Sabtu, 15 November 2014

[NovemberWish] #2 GADO-GADO


Nope. Saya tidak akan membahas keinginan makan gado-gado pada postingan kali ini. Kenapa judulnya seperti jenis makanan yang merupakan campuran bermacam sayuran dan lontong itu? Karena isi postingan saya isinya kayak gado-gado. Buanyaaak yang ingin saya ceritakan hehehe. So, Anggap saja ini refleksi yang saya lakukan setelah menerima kabar gembira dua bulan berturut-turut ini.
Saya pertama kali menulis cerpen saat duduk di kelas dua Madrasah Tsanawiyah. Entah di mana rimbanya cerpen itu. Mungkin turut hilang bersama renovasi rumah bertahun-tahun lalu. Yang saya ingat dari cerpen itu adalah tokoh utama cowoknya bernama Sandy dan inti ceritanya tentang cewek kuper yang jatuh cinta pada sosok kakak kelas tampan di sekolahnya. Pwahahahaha. Ngakak. Cerpen itu saya tulis manual di atas sobekan buku pelajaran. Saya tidak terlalu ingat dengan jelas apa yang memotivasi saya menulis fiksi. Keinginan itu timbul barangkali akibat kesukaan saya membaca buku/novel/majalah apa saja yang saya temukan. Di usia saya yang masih butuh bimbingan mengenai buku apa saja yang boleh dan tidak boleh saya baca, saya melahap bacaan apapun itu. Tanpa pengawasan. Sebab orang-orang di sekitar saya sudah terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedang saya harus menemukan cara positif agar tetap waras. Dan buku adalah jawabannya.
Beranjak dari buku-buku, saya pun sering—terlalu sering—mengkhayal. Seperti membuat film-film yang storyline beserta tokoh-tokohnya saya bikin sendiri. Tidak jarang saya menangis kalau film di dalam kepala saya berakhir tragis LOL.
Kala itu, saya tidak punya satupun koleksi buku/novel/majalah pribadi. Saya tinggal di sebuah kecamatan kecil di Pulau Kabaena yang termasuk dalam wilayah administrasi Buton (setelah melalui pemekaran kini Kabaena masuk dalam wilayah Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara). Tidak ada ponsel, tidak ada akses internet, listrik pun hanya menyala di malam hari. Tahun 2003 belum ada yang namanya komputer di sana. Kalaupun ada, hanya satu-dua orang yang memilikinya. Lanjut cerita, saya mendapatkan buku bacaan dari perpustakaan sekolah (SD), milik Kakek saya yang semasa muda dulu pernah bekerja sebagai wartawan di kota, ada juga koleksi buku-buku Nenek saya yang saya panggil Nenek Raha (adik Kakek) yang kembali ke kampung setelah pensiun dari posisinya sebagai Kepala TK di Raha. Ketika memasuki bangku SMA, saya banyak membaca buku-buku berkualitas hasil pinjam dari kakak-kakak senior yang menempuh kuliah di ibukota provinsi. Saya harus mengakui bahwa imbas dari bacaan-bacaan semasa SMA-lah yang banyak mempengaruhi perkembangan pola pikir saya. Tentu saja ke arah yang lebih baik.
Proses menulis yang saya lalui sejak 2003 hingga tamat SMU ditutup dengan sebuah hadiah kecil. Saya memenangkan posisi pertama lomba menulis cerpen yang dalam rangka PENSI tahunan sekolah. Itu honor pertama yang saya terima. Sungguh, rasanya bahagia. Ada optimisme bahwa saya bisa memperjuangkan keinginan saya menjadi penulis. Dan tahukah, berapa cerpen yang saya hasilkan dalam rentan waktu itu? Buanyaaaaaakkk! Iya. Banyak yang nanggung alias tidak selesai. Kata lainnya, tidak menemui ending. Tidak terhitung juga ada berapa banyak buku pelajaran saya yang jadi korban. Ibu saya hanya bisa geleng-geleng kepala setiap kali masuk ke kamar dan mendapati gulungan-gulungan kertas berserakan di sana-sini. Sesekali ibu saya ngomel. Kamu kira harga buku murah? *Maapin anakmu, Ibu…*
Yang kasihan itu adik perempuan saya yang pertama, dia beberapa kali pernah iseng nyuri-nyuri kesempatan membaca cerpen saya yang masih dalam proses penyelesaian. Ujung-ujungnya saya tidak pernah menyelesaikannya dan adik saya—Cully—menahan kedongkolan dibuat penasaran ending ceritanya. Siapa juga yang nyuruh baca? Jeleknya, saya jamin tidak akan pernah bisa menyelesaikan cerita yang saya tulis kalau dibaca orang lain dalam proses penulisannya.
Saya juga pernah melewati apa yang dibilang susah memulai cerita, menentukan nama tokoh, membuat dialog, membuat ending yang kece badai, frustasi kenapa cerita yang saya bikin selalu menggantung. Pertanyaan, ‘kenapa orang lain bisa menulis kisah yang bagus dan saya tidak bisa?’ tak terhitung lagi berapa kali terlontar dari alam bawah sadar saya.
Saya tidak memiliki teman yang bisa saya tanyai mengenai kepenulisan, maka tidak ada pilihan kecuali melakukannya dengan otodidak. Belajar sendiri. Bila dulu saya membaca untuk menikmati kisahnya, layaknya menonton film, pelan-pelan saya melatih diri mengamati dan mempelajari bagaimana seorang penulis mengarahkan kisah yang dituangnya dalam bentuk paragraf-paragraf panjang itu, bagaimana penggunaan EYD-nya dan lain-lain yang menyangkut penulisan cerita. Dari situ, saya mengenal banyak style penulis seperti Om Donatus A. Nughroho, Gol A Gong, S. Gegge Mappangewa (sukaaaa banget cerpen-cerpen beliau di Aneka Yess!), Asma Nadia dll. Jujur saya akui, di awal-awal saya sangat kebingungan dengan pola bercerita saya sendiri. Saya banyak meniru. Itulah yang dinamakan pencarian. Saya harus melaluinya agar bisa menemukan style saya sendiri.
Setamat SMU, saya mengambil kuliah di ibukota provinsi. Saya merasa mimpi saya semakin dekat. Di kota ini, saya bertemu computer dan internet. Percayakah kalau saya bilang, saya baru belajar mengetik di komputer ketika kuliah itu. Saya bela-belain duduk di warnet berjam-jam demi untuk tahu bagaimana cara membuat email, friendster, blog dll. Hal-hal baru yang belum pernah saya temui semasa saya di kampung.
Memasuki tahun kedua kuliah, saya memberanikan diri mengirim cerpen ke majalah remaja. Alhamdulillah ditolak. Saya tidak lantas menyerah, saya pikir memang tulisan saya masih butuh perbaikan di sana-sini.
Memasuki tahun 2010, saya mulai aktif menggunakan facebook. Niat awal saya membuat akun sebenarnya tidak jauh-jauh dari kepenulisan. Saya meng-add banyak penulis yang saya kenal karya-karyanya, juga rekan-rekan yang punya kecendrungan yang sama—menulis fikis—seperti saya. Saya yang aslinya lumayan pendiam dan pemalu ini pun mulai membiasakan diri menyapa dan mengajak kenalan banyak orang. Di tahun tersebut sedang ramai-ramainya kompetisi menulis yang diadakan berbagai pihak. Saya juga turut mengikutinya. Terhitung beberapa kali karya saya lolos seleksi dan masuk antologi. Bahagia? Pastinya. Tingkat kepercayaan diri saya meningkat sekian centi xD
Adalah lomba UNSA (Untuk Sahabat) yang menjadi pembuka langkah saya. Dua tulisan saya masuk dalam Antologi. Disusul karya-karya lainnya di lomba yang berbeda. Ternyata saya bisa!
Ketika Kissing (Kisah Singkat) saya dimuat di majalah Story untuk pertama kalinya setelah melalui seleksi ketat, euphoria yang saya rasakan benar-benar luar biasa. Mungkin bagi orang lain biasa saja. Tetapi, bagi saya yang sering merasa rendah diri moment itu menjadi cambukan agar saya tidak menyerah.
Saya bisa kalau saya mau dan selanjutnya yang dibutuhkan adalah kerja keras, konsisten dan doa.
Saya menikmati tahun-tahun itu hingga memasuki 2013 hingga bulan Ramadhan di tahun selanjutnya, sesuatu yang menyedihkan terjadi—berhubungan dengan dunia nyata—membuat saya ambruk dari sisi emosional dan fisik. Ada yang hilang. Semangat menguap. Saya tidak pernah lagi menulis. Saya pun pelan-pelan menarik diri dari pergaulan dunia nyata dan dunia maya. Mencipta jarak sejauh mungkin dari orang-orang. Karya terakhir saya dimuat di GADIS edisi Januari dan sebuah Koran lokal di kota saya edisi Februari. Sesudahnya saya hilang. Saya bukanlah penulis produktif yang senantiasa menghasilkan karya setiap bulan. Adakalanya dalam sebulan saya tidak menulis apa-apa entah karena malas *slappingmyself* dan alasan lainnya. Akan tetapi, yang saya hadapi saat itu benar-benar sebuah kebuntuan yang sengaja saya pilih. Ditambah pula, saya merasakan ketidaknyamanan pada kenyataan bahwa teman-teman saya kadung mengetahui saya memilih menjadi penulis. Hanya karena karya-karya saya pernah dimuat majalah dan antologi, bukan berarti saya pantas menerima perlakuan yang menurut saya tidak berhak saya dapatkan karena saya pun sama dengan kebanyakan teman-teman yang lainnya, masih belajar. Saya tidak siap menerima beban berat dari pandangan-pandangan kagum orang-orang. Risih. Akhirnya, saya turut menarik diri dari sebuah organisasi kepenulisan, salah satunya karena alasan tersebut
 Saya memilih hiatus. Pilihan terbodoh yang pernah saya lakukan. Saya butuh ruang untuk menekuri kembali bagaimana saya hidup selama ini. Rasanya saya hanya berjalan di tempat yang sama bertahun-tahun tanpa beranjak ke tempat lain. Saya menelan banyak kekecewaan dan kesedihan. Di saat teman-teman saya sudah berjaya dengan pilihannya masing-masing, saya masih tersungkur. Partikel-partikel negatif membungkus rapat otak saya hingga membuat saya malas berpikir.
Up and down.
 Memasuki 2014, masih tetap begitu. Saya belum menulis apa-apa. Teman-teman seangkatan di dunia menulis sudah banyak yang menelurkan novel soliter-nya sedang saya, jangankan novel, cerpen saja tidak ada.
Saya adalah orang yang apabila sudah menyusun satu rencana terstruktur mengenai apa yang akan kerjakan, bila ada satu dari sekian rencana itu tidak terlaksana maka keseluruhan rangkaian rencana tersebut dipastikan carut-marut bahkan bisa gagal sama sekali. Agaknya itu berlaku pula pada sisi emosional saya. Bila satu elemen sedang kacau, imbasnya akan mengenai yang lainnya.
Sampai di sini, saya melupakan satu hal penting yang telah menjadi pegangan saya. Bahwa dengan menulis, saya melalui proses penyembuhan diri. Semua cerpen-cerpen yang saya buat, sedikit-banyaknya mengandung sisi nyata dari penulisnya. Pernah saya menulis cerpen sambil menangis karena kemarahan terhadap seseorang. Hasilnya, cerpen itu hampir 80% adalah curhatan dan dimuat!
Tamparan Allah bisa datang dari mana saja dari arah yang tidak terduga.
Suatu hari di bulan September 2014, saya menonton koleksi video VS dari boiben Korea yang saya suka (MBLAQ), video itu sudah berkali-kali saya rerun. Entah kenapa saat itu saya merasa ada sesuatu yang menggelitik pikiran saya. Satu kalimat dari Mir—salah satu member MBLAQ—membuat saya menghela napas panjang sesaat. Mir dikenal sebagai pribadi yang pekerja keras. Kadang-kadang saya berpikir dia ini bukan artis, sama saja dengan kita. Karena cara dia berinteraksi fans dan bagaimana dia tidak pernah sungkan bercerita dengan harapan-harapan serta ketakutan-ketakutannya sebagai artis. Menampakkan sisi manusia yang apa adanya, yang dibesarkan di sebuah perkampungan kecil di Korea Selatan sana.
Setiap orang sudah memiliki takdirnya masing-masing. –Mir of MBLAQ
Degh.
Dada saya sesak. Saya langsung beristigfar, menyebut-nyebut nama Allah, memanggil nama ibu dan bapak (yang jauh di seberang lautan sana). Lirih.
Benar. Setiap manusia sudah memiliki takdirnya masing-masing. Hanya tinggal bagaimana dia mencari, melakoni dan menerima takdirnya tersebut. Apa yang saya lakukan sebelumnya sama saja dengan menutup satu jalan menuju banyak kebaikan-kebaikan lainnya. Apa yang sudah saya lakukan untuk diri sendiri? Untuk orangtua dan adik-adik saya? Untuk keinginan-keinginan saya yang ingin bermanfaat bagi orang lain? Di usia saya yang sudah memasuki ¼ abad, buanyak waktu terbuang percuma. Saya mengaku sudah menerima apa yang sudah terjadi, namun kenyataannya saya belum se-ikhlas apa yang terlontar dari mulut saya. Sisa-sisa kemarahan dan kekecewaan yang bertumpuk rajin mencuri ketenangan hati saya.
Bentuk protes yang secara tidak sadar saya tampakkan, kalau tidak mau dibilang menyerah, menunjukkan bahwa saya—istigfar—tidak berprasangka baik pada Allah.
Malam itu juga, saya bertelepati dengan Allah. Saya ingin menulis lagi, mencoba peruntungan saya di majalah, disusul nazar lainnya. Karena hanya dengan menulis, saya bisa pelan-pelan menyembuhkan diri. Semangat itu datang lagi ^^
Saya menyelesaikan satu judul cerpen saat itu dan berhasil merevisi beberapa naskah cerpen nanggung di folder Rumah Angin. Dua hari kemudian, setelah melakukan self editing, cerpen-cerpen itu meluncur ke email majalan-majalah yang saya targetkan. Kali ini saya memilih menggunakan nama pena dan meninggalkan nama asli yang sudah saya pakai sejak 2010 ini.
Allah sungguh maha baik. Saya yang tidak tahu diri sudah terlalu sering membelakangi-NYA. Malu.
Tidak lama berselang, sekitar seminggu setelah saya mengirim cerpen ke majalah, surat cinta dari redaksi majalah HAI sukses menciptakan pagi yang indah untuk saya…. *taelaaaah lebai dikit ga papa yah*
Seperti biasa saya pasti gemeteran mendapat kabar pemuatan karya. Hamdalah berkali-kali, syukur sama Allah.
Allah menjawab doa saya… Allah selalu menjawab doa-doa saya…
Dua hari lalu satu lagi kabar menyenangkan datang dari redaksi fiksi majalah GADIS. Cerpen saya dimuat. Alhamdulillah… Terimakasih untuk Mbak Yulina Trihaningsih yang sudah berbaik hati mengabari saya :)
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” –QS. Ar-rahman
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” –QS. Al-Insyirah
Tidak ada jaminan bahwa saya tidak akan ambruk lagi tapi saya selalu berharap dan berdoa, saya tidak membelakangi Allah ketika masa-masa sulit yang membuat saya sulit bernapas itu datang menyapa saya. Karena hanya Allah satu-satunya tempat saya mengadu dan memperlihatkan kerapuhan saya sebagai makhluk fana. Semoga saya selalu tahu diri. Saya tetaplah Nafilah Nurdin yang terus belajar mengenali warna hatinya sendiri, sembari memperbaiki apa yang perlu dan harus diperbaiki.

Dan tentang menulis fiksi, saya tidak akan berhenti. Menulis adalah satu-satunya ruang bernapas yang saya nikmati sejak dulu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^