HELAI SATU
Tentang Luka
Amadiora adalah sebuah negeri yang indah. Di sana hanya ada kebahagiaan. Jika kau sudah ke sana maka kau akan enggan kembali ke tempatmu bermula. Kau akan dibuat terpesona oleh keelokan tempat itu. Sungai-sungai bening mengalir seolah tak bermuara. Pepohonan dan bunga-bunga bermekaran tak kenal musim. Celoteh burung-burung bersayap perak. Angsa-angsa putih. Langit yang senantiasa membiru hangat. Dan bila malam tiba, gemintang di angkasa berlomba membentuk formasi manis. Kerlip yang tak pernah habis. Amadiora, negeri yang damai. Kelak, aku akan pergi ke sana.
***
“Kenapa kamu menangis?”
“Tidak, aku tidak menangis...”
“Kamu baik-baik saja, kan?”
“Tentu saja.”
Hening kemudian. Bukit Amarilis malam hari. Di kejauhan Nampak keramaian lelampu kota. Cantik. dan di bagian selatan terlihat lampu-lampu kapal para nelayan. Di atas batok kepala mereka, gemintang berparade indah. Galaksi Bima Sakti meriah. Jika pada hari-hari sebelumnya, mereka datang ke bukit itu untuk melihat rasi bintang, berbincang tentang apa saja yang telah mereka lewati hari itu. Malam ini terasa jauh berbeda. Mereka ke bukit amarilis bersama sebongkah luka dan kekalutan pada hati masing-masing. Luka yang serupa.
Arin mencabuti rumput-rumput kering dan sesekali mendesah galau. Di sampingnya, Tira tak putus-putusnya berceloteh riang. Sebuah pemandangan yang kontras. Dua wajah, dua suasana. Kembali, cairan Kristal meluncur di pipi pucat Arin. Kali ini ia sampai terisak dalam. Tira menoleh. Menatap Arin teduh. Tersenyum walau sorot matanya menyiratkan aroma lain.
“Apakah semua akan baik-baik saja, Ra?” Lirih sekali suara Arin.
Angin mendesau dingin.
“Pasti, tidak akan terjadi apa-apa. saat bangun esok hari, aku yakin keadaan akan kembali seperti sediakala. Aku, kamu, Om Prast dan Tante Bulan. Kita semua akan baik-baik saja. Percayalah padaku, Rin,” sahut Tira pelan.
Ia menjangkau bahu Arin. Memeluknya erat. Seolah ingin menyiratkan ketegaran lewat pelukan hangatnya. Bila saja Arin sanggup melihat raut wajah Tira ketika memeluknya, bila saja Arin tahu gemerincing kekalutan yang ramai di balik dada Tira, Arin akan tahu betapa tak tegarnya Tira malam ini. Demi melihat kesedihan yang menggantung di paras Arin lah hingga gadis itu lebih memilih mengungsikan tangisnya jauh-jauh. Ia tidak boleh bersedih. Siapa lagi yang akan menguatkan Arin kalau bukan dia? Meskipun pada kenyataannya dialah yang lebih membutuhkan dukungan. Tira mengeratkan pelukannya. Luka ini hanya untuknya.
=oOo=
Nyatanya, tak ada yang baik-baik saja pagi ini.
Tira belum sepenuhnya terbangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya terpentang lebar. Tante Bulan berdiri di ambangnya. Garang dan angkuh. Melipat tangan di depan dadanya. Tak ada sedikitpun berkas keramahan yang tertinggal di wajah itu.
“Kemasi barang-barangmu. Pagi ini juga kau keluar dari rumah ini. lekas!” Dingin. Tanpa basa-basi. Tanpa ucapan selamat pagi seperti biasa.
Tira termangu. Butir-butir air matanya berjatuhan namun segera di hapusnya. Tante Bulan yang di kenalnya sangat ramah dan menyayanginya, mengapa bisa begitu cepat berubah? Ia tak pernah meminta untuk di timpakan kesalahan. Ia tidak pernah berharap terlibat dalam cerita terlarang itu, lantas mengapa harus ia yang menuai getahnya? Ah, benar. Tidak ada yang sanggup membuang dirinya dari kejaran masa lalu. Kecuali menghadapinya, tak ada pilihan yang lebih menguntungkan selain itu. Tira memandang punggung Tante Bulan hingga menghilang dari kamarnya.
Ia menutup mulutnya menahan isakan yang hampir terpekik. Tidak boleh menangis Tira. Tidak boleh, bujuknya pada hatinya sendiri.
Seketika wajah Arin melintas lama di pelupuk matanya. Bagaimana dengan Arin? Bagaimana ia menceritakan berita buruk ini?
“Ra,” panggilan lirih itu memalingkan wajahnya.
Arin berdiri di ambang pintu. Bersimbah air mata.
“Katakan kalau semua yang kudengar ini tidak benar. Kamu tidak akan benar-benar pergi, kan? Jangan pergi, mungkin Bunda hanya kesal sesaat besok-besok akan baik lagi. Kamu bilang semalam semuanya akan baik-baik saja. Tira tidak boleh pergi.” Arin menangis dengan suara keras. Stelan baju tidurnya masih lengkap. Entah dari siapa ia mendengar tentang kepergian Tira. Ini sudah cukup makin memuramkan hatinya. Tira menggeleng pasrah. Jebol sudah. Air matanya menggenang. Tangisnya pecah. Tak menyisakan sedikitpun ketegaran yang ia tunjukan semalam pada Arin. Aih, ini benar-benar bukan perkara gampang.
“Maafkan aku, Rin…” isaknya tanpa bergerak dari pinggiran ranjangnya. Persendiannya seolah membeku.
Dan Tira harus tetap berkemas.
Tira menggigit bibirnya kuat-kuat.
=oOo=
Amadiora, sebuah negeri yang jauh. Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi aku akan ke sana. Ingin segera ku lihat burung-burung bersayap perak itu. Mungkin saja mereka bisa membantuku membawa pergi duka ini. Aha, bukankah di Amadiora tak akan pernah ada kesedihan? Amadiora.
Tira memasukkan baju terakhirnya ke dalam koper besar. Sedari tadi Arin mengamatinya dari pinggiran ranjang. Hari ini ia mangkir sekolah. Mendiamkan Ibunya. Enggan menyentuh sarapan pagi. Betah menetap di kamar Tira.
“Kamu akan pergi kemana?” tanyanya pelan.
Tira mengumpulkan buku-bukunya di atas meja belajar, memasukan ke dalam kardus.
“Ke tempat yang jauh tentunya. Tante Bulan mengharapkanku agar tidak kembali lagi. Sudah seharusnya aku menghilang bukan?” sahut Tira. Suaranya ganjil. Sudah kadung runyam begini, bersikeras mengatakan ini akan baik-baik saja sama sekali bukan jalan yang melapangkan. Bila saja ia diberi kesempatan sekali saja untuk mengeluarkan sesak di dalam dadanya, ingin rasanya ia berteriak sekeras-kerasnya sampai suaranya serak. Tira tidak bisa berpura-pura sok kuat lagi.
“Kemana?” desak Arin.
“Aku tidak bisa memberitahumu.”
“Mengapa? Apa salahnya aku tahu? Apakah kamu akan sampai sejahat itu padaku? seenaknya pergi dan merahasiakan kemana kamu akan pergi, begitu? Lantas apa bedanya Bunda denganmu? Kalian sama saja, egois dan mementingkan diri sendiri!” kecam Arin tegas. Air mukanya berubah keras.
“Kasihan Tante Bulan, Rin. Dia yang lebih tersiksa. Ini bukan hanya persoalan egois atau bukan, kehadiranku di rumah ini hanya akan menjalarkan api dan membakar semuanya tanpa sisa.” ucap Tira. Ia seolah tak mengenali suaranya sendiri.
“Karena kamu anak haram Papa dari wanita lain, karena Bunda merasa dikhianati selama bertahun-tahun telah memelihara kebusukan dari Papa, karena sakit hati Bunda, haruskah dengan mengusirmu lantas keadaan akan membaik? Nggak adil Ra! Selama ini Bunda rajin mengingatkan kita tentang kelembutan hati, tentang kebaikan, mengapa sekarang Bunda justeru sama sekali tidak bisa menerapkan semua itu?? Mengapa??” teriak arin histeris. Membayang luka di matanya yang basah.
Tira menghentikan gerak tangannya yang mencoba memasukan sehelai bajunya ke dalam renselnya.
“Sampai kapanpun, sampai dunia jungkir balik, kamu tetap Kakakku! Bunda tidak berhak merampasmu dariku. Aku menyayangimu, Ra… jangan pergi… Tolong jangan pergi, demi aku….”
Tira berdiri kaku. Setengah menggigil.
“Jangan mengatakan apapun lagi! Kumohon, Rin,” ucapnya penuh tekanan.
“Jangan pergi, Ra.” Arin memelas. Menggenggam erat lengan Tira.
Tira memeluk Arin. Mereka telah terbiasa hidup berdampingan. Tira sudah menganggap Arin sebagai Adiknya meskipun ketika umur 5 tahun ia dibawa Om Prast ke rumah itu sebagai anak yatim-piatu. Tak ber-ayah tak ber-ibu. Seiring berjalannya waktu, ikatan persaudaraan itu makin tak bisa terlerai hingga kenyataan itu pada akhirnya terungkap jelas dan gamblang. Menghamparkan luka tanpa pilih. Arin, Om Prast, Tante Bulan dan dirinya. Semuanya terluka. Entah dari mana Tante bulan menemukan fakta mengejutkan itu. Tira Pratiwi yang telah ia anggap anak sendiri ternyata adalah anak dari mantan sekretarisnya dan suaminya. Noktah paling gelap. Hati siapa yang tak terluka? Tante Bulan merasa ditipu mentah-mentah. Prahara itu pula yang mengusir Tira dari ketenangan di rumah itu.
Dan di sepotong kisah ini, Tira tak punya andil untuk memilih. Takdirnya jelas. Ia berasal dari sebuah tempat yang gelap dan kesana pula ia akan berakhir.
“Dengar,” Tira menghapus titik bening yang menuruni lereng pipinya, “Aku memang pergi, tapi kita pasti akan bertemu suatu saat nanti. Jangan terlalu bersedih. Kakakmu yang cantik ini tidak mungkin melupakanmu, kamu harus percaya ini.” Ia memaksa menerbitkan senyum meski air matanya masih terus mengalir.
Arin tersedu. Pelukannya mengerat. Ia benci perpisahan!
Seperti dugaan Tira, Tante Bulan sama sekali tak menaruh hati atas kepergiannya. Wanita paruh baya itu tak bergeming sama sekali sampai Tira keluar dari pintu rumah. Kebencian sudah menggelapkan segala kebaikan yang pernah terjalin dulu. Tiba diluar pagar, sekali lagi ia memandang penuh rindu keseluruhan bangunan serba putih itu.
Hidupku selesai di sini., bisiknya lirih.
Tira mencengkeram kuat-kuat ujung bajunya. Menahan isakan yang nyaris pecah.
“Ya Allah…”
Ia melangkah gontai. Pergi.
Amadiora…
=oOo=
“Arin, ini Tira. Mulai hari ini dia akan menjadi saudaramu. Ayo anak-anak! Tunjukan pada Papa bahwa kalian bisa menjadi saudara yang baik…”
Arin menyusut air matanya.
Ya allah, aku merindukannya…
Sepekan setelah kepergian Tira. Semuanya menjadi terasa lain. Seperti ada yang hilang. Benar. Memang ada yang hilang. Keceriaan itu. Suasana rumah tak seramah biasanya. Mendadak semua orang menjadi kehilangan selera berbicara. Papa dan Bunda. Hebatnya lagi, Tira menghilang bak ditelan lumpur hidup. Perlahan dan tak berbekas. Nomor ponselnya sudah tidak aktif. Arin berulang kali bolak-balik ke jurusan dan ruang perkuliahan Tira. Nihil.
Minggu. Menjelang sore. Matahari memetamorfosakan warnanya dari keperakan ke warna jingga keemasan. Larik cahayanya jatuh menimpa deretan pepohonan perdu di halaman rumah. Dan selalunya bila kerinduan itu mengusiknya, pelarian Arin cuma satu : kamar Tira.
Arin mengurung diri di ruangan serba hijau itu. Ia tak henti-hentinya membolak-balik kenangan bersama Tira. Otaknya refleks memutar file film tentang mereka. Pertemuan pertama mereka. Mengingat betapa lucunya ketika Papa mengenalkan padanya gadis kecil berambut merah dan mengenakan sweater abu-abu berpuluh tahun silam. Bagaimana perikaian mereka pada malam-malam selanjutnya ketika harus berbagi kamar karena saat itu Papa belum menyiapkan kamar untuk penghuni baru, si rambut merah. Bagaimana Tira yang selalu berusaha menjadi kawan terbaiknya, kakak perempuan satu-satunya bagi dirinya. Tira tak pernah tidak memberinya seulas senyum entah dalam kondisi apapun itu. Tira orang yang pertama mengendus bakat fotografi Arin (bahkan Arin sendiri tak begitu yakin ia bisa). Sebegitu parahnya kah masa lalu memporak-porandakan semuanya dengan sekali libas? Kecuali getir, adakah yang tersisa? Arin merindukan Tira. Merindukan bincang-bincang mereka tentang bintang. Tentang korelasi mimpi dan waktu yang sering mereka perbincangkan di atas balkon kamar Arin. Tira selalu bilang, waktu adalah si penjawab yang paling sederhana. Makanya Arin selalu berusaha menghargai setiap menit yang terlewati.
“Kalau kamu selalu terlambat dalam semua hal, lihat saja nanti. Semuanya, apapun yang kau usahakan. Mereka akan selalu terlambat mendatangimu.”
Tak ada penyindir yang lebih bijak dari Tira.
Dan Tira bukanlah orang yang percaya pada ramalan. Tentang kemunculan zodiak ketiga belas yang diyakini Tira sebagai bukti bahwa ramal-meramal bulan kelahiran lewat media apapun itu adalah tindakan pembodohan yang cukup cemerlang untuk mengantarkan seseorang pada ketergantungannya terhadap terawangan nasib yang pada akhirnya mendekatkannya pada satu sikap : syirik!
“Lumayan kan, dapat tiket bebas test ke neraka!”
Dan setelah khotbah panjang, Tira berhasil memaksa Arin untuk menghentikan kebiasaannya berburu edisi paling update majalah remaja langganannya setiap masuk bulan baru.
“Jika niatmu membeli majalah-majalah itu hanya karena zodiak atau apalah namanya itu, kusarankan lebih baik kamu sumbangkan saja uang untuk membeli majalah itu ke panti sosial. Sampai kamu ubanan, nasibmu tidak akan berubah lebih baik kalau hanya melototi gambar kambing yang lagi main panah-panahan itu. Lagian mana ada sih kambing yang bisa panahan?”
Kala itu Arin hanya bisa memanyunkan bibirnya. Melempari Tira dengan bantalan kursi.
Arin menutup mulutnya. Bahunya berguncang hebat. Ia bahkan belum cukup siap untuk kehilangan Tira. Ia masih bernapas dalam ruang kenangan yang ditinggalkan Tira tanpa sengaja.
“Kamu dimana, Ra?”
=oOo=
“Ra?”
Kamila tertegun di depan pintu yang terpentang lebar. Ada Tira. Koper besar dan ransel besar. Tira Basah kuyup oleh hujan yang turun deras sejak lepas magrib tadi. Untunglah Bumi sedang tidak berada di sini, sudah seminggu ia hiking bersama anak-anak penggiat alam kampusnya.
“Kamila, aku membutuhkan bantuanmu,” ucap Tira sambil menghambur ke dalam pelukan Tira. Air matanya kembali tumpah mengikuti ritme hujan di luar. Tubuhnya menggigil kedinginan.
Kamila yang masih belum mengerti apa yang sedang menimpa Tira segera membawa Tira masuk. Tira terlihat shock. Sejak kemarin Kamila memang kesulitan menghubungi Tira. Tidak masuknya Tira kuliah membuatnya khawatir. Tidak biasanya Tira tidak mengabarinya kalau sedang berhalangan masuk sekolah. Apalagi Arin adik Tira juga tidak kelihatan.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Kamila setelah gadis itu merasa Tira sudah cukup tenang. Tira sudah menukar bajunya. Wajah sendunya belum menghilang.
Kamila memberinya secangkir cokelat panas.
“Ini hal terburuk yang menimpaku sepanjang hidupku, La. Rasanya aku lebih baik memilih terjun ke laut daripada menghadapi situasi seperti sekarang. Aku tidak kuat lagi….”
“Ini bukan Tira yang aku kenal. Kamu bukan orang yang gampang bilang menyerah, Ra. Ceritakan padaku.”
Tira menyusut air bening yang menitik di pipinya.
“Aku diusir.”
Kamila menegakkan badan. “Apa?”
“Aku tidak punya siapa-siapa sekarang, lalu bagaimana aku bisa bertahan hidup?” Tira mencoba tertawa walau pada akhirnya ia kembali sesenggukan. Lihatlah, ia merasa beban ini terlampau berat baginya. Kepada siapa ia melarikan dukanya? Melarikan luka hatinya? Ya Allah….
=oOo=
“Tinggalah di sini, Ra. Aku bisa berbagi kamar denganmu,” bujuk Kamila bermaksud menahan keinginan sahabatnya itu untuk pergi. Diam-diam ia tahu Tira terjaga semalaman. Tidak tertidur. Siapa yang bisa tertidur pulas setelah mengalami masa sulit macam itu? Ia sendiri tak cukup yakin bisa bertahan semalam saja jika berada di posisi Tira. Ah, Tira sayang…. Tira yang selalu tersenyum, Tira yang selalu bersemangat, Tira yang penyayang, Tira yang memiliki banyak mimpi dan harapan di masa depan, Tira yang… Kamila berusaha menyembunyikan air matanya. Siapa yang bisa meramalkan kapan duka menghampiri kita? Rasanya tidak ada. Yang perlu kita lakukan adalah menyiapkan ketegaran berlebih agar ketika terjatuh perih, hati tak akan terlampau sakit. Tapi, adakah manusia yang siap menjamu duka dan luka dengan senyum sempurna? Kamila hanya bisa menahan napas kaget demi mendengar cerita Tira. Benar, ini ibarat mimpi.
Pagi-pagi sekali Tira sudah berkemas. Ia menolak ajakan Kamila untuk tetap tinggal.
“Kamu mau kemana? Kamu punya tempat untuk dituju?” tanya Kamila lagi.
“Aku tidak ingin merepotkanmu. Kamar kost ini sudah cukup sempit untukmu dan Bumi. Bagaimana ceritanya aku mau ikutan menumpang di sini? Mau kamu kemanakan abangmu itu?” Tira mengulum senyum.
“Aku bisa minta Bumi tinggal sementara di kamar temannya, paling tidak sampai kamu menemukan tempat tinggal,” sela Kamila.
“Tidak, La.” Tira menggeleng.
Kamila menatapnya masygul.
Kamu tidak pernah berniat merepotkan orang lain, Ra. Kenapa kamu harus mengalami masalah sepelik ini? Ah, mungkin karena Allah sangat menyayangimu. Teramat sayang pada dirimu.
Pukul 8 pagi Tira berpamitan. Dipeluknya Kamila erat.
“Aku bakalan merindukanmu, La. Jangan melupakanku ya?”
“Kamu ngomong apa sih? Kamu seperti orang yang akan pergi jauh saja, Pastikan kamu baik-baik saja, Ra. Aku menunggu kabarmu. Jangan lupa menghubungiku dan kembalilah ke kampus,” sergah Kamila.
Aku memang akan pergi jauh. Sangat jauh. Tempat yang tak akan ditemukan siapapun.
Tira tersenyum.
Tira menyempatkan mengunjungi rumahnya. Menatap di kejauhan. Ia tak melihat Arin. Padahal biasanya jika tak ada kegiatan di luar, pada jam-jam seperti ini Arin senang menghabiskan waktu di atas balkon kamarnya, menjepretkan kameranya ke sana kemari. Kemana adik tersayangnya itu?
Tira menunduk. Selamat tinggal, Rin. Aku pamit ya…. Titip Papa dan Tante Bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^