuat Bapak menunggu lama untuk menyambut uluran tangan damai itu. Kesalahan terbesar saya
adalah diam, memendam kemarahan dan
berharap Bapak menyadarinya. Saya-lah yang memegang andil besar pada komunikasi
sepihak yang berjalan limbung itu. Seringkali manusia salah mengambil sikap,
seolah orang lain bisa transparan membaca keinginannya dan berharap pengertian.
Yang akhirnya menimbulkan prasangka aneka macam jika kenyataan tidak berjalan
seperti keinginan.
Bicaralah agar orang mengerti.
Setelah
sidang skripsi Februari kemarin, saya pulang ke rumah. Saya bercerita banyak
pada Bapak. Tentang apa saja.
Kedua,
cinta platonik berhasil menjatuhkan
saya. Telak. Saya paham dan sangat tahu saya berada dalam posisi yang tidak
membolehkan saya menerjunkan diri ke sebuah hubungan yang tidak semestinya.
Sebab itulah proses move on saya
terasa berat. Dijatuhkan cinta pada seseorang bisa sangat melelahkan dan
menyakitkan, tetapi di sisi lain akan mempertemukanmu dengan macam-macam
pengalaman emosional. Namanya saja jatuh,
pasti ada sakitnya.
Saya
tidak akan malu mengakui, saya pernah
sangat menyukai seseorang dan berhasil berdamai dengan perasaan asing itu.
Butuh waktu memang, namun hasilnya cukup memuaskan. Terhitung setelah saya
sukses move on, saya belum jatuh
cinta lagi. Setidaknya doa saya kepada Tuhan agar jangan dijatuhkan cinta
sebelum datang waktu yang tepat, dikabulkan.
Dan
jejak cinta saya bisa ditemukan di
blog ini.
Saat
ini, Alhamdulillah kondisi emosional saya jauh lebih stabil. Saya belum pernah
selega ini.
Saya
mengurungkan niat menghapus blog ini. Saya hanya mengganti alamat url dan nama.
Adapun postingan-postingan bernada curhat dan aib, saya menganggapnya masa lalu
yang pada potongan-potongan kenangan tersebut, saya belajar menjadi pribadi
yang semoga jauh lebih baik lagi dan lagi besok, dan seterusnya. Insya Allah…
Jika saya merasa malu dengan masa
lalu saya yang tidak menyenangkan, maka yang seharusnya saya lakukan adalah
berjanji untuk tidak mengulanginya, bukan? Hm… Tetapi, siapa yang bisa mengomandoi
hati untuk jangan atau jatuh cintalah pada seseorang? Kapan dan kepada siapa?
Jatuh cinta bukan kesalahan, dan baru akan menjadi kesalahan bila diteruskan ke
muara yang biasa disebut—pacaran. Setidaknya,
itulah yang saya percayai.
Selamat
berbahagia,
-Love-
@Kaliandrabayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^