SURAT
UNTUKMU, LELAKI YANG MENCINTAI KOPI
Oleh
: Nafilah Nurdin
Kita adalah setapak
kecil dan pepohonan pinus, bersama tapi bukan melebur. Hanya bisa saling
mengamati...
Usiamu 224 tahun dan
aku 22 tahun.
Aku mencintaimu.
Di antara riuh cerita
tentang Pramoedya, Soe Hoek Gie & Rendra. Ada cerita lain ikut terjalin.
Kasat mata dan halus. Ya. Ketika tersadar aku telah terjatuh di tempat yang di
kemudian hari terlalu sering memonopoli air mataku. Ah, cinta platonisku
sayang...
“Tolong maafkan aku.”
Aku berucap sambil menatap bola mata cokelatmu. Seperti biasa kau
menyunggingkan senyum pembunuhmu. Tak sadar kalau hanya dengan melihatnya aku
bisa dilanda sesak napas sekian detik.
“Ada apa?” Kau
memajukan kursimu hingga berjarak sekian senti lebih dekat denganku. Aroma
rokok dan kopi mengelus penciumanku.
“Kau tahu apa yang
sedang terjadi belakangan ini padaku?”
Kau menggeleng.
“Aku bukan Cenayang,”
tawamu.
“Sepertinya aku sudah
keluar dari jalur yang kita pijak. Aku tidak lagi searah perjalanmu. Maafkan
aku, Ndra.”
“Maksudmu?”
“Aku menyukaimu.”
Hening. Kau menyesap
kopimu. Menyalakan sebatang rokok dan mengepulkan asapnya ke udara.
“Aku juga menyukaimu.
Sangat mencintaimu.” Datar tanpa riak.
Saat itu, di detik kau
mengucapkan kalimat itu aku merasakan duniaku melenggang sunyi. Aku mengenalmu
seperti aku mengenal wangi tubuhmu. Kopi, rokok, buku dan malam. Ndra, kau
sudah sudah terlampau sering mengatakan “Aku menyukaimu”. Dan jawaban yang kau
berikan malam itu di kedai kopi langganan kita adalah penolakan paling
menyakitkan setelah aku kehilangan ibuku setahun silam. Aku terhempas di dasar
rasaku. Setelah ibuku menolak membawaku pergi bersamanya ke surga, kini kau pun
melakukan hal yang sama. Menolakku menempati salah satu tempat di hatimu bukan
sebagai aku tapi sebagai kita.
Sebelum kau memutuskan
menyukai atau tidak menyukai seseorang, kau sudah harus tahu terlebih dahulu
isi pikirannya, katamu. Benar, Ndra. Tapi sayangnya, aku memutuskan menyukaimu
bersamaan keinginan untuk mengenalmu lebih jauh lagi. Aku lupa kalau kau punya
sebuah dunia yang kau huni. Sendirian. Tadinya aku bermaksud masuk dan turut
serta tinggal bersamamu. Akan tetapi kau dengan halus menolak membuka pintu
untukku. Duniamu hanya untukmu sendiri. Tidak ada tempat untukku di sana.
Perih.
=oOo=
Seperti inilah kisah
kita.
Pada sebuah hari yang
biasa, kita bertukar cerita tentang Sastra, Filsafat, Psikologi, Politik dan
hidup. Aku merasa telah menemukan apa yang pernah aku doakan kepada Tuhan. Kau
penjelmaan doa itu. Lelaki yang mencintai kopi, malam dan buku-buku. Semakin
sering aku bercengkrama denganmu maka semakin nyata aku kagum padamu. Kagum
lalu cinta. Sebuah jembatan yang aneh, bukan? Orang-orang akan menganggap aku
terlalu mudah jatuh hati padamu. Barangkali memang seperti itulah adanya. Aku,
perempuan yang mudah jatuh hati. Tapi padamu, perasaan ini seolah mengakar
subur. Menjelma cerita yang tiada lelah aku tuturkan pada sang waktu.
Setelah insiden
pengakuanku, hubungan kita tetap berjalan seperti hari-hari biasa. Itu apa yang kau lihat.
Ndra, tahukah kamu betapa keras perjuanganku hanya agar kau melihat aku
baik-baik saja? Aku memilih menangis diam-diam jika aku merasa kelelahan dengan
pertahananku. Pada malam-malam sunyi, coba kau tanyakan siapa juaranya menangis
tanpa suara? Itu aku. Coba kau tanya lagu yang kuputar saban hari aku
merindukanmu? Lagu favoritmu, Donna Donna. Sayang sekali kau tak akan punya
jeda waktu sekadar menengok hal remeh-temeh tentangku. Sekali lagi, kau ibarat
bayangan yang berjalan ke Barat. Tak terkejar siapapun. Aku adalah salah satu
dari sekian banyak hal yang luput dari kalkulasi pentingmu. Sedih bila aku
membayangkan itu, Ndra.
Ndra, tentangmu adalah
rupa rasa warna-warni. Aku bisa sangat berbinar walau hanya dengan membaca
pesan singkatmu di ponselku (yang terkadang hanya emoticon senyum saja), betapa
gugupnya aku menunggu balasan SMS-mu, membaca statusmu di beranda Facebook-ku,
dan hanya bisa terisak tatkala kuat keinginan untuk mendengar suaramu atau
sekadar menatap senyum pembunuhmu. Aku tak punya keberanian untuk mengganggumu.
Pertemuan demi pertemuan di kedai kopi langganan kita kurasakan makin hambar
dan jarang. Kau lebih sering terlihat tenggelam dalam buku-buku yang kau bawa
dari kost dan aku yang masih tabah menunggumu membuka percakapan. Ternyata ada
yang hilang dari kita. Kehangatan, Ndra. Apakah kau merasakannya? Ataukah
memang kau sengaja menjalankan skenario yang pelan-pelan memisahkan kita di
atas jarak kasat mata?
Lalu tibalah aku pada
sebuah keputusan gila. Meninggalkanmu. Menaruh harapan di tempat baru
mendapatkan oksigen baru. Melupakanmu. Perhitungan hatiku, aku akan tenang bila
berjauhan dengan sosokmu. Jika ini benar-benar cinta, aku menyerah.
Aku seperti melihat
luka di bola matamu di hari aku pamit padamu. Namun buru-buru kutepis khayalan
fana itu. Kata orang, jatuh cinta bisa menstimulasi otak untuk melamunkan apa
yang disebut harapan. Itulah rupaku. Banyak sekali file-file adegan yang aku harapkan bisa kulewati bersamamu dan
mentah di alam antah berantah.
“Kau benar-benar akan meninggalkanku?”
“Kau punya banyak kawan
selain aku, Ndra. Kau masih punya buku yang banyak, kopi, rokok dan malam-malam
panjang. Lagipula kita masih bisa kontek-kontekan. Nomor ponsel dan akun
Fesbukku tidak akan kuganti. Kau akan dengan mudah menemukanku kapanpun kau
mau. Kau juga bisa mengunjungiku di sana. Cuman tiga jam perjalanan.”
Aku menarik koperku
menuju bus antarkota. Kau membisu. Tak bergerak hingga aku meninggalkan kota
lama kita bersama bus yang melaju konstan. Patah hati itu sungguh tak enak.
Hatiku serasa digilas roda bergerigi. Luka tetapi tidak berdarah.
=oOo=
Di kota kecilku yang
baru. Hidupku masih dipenuhi aroma dirimu. Sekuat hati ingin melupakanmu justru
berbanding lurus dengan kekuatan ingatan itu datang menjajahku. Ndra...
sepeninggalku, apakah kau masih sering insomnia? Ngopi-ngopi hingga
bergelas-gelas? Menghembuskan asap rokok berbungkus-bungkus? Buku-buku tebalmu....
kecuali rokok aku menyukai aromamu. Ah, bahkan untuk yang satu ini aku pernah
nyaris berkompromi untuk memahami ketergantunganmu pada materi tembakau itu.
Cinta butakah? Bukan. Cinta yang penuh kompromi.
Kapan rindu ini redam,
Ndra? Aku mulai lelah. Ingin benar aku
mendengar alasan yang lebih masuk akal darimu mengapa kau membuang jauh-jauh
inginmu menerima perasaanku. Terlalu banyak ketidakmungkinan menghadang kita,
katamu. Benarkah? Ah, itu alasan mati yang menurutku tidak pernah masuk di
akal. Ndra, Aku ingin tidur lebih lama dengan harapan bodoh nantinya saat aku
terbangun, hatiku telah berdamai dengan perasaan ganjil ini.
=oOo=
Dua tahun tanpa
kabarmu, bukan karena kita tak sempat mengirim jejak tapi karena kita
sepertinya sudah sama-sama memaklumi bahwa saling menghindari adalah jalan
keluar paling indah agar kita masih bisa saling mengenang sebagai kawan yang
baik satu sama lain. Sebuah kenaifan yang mengada-ada. Tapi justru dengan cara
itu aku belajar memahami peta nyata yang kita torehkan lewat kisah tanpa
pengakuan. Kau menuntunku menemukan jalan bagaimana semestinya aku mencintaimu
dengan sabar dan tekun. Kediamanmu yang hening. Kau tahu? Mencintaimu juga
adalah melepaskanmu. Kau tahu bagaimana rasanya? Bagi lelaki sepertimu yang
menganggap perkara ini terlampau sederhana bagi pemahamanmu bahkan tak cukup
sadar mengapa aku selalu terseok-seok menangisimu. Kau takkan pernah paham rupa
cintaku sebab kau menakar semua ini dari kelogisanmu berpikir. Sedang aku
menggenggamnya dengan rasa. Cinta kau kalkulasikan dengan untung rugi. Manalah
sempat kompromi menyatukan kita?
Aku tidak lagi apa-apa.
Akhirnya. Kau tahu kenapa? Karena kamu. Masih ingat percakapan kita tentang
mimpi? Kau tanya apa mimpiku dan kujawab menjadi penulis. Aku memilih jalan itu
sebagai penyembuh lukaku. Manjur, Ndra. Ketika aku rindu, ketika aku menangis,
ketika aku sesak karenamu, kupilih menuangkannya dalam aksara. Hanya dengan
begitu hatiku tenang. Suatu saat kau harus membaca apa yang kutulis. Ada banyak
namamu terserak di sana. Jangan besar kepala ya...
Pepatah bijak berkata
bahwasanya cinta adalah membiarkannya tetap pada tempatnya. Tak perlu
menggenggamnya erat apalagi meminta balasan atas apa yang kita berikan sebab
cinta adalah sebuah penerimaan. Menerima. Benar.
Duhai lelaki yang
mencintai kopi, malam & buku-buku...
Ketahuilah, aku selalu
memohon kepada Tuhan semoga kau & aku dikaruniakan waktu yang panjang agar
kelak entah kapan dan dimana kita sempat bersua. Duduk bersama sebagai kawan
lama di kedai kopi langganan kita. Membincangkan Pramoedya, Soe Hoek Gie dan
Rendra seperti yang sering kita lakukan sebelum cinta membawaku menjauh dari
hatimu. Aku ingin kembali menikmati celotehanmu. Ndra, walaupun sekarang aku
masih merindukanmu namun aromanya bukan lagi isyarat luka. Percayalah.
Aku baik-baik saja. Kau
juga kan? Aku harap begitu. Kau pun harus baik-baik saja sekeras apapun dunia
menempamu.
Always Remember You.
Re.
=oOo=
“Re pergi dengan
tenang, Ndra. Malam sebelum kecelakaan itu kami bersama-sama di gedung teater
kampus. Tadinya aku ingin menghubungimu soal kedatangannya. Tapi dia melarang,
kau pasti sedang sibuk katanya. Re terlihat sangat baik. Ia sudah mengenakan
jilbab. Ia juga menunjukkan beberapa cerpennya yang dimuat di media Nasional.
Re yang kita kenal dulu sudah jauh berbeda. Tawanya masih lebar tentu saja. Aku
kangen Re...”
Mata Saras mengkristal.
Sedetik kemudian pecah menjadi tangis tanpa suara. Sementara lelaki itu masih
bergeming. Entah apa yang sedang berkecamuk di dalam batok kepalanya. Tak ada
kepulan asap rokok seperti biasanya. Tak ada tumpukan buku-buku di atas meja.
Tak ada kopi pekat di dalam cangkir putihnya. Meja kedai kopi yang ditempatinya
sunyi sejak pertama kali ia memilih berdiam diri di situ demi menahan sesuatu
yang merangsek menghancurkan ketenangannya. Berita itu, Re.
“Dia tidak ingin
menemuiku karena aku telah melukainya.” Akhirnya ia bersuara. Serak.
“Ndra.”
“Begitulah aku, Ras.
Aku bahkan mengacuhkan pesan singkatnya berkali-kali hingga dia memutuskan
berhenti menghubungiku. Aku juga menyuruhnya jangan menyukaiku berlebihan
karena aku bukan orang baik. Aku mendorongnya menjauhiku. Dan sekarang, Re
benar-benar menjauhiku. Dia pergi tanpa memberitahuku. Apa yang bisa aku
lakukan, Ras? Re... ah, dia pergi. Kenapa dia harus pergi sejauh itu?”
Saras menunduk. Tak
sanggup menimpali. Ia sendiri sedang sibuk memaksa hatinya agar percaya berita
yang disampaikan koran pagi mengenai bus antarkota terjatuh ke dalam jurang di
kilometer 14 memuat nama Re. Sahabatnya. Padahal belum genap 24 jam setelah
pertemuan mereka di teater kampus. Re datang ke kota lama mereka sebagai
Penulis tamu mantan kampusnya.
Lelaki itu bangkit.
Terhuyung-huyung.
“Kau mau kemana, Ndra?”
“Kemana saja. Aku
lelah.”
“Ndra... Re tidak pernah
menyalahkanmu. Kau tahu sendiri kan dia bukan orang seperti itu?” Saras
terlihat khawatir.
“Aku ingin menemui, Re.
Aku harus memberitahunya. Aku bukannya tidak menyukainya. Aku sangat
menyukainya. Karena aku sangat menyukainya makanya aku tidak ingin ia bersama
orang yang salah sepertiku. Re terlalu baik. Kenapa dia meninggalkanku dengan
cara seperti ini? Kenapa dia tidak memberiku isyarat sedikitpun? Ya Tuhan,
persetan dengan kesedihan ini!”
Lelaki itu terduduk di
lantai. Saras menutup mukanya dengan dua telapak tangannya. Isakannya kali ini
terdengar sangat jelas. Dini hari, kedai kopi yang lengang membisu melihat air
mata Andra jatuh satu-satu.
Dear
Kopi...
Ndra,
semalam sebelum bertolak dari kotamu aku bermimpi indah sekali. Kita duduk
berhadapan di kedai kopi langganan kita. Wajahmu cerah. Kau tersenyum sepanjang
kebersamaan kita. Ah, setelah berbulan-bulan tak melihat senyummu. Walaupun
kita tak sempat bertemu, Saras memberitahuku kau sehat. Lega rasanya mengetahui
kau baik-baik saja.
Perjalanan
pulang ke kota kecilku agak melelahkan. Aku ingin tidur.