Kenapa seseorang memilih menutup hatinya dan tidak membiarkan orang lain membuka dan masuk ke dalam? Ada banyak alasan. Mungkin dia pernah melewati masa di mana dia berkali-kali menelan kekecewaan karena terlalu percaya pada orang selain dirinya. Di kesempatan berikutnya, dia kehilangan keberanian untuk percaya barang secuil saja. Dia takut terluka dan menganggap tidak ada yang bisa lebih dipercaya kecuali dirinya sendiri. Yang seperti ini sudah mendekati tahap kritis :) *kayak familiar yah*
Alangkah melegakkannya bagi dia yang selalu punya bahu untuk melarikan tangisnya, ada telinga yang siap sedia 7/24 mendengarkan cerita-ceritanya, ada senyum tulus yang tidak pernah alpa menyapanya jika sewaktu-waktu Ia terpeleset di jalan yang salah. Dan bagi dia yang tidak punya sesiapa untuk menyandarkan diri, bukan berarti dia tidak berarti apa-apa. Tuhan punya cara keren untuk menunjukkan betapa beruntungnya dia melewati hari-hari sulit itu sendirian.
Dia yang mencerna kepahitan satu-persatu dalam keheningan. Suatu hari dibikin tercenung. Merenung mendapati kenyataan hal-hal buruk yang dihadapinya tidak lebih buruk dari orang lain. Terbesit syukur, ia jauh lebih beruntung. Untuk urusan kesulitan dan masalah hidup, tidak tepat bila saling membandingkan milik siapa yang lebih berat lantas menggunakannya sebagai alasan melarikan diri pada hal-hal buruk sebagai bentuk protes terhadap entah... Tuhan. barangkali.
Bahagia itu (bisa sangat) sederhana. Takaran kebahagiaan masing-masing kepala berbeda satu sama lain. Tinggal sejauh mana mensyukurinya.
Ada satu dorama Jepang ber-genre medikal yang sangat saya sukai. Judulnya Code Blue. Saya ingat Dr. Aizawa Kosaku, salah satu tokoh utama di dorama itu pernah berkata kurang lebih begini, dengan memahami kesedihan diri sendiri, maka kita akan semakin peka melihat kesedihan orang lain. Itulah yang terjadi pada saya.
Mungkin melalui cara itu, kita bisa menemukan jalan pulang menuju maaf seutuhnya untuk waktu-waktu beserta orang-orang yang sudah berjasa memberikan kita kesedihan sedemikian rupa.
Kapan saya merasa benar-benar bahagia?
Ada satu moment yang bisa bikin airmata saya terjun bebas; ketika saya bisa berbuat baik kepada orang-orang yang saya jumpai di jalan, ketika saya tahu bahwa kehadiran saya bisa memberikan kelegaan bagi yang lain.
Saya tidak punya bakat spesial, saya juga tidak pintar, tapi saya berharap suatu saat dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang saya miliki, saya bisa melakukan kebaikan sekecil apapun itu untuk menolong orang lain yang sangat membutuhkan.
Sejujurnya, saya sudah tiba di tahap jika memang sudah jalannya begini, biarkanlah. Dan saya memilih terus melangkah. Semoga Allah memaafkan sederet kekhilafan yang pernah saya lakukan, senantiasa menjaga saya dari hal-hal yang akan menjauhkan saya dari-Nya. Lalu untuk kedua orangtua saya, saya berjalan sejauh ini untuk memahami tentang apa dan mengapa jarak terasa jauh lebih mendamaikan daripada pertemuan itu sendiri. Saya menunggu waktu yang tepat untuk menumpahkan seluruh rekaman masa lalu di kepala saya ini, hanya agar kalian tahu, saya tidak pernah benar-benar membenci apalagi menyalahkan. Selalu ada alasan di balik setiap kejadian. Pun perkara kita.
Lagi dan lagi, tidak ada yang lebih tahu apa yang saya inginkan selain diri saya sendiri. Tidak ada yang bisa menenangkan saya selain diri saya sendiri dan campur tangan Allah. Belajar menjadi pribadi yang hatinya lapang itu tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa, kan? Butuh waktu dan keistiqamahan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^