Ketika
memasuki tahun ketiga atau keempat kuliah, saya baru menyadari bahwa
‘pembawaan’ saya selama ini merupakan ‘hasil’ dari apa yang pernah alami dan
rasakan sejak kecil hingga memasuki ambang usia dewasa. Di antaranya saya
trauma—membenci—suara ribut-ribut dan teriakan, jantung saya suka berdegub
kencang dan terasa sakit dengar yang semacam itu, saya juga bisa langsung
kehilangan respek terhadap orang yang gampang mengumbar kata-kata kasar/kotor,
emosi yang mudah pecah, dan masih banyak lainnya. Saya tidak sadar telah
menternak sifat/sikap yang cenderung berkiblat ke arah negatif itu.
Cerita-cerita sedikit, saya paling sering
mengajak dialog seseorang di dalam
diri saya, bertukar cerita mengenai
apa saja. Paling banyak adalah tentang siapa
saya dan apa yang sudah saya
lakukan. Dengan begitu, saya mendapat pencerahan langkah apa yang harus saya
ambil selanjutnya. Saya tidak pernah serius menganggap orang-orang yang dengan
percaya dirinya mengatakan kepada saya bahwa mereka akan mendengarkan dan
membantu saya mencari jalan keluar bila saya sedang semaput dengan
masalah-masalah sepele yang saya hadapi.
Bagi saya, tidak ada orang yang lebih memahami apa yang saya alami, atau apa
yang perlu saya lakukan agar sesak di dada saya lenyap selain diri saya
sendiri. Bukannya saya tidak mau memberi kesempatan kepada orang lain untuk
mengenal saya lebih jauh, tapi selagi saya masih sanggup mengatasinya, mengapa
mesti merepotkan orang lain yang pastinya punya urusan-urusannya sendiri? Saya
yang over sensitive ini cukup jeli
menakar mana orang yang benar-benar tulus dan mana yang sekadar ingin turut memeriahkan.
Orang-orang
yang tumbuh besar bersama saya, tentu tahu benar bagaimana metamorfosa saya.
Kanak-kanak, bahagia (karena saya belum paham apa yang terjadi di rumah yang
saya cintai sepenuh hati). Saya bermain layaknya anak-anak lain, setidaknya
seperti itulah yang terlihat. Namun jika saya ingat-ingat, sifat rendah diri
yang melekat kuat pada diri saya berasal dari hardikan-hardikan penuh tudingan
negatif yang kerap saya terima semasa saya kecil. Sedikit saja saya melakukan
kesalahan atau saya tidak melakukan dengan baik apa yang diperintahkan
orang-orang dewasa di keluarga saya, ujung-ujungnya telinga saya akan ditampar
dengan umpatan b*d*h, be*o, tol** dst. Akibatnya, saya selalu ketakutan akan
salah saat melakukan sesuatu, kikuk, tidak berani menyuarakan diri saya apa
adanya. Seolah selalu ada tangan-tangan jahat yang menudingkan sepuluh jari
kepada saya. Saya terbiasa mendengar orang-orang saling berteriak—sedihnya
mereka adalah sosok-sosok terdekat saya—saling mencaci. Saya menyaksikan
sendiri bagaimana oaring-orang saling membicarakan keburukan orang lain dengan
sangat percaya diri, tidak ingat atau terlupa besok-besok bisa jadi hal-hal
buruk yang mereka gosipkan itu akan menimpa hidup mereka atau orang-orang yang
mereka sayangi. Sepertinya, bibit-bibit ketidakpercayaan saya terhadap orang
lain berangkat dari pengamatan saya itu. Bahwa sedekat apapun kamu dengan dia
yang kamu anggap teman, tidak mustahil dia tidak akan membelakangimu sambil
memasang senyum iblisnya.
Ada
dua satu cerita yang sampai mati tidak pernah saya lupakan. Cerita pertama,
saya mendengar langsung rekan-rekan kerja ibu saya membicarakan masalah keluarga kami penuh rasa belas
kasihan—yang membuat saya ingin berlari pulang dari sekolah dan menangis—nada
bicara mereka menusuk-nusuk hati saya. Di saat ibu saya sedang menjalani
masa-masa berat sehabis melahirkan adik keempat saya, ada orang-orang yang
menyembunyikan wajah sinisnya di balik topeng bernama empati. Entah mereka
benar-benar kasihan, tetapi mestikah
membicarakannya secara sembunyi-sembunyi dan dicampur-adukkan dengan sindir
menyindir? Terkadang kita sulit memilah, benarkah kita setulusnya berempati
atau hanya ingin memuaskan sisi lain diri kita yang bolehlah kita sebut ingin
eksis.
Cerita
kedua, orang-orang yang hidup dan mimpinya banyak diselamatkan ibu saya, begitu tega menjelek-jelekkan ibu saya. Saya
yang tidak sengaja menguping, tanpa
babibu segera berlari pulang ke rumah sambil menangis hebat. Bagi saya, saya
masih bisa menerima orang menghina saya, tapi tidak kalau objeknya adalah ibu
saya. Perempuan yang seluruh hidupnya dipenuhi luka dan duka itu... Sejak saat itu, orang-orang tersebut
saya masukkan dalam daftar orang-orang yang tidak akan pernah saya percaya
seumur hidup.
Dengan
pengalaman tidak mengenakkan seperti itu, saya kira cukup wajar mengapa
akhirnya saya memilih mengunci rapat-rapat hati saya. Percayalah, saya bukan
tipe pendendam. Saya hanya memegang prinsip, memaafkan namun tidak melupakan. Saya bahkan masih ingat pernah
dibikin menangis cowok temen sekelas saya waktu SMA gara-gara dia sambil
bercanda menyebut saya gila hahahaha. Lantas dalam pergaulan saya memilih sisi
netral dan sering menjadi juru damai dua pihak yang bertikai xD
Seburuk-buruknya
perkembangan mental saya di masa kecil, ada kok kenangan-kenangan manis yang
membuat saya tersenyum bahagia bila mengingatnya. Seperti bermain permainan
tradisional bersama teman-teman sepulang mengaji di sore hari dan—ini yang
paling menggelikan—bagaimana jantung saya berdegub tidak karuan setiap kali
melihat sosok crush saya dikejauhan.
Benih-benih cinta pertama muncul terlalu dini *nyengir*
Memasuki
usia belasan, di bangku SMA saya semakin pendiam dan tertutup. Menjaga jarak
sejauh mungkin terhadap makhluk bernama laki-laki. Saya memfokuskan diri pada
hal-hal lain ketimbang berhaha-hihi membahas urusan percintaan dan heboh ala
remaja. Yep, memasuki kelas sepuluh, saya memilih jomblo. Imbas patah
hati—sebenarnya saya sendiri yang mematahkan hati saya—sungguh luar biasa.
Perjuangan move on memberikan kepercayaan diri kepada saya, cinta kanak-kanak
yang saya pikir tidak bisa saya lupakan ternyata bisa saya lengserkan. Itulah,
awal mula saya mulai mengenal hijab.
Saya
menghabiskan masa-masa remaja tidak seperti remaja seumuran saya. Buku, bola,
lagu-lagu, dan Naruto adalah objek-objek yang mewarnai hari-hari saya di tengah
sumbu jiwa pemberontak saya yang telah mendapatkan pemantiknya.
Belajar
banyak dari masa lalu, saya pelan-pelan berusaha mematikan sifat/sikap negatif
yang telah melekati alam bawah sadar saya. Saya mulai bisa menekan sisi
emosional saya—yang sering membuat orang-orang takut kepada saya—ketakutan saya
terhadap pernikahan juga sedang saya coba hilangkan. Saya pun juga sangat
memimpikan memeluk penuh sayang anak-anak saya, membesarkan mereka dengan
sepenuh cinta, mendengarkan celoteh riang mereka, membantu menyeka tangis
mereka… Saya juga perempuan yang teramat mengharapkan bisa menjadi sosok ibu
yang baik bagi anak-anaknya.
Cukuplah
pengalaman buruk tentang keluarga berakhir di saya saja. Saya tidak ingin
anak-anak saya kelak dibesarkan dengan mendengar hardikan atau kata-kata kotor,
terikan demi teriakan—kekerasan verbal dan fisik—itu akan membunuh mental dan
menciptakan sosok-sosok yang mungkin apatis terhadap hidup. Beruntung jika
mereka bertemu dengan sesuatu yang bisa menolong mereka ke jalan pulang—seperti saya yang dipertemukan
dengan buku—namun, bagaimana jika mereka tidak menemukan lentera dalam
kegelapan mereka? Pada siapa mereka akan menuju?
Ada
satu aforisma mengharukan dari Dorothy Law Nolte berjudul Children Learn What They Live, yang saya kutip dari buku favorit
saya River’s Note-fauzan Mukrim.
Anak
belajar dari kehidupannya.
Jika
anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan
permusuhan, Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia
belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar
menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri. Jika anak
dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan
sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan
dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan member
sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Ikhlas
itu hanya Tuhan yang tahu, saya tidak mau lagi mengumbar kata-kata bahwa saya
sudah benar-benar mengikhlaskan serta memaafkan tulus orang-orang yang pernah
meninggalkan jarah luka bertumpuk-tumpuk di ingatan saya. Saya pernah
melakukannya dan berakhir kecewa luar biasa, karena kenyataannya hanya saya
yang mencoba berdamai. Saya tidak ingin lagi menyalahkan siapapun.
Namun
terlepas dari semua ini, harapan terbesar saya satu, perjalanan yang saya
tempuh sejauh ini akan menemukan akhir yang bahagia. Tidak hanya bagi saya,
tetapi juga bagi keluarga dan teman-teman yang mengenal saya.
Semoga
kelak di masa depan, kita bisa menjadi rumah yang hangat tempat kembali bagi
seluruh pedih dan bahagia orang-orang yang mencintai dan kita cintai. Bukankah
sebaik-baik manusia, adalah dia yang bisa memberikan manfaat bagi manusia lain?
Barangkali apa yang saya katakan ini terlalu klasik, tapi tidak ada salahnya
kita saling mengingatkan, buakan? Terlalu fokus pada kekurangan diri akan
menutup mata kita dari pesan baik yang dikirim Allah dari penjuru mana saja.
Mulailah menyalakan lentera di dalam hatimu, yang dengan itu kamu bisa
memabantu orang di sekelilingmu keluar dari kegelapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^