Senin, 17 November 2014

[CERPEN] INTERMESSO SUNYI


Oleh : Kaliandra Bayu
Aku diam-diam mencintaimu, lalu pada waktunya nanti, aku akan diam-diam pula aku meninggalkanmu....
Hujan pertama di penghabisan musim panas selalu indah. Untukku. Ada satu perasaan yang mendadak menyelinap keluar dari kotak kenanganku. Aku menyebutnya rindu. Entah sudah berapa lama aku menyimpan perasaan semacam ini. Mungkin semenjak aku mengenalnya atau barangkali perasaan ini mulai menjajahku saat ia pergi. Menghilang ke tempat yang jauh yang tidak terjamah mata dan telingaku. Maka adalah kebohongan besar bila aku mengatakan aku hanya merindukannya jika hujan turun. Sesungguhnya, aku merindukannya setiap saat selama tiga tahun terakhir ini.
Hujan adalah petikan cerita tentang dia. Segalanya. Yang aku lakukan setiap hujan turun, aku akan berdiri di depan jendela kaca kamarku, menatap butir-butir bening yang ditumpahkan langit. Berdiam di sana. Mengulang semua ingatan tentang dirinya. Aku tidak tahu harus menyebut ini sebagai apa. Orang-orang di sekelilingku menyebutku gila karena masih terobsesi pada dirinya sekalipun ia telah meninggalkanku. Lalu apa yang harus aku lakukan? Haruskah kutunjukkan pada orang-orang itu bahwa ternyata aku baik-baik saja? Tidak. Aku tidak ingin membuat kebohongan lagi. Satu kebohongan di masa lalu membuatku nyaris kehilangan napas.
Lihat, beginilah caraku mencintai manusia itu. Aku tempatkan dia di hatiku. Tanpa benci. Tanpa luka dan air mata yang terkadang mengalir diam. Aku berpikir, kadang-kadang cinta itu tidak logis. Aku masih setia pada harapan kelak ia akan kembali. Padahal aku tahu dengan jelas, tak pernah ada kabar secuil pun dari dia semenjak ia hengkang. Aku menunggu sendirian. Di bilik paling  sunyi. Di balik gemuruh hujan, aku menemui kenanganku.
=oOo=
“Kau yakin tidak akan jatuh cinta padaku?”
Pertanyaan bodoh itu lagi!
Aku memonyongkan bibirku. “Apa kau tidak sadar, Wan? Kau sudah mengulang pertanyaan itu lebih dari dua puluh kali dalam sehari ini! Itu membuatku frustasi!”
“Benarkah? Makanya kau harus menjawabnya!” Ia terlihat bahagia telah sukses merusak konsentrasiku. Pencapaian terbesarnya hari itu.
Awan mengekori langkahku. Andai saja aku tidak ingat Mikroskop di hadapanku berharga puluhan juta, aku tak akan sungkan menjatuhkannya di atas kepala Awan. Dia tak pernah rela melihatku bekerja dengan tenang mengurus sampel penelitianku di laboratorium. Malangnya lagi, hanya dia satu-satunya orang yang setia menemaniku di laboratorium hingga dini hari.
“Kau harus membuatku yakin, kau tidak akan pernah jatuh cinta padaku!”
“Apa itu sangat penting bagimu?” tanyaku cuek sambil meneteskan aquades ke atas kaca preparat.
“Tentu saja. Itu lebih penting dari semua sampel penelitianmu!”
“Kau membuatku mulas!”
“Berjanjilah untuk tidak jatuh cinta padaku, Langita....” nada suaranya mirip rengekan.
Aku melengos. Kuletakkan hati-hati kaca preparat berisi sampel penelitian lalu menatapnya lekat-lekat. Sepasang mata beningnya siaga. Menunggu.
“Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada orang sepertimu! Simpan itu baik-baik. Kalau perlu ditulis di buku catatanmu! Cukup? Oke. Berhentilah mengusikku. Satu lagi, harus berapa kali kutegaskan jangan memanggilku Langita. Panggil aku Elok! ” intonasi suaraku sedikit naik. Bukan marah.
Haha! Elok Langita bisa marah juga? Kau harus benar-benar memastikan tidak akan jatuh cinta pada orang sepertiku.” Awan menyengir jenaka.
Aku menjaminnya dengan hidupku. Aku bukan orang yang bisa dengan gampangnya menyukai makhluk paling menyebalkan di seluruh laboratorium ini! Saat mendengarmu bicara aku merasa ketenanganku terancam dan kau selalu membuat perutku mulas. Aku jamin aku akan tetap waras dengan tidak menyukaimu, kau puas?”
Awan mengangguk. “Kedengarannya sangat meyakinkan. Itu bagus. Jadi aku tidak perlu repot jika nantinya kau terluka karena menyukaiku.”
“Lagipula, apa kau tidak merasa sedikit malu?” Aku memicingkan mata.
“Kenapa aku harus malu?”
“Tingkat kepercayaan dirimu membuatku khawatir!”
Tawa Awan meledak. Wajahnya sampai memerah.
“Tanpa itu aku tidak bisa hidup! Kau tahu itu, kan?” Tangan Awan menjajah kepalaku.
“Stres!” Kulemparkan jas praktikumku ke wajahnya. Kacau.
“Bagaimana bila kau benar-benar jatuh cinta padaku?”
Kalimat Awan membuatku bungkam sekian detik. Aku (pura-pura) mengubah diafragma lensa Mikroskop. Bisa gaswat berkubik-kubik jika Awan menyadari gelagat saltingku. Eh, kenapa aku jadi gugup begini?
“Itu akan menjadi keajaiban dunia paling menyebalkan! Percayalah, aku masih ingin tetap waras.” Aku menghalau tatapanku agar tak jatuh di matanya.
“Aku pegang janjimu. Kalau kau sampai menyukaiku aku akan menghilang.”
“Iya, menghilang seperti kabut.” Aku menimpalinya setengah bergurau. Awan mencubit pipiku. Dasar!
Percakapan itu terjadi 6 bulan sebelum kami menjalani ujian akhir semester. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Awan selalu mengejarku dengan pertanyaan semacam itu. Bahkan mungkin aku tidak akan pernah tahu.
Awan, si mahasiswa paling edan dan paling aneh di Departemen Kimia. Untungnya ia ditopang oleh kecerdasan yang di atas rata-rata makhluk penghuni FMIPA. Itulah yang membuatnya terkenal ke seantero Jurusan kami dan seluruh fakultas MIPA. Kesayangan semua dosen dan asisten dosen paling banyak penggemarnya. Ia pernah berseloroh bahwa kepopulerannya mengalahkan ketua BEM kami. Lihat, tidak perlu meragukan tingkat kenarsisannya. Kronis.
 Sejak masa orientasi kami sudah saling memusuhi. Pikirkan, apakah kau akan bersikap baik ketika seseorang yang belum kau kenal mengatakan kau mirip pohon pinus sekarat yang tinggal menunggu angin menamatkan riwayatnya di depan senior dan ribuan mahasiswa baru? Astaga, meskipun aku kurus bukan berarti aku boleh seenaknya dihina! Awan terlihat santai menghinaku di ruang orientasi, sekejap saja menjadikanku bahan ejekan. Baginya, tak ada waktu luang untuk tidak saling mengusik. Dia yang selalu berinisiatif mengacaukan kekalemanku. Awan tak bisa tenang sebelum mendengar teriakan kesalku. Hal wajar jika setiap hari kami saling kejar-kejaran di laboratorium dan ruang kuliah. Pernah, di semeter tiga aku hampir meledakkan seisi laboratorium Anorganik gara-gara Awan yang sengaja menukar larutan yang mudah terbakar ke dalam tabung reaksiku. Menurutnya itu sangat lucu. Ingin rasanya aku mempraktekkan padanya jurus karate yang aku kuasai. Aku tak sabar menunggu kesempatan itu datang.
Dan Awan tidak pernah membiarkan kesempatan itu datang.
Awan tidak pernah menyelesaikan kuliahnya di Kimia Industri.
Dia menghilang.
Kehilangan itu begitu nyata. Begitu lekat.
Aku sudah sering mendengar kalimat yang mengatakan bahwa terkadang kita akan menyadari betapa berartinya kehadiran seseorang justru ketika orang tersebut telah meninggalkan kita. Aku tidak pernah berpikir rasanya akan sesakit ini. Walaupun aku sudah berhenti menangisinya, rasanya tetap sama. Sesak.
Awan dan hujan.
Entahlah. Bagiku, tak ada yang lebih indah ketika aku berdiam di balik rinai hujan. Mencerna rinduku dengan hati-hati. Aku telah menghapus banyak hal dalam hidupku, tetapi menghapus Awan dari kenanganku tak pernah berhasil kulakukan. Karena aku menyukainya. Ternyata.
=oOo=
 “Apakah kamu masih terlalu menyukainya?” pertanyaan itu terlontar buru-buru dari bibir Bayu. Aku membaca kesal dari nada bicaranya. Ah, pria malang yang sudah setia menunggu di sisiku bahkan jauh sebelum aku menyadari perasaanku terhadap Awan.
Aku mengangguk, kuhirup kopi pahitku.
“Penantianku akan lebih lama,” lirihnya.
“Maafkan aku, Bayu.” Kutatap bola mata biru beningnya. “Kau seharusnya sudah menyerah sejak dulu.”
“Tidak, sama halnya seperti perasaanmu pada Awan. Kau tidak perlu bersusah payah memintaku berhenti menyukaimu. Kau tahu dengan jelas bagaimana perasaanku padamu,” ucap Bayu. “Lucu, terkadang aku ingin membencimu karena sudah tega mengabaikanku demi seseorang yang bahkan keberadaannya entah di mana. Tetapi setiap kali melihatmu, aku seperti menatap pantulan diriku di cermin. Tahukah kau apa yang paling aku takutkan?”
Aku tidak bersuara, hanya menatapnya. Menunggunya melanjutkan kalimatnya.
“Aku takut kita sudah terlalu lelah dalam penantian kita masing-masing dan lupa bahwa kita masih punya kesempatan besar menciptakan kenangan yang jauh lebih melegakkan. Saat kita sadar, segalanya telah terlambat.”
Siang yang terik, perbincanganku dan Bayu lagi-lagi berujung pada keheningan yang menyakitkan. Aku tidak ingin menyakiti siapapun, terlebih Bayu. Jika saja makhluk jelek bernama Awan itu tidak mengunci kenangan kami di kotak ingatanku dan membawa pergi kuncinya, aku mungkin bisa memberikan ruang bagi Ranindra Bayu.
Bayu, begitu aku memanggilnya. Dia tipikal pria yang akan membuatmu jatuh cinta berkali-kali. Aku dan dia begitu berbeda dalam segala hal. Ia membenci hujan—sesuatu yang sangat kucintai. Tetapi saat aku membutuhkan lengan untuk melarikan air mataku, ia selalu tahu makna kedatanganku padanya. Dan khotbah panjang lebarnya tentang move on, move up, bangun dari mimpi buruk pun mengucur deras bak banjir bah seraya menepuk punggungku. Lalu di ujung kalimatnya, ia akan berkata pelan. Sangat pelan.
“Jangan sembunyikan air matamu. Menangislah sepuasmu. Kau tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. Kau bukan Wonder Woman atau semacamnya.”
Di lain kesempatan ia berkata seperti menujukan itu untuk dirinya.
“Aku tidak tahu kapan, tapi aku yakin kau akan menemukan jalan untuk memulangkan Awan ke hatimu. Saat waktu itu datang, kau akan tahu siapa yang lebih pantas menghuni hatimu selamanya.”
Atau…
“Aku cemburu pada Awan. Kukira ketampananku bisa menjadi jaminan bahwa aku sanggup menggeser namanya dengan mudah, sekali tepis. Makin lama, aku merasa kepercayaan diriku mengecil… Harusnya aku tahu dalam urusan perasaan adalah fatal jika terlalu percaya diri.”
Kenyataannya di hari berikutnya ia tetap datang dengan segala pengharapannya. Kadang, aku bertanya-tanya cinta macam apa yang sedang kami lakoni. Rasanya seperti menyusuri jalan yang tidak pernah berujung.
Tidak ada label unlimited pada perasaan suka terhadap seseorang, kan?
=oOo=
Hujan dan malam seperti merambat dengan malas. Suara televisi di ruang tengah menyiarkan news pukul Sembilan, sayup-sayup terdengar. Ada sisa percakapan yang menggantung di udara. Mungkin Papa dan Mama. Suhu panas politik nampaknya turut andil menggoyang kemesraan kedua orangtuaku. Aku terlalu enggan untuk turut campur karena pada akhirnya tatapan selidik disertai pertanyaan beruntun serta merta dimuntahkan padaku.
Kapan kau akan mengenalkan priamu pada kami? Semacam itu. Maka aku memilih diam di ranjangku, mendengarkan ritme hujan di luar dinding kamarku yang lembab seraya memainkan kenangan yang belum selesai. Nanggung.
Beep. Ponselku bordering sekali. Pesan masuk. Bayu. Ini aneh, pria itu sangat jarang mengirim SMS, apalagi sampai memakan banyak karakter. Bayu lebih suka menelepon. Ia tidak butuh kategori penting atau tidak.
Aku mengirim email, kurasa sudah saatnya kau melepaskan Awan. Dia tak berhak melukaimu sedalam itu.
Email?
Seharian ini aku memisahkan diri dari socmed atau semacamnya. Agak terburu-buru, aku membuka aplikasi di ponselku. Kuakui, tanganku gemetar mengingat Bayu menyebut Awan di SMS-nya.
melepaskan Awan.
Aku bukan orang bodoh untuk sadar bahwa Bayu telah menyembunyikan sesuatu dariku perihal Awan. Sesuatu yang membuatku takut membaca isi email itu.
=oOo=
(Bukan) Epilog
Bayu memandangi layar leptopnya. Wajahnya kuyu. Inilah titik kulminasi pertahanannya. Seharusnya ia melaksanakan janjinya bertahun-tahun silam, sebelum Elok Langita jatuh terlalu dalam. Ia terlalu sayang, tak cukup berani membunuh bungah di mata Elok setiap kali menyebut nama Awan walau pada akhirnya itu pula yang pelan-pelan membunuh kesempatannya melukis wajahnya seorang di manik mata gadis itu. Mereka sama-sama terluka. Luka yang entah dimulai oleh siapa. Dibacanya lagi artikel dari potongan Koran tahun yang sudah lama lewat, hasil scanning dari wujud aslinya yang menggunung memenuhi kardus di sudut kamarnya. Ia pernah sangat bernapsu menemukan keberadaan Awan hingga sebuah kejadian besar mengantarnya masuk ke lingkaran gelap rekan kuliahnya itu
Bayangan pertemuannya dengan Awan sebelum eksekusi mati yang merenggut hidupnya bertahun lalu kini menggenangi pelupuknya.
=oOo=
“Aku tahu kau dan Langita punya hubungan yang sangat dekat. Kedekatan yang sering membuatku cemburu.” Awan dibalut seragam tahanan tak nampak seperti seorang mahasiswa jenius yang pernah dilahirkan di universitas mereka. “Kau lebih berhak memilikinya.”
Jujur, detik itu Bayu ingin membungkam mulut Awan dengan kepalan tangannya. Setahun kehilangannya, Elok merana. Dan sekarang pria itu tanpa rasa bersalah memperlakukan Elok bak barang.
“Jika kau tahu Elok akan memilihmu, lalu kenapa kau justru memilih jalan gelap dan meninggalkannya di belakang? Aku gagal memahami jalan pikiranmu, Awan.”
“Benar, aku pernah sangat mencintainya. Tapi saat itu aku sadar, Elok Langita tidak pernah masuk dalam prioritasku.” Enteng. Datar.
Bayu menatap bengis.
“Kau tidak pantas menerima cinta Elok,” desisnya.
Awan tersenyum getir. “Aku tahu. Oleh sebab itu sedari awal aku melarangnya agar jangan jatuh cinta padaku. Bila kemudian ia tetap menyukaiku bahkan sampai terluka, itu bukan salahku semata kan?”
Detik itu, Bayu gagal menahan amarahnya. Ia meninju dinding bening yang menghalangi dirinya dan Awan.
“Sekarang tugasmu melindungi Langita dari kenangan orang yang sudah mati, Bayu.” Awan membuang napas panjang. Matanya redup dan sunyi.
=oOo=
Bayu tak bergeming. Ia membiarkan ponselnya berderit berkali-kali menampilkan nama Elok di layarnya. Elok sudah membaca emailnya. Membaca kenyataan perihal hilangnya Awan. Tentang ledakan bom di sebuah pusat perbelanjaan yang menewaskan banyak nyawa. Menemukan nama Awan di antara para pelaku yang berhasil diringkus. Tentang hukuman mati. Tentang detak rindu yang harus Elok akhiri.
Hujan semakin deras. Ada seseorang sedang menangis mengalahkan suara hujan malam ini.

“Kau tahu? Awan tidak akan pernah bisa mencapai posisi langit. Ia hanya bisa mengawang, menggantung sunyi dan berjarak. Suatu waktu lenyap disapu angin.” –Awan Airlangga=
Tamat
Note : Cerpen ini pernah saya muat di blog lain dengan menggunakan nama yang berbeda. Blog itu udah gak bisa saya buka lagi karena lupa password *facepalm* T.T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^