Minggu, 12 Desember 2010

Aku, Kau dan Bulan Perakmu!

Semalam aku bermimpi tentang bulan perak di atas kepalamu

Menyala dan memijarkan siluet pias mu..

Menjauhkan gemerisiknya doaku di pertengahan kisah

Tak berlaku lagi klausa-klausa basi itu, katamu


Mungkinkah sunyi yg terlalu lama menyapihmu hingga sekali libas saja laku mu pada rinduku ini?

Ah, wanita...
Masih juga kau libatkan antagonis-antagonis uzurmu pada jagad rasa mu juga rasaku

Aku yang tergugu sekuat harap menampik epilog hujan ini..

Aku berbalik.
Melupakan bulan perak keparat di atas kepalamu itu, berlari kencang menerabas diam mu,
Mengoyak kesinisan mu pada keramahan hati...

Ku telaah lagi roman tak berjudul ku tentangmu, yang rangkaian khayalnya berserakan begitu banyaknya di jejak waktu..
yang sejatinya kau baca di kala senja memerahkan pipimu..
Di beranda bercat putih itu...

Duhai hati yg sepi..
Begitu rumitkah sapaan pagi ku ini?

Tentang Kotamu

Di kedai kopi petang itu..

Malam mengintai licik dalam nafas-nafas liar
Beringas dan kejam..

Di antara lelampu kotamu ramai
Ada heningmu disana

Koran-koran yang baru keluar dari oven
Menceritakan betapa bangganya kotamu
Surat kabar, televisi, radio-radio...

Ah...
Wangi benar segala fatamorgana busuk itu
Mengawang hingga jauh kepelosok
Berumbai-rumbai melilitkan mimpi-mimpi masyuk ke wajah para
Belia kampung

Menghirupkan aroma basi kebobrokan yang tersamarkan
Dalam limpahan kegemilangan masa biru

Di selingan hari yang biasa
Aku menekuk inginku kembali

Membiarkan segala kemarahan surut dalam kebimbangan

Adakah malaikat sunyi merubungi yang mati?
Membantuku yang terbakar ketakberdayaan.
Parauku tak berbalas...

Makin riuh saja kotamu..

Padahal masih basah liatmu
Belum pupus segala hujanku

Dalam genggamanku
Koran lecek kedukaanku

Seorang wanita pemulung mati diperkosa
Mayatnya dibuang kegenangan busuk...

Di kedai kopi petang itu..
Aku menangisi keangkuhan kotamu

Apakah karena kau celemongan
Hingga biasa saja dukamu?

Aku menggeleng, tak tahu
Lelampu kotamu penghianat!

Setapak Di Pepohonan Pinus Itu...

Selusuri saja setapak di pepohonan pinus itu
Biarkan rangkuman angin menghayatimu
Dan kerikil-kerikil bulat menjajahi kaki mungilmu

Lalu siluet senja
yang mengiris pandanganmu

Biarkan!

Biarkan kau tetap berjalan dalam bisu
Hanya pada hari itu saja

Agar kau tahu
Pada hati yang jauh ini
Selalu ada yang ingin kuceritakan

Agar kau tahu
Pada hati yang jauh ini
Sesungguhnya ia tak pernah benar-benar aman

Sekali-kali tengoklah aku
Pada setapak di pepohonan pinus itu...
Pada kerikil-kerikil
Pada rangkuman angin..
Ada aku disitu..

Angin dan Kotak Pesanku

Sudah tibakah padamu?

Kotak pesan rahasiaku

Sudah ku bungkus rapi lalu ku titipkan pd angin yg bertiup ke barat pekan lalu

Mengapa lenguhan burung elang tak mengabariku?

Jangan-jangan kurirku tersesat?

Bagaimanlah ini..

Sementara gerombolan angin baru akan kembali ke tepi2 lembah desember nanti

Ilalang-ilalang kering mengeluarkan gemerisik payah
Aku tertelan sendu

Kotak pesanku di rantau
Menjelajah bingung tak beralamat..

  O angin..
Kemanakah kau bawa rinduku?

Akulah Sunyi

Akulah sunyi
yang dini hari tadi menemani tangismu..

Akulah sunyi
si penjaga hatimu,
tak pernah lelap demi dirimu..

Akulah sunyi
tempatmu berpulang kala kau berantakan..
Akulah sunyi..

telah dengan sengaja menyita seluruh aliran jiwamu untuk ku tinggali..

akulah sunyi
yang mengantarkanmu pada TUHAN mu..

Selasa, 07 Desember 2010

Hujan Yang Turun Di Tengah Terik

Sudah, tak apa-apa...

Aku takkan pergi sekalipun janji yang kau titipkan di kantong bajuku
Tak pernah lagi kau singgung

Aku baik-baik saja
Sepanjang angin masih melesat-lesat di lembah kampungku
Sepanjang hujan dan terik masih berkejaran di horizon hatiku
Aku tak akan mati karena kesumat janjimu

Bukan hanya kepadamu, hening ini tertuju...


Ya, aku akan baik-baik saja

Minggu, 05 Desember 2010

Surat Dari Pohon Randu Tua (sebab tak pernah ada aku dalam ceritamu)

Semilir angin di hari ke tujuh belas di bulan hujan.

Perempuan di beranda lembayung, tahukah kau isyarat lukaku? Mengering dan berdarah diatas cipratan elegi yang tak berkesudahan. Lagi dan lagi. Berkali-kali semenjak berpuluh tahun silam aku melambai padamu. Tetapi, kau hanya mendesah (menerawang) dan berkata, "ah, hanya angin.. Bukan apa-apa."

Ya Tuhan, bagaimana bisa kau begitu lugu mengacuhkanku padahal aku nyata di matamu? Wahai perempuan, sadarlah, kau sudah nakal bermain-main di atas singgasana hatiku, menarikan lirik-lirik biru di atas dadaku... Mencaplok rasaku dengan sewenang-wenang...

Wahai perempuan...

=oOo=

Semilir angin di hari ketujuh belas di bulan hujan..

Perempuan di beranda malam, sekarang kau boleh menertawakanku sampai habis air matamu..

Aku yang bodoh (rupanya).
Sejatinya, aku memang hanya akan hadir dalam hidupmu diluar kenanganmu. Sebab aku hanya sebatang pohon randu tua di seberang jalan setapak menuju rumahmu. Kau tak pernah mengenalku sebab aku hanya sebatang pohon randu tua, yang batang-batangnya telah rapuh, dedaunannya kurus.. Tak jarang ku jumpai tatapan ngerimu jika melewatiku, takut batangku yang lain menjatuhimu. Kau tak mengenalku karena aku yang mengenaskan. Kenangan tentangmu kukuh padaku. Kau yang mengajariku mencintai rupa hati yang sewarna pelangi ini.

Wahai perempuan di beranda malam, mungkin akan ada badai malam ini ; selamat tinggal..

Amadiora (Part 1)

HELAI SATU
Tentang Luka
Amadiora adalah sebuah negeri yang indah. Di sana hanya ada kebahagiaan. Jika kau sudah ke sana maka kau akan enggan kembali ke tempatmu bermula. Kau akan dibuat terpesona oleh keelokan tempat itu. Sungai-sungai bening mengalir seolah tak bermuara. Pepohonan dan bunga-bunga bermekaran tak kenal musim. Celoteh burung-burung bersayap perak. Angsa-angsa putih. Langit yang senantiasa membiru hangat. Dan bila malam tiba, gemintang di angkasa berlomba membentuk formasi manis. Kerlip yang tak pernah habis. Amadiora, negeri yang damai. Kelak, aku akan pergi ke sana.
***
“Kenapa kamu menangis?”
“Tidak, aku tidak menangis...”
“Kamu baik-baik saja, kan?”
“Tentu saja.”
Hening kemudian. Bukit Amarilis malam hari. Di kejauhan Nampak keramaian lelampu kota. Cantik. dan di bagian selatan terlihat lampu-lampu kapal para nelayan. Di atas batok kepala mereka, gemintang berparade indah. Galaksi Bima Sakti meriah. Jika pada hari-hari sebelumnya, mereka datang ke bukit itu untuk melihat rasi bintang, berbincang tentang apa saja yang telah mereka lewati hari itu. Malam ini terasa jauh berbeda. Mereka ke bukit amarilis bersama sebongkah luka dan kekalutan pada hati masing-masing. Luka yang serupa.
Arin mencabuti rumput-rumput kering dan sesekali mendesah galau. Di sampingnya, Tira tak putus-putusnya berceloteh riang. Sebuah pemandangan yang kontras. Dua wajah, dua suasana. Kembali, cairan Kristal meluncur di pipi pucat Arin. Kali ini ia sampai terisak dalam. Tira menoleh. Menatap Arin teduh. Tersenyum walau sorot matanya menyiratkan aroma lain.
“Apakah semua akan baik-baik saja, Ra?” Lirih sekali suara Arin.
Angin mendesau dingin.
“Pasti, tidak akan terjadi apa-apa. saat bangun esok hari, aku yakin keadaan akan kembali seperti sediakala. Aku, kamu, Om Prast dan Tante Bulan. Kita semua akan baik-baik saja. Percayalah padaku, Rin,” sahut Tira pelan.
Ia menjangkau bahu Arin. Memeluknya erat. Seolah ingin menyiratkan ketegaran lewat pelukan hangatnya. Bila saja Arin sanggup melihat raut wajah Tira ketika memeluknya, bila saja Arin tahu gemerincing kekalutan yang ramai di balik dada Tira, Arin akan tahu betapa tak tegarnya Tira malam ini. Demi melihat kesedihan yang menggantung di paras Arin lah hingga gadis itu lebih memilih mengungsikan tangisnya jauh-jauh. Ia tidak boleh bersedih. Siapa lagi yang akan menguatkan Arin kalau bukan dia? Meskipun pada kenyataannya dialah yang lebih membutuhkan dukungan. Tira mengeratkan pelukannya. Luka ini hanya untuknya.
=oOo=
Nyatanya, tak ada yang baik-baik saja pagi ini.
Tira belum sepenuhnya terbangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya terpentang lebar. Tante Bulan berdiri di ambangnya. Garang dan angkuh. Melipat tangan di depan dadanya. Tak ada sedikitpun berkas keramahan yang tertinggal di wajah itu.
“Kemasi barang-barangmu. Pagi ini juga kau keluar dari rumah ini. lekas!” Dingin. Tanpa basa-basi. Tanpa ucapan selamat pagi seperti biasa.
Tira termangu. Butir-butir air matanya berjatuhan namun segera di hapusnya. Tante Bulan yang di kenalnya sangat ramah dan menyayanginya, mengapa bisa begitu cepat berubah? Ia tak pernah meminta untuk di timpakan kesalahan. Ia tidak pernah berharap terlibat dalam cerita terlarang itu, lantas mengapa harus ia yang menuai getahnya? Ah, benar. Tidak ada yang sanggup membuang dirinya dari kejaran masa lalu. Kecuali menghadapinya, tak ada pilihan yang lebih menguntungkan selain itu. Tira memandang punggung Tante Bulan hingga menghilang dari kamarnya.
Ia menutup mulutnya menahan isakan yang hampir terpekik. Tidak boleh menangis Tira. Tidak boleh, bujuknya pada hatinya sendiri.
Seketika wajah Arin melintas lama di pelupuk matanya. Bagaimana dengan Arin? Bagaimana ia menceritakan berita buruk ini?
“Ra,” panggilan lirih itu memalingkan wajahnya.
Arin berdiri di ambang pintu. Bersimbah air mata.
“Katakan kalau semua yang kudengar ini tidak benar. Kamu tidak akan benar-benar pergi, kan? Jangan pergi, mungkin Bunda hanya kesal sesaat besok-besok akan baik lagi. Kamu bilang semalam semuanya akan baik-baik saja. Tira tidak boleh pergi.” Arin menangis dengan suara keras. Stelan baju tidurnya masih lengkap. Entah dari siapa ia mendengar tentang kepergian Tira. Ini sudah cukup makin memuramkan hatinya. Tira menggeleng pasrah. Jebol sudah. Air matanya menggenang. Tangisnya pecah. Tak menyisakan sedikitpun ketegaran yang ia tunjukan semalam pada Arin. Aih, ini benar-benar bukan perkara gampang.
“Maafkan aku, Rin…” isaknya tanpa bergerak dari pinggiran ranjangnya. Persendiannya seolah membeku.
Dan Tira harus tetap berkemas.
Tira menggigit bibirnya kuat-kuat.
=oOo=
Amadiora, sebuah negeri yang jauh. Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi aku akan ke sana. Ingin segera ku lihat burung-burung bersayap perak itu. Mungkin saja mereka bisa membantuku membawa pergi duka ini. Aha, bukankah di Amadiora tak akan pernah ada kesedihan? Amadiora.
Tira memasukkan baju terakhirnya ke dalam koper besar. Sedari tadi Arin mengamatinya dari pinggiran ranjang. Hari ini ia mangkir sekolah. Mendiamkan Ibunya. Enggan menyentuh sarapan pagi. Betah menetap di kamar Tira.
“Kamu akan pergi kemana?” tanyanya pelan.
Tira mengumpulkan buku-bukunya di atas meja belajar, memasukan ke dalam kardus.
“Ke tempat yang jauh tentunya. Tante Bulan mengharapkanku agar tidak kembali lagi. Sudah seharusnya aku menghilang bukan?” sahut Tira. Suaranya ganjil. Sudah kadung runyam begini, bersikeras mengatakan ini akan baik-baik saja sama sekali bukan jalan yang melapangkan. Bila saja ia diberi kesempatan sekali saja untuk mengeluarkan sesak di dalam dadanya, ingin rasanya ia berteriak sekeras-kerasnya sampai suaranya serak. Tira tidak bisa berpura-pura sok kuat lagi.
“Kemana?” desak Arin.
“Aku tidak bisa memberitahumu.”
“Mengapa? Apa salahnya aku tahu? Apakah kamu akan sampai sejahat itu padaku? seenaknya pergi dan merahasiakan kemana kamu akan pergi, begitu? Lantas apa bedanya Bunda denganmu? Kalian sama saja, egois dan mementingkan diri sendiri!” kecam Arin tegas. Air mukanya berubah keras.
“Kasihan Tante Bulan, Rin. Dia yang lebih tersiksa. Ini bukan hanya persoalan egois atau bukan, kehadiranku di rumah ini hanya akan menjalarkan api dan membakar semuanya tanpa sisa.” ucap Tira. Ia seolah tak mengenali suaranya sendiri.
“Karena kamu anak haram Papa dari wanita lain, karena Bunda merasa dikhianati selama bertahun-tahun telah memelihara kebusukan dari Papa, karena sakit hati Bunda, haruskah dengan mengusirmu lantas keadaan akan membaik? Nggak adil Ra! Selama ini Bunda rajin mengingatkan kita tentang kelembutan hati, tentang kebaikan, mengapa sekarang Bunda justeru sama sekali tidak bisa menerapkan semua itu?? Mengapa??” teriak arin histeris. Membayang luka di matanya yang basah.
Tira menghentikan gerak tangannya yang mencoba memasukan sehelai bajunya ke dalam renselnya.
“Sampai kapanpun, sampai dunia jungkir balik, kamu tetap Kakakku! Bunda tidak berhak merampasmu dariku. Aku menyayangimu, Ra… jangan pergi… Tolong jangan pergi, demi aku….”
Tira berdiri kaku. Setengah menggigil.
“Jangan mengatakan apapun lagi! Kumohon, Rin,” ucapnya penuh tekanan.
“Jangan pergi, Ra.” Arin memelas. Menggenggam erat lengan Tira.
Tira memeluk Arin. Mereka telah terbiasa hidup berdampingan. Tira sudah menganggap Arin sebagai Adiknya meskipun ketika umur 5 tahun ia dibawa Om Prast ke rumah itu sebagai anak yatim-piatu. Tak ber-ayah tak ber-ibu. Seiring berjalannya waktu, ikatan persaudaraan itu makin tak bisa terlerai hingga kenyataan itu pada akhirnya terungkap jelas dan gamblang. Menghamparkan luka tanpa pilih. Arin, Om Prast, Tante Bulan dan dirinya. Semuanya terluka. Entah dari mana Tante bulan menemukan fakta mengejutkan itu. Tira Pratiwi yang telah ia anggap anak sendiri ternyata adalah anak dari mantan sekretarisnya dan suaminya. Noktah paling gelap. Hati siapa yang tak terluka? Tante Bulan merasa ditipu mentah-mentah. Prahara itu pula yang mengusir Tira dari ketenangan di rumah itu.
Dan di sepotong kisah ini, Tira tak punya andil untuk memilih. Takdirnya jelas. Ia berasal dari sebuah tempat yang gelap dan kesana pula ia akan berakhir.
“Dengar,” Tira menghapus titik bening yang menuruni lereng pipinya, “Aku memang pergi, tapi kita pasti akan bertemu suatu saat nanti. Jangan terlalu bersedih. Kakakmu yang cantik ini tidak mungkin melupakanmu, kamu harus percaya ini.” Ia memaksa menerbitkan senyum meski air matanya masih terus mengalir.
Arin tersedu. Pelukannya mengerat. Ia benci perpisahan!
Seperti dugaan Tira, Tante Bulan sama sekali tak menaruh hati atas kepergiannya. Wanita paruh baya itu tak bergeming sama sekali sampai Tira keluar dari pintu rumah. Kebencian sudah menggelapkan segala kebaikan yang pernah terjalin dulu. Tiba diluar pagar, sekali lagi ia memandang penuh rindu keseluruhan bangunan serba putih itu.
 Hidupku selesai di sini., bisiknya lirih.
 Tira mencengkeram kuat-kuat ujung bajunya. Menahan isakan yang nyaris pecah.
“Ya Allah…”
Ia melangkah gontai. Pergi.
Amadiora…
=oOo=
“Arin, ini Tira. Mulai hari ini dia akan menjadi saudaramu. Ayo anak-anak! Tunjukan pada Papa bahwa kalian bisa menjadi saudara yang baik…”
Arin menyusut air matanya.
Ya allah, aku merindukannya
Sepekan setelah kepergian Tira. Semuanya menjadi terasa lain. Seperti ada yang hilang. Benar. Memang ada yang hilang. Keceriaan itu.  Suasana rumah tak seramah biasanya. Mendadak semua orang menjadi kehilangan selera berbicara. Papa dan Bunda. Hebatnya lagi, Tira menghilang bak ditelan lumpur hidup. Perlahan dan tak berbekas. Nomor ponselnya sudah tidak aktif. Arin berulang kali bolak-balik ke jurusan dan ruang perkuliahan Tira. Nihil.
Minggu. Menjelang sore. Matahari memetamorfosakan warnanya dari keperakan ke warna jingga keemasan. Larik cahayanya jatuh menimpa deretan pepohonan perdu di halaman rumah. Dan selalunya bila kerinduan itu mengusiknya, pelarian Arin cuma satu : kamar Tira.
Arin mengurung diri di ruangan serba hijau itu. Ia tak henti-hentinya membolak-balik kenangan bersama Tira. Otaknya refleks memutar file film tentang mereka. Pertemuan pertama mereka. Mengingat betapa lucunya ketika Papa mengenalkan padanya gadis kecil berambut merah dan mengenakan sweater abu-abu berpuluh tahun silam. Bagaimana perikaian mereka pada malam-malam selanjutnya ketika harus berbagi kamar karena saat itu Papa belum menyiapkan kamar untuk penghuni baru, si rambut merah. Bagaimana Tira yang selalu berusaha menjadi kawan terbaiknya, kakak perempuan satu-satunya bagi dirinya. Tira tak pernah tidak memberinya seulas senyum entah dalam kondisi apapun itu. Tira orang yang pertama mengendus bakat fotografi Arin (bahkan Arin sendiri tak begitu yakin ia bisa). Sebegitu parahnya kah masa lalu memporak-porandakan semuanya dengan sekali libas? Kecuali getir, adakah yang tersisa? Arin merindukan Tira. Merindukan bincang-bincang mereka tentang bintang. Tentang korelasi mimpi dan waktu yang sering mereka perbincangkan di atas balkon kamar Arin. Tira selalu bilang, waktu adalah si penjawab yang paling sederhana. Makanya Arin selalu berusaha menghargai setiap menit yang terlewati.
“Kalau kamu selalu terlambat dalam semua hal, lihat saja nanti. Semuanya, apapun yang kau usahakan. Mereka akan selalu terlambat mendatangimu.”
Tak ada penyindir yang lebih bijak dari Tira.
Dan Tira bukanlah orang yang percaya pada ramalan. Tentang kemunculan zodiak ketiga belas yang diyakini Tira sebagai bukti bahwa ramal-meramal bulan kelahiran lewat media apapun itu adalah tindakan pembodohan yang cukup cemerlang untuk mengantarkan seseorang pada ketergantungannya terhadap terawangan nasib yang pada akhirnya mendekatkannya pada satu sikap : syirik!
“Lumayan kan, dapat tiket bebas test ke neraka!”
Dan setelah khotbah panjang, Tira berhasil memaksa Arin untuk menghentikan kebiasaannya berburu edisi paling update majalah remaja langganannya setiap masuk bulan baru.
“Jika niatmu membeli majalah-majalah itu hanya karena zodiak atau apalah namanya itu, kusarankan lebih baik kamu sumbangkan saja uang untuk membeli majalah itu ke panti sosial. Sampai kamu ubanan, nasibmu tidak akan berubah lebih baik kalau hanya melototi gambar kambing yang lagi main panah-panahan itu. Lagian mana ada sih kambing yang bisa panahan?”
Kala itu Arin hanya bisa memanyunkan bibirnya. Melempari Tira dengan bantalan kursi.
Arin menutup mulutnya. Bahunya berguncang hebat. Ia bahkan belum cukup siap untuk kehilangan Tira. Ia masih bernapas dalam ruang kenangan yang ditinggalkan Tira tanpa sengaja.
“Kamu dimana, Ra?”
=oOo=
“Ra?”
Kamila tertegun di depan pintu yang terpentang lebar. Ada Tira. Koper besar dan ransel besar. Tira Basah kuyup oleh hujan yang turun deras sejak lepas magrib tadi. Untunglah Bumi sedang tidak berada di sini, sudah seminggu ia hiking bersama anak-anak penggiat alam kampusnya.
“Kamila, aku membutuhkan bantuanmu,” ucap Tira sambil menghambur ke dalam pelukan Tira. Air matanya kembali tumpah mengikuti ritme hujan di luar. Tubuhnya menggigil kedinginan.
Kamila yang masih belum mengerti apa yang sedang menimpa Tira segera membawa Tira masuk. Tira terlihat shock. Sejak kemarin Kamila memang kesulitan menghubungi Tira. Tidak masuknya Tira kuliah membuatnya khawatir. Tidak biasanya Tira tidak mengabarinya kalau sedang berhalangan masuk sekolah. Apalagi Arin adik Tira juga tidak kelihatan.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Kamila setelah gadis itu merasa Tira sudah cukup tenang. Tira sudah menukar bajunya. Wajah sendunya belum menghilang.
Kamila memberinya secangkir cokelat panas.
“Ini hal terburuk yang menimpaku sepanjang hidupku, La. Rasanya aku lebih baik memilih terjun ke laut daripada menghadapi situasi seperti sekarang. Aku tidak kuat lagi….”
“Ini bukan Tira yang aku kenal. Kamu bukan orang yang gampang bilang menyerah, Ra. Ceritakan padaku.”
Tira menyusut air bening yang menitik di pipinya.
“Aku diusir.”
Kamila menegakkan badan. “Apa?”
“Aku tidak punya siapa-siapa sekarang, lalu bagaimana aku bisa bertahan hidup?” Tira mencoba tertawa walau pada akhirnya ia kembali sesenggukan. Lihatlah, ia merasa beban ini terlampau berat baginya. Kepada siapa ia melarikan dukanya? Melarikan luka hatinya? Ya Allah….
=oOo=
“Tinggalah di sini, Ra. Aku bisa berbagi kamar denganmu,” bujuk Kamila bermaksud menahan keinginan sahabatnya itu untuk pergi. Diam-diam ia tahu Tira terjaga semalaman. Tidak tertidur. Siapa yang bisa tertidur pulas setelah mengalami masa sulit macam itu? Ia sendiri tak cukup yakin bisa bertahan semalam saja jika berada di posisi Tira. Ah, Tira sayang…. Tira yang selalu tersenyum, Tira yang selalu bersemangat, Tira yang penyayang, Tira yang memiliki banyak mimpi dan harapan di masa depan, Tira yang… Kamila berusaha menyembunyikan air matanya. Siapa yang bisa meramalkan kapan duka menghampiri kita? Rasanya tidak ada. Yang perlu kita lakukan adalah menyiapkan ketegaran berlebih agar ketika terjatuh perih, hati tak akan terlampau sakit. Tapi, adakah manusia yang siap menjamu duka dan luka dengan senyum sempurna? Kamila hanya bisa menahan napas kaget demi mendengar cerita Tira. Benar, ini ibarat mimpi.
Pagi-pagi sekali Tira sudah berkemas. Ia menolak ajakan Kamila untuk tetap tinggal.
“Kamu mau kemana? Kamu punya tempat untuk dituju?” tanya Kamila lagi.
“Aku tidak ingin merepotkanmu. Kamar kost ini sudah cukup sempit untukmu dan Bumi. Bagaimana ceritanya aku mau ikutan menumpang di sini? Mau kamu kemanakan abangmu itu?” Tira mengulum senyum.
“Aku bisa minta Bumi tinggal sementara di kamar temannya, paling tidak sampai kamu menemukan tempat tinggal,” sela Kamila.
“Tidak, La.” Tira menggeleng.
 Kamila menatapnya masygul.
Kamu tidak pernah berniat merepotkan orang lain, Ra. Kenapa kamu harus mengalami masalah sepelik ini? Ah, mungkin karena Allah sangat menyayangimu. Teramat sayang pada dirimu.
Pukul 8 pagi Tira berpamitan. Dipeluknya Kamila erat.
“Aku bakalan merindukanmu, La. Jangan melupakanku ya?”
“Kamu ngomong apa sih? Kamu seperti orang yang akan pergi jauh saja, Pastikan kamu baik-baik saja, Ra. Aku menunggu kabarmu. Jangan lupa menghubungiku dan kembalilah ke kampus,” sergah Kamila.
Aku memang akan pergi jauh. Sangat jauh. Tempat yang tak akan ditemukan siapapun.
Tira tersenyum.
Tira menyempatkan mengunjungi rumahnya. Menatap di kejauhan. Ia tak melihat Arin. Padahal biasanya jika tak ada kegiatan di luar, pada jam-jam seperti ini Arin senang menghabiskan waktu di atas balkon kamarnya, menjepretkan kameranya ke sana kemari. Kemana adik tersayangnya itu?
Tira menunduk. Selamat tinggal, Rin. Aku pamit ya…. Titip Papa dan Tante Bulan.


D A M A I

terima kasih telah mengantarku sampai sejauh ini

terima kasih atas ketabahan dan kesabaranmu menampung `ketololanku` dengan pelukan hangatmu

terima kasih

terima kasih

terima kasih

selain kata ini

aku tak punya cadangan kata yang lebih agung dan mesra

terlebih kata-kalimat-paragraf yang sedianya bisa membuatmu menangis terharu

aku,

ah... kau tahu siapa aku...

**

Surat Untuk Pemantik Dawai

jendela-jedelaku belum usai mengantar cerita tentangmu

tak peduli malam yang beringsut diam

atau siang yang demikian terik di musim abu-abu ini

bola-bola waktu sigap menuliskan riwayatmu di hatiku



ini belum usai, nak...

ucapmu sembari menerawang

jauh menembus dedaunan jambu air yang menjuntai nakal di bawah atap dapur rumah panggung kita



***

dan,

akan selalu kutemui denting-denting indah di keremangan wajahmu, Ibu

ada duka

luka

indah

jelaga

hening

pias

bangga

hujan rintik-rintik yang belum pernah usai sejak silam merebut segalanya

seribu kilat, yang entah apakah itu tak kutahu jelas

sebab,

akulah yang harus mencari matahari untuk hujan itu

agar pelangi beramai-ramai bertandang ke hatimu



*untuk Ibuku

cinta yang damai, menguatkan meski berupa-rupa biru mengerubuti

ini rahasia kita

Jumat, 03 Desember 2010

cerpen (penghuni perdana rumahku)

ADELIA
OLEH : SENJA BENING
“dasar anak tidak berguna! Selalunya menyusahkan orang tua, bikin malu keluarga! Mau jadi apa kamu dengan kelakuan Bengal begini hah???”
Aku yang sudah setengah tertidur kembali terjaga penuh mendengar keributan diluar kamarku. Itu suara ayah. Refleks mataku menatap jam dinding kamarku, pukul satu lewat beberapa menit. Mengapa ayah rebut-ribut ditengah malam buta begini? Aku lekas bangun, merapikan rambutku lalu beranjak keluar kamar. Sekilas kulihat ranjang adelia, adikku satu-satunya masih kosong. Kemana anak itu? Jangan-jangan,,.
Belum sempat tanganku menyentuh gagang pintu, pintu kamarku berderit terbuka. Adelia masuk tergesa-gesa. Ia masih mengenakan rok seragam abu-abunya.
“eh, kakak. Belum tidur kak?” raut wajah adelia menunjukan kekagetan melihatku berdiri tegak di samping pintu yang terkuak lebar.
 Sayup-sayup telingaku mendengar suara bernada marah ayah.
“anak perempuan kok kelakuannya begitu?? Tidak tahu aturan, edan!”
“pulang malam lagi del? Habis kelayapan kemana jam segini baru pulang?” cecarku tak mengindahkan pertanyaannya. Ia mendahuluiku, meletakkan tas ranselnya diatas meja lalu merebahkan tubuhnya diranjang.
“nggak perlu masang tampang sekhawatir gitu kali kak, aku nggak kelayapan kemana-mana kok,,”
“apa namanya pulang selarut ini kalo nggak kelayapan?” tukasku seraya  menghenyakkan tubuhku disisi ranjangnya.
“udah deh kak, lama-lama adel merasa kakak lebih mirip ayah, marah-marah nggak jelas. Harus negasin berapa kali sih kalo aku tuh nggak ngelakuin hal-hal bodoh, tenang aja,” cetusnya gusar.
“tapi kamu perempuan del, nggak baik keluyuran sampai tengah malam. Apa kata tetangga nanti?”
“peduli amat sama tetangga! Mereka bisanya Cuma mengritik, ngegosip seenaknya,”
“tetap saja kamu salah del, tindakanmu nggak bisa dibenarkan, kamu udah berulang kali kakak peringatkan dan berulang kali diacuhin,  apa kamu nggak capek bersitegang terus sama ayah?”
“sshhh, kakak berisik tau nggak !, aku capek, mau tidur! Kalo kakak masih pengen ceramah simpan buat stok besok aja,” sahut adelia sambil menarik kasar selimutnya. Kembali aku hanya bisa menarik napas panjang melihat sikap adelia kali ini.
Sudah berulang kali aku menasihati agar menghentikan kebiasaan buruknya sering pulang malam. Namun sesering ku nasehati sesering pula aku harus mengelus dada menerima tanggapannya, cuek.  
Sore ini kulihat ayah mondar-mandir diteras. Wajahnya Nampak tak sabaran. Aku baru pulang setelah mengikut les tambahan untuk persiapan ujian beberapa bulan lagi.
“mana adikmu?” cegat ayah saat melihat kepulanganku.
“adel belum pulang?” tanyaku kaget. Anak itu,,,
“adikmu itu benar-benar harus diberi pelajaran,” gumam ayah menahan amarah yang sudah sekian lama ditampungnya demi melihat kelakuan adel.
“hubungi dia, suruh cepat pulang,” ucap ayah kemudian sembari berlalu kedalam rumah.
Berkali-kali kuhubungi ponsel adelia namun berkali-kali pula suara bening mbak operator mengabariku nomor adelia diluar area. Hingga malam beranjak ia belum terlihat. Bunda gelisah, apalagi aku. Sejak ba`da isya ayah sudah menanti diteras. Firasatku mengabarkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Kemarahan ayah ibarat bom waktu, tinggal menunggu timing puncak untuk meledak. Dan kurasa tak lama lagi bom itu akan meledak. Sebentar lagi.
Sekali lagi kucoba menghubungi ponsel adelia. Aku terlonjak. Aktiv.
“halo,” suara cowok.
Tak urung kegelisahanku memuncak.
“ini benar nomor adelia?” tanyaku memastikan, mungkin saja aku keliru menekan nomor.
“oh, adelia? Bentar ya gue panggilin. Woy, del ada yang nyariin lo nih,”
Jeda sejenak, ada sedikit keributan. Lalu kudengar suara adel. Panik.
“ada apa kak?”
“kamu lagi dimana del? Cepetan pulang, ayah udah nungguin kamu dari tadi. Takutnya ayah marah besar,”
“aduh, adel nggak bisa pulang sekarang, lagi nanggung nih, ntar aja deh, bilang sama ayah nggak usah takut, adel nggak pa-pa kok, ok kak?” adelia terkesan terburu-buru.
“tapi del, ayah,”
Klik. Adel mematikan ponselnya sepihak. Memutuskan kalimatku.
“bagaimana? Adel dimana? Kamu udah suruh dia pulang? Fila?” bunda menegurku. Aku menatap bunda setengah menerawang.
“adel,,” aku tercekat.
“dimana anak setan itu?” tahu-tahu ayah muncul. Mengagetkanku dan bunda. Ada kilat kemarahan dimata ayah, aku sangat paham posisi ayah sebagai kepala keluarga yang harus bertanggung jawab atas anak-istrinya terlebih mengingat kondisi keluarga kami sekarang yang sedang dilanda masalah keuangan.
Perusahaan tempat ayah bekerja mengalami paceklik sehingga harus merumahkan sebagian besar karyawannya, ayah masuk dalam daftar panjang karyawan yang dirumahkan, kata lainnya PHK. Hari-hari belakangan ini emosi ayah gampang tersulut meskipun dengan hal-hal sepele. Kasak-kusuk tetangga yang mempergunjingkan adelia adalah api yang memantik kebakaran amarah ayah. Aku benar-benar khawatir.
Jarum jam dinding telah menunjukan pukul setengah satu malam. Aku masih terjaga dikamarku. Adelia tak juga kunjung pulang.
“dari mana saja kamu??”
Gelegar suara ayah merobek keheningan malam. Aku mengejar keruang tengah, bunda pun melakukan hal yang sama. Disana kulihat Adelia berdiri mematung dengan seragam lengkapnya. Wajahnya terlihat lelah.
“kenapa diam? Ayo jawab dari mana saja kamu?” cetus ayah setengah membentak.
Adelia mendongak, menatap ayah dengan sikap menantang.
“untuk apa adel jawab, toh apapun jawaban yang adel kasih ayah tetap akan marah kan?” sahut adelia setenang mungkin. Ayah muntab.
“apa kamu bilang? Dasar anak tidak tahu aturan, anak perempuan macam apa kamu ini, kelayapan seenak jidat, ayah malu punya anak sepertimu!, kenapa kamu tidak bisa mencontohi kakakmu, dia tidak pernah membuat ayah marah, ”
Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi.
“dari dulu ayah memang nggak pernah bangga punya anak sepertiku,” ucap adelia, ia tersenyum miris. Aku seperti tersengat listrik mendengar ucapan adelia.
“kamu?” ayah melotot
“memang benar kan yah? Anak ayah hanya satu, kak fila. Sementara aku nggak pernah ayah anggap ada. Ayah selalu memuji kak fila, karena kakak pintar, patuh, nggak pernah menyusahkan. Lalu aku? Apa pernah sekalipun ayah bangga padaku? Dimata ayah aku ini manusia tembus pandang, hanya beban saja,,, bukan begitu yah?” suara adelia basah. 
Rahang ayah mengeras.
“kamu ini, sudah salah masih juga cari pembelaan!”
“pembelaan atau kenyataan sama saja, ayah baru peduli padaku jika aku membuat keluarga ini malu, tapi nggak masalah, seenggaknya marah karena masih menganggapku bagian dari keluarga ini,”
Plaak!
Tamparan keras mengantam pipi kanan adelia. telak. Adelia bergeming. Aku terlengak kaget. Bunda menangis sambil menghambur memeluk adelia.
“ayah udah,” bujuk bunda.
Sekilas kutangkap tatapan adelia. Aneh, tak ada bias kemarahan disana.
“jangan membela anak tidak tahu diuntung itu, biar dia tahu cara menghormati orang tua, minggir!” ayah melerai bunda, melewatiku yang berusaha menghentikan niat ayah melakukan tindakan lebih jauh lagi. Bunda bersikeras memeluk adelia. Aku tak tahu mengapa aku harus menangis, namun melihat paras adelia membuatku takluk. Tak kutemui bekas kekerasan hatinya seperti yang selama ini ia tampakan padaku, yang tersisa kemudian adalah kelelahan batin yang sekian lama dipendamnya. Aku tersadar, Betapa aku terlalu mengacuhkannya.
“ayah mau memukulku? Silahkan kalau itu bisa membuat ayah senang,” tantang adelia.
“cukup nak, sudah cukup, jangan ribut-ribut lagi,”
“nggak bunda, ayah nggak akan puas kalau nggak berhasil membuat adel babak belur, iya kan yah? Ayo pukul adel, jangan tanggung-tanggung!”
Ayah kalap. dijangkaunya pemukul baseball yang sudah ia persiapkan di atas meja. Bunda berusaha menjadi tameng bagi adelia namun disuatu kesempatan adelia mendorong bunda kebelakang hingga pelukan beliau terlepas, berkali-kali pemukul baseball menghantam tubuh adelia. Ayah benar-benar sudah gelap mata hingga tak menghiraukan tangis kesakitan adelia.
“ayah cukup!” aku histeris, tak sanggup melihat tubuh kecil adelia menjadi bulan-bulanan pukulan ayah. Sudut bibirnya, bekas tamparan ayah mengeluarkan darah.
 Dengan sekuat tenaga kutarik tangan adelia menjauh dari jangkauan ayah, malang saat hendak menghindar dari hantaman baseball yang mengarah kepalanya, adelia terjerembab jatuh, kepalanya menghantam pinggiran meja. Ia terkulai tak bergerak. Pingsan. Aku terpaku.
Bunda menjerit panik. Ayah terhenyak sadar. Beliau terduduk lemas.
Sudah dua hari adelia terbaring pingsan dirumah sakit. Tubuhnya dipenuhi memar. Aku dan bunda menungguinya secara bergantian. Dan ayah? Sejak kejadian malam itu, ayah tak banyak bicara. Namun aku tahu pasti, ayah menyesali tindakannya terhadap adelia, itu terlihat dari usaha ayah memperoleh pengobatan maksimal untuk kesembuhan adelia. Dokter menyimpulkan ada lebam di tengkorak kepala adelia, tidak parah. Namun yang lebih mengagetkan kami adalah keterangan dokter selanjutnya yang mengatakan adelia mengalami kelelahan batin dan fisik.
Ada kemungkinan kelelahan itu disebabkan karena adelia terlalu memforsir tenaganya untuk bekerja.
Kupandangi tubuh adelia yang terbaring lemah diranjang perawatan. Kepalanya dibalut perban. Matanya tertutup rapat. Pahatan wajahnya menyiratkan kekerasan hati yang diwarisinya dari ayah telah berhasil mengelabui kami. Aku, bunda dan ayah. Apa sebenarnya yang kamu kerjakan diluar sana del?
Pagi ini kutemukan buku harian adelia di antara tumpukan buku-buku pelajarannya. Aku tergoda untuk membacanya. Betapa terkejutnya aku ketika kubaca catatan-catatan hariannya. Aku tak kuasa menahan haru yang seketika menyeruak.
23 agustus 2007,,
Aku dan kak fila, apa bedanya? Bukankah kami sama-sama anak sah ayah bunda? Lantas mengapa ayah begitu perhatian padanya dan mengacuhkanku? Apa salahku?,,,
Sekecil apapun kesalahan yang kulakukan ayah selalu memarahiku, tetapi jika kak fila yang berbuat ayah tidak pernah menyalahkannya. Mengapa selalu aku yang mengecap pahit sikap keras ayah? Tak bisakah sekali saja ayah memperlakukanku istimewa? Sekali saja,,,
Mataku mengkristal. Kubuka halaman berikutnya.
30 november 2007
Kak fila ulang tahun. Ayah menghadiahkan ponsel keluaran terbaru, akh,, lagi-lagi ayah berlaku tak adil padaku,, saat aku berulang tahun tak pernah sekali saja ayah menghadiahiku sesuatu, pun ucapan selamat. Kenapa ayah jahat padaku?
Aku tidak pernah menyadari bahwa selama ini adelia, adikku satu-satunya menyimpan iri atas perhatian ayah padaku. Ya tuhan, kakak macam apa aku ini. Dibalik sikap cueknya adelia memendam sakit hati mendalam. Tak bisa kumaafkan diriku atas ini. Sedari dulu ayah dan adelia memang tak pernah akur, mungkin karena sama-sama keras kepala sehingga yang selalu terjadi kemudian adalah perselisihan tanpa jalan keluar yang bermuara pada ketidak cocokkan. Mereka tak pernah sepaham.
Kuusap air mataku.
5 maret  2009
 Ayah kena PHK,, ya tuhan, apa yang harus kulakukan untuk membantu ayah? Ayah kurusan sekarang. Mungkin ia kebingungan memikirkan bagaimana hidup kami selanjutnya. Jika sampai tak dapat pekerjaan kembali, bagaimana ayah bisa membiayai sekolah kami? Sebentar lagi kakak ujian akhir dan kuliah. Dari mana ayah mendapatkan uang untuk membiayai semua itu? Aku tak masalah walau Cuma tamat SMA, tapi kak fila? Dia pintar tak sepertiku, yang hanya mampu mempersembahkan deretan angka merah buat ayah, kak fila kebanggaan ayah, kebanggaan kami,,.  kakak harus tetap melanjutkan sekolah, dia harus mengejar cita-citanya menjadi sutradara hebat, tapi bagaimana caraku membantunya? Tuhan tolong kami,,
7 april 2009
Akhirnya,,, aku diterima kerja. Alhamdulillah,, terima kasih ya allah. Meskipun harus forsir sampe tengah malam, nggak pa-pa. asal dapat duit halal, itu yang penting kata ayah.
Aku terisak. Kutatap tubuh lemah adelia. Adikku,,,
25 april 2009.
Ayah marah-marah karena aku keseringan pulang malam, bagaimana ini? Aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada ayah tentang pekerjaanku di Pom bensin, apa kata ayah nanti, sudah pasti marah besar.bunda dan kakak juga memarahiku. Ya allah, semoga inilah yang terbaik,,,.
Sebegitu besarnya perhatian adelia padaku, pada kami semua. sedangkan aku? Berkali-kali menyalahkannya tanpa sekali saja menyelami sudut terdalam hati putihnya. Betapa aku ingin memeluk adik terbaikku seluruh dunia ini, meskipun ayah kerap menganak tirikannya, ia tak sedikitpun menaruh dendam padaku apalagi sampai membenciku. Hanya sebatas iri saja, malah jauh dilubuk hatinya ia selalu mendoakan yang terbaik untukku. Air mataku membanjir.
 Lekaslah bangun del, terlalu banyak sesal dan maaf yang harus aku, bunda dan ayah tebus.
“mengapa kakak menangis?” suara lemah itu menyadarkanku.
Aku mendongak.
Adel?

tik! tok!

assalamu alaikum... whoaaaa... rumah baruku udah jadi. kudu ngadain syukuran nih. berarti harus ada undangan dunkz. sepi. masih sepi.