Nope.
Saya tidak akan membahas keinginan makan gado-gado pada postingan kali ini. Kenapa judulnya
seperti jenis makanan yang merupakan campuran bermacam sayuran dan lontong itu?
Karena isi postingan saya isinya kayak gado-gado. Buanyaaak yang ingin saya
ceritakan hehehe. So, Anggap saja ini
refleksi yang saya lakukan setelah menerima kabar gembira dua bulan
berturut-turut ini.
Saya
pertama kali menulis cerpen saat duduk di kelas dua Madrasah Tsanawiyah. Entah
di mana rimbanya cerpen itu. Mungkin turut hilang bersama renovasi rumah
bertahun-tahun lalu. Yang saya ingat dari cerpen itu adalah tokoh utama
cowoknya bernama Sandy dan inti ceritanya tentang cewek kuper yang jatuh cinta
pada sosok kakak kelas tampan di sekolahnya. Pwahahahaha. Ngakak. Cerpen itu
saya tulis manual di atas sobekan buku pelajaran. Saya tidak terlalu ingat
dengan jelas apa yang memotivasi saya menulis fiksi. Keinginan itu timbul
barangkali akibat kesukaan saya membaca buku/novel/majalah apa saja yang saya
temukan. Di usia saya yang masih butuh bimbingan mengenai buku apa saja yang
boleh dan tidak boleh saya baca, saya melahap bacaan apapun itu. Tanpa
pengawasan. Sebab orang-orang di sekitar saya sudah terlalu sibuk dengan
urusannya masing-masing. Sedang saya harus menemukan cara positif agar tetap waras. Dan buku adalah jawabannya.
Beranjak
dari buku-buku, saya pun sering—terlalu sering—mengkhayal. Seperti membuat
film-film yang storyline beserta
tokoh-tokohnya saya bikin sendiri. Tidak jarang saya menangis kalau film di
dalam kepala saya berakhir tragis LOL.
Kala
itu, saya tidak punya satupun koleksi buku/novel/majalah pribadi. Saya tinggal
di sebuah kecamatan kecil di Pulau Kabaena yang termasuk dalam wilayah
administrasi Buton (setelah melalui pemekaran kini Kabaena masuk dalam wilayah
Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara). Tidak ada ponsel, tidak ada akses
internet, listrik pun hanya menyala di malam hari. Tahun 2003 belum ada yang
namanya komputer di sana. Kalaupun ada, hanya satu-dua orang yang memilikinya.
Lanjut cerita, saya mendapatkan buku bacaan dari perpustakaan sekolah (SD),
milik Kakek saya yang semasa muda dulu pernah bekerja sebagai wartawan di kota,
ada juga koleksi buku-buku Nenek saya yang saya panggil Nenek Raha (adik Kakek)
yang kembali ke kampung setelah pensiun dari posisinya sebagai Kepala TK di
Raha. Ketika memasuki bangku SMA, saya banyak membaca buku-buku berkualitas
hasil pinjam dari kakak-kakak senior yang menempuh kuliah di ibukota provinsi.
Saya harus mengakui bahwa imbas dari bacaan-bacaan semasa SMA-lah yang banyak
mempengaruhi perkembangan pola pikir saya. Tentu saja ke arah yang lebih baik.
Proses
menulis yang saya lalui sejak 2003 hingga tamat SMU ditutup dengan sebuah
hadiah kecil. Saya memenangkan posisi pertama lomba menulis cerpen yang dalam
rangka PENSI tahunan sekolah. Itu honor pertama yang saya terima. Sungguh,
rasanya bahagia. Ada optimisme bahwa saya bisa memperjuangkan keinginan saya
menjadi penulis. Dan tahukah, berapa cerpen yang saya hasilkan dalam rentan
waktu itu? Buanyaaaaaakkk! Iya. Banyak yang nanggung alias tidak selesai. Kata
lainnya, tidak menemui ending. Tidak terhitung juga ada berapa banyak buku
pelajaran saya yang jadi korban. Ibu saya hanya bisa geleng-geleng kepala
setiap kali masuk ke kamar dan mendapati gulungan-gulungan kertas berserakan di
sana-sini. Sesekali ibu saya ngomel. Kamu
kira harga buku murah? *Maapin anakmu, Ibu…*
Yang
kasihan itu adik perempuan saya yang pertama, dia beberapa kali pernah iseng
nyuri-nyuri kesempatan membaca cerpen saya yang masih dalam proses
penyelesaian. Ujung-ujungnya saya tidak pernah menyelesaikannya dan adik saya—Cully—menahan
kedongkolan dibuat penasaran ending ceritanya. Siapa juga yang nyuruh baca?
Jeleknya, saya jamin tidak akan pernah bisa menyelesaikan cerita yang saya
tulis kalau dibaca orang lain dalam proses penulisannya.
Saya
juga pernah melewati apa yang dibilang susah memulai cerita, menentukan nama
tokoh, membuat dialog, membuat ending yang kece badai, frustasi kenapa cerita
yang saya bikin selalu menggantung. Pertanyaan, ‘kenapa orang lain bisa menulis
kisah yang bagus dan saya tidak bisa?’ tak terhitung lagi berapa kali terlontar
dari alam bawah sadar saya.
Saya
tidak memiliki teman yang bisa saya tanyai mengenai kepenulisan, maka tidak ada
pilihan kecuali melakukannya dengan otodidak. Belajar sendiri. Bila dulu saya
membaca untuk menikmati kisahnya, layaknya menonton film, pelan-pelan saya
melatih diri mengamati dan mempelajari bagaimana seorang penulis mengarahkan
kisah yang dituangnya dalam bentuk paragraf-paragraf panjang itu, bagaimana
penggunaan EYD-nya dan lain-lain yang menyangkut penulisan cerita. Dari situ,
saya mengenal banyak style penulis
seperti Om Donatus A. Nughroho, Gol A Gong, S. Gegge Mappangewa (sukaaaa banget
cerpen-cerpen beliau di Aneka Yess!), Asma Nadia dll. Jujur saya akui, di
awal-awal saya sangat kebingungan dengan pola bercerita saya sendiri. Saya
banyak meniru. Itulah yang dinamakan pencarian. Saya harus melaluinya agar bisa
menemukan style saya sendiri.
Setamat
SMU, saya mengambil kuliah di ibukota provinsi. Saya merasa mimpi saya semakin
dekat. Di kota ini, saya bertemu computer
dan internet. Percayakah kalau saya bilang, saya baru belajar mengetik di komputer
ketika kuliah itu. Saya bela-belain duduk di warnet berjam-jam demi untuk tahu
bagaimana cara membuat email, friendster, blog dll. Hal-hal baru yang belum
pernah saya temui semasa saya di kampung.
Memasuki
tahun kedua kuliah, saya memberanikan diri mengirim cerpen ke majalah remaja.
Alhamdulillah ditolak. Saya tidak lantas menyerah, saya pikir memang tulisan
saya masih butuh perbaikan di sana-sini.
Memasuki
tahun 2010, saya mulai aktif menggunakan facebook. Niat awal saya membuat akun
sebenarnya tidak jauh-jauh dari kepenulisan. Saya meng-add banyak penulis yang
saya kenal karya-karyanya, juga rekan-rekan yang punya kecendrungan yang sama—menulis
fikis—seperti saya. Saya yang aslinya lumayan pendiam dan pemalu ini pun mulai
membiasakan diri menyapa dan mengajak kenalan banyak orang. Di tahun tersebut
sedang ramai-ramainya kompetisi menulis yang diadakan berbagai pihak. Saya juga
turut mengikutinya. Terhitung beberapa kali karya saya lolos seleksi dan masuk
antologi. Bahagia? Pastinya. Tingkat kepercayaan diri saya meningkat sekian
centi xD
Adalah
lomba UNSA (Untuk Sahabat) yang menjadi pembuka langkah saya. Dua tulisan saya
masuk dalam Antologi. Disusul karya-karya lainnya di lomba yang berbeda. Ternyata saya bisa!
Ketika
Kissing (Kisah Singkat) saya dimuat di majalah Story untuk pertama kalinya
setelah melalui seleksi ketat, euphoria yang saya rasakan benar-benar luar
biasa. Mungkin bagi orang lain biasa saja. Tetapi, bagi saya yang sering merasa
rendah diri moment itu menjadi cambukan agar saya tidak menyerah.
Saya
bisa kalau saya mau dan selanjutnya yang dibutuhkan adalah kerja keras,
konsisten dan doa.
Saya
menikmati tahun-tahun itu hingga memasuki 2013 hingga bulan Ramadhan di tahun
selanjutnya, sesuatu yang menyedihkan terjadi—berhubungan dengan dunia nyata—membuat
saya ambruk dari sisi emosional dan
fisik. Ada yang hilang. Semangat menguap. Saya tidak pernah lagi menulis. Saya
pun pelan-pelan menarik diri dari pergaulan dunia nyata dan dunia maya.
Mencipta jarak sejauh mungkin dari orang-orang. Karya terakhir saya dimuat di
GADIS edisi Januari dan sebuah Koran lokal di kota saya edisi Februari.
Sesudahnya saya hilang. Saya bukanlah
penulis produktif yang senantiasa menghasilkan karya setiap bulan. Adakalanya
dalam sebulan saya tidak menulis apa-apa entah karena malas *slappingmyself*
dan alasan lainnya. Akan tetapi, yang saya hadapi saat itu benar-benar sebuah
kebuntuan yang sengaja saya pilih. Ditambah pula, saya merasakan
ketidaknyamanan pada kenyataan bahwa teman-teman saya kadung mengetahui saya
memilih menjadi penulis. Hanya karena karya-karya saya pernah dimuat majalah
dan antologi, bukan berarti saya pantas menerima perlakuan yang menurut saya tidak berhak saya dapatkan karena saya pun
sama dengan kebanyakan teman-teman yang lainnya, masih belajar. Saya tidak siap
menerima beban berat dari pandangan-pandangan kagum orang-orang. Risih.
Akhirnya, saya turut menarik diri dari sebuah organisasi kepenulisan, salah
satunya karena alasan tersebut
Saya memilih hiatus. Pilihan terbodoh yang
pernah saya lakukan. Saya butuh ruang untuk menekuri kembali bagaimana saya
hidup selama ini. Rasanya saya hanya berjalan di tempat yang sama
bertahun-tahun tanpa beranjak ke tempat lain. Saya menelan banyak kekecewaan
dan kesedihan. Di saat teman-teman saya sudah berjaya dengan pilihannya
masing-masing, saya masih tersungkur. Partikel-partikel negatif membungkus
rapat otak saya hingga membuat saya malas berpikir.
Up and down.
Memasuki 2014, masih tetap begitu. Saya belum
menulis apa-apa. Teman-teman seangkatan di
dunia menulis sudah banyak yang menelurkan novel soliter-nya sedang saya,
jangankan novel, cerpen saja tidak ada.
Saya
adalah orang yang apabila sudah menyusun satu rencana terstruktur mengenai apa
yang akan kerjakan, bila ada satu dari sekian rencana itu tidak terlaksana maka
keseluruhan rangkaian rencana tersebut dipastikan carut-marut bahkan bisa gagal
sama sekali. Agaknya itu berlaku pula pada sisi emosional saya. Bila satu
elemen sedang kacau, imbasnya akan
mengenai yang lainnya.
Sampai
di sini, saya melupakan satu hal penting yang telah menjadi pegangan saya.
Bahwa dengan menulis, saya melalui proses penyembuhan diri. Semua cerpen-cerpen
yang saya buat, sedikit-banyaknya mengandung sisi nyata dari penulisnya. Pernah
saya menulis cerpen sambil menangis karena kemarahan terhadap seseorang.
Hasilnya, cerpen itu hampir 80% adalah curhatan
dan dimuat!
Tamparan Allah
bisa datang dari mana saja dari arah yang tidak terduga.
Suatu
hari di bulan September 2014, saya menonton koleksi video VS dari boiben Korea
yang saya suka (MBLAQ), video itu sudah berkali-kali saya rerun. Entah kenapa saat itu saya merasa ada sesuatu yang
menggelitik pikiran saya. Satu kalimat dari Mir—salah satu member MBLAQ—membuat
saya menghela napas panjang sesaat. Mir dikenal sebagai pribadi yang pekerja
keras. Kadang-kadang saya berpikir dia ini bukan artis, sama saja dengan kita.
Karena cara dia berinteraksi fans dan bagaimana dia tidak pernah sungkan
bercerita dengan harapan-harapan serta ketakutan-ketakutannya sebagai artis. Menampakkan
sisi manusia yang apa adanya, yang dibesarkan di sebuah perkampungan kecil di
Korea Selatan sana.
Setiap
orang sudah memiliki takdirnya masing-masing. –Mir of MBLAQ
Degh.
Dada
saya sesak. Saya langsung beristigfar, menyebut-nyebut nama Allah, memanggil
nama ibu dan bapak (yang jauh di seberang lautan sana). Lirih.
Benar.
Setiap manusia sudah memiliki takdirnya masing-masing. Hanya tinggal bagaimana
dia mencari, melakoni dan menerima takdirnya tersebut. Apa yang saya lakukan
sebelumnya sama saja dengan menutup satu jalan menuju banyak kebaikan-kebaikan
lainnya. Apa yang sudah saya lakukan untuk diri sendiri? Untuk orangtua dan
adik-adik saya? Untuk keinginan-keinginan saya yang ingin bermanfaat bagi orang
lain? Di usia saya yang sudah memasuki ¼ abad, buanyak waktu terbuang percuma.
Saya mengaku sudah menerima apa yang sudah terjadi, namun kenyataannya saya
belum se-ikhlas apa yang terlontar dari mulut saya. Sisa-sisa kemarahan dan
kekecewaan yang bertumpuk rajin mencuri ketenangan hati saya.
Bentuk
protes yang secara tidak sadar saya tampakkan, kalau tidak mau dibilang
menyerah, menunjukkan bahwa saya—istigfar—tidak berprasangka baik pada Allah.
Malam
itu juga, saya bertelepati dengan
Allah. Saya ingin menulis lagi, mencoba peruntungan saya di majalah, disusul
nazar lainnya. Karena hanya dengan menulis, saya bisa pelan-pelan menyembuhkan diri. Semangat itu datang
lagi ^^
Saya
menyelesaikan satu judul cerpen saat itu dan berhasil merevisi beberapa naskah
cerpen nanggung di folder Rumah Angin. Dua hari kemudian, setelah melakukan self editing, cerpen-cerpen itu meluncur
ke email majalan-majalah yang saya targetkan. Kali ini saya memilih menggunakan
nama pena dan meninggalkan nama asli yang sudah saya pakai sejak 2010 ini.
Allah
sungguh maha baik. Saya yang tidak tahu diri sudah terlalu sering
membelakangi-NYA. Malu.
Tidak
lama berselang, sekitar seminggu setelah saya mengirim cerpen ke majalah, surat cinta dari redaksi majalah HAI
sukses menciptakan pagi yang indah untuk saya…. *taelaaaah lebai dikit ga papa
yah*
Seperti
biasa saya pasti gemeteran mendapat kabar pemuatan karya. Hamdalah berkali-kali,
syukur sama Allah.
Allah
menjawab doa saya… Allah selalu menjawab doa-doa saya…
Dua
hari lalu satu lagi kabar menyenangkan datang dari redaksi fiksi majalah GADIS.
Cerpen saya dimuat. Alhamdulillah… Terimakasih untuk Mbak Yulina Trihaningsih yang sudah berbaik hati mengabari saya :)
“Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” –QS. Ar-rahman
“Maka
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan
ada kemudahan.” –QS. Al-Insyirah
Tidak
ada jaminan bahwa saya tidak akan ambruk lagi
tapi saya selalu berharap dan berdoa, saya tidak membelakangi Allah ketika masa-masa sulit yang membuat saya sulit
bernapas itu datang menyapa saya. Karena hanya Allah satu-satunya tempat saya mengadu dan memperlihatkan kerapuhan
saya sebagai makhluk fana. Semoga saya selalu tahu diri. Saya tetaplah Nafilah
Nurdin yang terus belajar mengenali warna hatinya sendiri, sembari memperbaiki
apa yang perlu dan harus diperbaiki.
Dan
tentang menulis fiksi, saya tidak akan berhenti. Menulis adalah satu-satunya ruang
bernapas yang saya nikmati sejak dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^