Senin, 17 November 2014

[November Wish] #3 Best Future


Ketika memasuki tahun ketiga atau keempat kuliah, saya baru menyadari bahwa ‘pembawaan’ saya selama ini merupakan ‘hasil’ dari apa yang pernah alami dan rasakan sejak kecil hingga memasuki ambang usia dewasa. Di antaranya saya trauma—membenci—suara ribut-ribut dan teriakan, jantung saya suka berdegub kencang dan terasa sakit dengar yang semacam itu, saya juga bisa langsung kehilangan respek terhadap orang yang gampang mengumbar kata-kata kasar/kotor, emosi yang mudah pecah, dan masih banyak lainnya. Saya tidak sadar telah menternak sifat/sikap yang cenderung berkiblat ke arah negatif itu.
 Cerita-cerita sedikit, saya paling sering mengajak dialog seseorang di dalam diri saya, bertukar cerita mengenai apa saja. Paling banyak adalah tentang siapa saya dan apa yang sudah saya lakukan. Dengan begitu, saya mendapat pencerahan langkah apa yang harus saya ambil selanjutnya. Saya tidak pernah serius menganggap orang-orang yang dengan percaya dirinya mengatakan kepada saya bahwa mereka akan mendengarkan dan membantu saya mencari jalan keluar bila saya sedang semaput dengan masalah-masalah sepele yang saya hadapi. Bagi saya, tidak ada orang yang lebih memahami apa yang saya alami, atau apa yang perlu saya lakukan agar sesak di dada saya lenyap selain diri saya sendiri. Bukannya saya tidak mau memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengenal saya lebih jauh, tapi selagi saya masih sanggup mengatasinya, mengapa mesti merepotkan orang lain yang pastinya punya urusan-urusannya sendiri? Saya yang over sensitive ini cukup jeli menakar mana orang yang benar-benar tulus dan mana yang sekadar ingin turut memeriahkan.
Orang-orang yang tumbuh besar bersama saya, tentu tahu benar bagaimana metamorfosa saya. Kanak-kanak, bahagia (karena saya belum paham apa yang terjadi di rumah yang saya cintai sepenuh hati). Saya bermain layaknya anak-anak lain, setidaknya seperti itulah yang terlihat. Namun jika saya ingat-ingat, sifat rendah diri yang melekat kuat pada diri saya berasal dari hardikan-hardikan penuh tudingan negatif yang kerap saya terima semasa saya kecil. Sedikit saja saya melakukan kesalahan atau saya tidak melakukan dengan baik apa yang diperintahkan orang-orang dewasa di keluarga saya, ujung-ujungnya telinga saya akan ditampar dengan umpatan b*d*h, be*o, tol** dst. Akibatnya, saya selalu ketakutan akan salah saat melakukan sesuatu, kikuk, tidak berani menyuarakan diri saya apa adanya. Seolah selalu ada tangan-tangan jahat yang menudingkan sepuluh jari kepada saya. Saya terbiasa mendengar orang-orang saling berteriak—sedihnya mereka adalah sosok-sosok terdekat saya—saling mencaci. Saya menyaksikan sendiri bagaimana oaring-orang saling membicarakan keburukan orang lain dengan sangat percaya diri, tidak ingat atau terlupa besok-besok bisa jadi hal-hal buruk yang mereka gosipkan itu akan menimpa hidup mereka atau orang-orang yang mereka sayangi. Sepertinya, bibit-bibit ketidakpercayaan saya terhadap orang lain berangkat dari pengamatan saya itu. Bahwa sedekat apapun kamu dengan dia yang kamu anggap teman, tidak mustahil dia tidak akan membelakangimu sambil memasang senyum iblisnya.
Ada dua satu cerita yang sampai mati tidak pernah saya lupakan. Cerita pertama, saya mendengar langsung rekan-rekan kerja ibu saya membicarakan masalah keluarga kami penuh rasa belas kasihan—yang membuat saya ingin berlari pulang dari sekolah dan menangis—nada bicara mereka menusuk-nusuk hati saya. Di saat ibu saya sedang menjalani masa-masa berat sehabis melahirkan adik keempat saya, ada orang-orang yang menyembunyikan wajah sinisnya di balik topeng bernama empati. Entah mereka benar-benar kasihan, tetapi mestikah membicarakannya secara sembunyi-sembunyi dan dicampur-adukkan dengan sindir menyindir? Terkadang kita sulit memilah, benarkah kita setulusnya berempati atau hanya ingin memuaskan sisi lain diri kita yang bolehlah kita sebut ingin eksis.
Cerita kedua, orang-orang yang hidup dan mimpinya banyak diselamatkan ibu saya, begitu tega menjelek-jelekkan ibu saya. Saya yang tidak sengaja menguping, tanpa babibu segera berlari pulang ke rumah sambil menangis hebat. Bagi saya, saya masih bisa menerima orang menghina saya, tapi tidak kalau objeknya adalah ibu saya. Perempuan yang seluruh hidupnya dipenuhi luka dan duka itu... Sejak saat itu, orang-orang tersebut saya masukkan dalam daftar orang-orang yang tidak akan pernah saya percaya seumur hidup.
Dengan pengalaman tidak mengenakkan seperti itu, saya kira cukup wajar mengapa akhirnya saya memilih mengunci rapat-rapat hati saya. Percayalah, saya bukan tipe pendendam. Saya hanya memegang prinsip, memaafkan namun tidak melupakan. Saya bahkan masih ingat pernah dibikin menangis cowok temen sekelas saya waktu SMA gara-gara dia sambil bercanda menyebut saya gila hahahaha. Lantas dalam pergaulan saya memilih sisi netral dan sering menjadi juru damai dua pihak yang bertikai xD
Seburuk-buruknya perkembangan mental saya di masa kecil, ada kok kenangan-kenangan manis yang membuat saya tersenyum bahagia bila mengingatnya. Seperti bermain permainan tradisional bersama teman-teman sepulang mengaji di sore hari dan—ini yang paling menggelikan—bagaimana jantung saya berdegub tidak karuan setiap kali melihat sosok crush saya dikejauhan. Benih-benih cinta pertama muncul terlalu dini *nyengir*
Memasuki usia belasan, di bangku SMA saya semakin pendiam dan tertutup. Menjaga jarak sejauh mungkin terhadap makhluk bernama laki-laki. Saya memfokuskan diri pada hal-hal lain ketimbang berhaha-hihi membahas urusan percintaan dan heboh ala remaja. Yep, memasuki kelas sepuluh, saya memilih jomblo. Imbas patah hati—sebenarnya saya sendiri yang mematahkan hati saya—sungguh luar biasa. Perjuangan move on memberikan kepercayaan diri kepada saya, cinta kanak-kanak yang saya pikir tidak bisa saya lupakan ternyata bisa saya lengserkan. Itulah, awal mula saya mulai mengenal hijab.
Saya menghabiskan masa-masa remaja tidak seperti remaja seumuran saya. Buku, bola, lagu-lagu, dan Naruto adalah objek-objek yang mewarnai hari-hari saya di tengah sumbu jiwa pemberontak saya yang telah mendapatkan pemantiknya.
Belajar banyak dari masa lalu, saya pelan-pelan berusaha mematikan sifat/sikap negatif yang telah melekati alam bawah sadar saya. Saya mulai bisa menekan sisi emosional saya—yang sering membuat orang-orang takut kepada saya—ketakutan saya terhadap pernikahan juga sedang saya coba hilangkan. Saya pun juga sangat memimpikan memeluk penuh sayang anak-anak saya, membesarkan mereka dengan sepenuh cinta, mendengarkan celoteh riang mereka, membantu menyeka tangis mereka… Saya juga perempuan yang teramat mengharapkan bisa menjadi sosok ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Cukuplah pengalaman buruk tentang keluarga berakhir di saya saja. Saya tidak ingin anak-anak saya kelak dibesarkan dengan mendengar hardikan atau kata-kata kotor, terikan demi teriakan—kekerasan verbal dan fisik—itu akan membunuh mental dan menciptakan sosok-sosok yang mungkin apatis terhadap hidup. Beruntung jika mereka bertemu dengan sesuatu yang bisa menolong mereka ke jalan pulang—seperti saya yang dipertemukan dengan buku—namun, bagaimana jika mereka tidak menemukan lentera dalam kegelapan mereka? Pada siapa mereka akan menuju?
Ada satu aforisma mengharukan dari Dorothy Law Nolte berjudul Children Learn What They Live, yang saya kutip dari buku favorit saya River’s Note-fauzan Mukrim.
Anak belajar dari kehidupannya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan member sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Ikhlas itu hanya Tuhan yang tahu, saya tidak mau lagi mengumbar kata-kata bahwa saya sudah benar-benar mengikhlaskan serta memaafkan tulus orang-orang yang pernah meninggalkan jarah luka bertumpuk-tumpuk di ingatan saya. Saya pernah melakukannya dan berakhir kecewa luar biasa, karena kenyataannya hanya saya yang mencoba berdamai. Saya tidak ingin lagi menyalahkan siapapun.
Namun terlepas dari semua ini, harapan terbesar saya satu, perjalanan yang saya tempuh sejauh ini akan menemukan akhir yang bahagia. Tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi keluarga dan teman-teman yang mengenal saya.
Semoga kelak di masa depan, kita bisa menjadi rumah yang hangat tempat kembali bagi seluruh pedih dan bahagia orang-orang yang mencintai dan kita cintai. Bukankah sebaik-baik manusia, adalah dia yang bisa memberikan manfaat bagi manusia lain? Barangkali apa yang saya katakan ini terlalu klasik, tapi tidak ada salahnya kita saling mengingatkan, buakan? Terlalu fokus pada kekurangan diri akan menutup mata kita dari pesan baik yang dikirim Allah dari penjuru mana saja. Mulailah menyalakan lentera di dalam hatimu, yang dengan itu kamu bisa memabantu orang di sekelilingmu keluar dari kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^