Rabu, 20 Maret 2013

[Cerpen] SURAT UNTUKMU, LELAKI YANG MENCINTAI KOPI

SURAT UNTUKMU, LELAKI YANG MENCINTAI KOPI
Oleh : Nafilah Nurdin

Kita adalah setapak kecil dan pepohonan pinus, bersama tapi bukan melebur. Hanya bisa saling mengamati...
Usiamu 224 tahun dan aku 22 tahun.
Aku mencintaimu.
Di antara riuh cerita tentang Pramoedya, Soe Hoek Gie & Rendra. Ada cerita lain ikut terjalin. Kasat mata dan halus. Ya. Ketika tersadar aku telah terjatuh di tempat yang di kemudian hari terlalu sering memonopoli air mataku. Ah, cinta platonisku sayang...
“Tolong maafkan aku.” Aku berucap sambil menatap bola mata cokelatmu. Seperti biasa kau menyunggingkan senyum pembunuhmu. Tak sadar kalau hanya dengan melihatnya aku bisa dilanda sesak napas sekian detik.
“Ada apa?” Kau memajukan kursimu hingga berjarak sekian senti lebih dekat denganku. Aroma rokok dan kopi mengelus penciumanku.
“Kau tahu apa yang sedang terjadi belakangan ini padaku?”
Kau menggeleng.
“Aku bukan Cenayang,” tawamu.
“Sepertinya aku sudah keluar dari jalur yang kita pijak. Aku tidak lagi searah perjalanmu. Maafkan aku, Ndra.”
“Maksudmu?”
“Aku menyukaimu.”
Hening. Kau menyesap kopimu. Menyalakan sebatang rokok dan mengepulkan asapnya ke udara.
“Aku juga menyukaimu. Sangat mencintaimu.” Datar tanpa riak.
Saat itu, di detik kau mengucapkan kalimat itu aku merasakan duniaku melenggang sunyi. Aku mengenalmu seperti aku mengenal wangi tubuhmu. Kopi, rokok, buku dan malam. Ndra, kau sudah sudah terlampau sering mengatakan “Aku menyukaimu”. Dan jawaban yang kau berikan malam itu di kedai kopi langganan kita adalah penolakan paling menyakitkan setelah aku kehilangan ibuku setahun silam. Aku terhempas di dasar rasaku. Setelah ibuku menolak membawaku pergi bersamanya ke surga, kini kau pun melakukan hal yang sama. Menolakku menempati salah satu tempat di hatimu bukan sebagai aku tapi sebagai kita.
Sebelum kau memutuskan menyukai atau tidak menyukai seseorang, kau sudah harus tahu terlebih dahulu isi pikirannya, katamu. Benar, Ndra. Tapi sayangnya, aku memutuskan menyukaimu bersamaan keinginan untuk mengenalmu lebih jauh lagi. Aku lupa kalau kau punya sebuah dunia yang kau huni. Sendirian. Tadinya aku bermaksud masuk dan turut serta tinggal bersamamu. Akan tetapi kau dengan halus menolak membuka pintu untukku. Duniamu hanya untukmu sendiri. Tidak ada tempat untukku di sana. Perih.
=oOo=
Seperti inilah kisah kita.
Pada sebuah hari yang biasa, kita bertukar cerita tentang Sastra, Filsafat, Psikologi, Politik dan hidup. Aku merasa telah menemukan apa yang pernah aku doakan kepada Tuhan. Kau penjelmaan doa itu. Lelaki yang mencintai kopi, malam dan buku-buku. Semakin sering aku bercengkrama denganmu maka semakin nyata aku kagum padamu. Kagum lalu cinta. Sebuah jembatan yang aneh, bukan? Orang-orang akan menganggap aku terlalu mudah jatuh hati padamu. Barangkali memang seperti itulah adanya. Aku, perempuan yang mudah jatuh hati. Tapi padamu, perasaan ini seolah mengakar subur. Menjelma cerita yang tiada lelah aku tuturkan pada sang waktu.
Setelah insiden pengakuanku, hubungan kita tetap berjalan seperti   hari-hari biasa. Itu apa yang kau lihat. Ndra, tahukah kamu betapa keras perjuanganku hanya agar kau melihat aku baik-baik saja? Aku memilih menangis diam-diam jika aku merasa kelelahan dengan pertahananku. Pada malam-malam sunyi, coba kau tanyakan siapa juaranya menangis tanpa suara? Itu aku. Coba kau tanya lagu yang kuputar saban hari aku merindukanmu? Lagu favoritmu, Donna Donna. Sayang sekali kau tak akan punya jeda waktu sekadar menengok hal remeh-temeh tentangku. Sekali lagi, kau ibarat bayangan yang berjalan ke Barat. Tak terkejar siapapun. Aku adalah salah satu dari sekian banyak hal yang luput dari kalkulasi pentingmu. Sedih bila aku membayangkan itu, Ndra.
Ndra, tentangmu adalah rupa rasa warna-warni. Aku bisa sangat berbinar walau hanya dengan membaca pesan singkatmu di ponselku (yang terkadang hanya emoticon senyum saja), betapa gugupnya aku menunggu balasan SMS-mu, membaca statusmu di beranda Facebook-ku, dan hanya bisa terisak tatkala kuat keinginan untuk mendengar suaramu atau sekadar menatap senyum pembunuhmu. Aku tak punya keberanian untuk mengganggumu. Pertemuan demi pertemuan di kedai kopi langganan kita kurasakan makin hambar dan jarang. Kau lebih sering terlihat tenggelam dalam buku-buku yang kau bawa dari kost dan aku yang masih tabah menunggumu membuka percakapan. Ternyata ada yang hilang dari kita. Kehangatan, Ndra. Apakah kau merasakannya? Ataukah memang kau sengaja menjalankan skenario yang pelan-pelan memisahkan kita di atas jarak kasat mata?
Lalu tibalah aku pada sebuah keputusan gila. Meninggalkanmu. Menaruh harapan di tempat baru mendapatkan oksigen baru. Melupakanmu. Perhitungan hatiku, aku akan tenang bila berjauhan dengan sosokmu. Jika ini benar-benar cinta, aku menyerah.
Aku seperti melihat luka di bola matamu di hari aku pamit padamu. Namun buru-buru kutepis khayalan fana itu. Kata orang, jatuh cinta bisa menstimulasi otak untuk melamunkan apa yang disebut harapan. Itulah rupaku. Banyak sekali file-file adegan yang aku harapkan bisa kulewati bersamamu dan mentah di alam antah berantah.
“Kau benar-benar akan meninggalkanku?”
“Kau punya banyak kawan selain aku, Ndra. Kau masih punya buku yang banyak, kopi, rokok dan malam-malam panjang. Lagipula kita masih bisa kontek-kontekan. Nomor ponsel dan akun Fesbukku tidak akan kuganti. Kau akan dengan mudah menemukanku kapanpun kau mau. Kau juga bisa mengunjungiku di sana. Cuman tiga jam perjalanan.”
Aku menarik koperku menuju bus antarkota. Kau membisu. Tak bergerak hingga aku meninggalkan kota lama kita bersama bus yang melaju konstan. Patah hati itu sungguh tak enak. Hatiku serasa digilas roda bergerigi. Luka tetapi tidak berdarah.
=oOo=
Di kota kecilku yang baru. Hidupku masih dipenuhi aroma dirimu. Sekuat hati ingin melupakanmu justru berbanding lurus dengan kekuatan ingatan itu datang menjajahku. Ndra... sepeninggalku, apakah kau masih sering insomnia? Ngopi-ngopi hingga bergelas-gelas? Menghembuskan asap rokok berbungkus-bungkus? Buku-buku tebalmu.... kecuali rokok aku menyukai aromamu. Ah, bahkan untuk yang satu ini aku pernah nyaris berkompromi untuk memahami ketergantunganmu pada materi tembakau itu. Cinta butakah? Bukan. Cinta yang penuh kompromi.
Kapan rindu ini redam, Ndra? Aku mulai lelah.  Ingin benar aku mendengar alasan yang lebih masuk akal darimu mengapa kau membuang jauh-jauh inginmu menerima perasaanku. Terlalu banyak ketidakmungkinan menghadang kita, katamu. Benarkah? Ah, itu alasan mati yang menurutku tidak pernah masuk di akal. Ndra, Aku ingin tidur lebih lama dengan harapan bodoh nantinya saat aku terbangun, hatiku telah berdamai dengan perasaan ganjil ini.
=oOo=
Dua tahun tanpa kabarmu, bukan karena kita tak sempat mengirim jejak tapi karena kita sepertinya sudah sama-sama memaklumi bahwa saling menghindari adalah jalan keluar paling indah agar kita masih bisa saling mengenang sebagai kawan yang baik satu sama lain. Sebuah kenaifan yang mengada-ada. Tapi justru dengan cara itu aku belajar memahami peta nyata yang kita torehkan lewat kisah tanpa pengakuan. Kau menuntunku menemukan jalan bagaimana semestinya aku mencintaimu dengan sabar dan tekun. Kediamanmu yang hening. Kau tahu? Mencintaimu juga adalah melepaskanmu. Kau tahu bagaimana rasanya? Bagi lelaki sepertimu yang menganggap perkara ini terlampau sederhana bagi pemahamanmu bahkan tak cukup sadar mengapa aku selalu terseok-seok menangisimu. Kau takkan pernah paham rupa cintaku sebab kau menakar semua ini dari kelogisanmu berpikir. Sedang aku menggenggamnya dengan rasa. Cinta kau kalkulasikan dengan untung rugi. Manalah sempat kompromi menyatukan kita?
Aku tidak lagi apa-apa. Akhirnya. Kau tahu kenapa? Karena kamu. Masih ingat percakapan kita tentang mimpi? Kau tanya apa mimpiku dan kujawab menjadi penulis. Aku memilih jalan itu sebagai penyembuh lukaku. Manjur, Ndra. Ketika aku rindu, ketika aku menangis, ketika aku sesak karenamu, kupilih menuangkannya dalam aksara. Hanya dengan begitu hatiku tenang. Suatu saat kau harus membaca apa yang kutulis. Ada banyak namamu terserak di sana. Jangan besar kepala ya...
Pepatah bijak berkata bahwasanya cinta adalah membiarkannya tetap pada tempatnya. Tak perlu menggenggamnya erat apalagi meminta balasan atas apa yang kita berikan sebab cinta adalah sebuah penerimaan. Menerima. Benar.
Duhai lelaki yang mencintai kopi, malam & buku-buku...
Ketahuilah, aku selalu memohon kepada Tuhan semoga kau & aku dikaruniakan waktu yang panjang agar kelak entah kapan dan dimana kita sempat bersua. Duduk bersama sebagai kawan lama di kedai kopi langganan kita. Membincangkan Pramoedya, Soe Hoek Gie dan Rendra seperti yang sering kita lakukan sebelum cinta membawaku menjauh dari hatimu. Aku ingin kembali menikmati celotehanmu. Ndra, walaupun sekarang aku masih merindukanmu namun aromanya bukan lagi isyarat luka. Percayalah.
Aku baik-baik saja. Kau juga kan? Aku harap begitu. Kau pun harus baik-baik saja sekeras apapun dunia menempamu.
Always Remember You. Re.
=oOo=
“Re pergi dengan tenang, Ndra. Malam sebelum kecelakaan itu kami bersama-sama di gedung teater kampus. Tadinya aku ingin menghubungimu soal kedatangannya. Tapi dia melarang, kau pasti sedang sibuk katanya. Re terlihat sangat baik. Ia sudah mengenakan jilbab. Ia juga menunjukkan beberapa cerpennya yang dimuat di media Nasional. Re yang kita kenal dulu sudah jauh berbeda. Tawanya masih lebar tentu saja. Aku kangen Re...”
Mata Saras mengkristal. Sedetik kemudian pecah menjadi tangis tanpa suara. Sementara lelaki itu masih bergeming. Entah apa yang sedang berkecamuk di dalam batok kepalanya. Tak ada kepulan asap rokok seperti biasanya. Tak ada tumpukan buku-buku di atas meja. Tak ada kopi pekat di dalam cangkir putihnya. Meja kedai kopi yang ditempatinya sunyi sejak pertama kali ia memilih berdiam diri di situ demi menahan sesuatu yang merangsek menghancurkan ketenangannya. Berita itu, Re.
“Dia tidak ingin menemuiku karena aku telah melukainya.” Akhirnya ia bersuara. Serak.
“Ndra.”
“Begitulah aku, Ras. Aku bahkan mengacuhkan pesan singkatnya berkali-kali hingga dia memutuskan berhenti menghubungiku. Aku juga menyuruhnya jangan menyukaiku berlebihan karena aku bukan orang baik. Aku mendorongnya menjauhiku. Dan sekarang, Re benar-benar menjauhiku. Dia pergi tanpa memberitahuku. Apa yang bisa aku lakukan, Ras? Re... ah, dia pergi. Kenapa dia harus pergi sejauh itu?”
Saras menunduk. Tak sanggup menimpali. Ia sendiri sedang sibuk memaksa hatinya agar percaya berita yang disampaikan koran pagi mengenai bus antarkota terjatuh ke dalam jurang di kilometer 14 memuat nama Re. Sahabatnya. Padahal belum genap 24 jam setelah pertemuan mereka di teater kampus. Re datang ke kota lama mereka sebagai Penulis tamu mantan kampusnya.
Lelaki itu bangkit. Terhuyung-huyung.
“Kau mau kemana, Ndra?”
“Kemana saja. Aku lelah.”
“Ndra... Re tidak pernah menyalahkanmu. Kau tahu sendiri kan dia bukan orang seperti itu?” Saras terlihat khawatir.
“Aku ingin menemui, Re. Aku harus memberitahunya. Aku bukannya tidak menyukainya. Aku sangat menyukainya. Karena aku sangat menyukainya makanya aku tidak ingin ia bersama orang yang salah sepertiku. Re terlalu baik. Kenapa dia meninggalkanku dengan cara seperti ini? Kenapa dia tidak memberiku isyarat sedikitpun? Ya Tuhan, persetan dengan kesedihan ini!”
Lelaki itu terduduk di lantai. Saras menutup mukanya dengan dua telapak tangannya. Isakannya kali ini terdengar sangat jelas. Dini hari, kedai kopi yang lengang membisu melihat air mata Andra jatuh satu-satu.
Dear Kopi...
Ndra, semalam sebelum bertolak dari kotamu aku bermimpi indah sekali. Kita duduk berhadapan di kedai kopi langganan kita. Wajahmu cerah. Kau tersenyum sepanjang kebersamaan kita. Ah, setelah berbulan-bulan tak melihat senyummu. Walaupun kita tak sempat bertemu, Saras memberitahuku kau sehat. Lega rasanya mengetahui kau baik-baik saja.
Perjalanan pulang ke kota kecilku agak melelahkan. Aku ingin tidur.

Rabu, 06 Maret 2013

[Cerpen] Sehangat Pelukan Ibu


SEHANGAT PELUKAN IBU
Oleh : Nafilah Nurdin
Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibu!
Tanpa ragu-ragu aku pasti mengacungkan telunjukku paling pertama demi menjawab pertanyaan sederhana itu. Iya, siapa lagi yang paling aku sayangi jika bukan Ibu? Aku yakin seratus persen, teman-teman sekelasku pun tentu akan meluncurkan jawaban sama denganku. Berulang kali, pertanyaan yang sama selalu kujawab sama hingga aku meninggalkan bangku sekolah dasar.Tatkala aku beranjak remaja dan meninggalkan rumah demi menimba ilmu di tanah orang, rasanya menjadi lain bila ada orang yang mengajukan pertanyaan tersebut padaku.
Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibu. Masih tetap Ibu. Namun untuk mengucapkan satu kata itu, aku membutuhkan miliyaran detik. Bukan karena aku enggan atau merasa berat tetapi karena ada berton-ton rindu turut serta membayangi lidahku menyebut nama Ibu. Mengingat Ibu berarti mengingat sederet kenangan dimulai masa kecil hingga detik ini, bagaimana Ibu menampilkan sosoknya sebagai pejuang di garda paling depan bagi aku dan ketiga adikku. Ibu adalah perkara paling sentimental menurutku. Orang yang paling aku sayangi di dunia ini adalah Ibu. Suluh penyemangatku agar tetap bisa bertahan mengejar cita-cita di tanah orang adalah Ibu. Tahun ini, Ibu berkeinginan melihatku memakai baju sarjana. Itulah doa yang paling rajin Ibu sampaikan dalam salat malamnya.
 Dan pada hari ini di bawah rerimbunan pepohonan kersen di depan pelataran parkiran kampusku, air mataku mengucur deras tanpa sempat kutahan. Akumulasi rindu dan kesedihan menguar, berhasil menstimulasi saraf kelenjar air mataku.
“Belum waktunya, Ra. Ini jalan yang sudah ditentukan Allah. Kamu disuruh sabar... Kamu percaya kan kalo rencana Allah untuk hambanya jauh lebih indah dari yang kita pikirkan?” ucapan Nena belum bisa menangkanku, justru isakanku kian dalam. Terbayang wajah lelah Ibu. Bagaimanalah ini... betapa kecewanya beliau bila mengetahui aku belum bisa meraih gelar sarjanaku tahun ini, aku belum bisa menerbitkan senyum kelegaan di pelupuk matanya. Aku teringat sepasang baju yang beliau persiapkan untuk menghadiri acara wisudaku.
Ibu... aku ingin berlari ke pelukanmu...
=oOo=
 “Aku ingin pulang kampung, Na.”
Sore memeluk hari ini. Warna keemasan menyebar di seantero musholla kampus FMIPA. Suasana sudah sepi. Pada jam seperti ini, mahasiswa sebagian besar sudah pulang kecuali yang melakukan praktikum laboratorium. Bahkan hingga malam mereka masih berkeliaran di sekitar kampus.
Nena melipat mukenanya, memasukkan mushaf kecilnya ke dalam tas ransel. Tak ada sahabat yang begitu setia seperti Nena. Gadis yang sebentar lagi memakai toga itu tak rela meninggalkanku sendirian meskipun aku bersikeras mengusirnya. Ia betah menemaniku sambil sesekali menghiburku. Ah... seharusnya kami diwisuda bersama. Tapi apa mau dikata? Wisuda hanya sebatas angan bagiku, tahun ini.
Nena menatapku, sangat lama.
“Jangan melarikan diri.”
“Tidak. Ini bukan rencana pelarian diri” elakku.
“Kita tidak pernah merencanakan kegagalan, Ra. Aku sangat percaya Allah menitipkan hikmah dalam musibah ini.”
Aku tersenyum. Senyum pertamaku hari ini sejak aku menerima pemberitahuan dari dosen pembimbing akademik kalau aku belum siap mengajukan sidang hasil dan skripsi karena masih ada satu mata kuliah tertinggal.
“Aku butuh suasana penenangan diri, Na. Kupikir rumah akan membantu proses berdamai dalam diriku.”
“Berapa lama? Kau tidak berniat melupakan wisudaku, kan?”
“Kita lihat saja nanti. Di sini nyeri, Na. Sakit sekali kalau mengingat wisuda.”
Nena bergerak maju, memelukku erat. air mataku kembali jatuh. Aku ingat Ibu.
“Semoga Allah menguatkanmu...”
=oOo=
“Sekolah yang rajin, Nak. Coba kau lihat orang-orang yang sekolahnya tinggi-tinggi itu. Mereka bersungguh-sungguh menjadi orang sukses. Kau tahu, Nak? Hanya orang dengan tekad bulat serta kerja keras yang bisa menjadikan cita-citanya nyata. Kau ingin menjadi sukses to, Nak? Haa, kau sekolah lah yang serius.”
Usiaku belum genap dua belas tahun kala itu. Sembari menunggu jadwal mengaji sesudah bakda asar, aku membaca buku cerita yang kupinjam di perpustakaan sekolah. Ibu sedang menapis beras. Butir-butir beras yang kecil-kecil terpental jatuh menjadi santapan kerumunan ayam peliharaan Ibu di bawah lantai dapur rumah panggung kami. Sepoi angin menjelang sore menyentuh dedaunan jambu air yang tumbuh tepat di sisi kanan tangga dapur. Aku ingat betul raut wajah Ibu ketika mengucapkan kalimat bertuah itu. Ada pengharapan yang tinggi di sana.
Maka sejak saat itu, aku menanam janji atas semua harapan itu, sekolah setinggi-tingginya agar semakin dekat dengan kesuksesan. Pemaknaan tersebut membuatku terpacu. Ialah Ibu yang tiada pernah mengenal lelah menyemangatiku. Bila musim ulangan tiba, Ibu selalu tepat waktu membangunkanku di sepertiga malam untuk belajar, menyiapkan sarapan pagiku, melepas kepergianku di depan pintu rumah bersama wajah bersemangatnya. Adik-adikku masih teramat kecil untuk mengerti sinergi yang tumbuh antara aku dan Ibu. Sementara Bapak, beliau sudah meninggalkan rumah sebelum matahari pagi sempurna menyepuh seluruh tanah kelahiranku di kaki Batu Sangia. Kebun yang digarap Bapak terletak di belakang kampung. Bapak baru pulang ke rumah menjelang matahari terbenam bersama sapi-sapi gembalaannya. Demikianlah masa kecil aku habiskan.
Pernahkah kau menginginkan suatu hal? Ketika keinginanmu mencapai puncak tertinggi, menyisakan selangkah lagi maka kau sukses menggenggamnya namun di saat yang sama sebuah kenyataan pahit menebus jerih payahmu. Gagal. Rasanya dunia seperti membelakangimu. Itulah yang sedang aku rasakan sekarang.
Kurasakan gerakan pelan di atas tubuhku. Mataku membuka sedikit. Sorot lampu 5 watt membentuk siluet Ibu. Kebiasaan Ibu saat kami sudah jatuh terlelap, membetulkan letak selimut kami. Ibu terdiam cukup lama di samping ranjangku. Tak ada suara. Tapi kutahu ada berjuta bahasa dalam diamnya. Mungkinkah Ibu sudah tahu? Aku belum berbicara apapun soal urusan kuliah sejak kedatanganku sore tadi setelah menempuh perjalanan darat dan laut selama hampir 12 jam. sehabis bercerita sedikit dengan Bapak dan mengusili adik-adikku, aku beranjak mengistirahatkan diri di kamar.
Tak berapa lama kudengar langkah kaki Ibu bergabung dengan Bapak di ruang tengah. Suara televisi lamat-lamat tertangkap telingaku.
“Naira lebih pendiam ya, Pak.” Suara Ibu.
“Barangkali kecapekan, Bu. Besok dia pasti akan kembali cerewet lagi.”
“Yah, semoga sajalah. Kira-kira kenapa Naira pulang ya, Pak? Setahu Ibu libur semester belum lewat. Kata Naira kan, Insya Allah dia diwisuda bulan depan jadi pasti saat sekarang adalah masa-masa sibuk...”
Aku menahan napas. Sesak.
“Aaah, Ibu ini... selalu banyak mikir. Bersyukur Naira pulang. Ndak usah tanya ini-itu. Bukannya kemarin-kemarin Ibu yang bilang kangen sama Nai? Nah, berarti Nai pun kangen juga sama kita makanya dia pulang. Ya to, Bu?”
Perbincangan itu masih berlanjut dengaan topik bahasan bermacam-macam mulai dari berita di tivi, sapi-sapi Bapak yang baru melahirkan, kebun Bapak yang pagarnya dijebol babi hutan dan pemilihan kepala daerah beberapa bulan ke depan.
Aku terisak pelan di kamarku yang lampunya sudah dimatikan Ibu.
=oOo=
Kokok ayam di atas pohon sawo besar depan jendela kamarku mengiringi suara azan muadzin di masjid kampung kami. Merdu memecah kebisuan subuh yang suhunya selalu lebih dingin dari kota tempatku menimba ilmu. Kata orang-orang, geliat awal hari berawal dari kampung-kampung kecil. Benar sekali. Lekas kubangunkan ketiga adikku untuk salat Subuh berjamaah. Ibu sudah sibuk di dapur. Kepulan asap dari tungku menyebar ke mana-mana. Bagian mana dari rumah yang tak membuatku rindu? Seluruh bagiannya membuatku rindu tak terkecuali
.Pagi cepat sekali datang. Semburat matahari mengintip dari celah Batu Sangia.
“Ibu ndak ngajar?” tanyaku melihat Ibu belum juga bersiap-siap dengan  baju seragamnya. Sejak dua tahun lalu Ibu diangkat sebagai kepala sekolah sebuah SD tertinggal sekitar sembilan kilometer dari kampung kami. Akses ke sana masih sangat sulit, jadi Ibu biasanya menempuhnya dengan berjalan kaki melewati kawasan hutan dan kebun jambu mete warga.
“Hari ini Ibu izin. Ada kamu, kok.” Ibu menyahut.
“Lah, biasanya juga kalo Nai pulang ibu tetap ngajar...”
“Ibu merasa kepulanganmu ini berbeda dengan sebelumnya. Tidak ada liburan, tidak ada pemberitahuan eh tiba-tiba Nai sudah ada di depan pintu dengan mata lebih sipit dari biasanya.”
Aku membuang tatapanku keluar, pura-pura tak melihat sepasang mata Ibu yang berusaha menangkapku dalam tatapannya. Bunga-bunga jambu air mulai bermekaran. Rumah sunyi, bapak sudah berangkat ke kebun dan ketiga adikku sudah melesat ke sekolah masing-masing.
“Ada yang ingin kamu ceritakan pada Ibu, Nai?”
Aku memainkan ujung jilbab lebarku. Ada, Bu. Terlalu banyak yang ingin kuceritakan sampai aku tidak tahu harus memulai dari mana...
“Kalau Nai bingung mulai dari mana, pelan-pelan saja... Apa yang membuatmu murung, Nak? Ibu belum pernah melihat wajahmu sekeruh sekarang ini.”
Lihatlah, Ibu selalu tahu... Ibu bermata jeli...
“Nai...” suaraku tertahan. Kurasakan mataku memanasa demikian cepat.
Ibu mendekatiku. Kami duduk saling berhadapan di pintu dapur yang terbuka lebar.
“Nai tidak jadi diwisuda tahun ini, Bu. Nai tidak bisa selesai kuliah tepat waktu. Nai...” isakanku pecah seketika.
Hening.
“Maafkan Nai, Bu. Nai mengecewakan Ibu dan Bapak.”
Ibu memelukku. Hangat benar rasanya.
“Ini yang membuatmu sedih sepanjang waktu, Nak? Kenapa kau demikian terbebani? Apakah harapan kami melukaimu sedalam ini?” suara Ibu turut basah.
“Nai tidak bisa membanggakan, Bapak dan Ibu.” Dan mengalirlah cerita itu, tentang aku yang tidak hati-hati memerhatikan Kartu Hasil Studiku, hingga melupakan satu mata kuliah semester ganjil. Itulah yang menghalangiku wisuda tahun ini.
“Kata siapa kau tidak membuat kami bangga? Ya Allah, anak ibu ini... siapa yang bilang kamu tidak bisa membuat ibu dan bapakmu bangga, Nak?”
Ibu mengusap wajahku lembut, menghapus jejak air mata di sana.
“Bagi Ibu, kalian lahir ke dunia ini lalu tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia adalah sebuah kebanggaan terbesar. Jika kalian berprestasi, itu bonus buat kami. Apakah pernah Ibu mematok kau harus selesai tepat waktu? apakah pernah sekali saja Ibu memintamu menyelesaikan kuliah secepatnya? Tidak pernah, kan?”
“Tapi Nai sudah berjanji akan selesai tahun ini...”
“Lalu Nai merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi janji itu? Nai sedih berkepanjangan bahkan untuk tersenyum lebar pada Ibu pun terasa sulit bagimu...”
Aku diam.
“Nak, sebagai manusia kita hanya bisa sebatas merencanakan dan berusaha keras agar rencana itu terwujud. Ketika apa yang kita usahakan tidak berhasil berarti Allah sudah menyiapkan rencana yang jauh lebih indah dari rencana kita. Coba ingat, apakah Bapak pernah sedih berlarut-larut ketika hasil kebunnya tidak sesuai harapan? Apakah Bapak mengaggap dirinya tidak becus ketika babi hutan merusak seluruh isi kebunnya? Tidak pernah. Kenapa? Karena Bapak tahu sebatas mana kapasitasnya sebagai petani. Nah, seperti itulah Nai juga... Nai bukan gagal tapi Nai hanya belum sukses tahun ini. Insya Allah tahun depan Nai bisa wisuda.”
Aku melihat kesungguhan di mata Ibu. Tidak ada kekecewaan seperti yang aku bayangkan sebelumnya.
“Sampai kapanpun, Nai adalah anak Ibu yang selalu hebat. Kakak yang super bagi Nadir, Rambu dan Aqsa! Ayok, sini peluk Ibu!”
Air mataku kembali tumpah. Aku tidak pernah menyangka penyelesaiannya akan sedemikian ringkas dan melegakkan seperti ini.
 Siapa yang paling kamu sayangi di dunia ini?
Ibuku. Pelukan Ibu adalah rumah yang paling aku rindukan. Hangat dan sanggup membayar lunas seluruh lelahku sepanjang tahun.
*Cerpen ini pernah dimuat di Kendari Post edisi Februari 2013

[Cerpen] Rahasia Cinta


RAHASIA CINTA
Oleh : Nafilah Nurdin
Ada yang pernah bilang padaku, cinta itu sederhana. Semisal kamu bangun di pagi hari dan menangkap cahaya matahari yang jatuh di kisi-kisi jendela kamarmu. Seperti saat kamu mencium aroma tanah basah pada hari pertama hujan di penghujung musim panas yang panjang. Ya, perasaan yang mencuat keluar... itulah cinta. Tetapi, mengapa mencintaimu tak sesederhana itu? Ada sesak, sedih dan kelegaan menyerangku secara bersamaan setiap kali aku menangkap bayanganmu melewati koridor kelasku. Aku bahagia karena masih bisa melihatmu setiap hari dan juga sedih karena setiap hari, aku hanya bisa mengamatimu diam-diam. Cintaku membisu. Kamu terlalu jauh untuk kutemui dalam nyata. Serupa bayangan, kuikuti tapi tak akan pernah sanggup kurengkuh. Cinta ini, cintakah?
=oOo=
“Algi!”
Algi terhuyung, sempoyongan menahan beban berat di tangannya. Hampir saja ia tersuruk menimpa rak buku perpustakaan gara-gara teriakan heboh Nami ditambah tekanan kuat gadis itu yang tiba-tiba menghajar punggungnya.
“Kebiasaan, deh! Jarak sedekat itu masih aja pakai acara teriakan segala. Aku lama-lama bisa budeg temenan sama kamu.” Algi menggerutu kesal.
Nami tertawa. Ia segera mengambil alih sebagian buku yang tersusun ditangan Algi, menghalangi pandangan cowok berkacamata itu.
“Kenapa telat?” tanya Algi
“Porsi latihan basket ditambah. Turnamennya udah deket ini. Walaupun telat tapi aku tetap datang kan? Aku ini setia sama janji apalagi sama Algian Wiranata yang pinter dan cakep...” Nami menyenggol lengan Algi. Menggoda.
“Diiih! Nggak usah genit deh!” Algi menampakkan raut wajah geli, selekasnya menjauhi Nami sebelum gadis tomboi binti tengil itu melanjutkan aksinya.
Detik itu, Nami benar-benar tidak sanggup menahan tawa terbahaknya. Wajah Algi selalu terlihat lucu bila sedang salah tingkah dan malu seperti saat ini. Dasar Peter Parker KW 10! Ada kepuasaan tersendiri bagi Nami setelah sukses mengganggu Algi.
“Buku-buku tebal ini mau diapain sih, Gi? Berat tauk!”
=oOo=
“Kelar ngurusin buku-buku ini kita mampir ke kelas teater, yuk!” ajak Algi.
Nami yang sedang menyusun buku di rak teratas memakai jasa tangga sejenak menghentikan gerakan tangannya.
“Ngintipin anak-anak pada latihan? Ogah.”
Algi mendelik.
“Siapa juga yang ngajakin ngintip? Aku pengen liat mereka latihan drama.”
Sesuatu seperti menabrak kesadaran Nami.
“Kiran,” cetusnya cepat.
“Iya. Aku dapat kabar kalau Kiran masuk proyek drama festival sekolah bulan depan.” Algi tersipu.
“Tuh, kan. Benar dugaanku, mana mungkin kamu bela-belain nengok kelas teater kalo bukan karena Kirana. Deeeh, yang masih jatuh cinta sama bintang sekolah!”
“Berisik! Buruan kerjanya, Mas Nami!”
Nami menghindar dari lemparan buku Algi. Di satu kesempatan ia menjulurkan lidahnya ke arah Algi. Mereka tertawa bersama.
Matahari mulai memerah jingga di ufuk barat. Menjelang pukul 5 sore, Algi dan Nami akhirnya menyelesaikan pekerjaan menyusun buku-buku di perpustakaan sekolah. Algi bekerja paruh waktu di Perpustakaan. Pak Guntur selaku Kepala perpustakaan yang memintanya secara khusus untuk membantu pekerjaan di sana. Algi yang memang sudah mencintai buku sejak kecil tentu saja menyanggupinya. Lagipula selain mendapat uang saku setiap bulan, ia diberi banyak kompensasi karena pekerjaannya. Antara lain, boleh meminjam lebih dari dua judul buku dan tentu saja harus dikembalikan tepat waktu. Urusan denda tetap berjalan.
=oOo=
Coba tanyakan ke seantero SMA Bina Bangsa, siapa Nami dan Algi? Jagoan tim basket puteri Bina Bangsa dan satunya lagi jawara Olimpiade Matematika tingkat Provinsi tahun lalu. Selain itu? Yup. Mereka bersahabat sejak bangku TK. Bayangkan sendiri seberapa dekat mereka berdua. Perbedaan karakter justru membuat mereka saling membutuhkan, seperti otak kanan dan otak kiri yang seiring sejalan dan membuat satu sama lain kuat jika beroperasi sempurna. Berdua. Algi berbagi segalanya pada Nami, demikian pula sebaliknya. Tidak ada rahasia. Nami satu-satunya orang yang tahu Algi memendam rasa sukanya terhadap Kiran. Siswi dari jurusan Bahasa yang cantik dan mungil itu. Algi jatuh hati semenjak MOS dua tahun silam.
“Kenapa nggak jujur aja, sih. Bilang ke Kiran kalau kamu suka dia,” ucap Nami di samping Algi membuat cowok itu terlonjak kaget. Konsentrasinya menyimak latihan drama buyar seketika. Lehernya seolah tercekik. Ia menoleh galak pada Nami. Dilepaskannya tatapannya dari arah panggung, di sana Kiran sedang memainkan salah satu adegannya sebagai Little Mermaid.
“Kenapa?”
 “Suaramu... Kalau yang lain denger gimana?” Algi menahan gemasnya. Ingin rasanya ia menjitak Nami. Gadis itu memang sering tidak sadar kalau suaranya lumayan nyaring.
Nami nyengir.
“Tapi beneran loh, Gi. Kenapa sih harus nyimpen selama itu? Kalo aku jadi kamu, aku nggak mau menyia-nyiakan waktu. Urusan ditolak itu namanya resiko. Mana ada yang nggak beresiko? Bernapas saja beresiko.” Kali ini Nami berbisik.
 “Kamu pernah baca dongeng Little Mermaid? Puteri duyung berkorban asalkan pangeran yang dicintainya bahagia walaupun bukan bersamanya. Dalam cinta kita harus berkorban, Meeen. Kamu nggak bisa diam saja dan mengharap Kiran tahu perasaanmu suatu saat.” Nami terus nyerocos tak sadar wajah Algi memerah. Di ujung kalimatnya Nami mengeluh tertahan karena tangannya ditarik Algi mendadak.
“Kita pulang.”
Berpasang-pasang mata di aula itu melihat ketika Nami diseret Algi, tak terkecuali Kiran.
Tiba di pelataran parkiran sekolah, Nami mengomel panjang pendek.
“Kamu kenapa jadi cerewet begitu?” dengus Algi tak memedulikan wajah kesal Nami.
“Aku cuma ngasih saran, kok.”
“Terimakasih, Mas Nami. Pake helm-nya cepet.”
  “Sebagai sahabat, aku merasa perlu ngingetin kamu biar nanti kamu nggak nyesel. Pernah nonton Cinta Pertama? Kamu nggak pengen kan Kiran jadi milik orang lain dan dia nggak akan pernah tahu kalau kamu suka sama dia sampai kita tamat nanti?”
“Urusannya nggak sesederhana itu.”
“Ya udah, sederhanakan saja biar gampang.”
“Kami berbeda, Nami. Harus berapa kali sih aku bilang, Kiran itu terlalu jauh untuk kugenggam. Dia bintang yang bersinar sementara aku?”
“Kamu Mars. Kamu pinter. Apanya yang beda? Dasar Mr. Rempong.”
“Cerewet. Naik, nggak? Aku tinggal, nih!” Algi menyalakan mesin motornya. Nami misuh-misuh.
“Pengecut.”
“Kamu nggak pernah merasakan jatuh cinta sepihak, Nami.”
=oOo=
Perkara jatuh cinta bisa serumit ini. Nami tidak tahu apa-apa. Dua tahun menyimpan perasaan suka pada seseorang betapa tak mengenakannya. Apakah Algi tidak pernah berusaha menunjukkan pada Kiran? Sering bahkan sudah tak terhitung berapa kali ia mencoba mengirim sinyal namun gadis berlesung pipi itu seolah tak acuh. Algi bukanlah jenis cowok yang bisa secara frontal mengakui perasaannya terlebih untuk seorang gadis. Pengecut kah namanya? Entah. Selama kurang lebih dua tahun ini, Algi malah dihadapkan dengan kabar-kabar hubungan Kiran dengan sejumlah nama beken sekolah mereka. Lalu dua hari lalu di sebuah pusat perbelanjaan, Algi secara tidak sengaja melihat Kiran bergandengan tangan dengan Wian, Kapten Tim basket Putra sekolah tetangga. Bagian manakah yang terlihat sederhana? Kiran menyukai orang lain dan Algi yang belum bisa menaruh toleransi pada perasaan sayangnya. Cinta tidak pernah sederhana di mata rasa Algi. Ada luka yang mengajak bertaruh.
=oOo=
“Kiran?”
Gadis berambut panjang bergelombang itu terlonjak kaget mendengar sebuah teguran di belakang punggungnya. Tangannya gemetar. Ia membalikkan badan.
“Hai.” Kiran gagal menahan kegugupannya. Suaranya bergetar. Basah.
“Ngapain kamu di sini? Kelasmu kan...”
“Maaf. Umm... sepertinya aku salah masuk kelas. Permisi.” Kiran berlalu. Mengayuh langkahnya cepat-cepat, setengah berlari keluar dari kelas XI Ipa2 dan berlari ke menuju aula sekolah. Duh, rasanya ia tertangkap basah.
“Gimana, Nam? Udah ketemu bukunya? Sampul ijo. Ya ampun, kenapa malah bengong melompong di sini? Eh, kamu kesambet ya?” Algi yang baru saja memasuki kelas dibuat kaget oleh Nami yang terpaku di depan mejanya. Pantas saja sahabatnya itu tidak muncul di perpustakaan setelah ditunggu lama. Padahal Algi hanya meminta tolong Nami mengambilkan buku catatan Kimia di dalam tasnya karena saat itu Algi sedang sibuk mencatat daftar peminjam buku perpustakaan selama satu bulan ini.
“Woi! Namira Larasati! Algi Wiranata memanggil! Ayo, kembali ke bumi sebelum invasi alien dimulai!” teriak Algi seraya menepuk bahu Nami. Namun sedetik kemudian cowok itu histeris melihat kondisi tasnya.
“Namiii! Kenapa berantakin tasku kayak gini?”
Nami membisu. Dipandanginya Algi dengan tatapan yang sulit diartikan. Kepalanya dipenuhi sederet pertanyaan. Apa yang dilakukan Kiran di meja Algi? Kenapa gadis itu terlihat ketakutan saat ia tak sengaja melihatnya di sana? Mungkinkah? Nami meremas sepucuk surat biru langit yang ia temukan di dalam tas Algi. Tiba-tiba ia dirayapi ketakutan yang terasa asing.
Bel panjang yang menandakan berakhirnya jam istirahat tidak lantas membuat Nami merasa tenang. Kalau saja Algi mau sedikit peduli, ia akan melihat gurat kesedihan pada sepasang manik mata gadis itu. Algi terlalu sibuk mengomel gara-gara tasnya.
=oOo=
“Gi...”
“Hmmm...”
“Udah berapa lama sih kita temenan?”
“Udah lama. Kenapa? Heih, jangan mikir aneh-aneh, deh.”
Nami tertawa mendengar nada bicara Algi. Ia mendorong pipi cowok itu, alhasil Algi gagal menyuapkan sepotong pisang goreng keju yang masih hangat ke mulutnya. Omelannya pun terbit. Nami tak habis pikir ada cowok keren tapi cerewet macam Algi. Mereka sedang menikmati sore di atas ruko milik keluarga Nami. Itulah satu-satunya hal yang mereka sukai bersama. Matahari terbenam. Di ruko itu, posisi matahari yang perlahan bergulir kembali ke peraduannya selalu terlihat indah luar biasa. Kadangkala mereka mengambil foto bersama.
“Aku sedang mikir, kita bakalan sulit dapat pacar kalo terusan sama-sama. Banyak lho yang mengira kita pacaran,” ujar Nami.
Algi mendelik.
“Jadi maksudmu kita harus mengurangi porsi bersama-sama, begitu? Nggak. Aku mendingan nggak dapat pacar seumur hidup daripada harus kehilangan kebersamaan denganmu. Biarkan saja mereka menyangka kita seperti itu.”
“Bagaimana dengan Kiran? Kalian berdua serasi.”
Algi terdiam sejenak. Ditariknya napas sangat panjang. Ia mencoba mengumpulkan perbendaharaan kata yang paling tepat demi menggambarkan hatinya saat ini.
“Kiran udah ada yang punya. Kamu pasti kenal Wian. Aku pernah melihat mereka jalan, berkali-kali juga Kiran dijemput di sekolah.”
Mendengar itu, wajah Nami menjadi keruh. Hampir menangis. Lagi-lagi Algi luput melihatnya.
“Kenapa sih kamu selalu merusak suasana dengan mengungkit hal-hal sensitif? Lihat, tuh!” Algi menunjuk ke arah barat. Warna merah bercampur jingga berarak mengawal Sang Raja siang kembali pulang. Penanda malam sebentar lagi akan tiba.
“Ini cinta namanya, Nam.”
Nami menoleh.
“Apa coba namanya kalau bukan cinta? Matahari tidak pernah ingkar janji. Dia selalu pulang tepat waktu. Nggak pernah letih membagi kebaikan lewat energi panasnya, meski masih ada saja orang-orang yang lupa bersyukur dan malah mengomel bila matahari bersinar terlalu terik. Begitu pula cintaku untuk Kiran. Aku masih bisa menyukainya tanpa harus jadi pacarnya. Iya, nggak?
Nami memandangi Algi lama. Cowok itu terpukau menyaksikan bola api raksasa di ufuk barat. Tangannya sesekali menjepretkan kamera digitalnya.
Maafin aku, Gi. Benar, cinta memang butuh keberanian dan kita sama-sama nggak punya itu...” Nami berucap sendu dalam hati. Untuk yang pertama kalinya, ia tak bisa menikmati matahari terbenam bersama Algi.
=oOo=
Di depan taman sekolah, Kiran mondar-mandir gelisah. Malam hampir sempurna jatuh. Tetapi yang ditunggunya tak muncul juga. Mengapa? Ia yakin tidak keliru meletakkan surat itu di dalam tas Algi. Kiran mendadak khwatir, mungkinkah Algi tidak mau menemuinya? Ah, kalau bukan karena Wian yang mengomporinya, ia takkan senekat ini. Sepupunya itu berteman akrab dengan Nami sahabat Algi. Wian tahu dari Nami kalau Algi menyukai Kiran. Tapi...
Kenapa kamu nggak datang, Gi...?
 *Cerpen ini pernah dimuat di Majalah GADIS edisi Januari 2013 (Thanks to Chogah yang udah mau motoin majalahnya).