Jumat, 03 Desember 2010

cerpen (penghuni perdana rumahku)

ADELIA
OLEH : SENJA BENING
“dasar anak tidak berguna! Selalunya menyusahkan orang tua, bikin malu keluarga! Mau jadi apa kamu dengan kelakuan Bengal begini hah???”
Aku yang sudah setengah tertidur kembali terjaga penuh mendengar keributan diluar kamarku. Itu suara ayah. Refleks mataku menatap jam dinding kamarku, pukul satu lewat beberapa menit. Mengapa ayah rebut-ribut ditengah malam buta begini? Aku lekas bangun, merapikan rambutku lalu beranjak keluar kamar. Sekilas kulihat ranjang adelia, adikku satu-satunya masih kosong. Kemana anak itu? Jangan-jangan,,.
Belum sempat tanganku menyentuh gagang pintu, pintu kamarku berderit terbuka. Adelia masuk tergesa-gesa. Ia masih mengenakan rok seragam abu-abunya.
“eh, kakak. Belum tidur kak?” raut wajah adelia menunjukan kekagetan melihatku berdiri tegak di samping pintu yang terkuak lebar.
 Sayup-sayup telingaku mendengar suara bernada marah ayah.
“anak perempuan kok kelakuannya begitu?? Tidak tahu aturan, edan!”
“pulang malam lagi del? Habis kelayapan kemana jam segini baru pulang?” cecarku tak mengindahkan pertanyaannya. Ia mendahuluiku, meletakkan tas ranselnya diatas meja lalu merebahkan tubuhnya diranjang.
“nggak perlu masang tampang sekhawatir gitu kali kak, aku nggak kelayapan kemana-mana kok,,”
“apa namanya pulang selarut ini kalo nggak kelayapan?” tukasku seraya  menghenyakkan tubuhku disisi ranjangnya.
“udah deh kak, lama-lama adel merasa kakak lebih mirip ayah, marah-marah nggak jelas. Harus negasin berapa kali sih kalo aku tuh nggak ngelakuin hal-hal bodoh, tenang aja,” cetusnya gusar.
“tapi kamu perempuan del, nggak baik keluyuran sampai tengah malam. Apa kata tetangga nanti?”
“peduli amat sama tetangga! Mereka bisanya Cuma mengritik, ngegosip seenaknya,”
“tetap saja kamu salah del, tindakanmu nggak bisa dibenarkan, kamu udah berulang kali kakak peringatkan dan berulang kali diacuhin,  apa kamu nggak capek bersitegang terus sama ayah?”
“sshhh, kakak berisik tau nggak !, aku capek, mau tidur! Kalo kakak masih pengen ceramah simpan buat stok besok aja,” sahut adelia sambil menarik kasar selimutnya. Kembali aku hanya bisa menarik napas panjang melihat sikap adelia kali ini.
Sudah berulang kali aku menasihati agar menghentikan kebiasaan buruknya sering pulang malam. Namun sesering ku nasehati sesering pula aku harus mengelus dada menerima tanggapannya, cuek.  
Sore ini kulihat ayah mondar-mandir diteras. Wajahnya Nampak tak sabaran. Aku baru pulang setelah mengikut les tambahan untuk persiapan ujian beberapa bulan lagi.
“mana adikmu?” cegat ayah saat melihat kepulanganku.
“adel belum pulang?” tanyaku kaget. Anak itu,,,
“adikmu itu benar-benar harus diberi pelajaran,” gumam ayah menahan amarah yang sudah sekian lama ditampungnya demi melihat kelakuan adel.
“hubungi dia, suruh cepat pulang,” ucap ayah kemudian sembari berlalu kedalam rumah.
Berkali-kali kuhubungi ponsel adelia namun berkali-kali pula suara bening mbak operator mengabariku nomor adelia diluar area. Hingga malam beranjak ia belum terlihat. Bunda gelisah, apalagi aku. Sejak ba`da isya ayah sudah menanti diteras. Firasatku mengabarkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Kemarahan ayah ibarat bom waktu, tinggal menunggu timing puncak untuk meledak. Dan kurasa tak lama lagi bom itu akan meledak. Sebentar lagi.
Sekali lagi kucoba menghubungi ponsel adelia. Aku terlonjak. Aktiv.
“halo,” suara cowok.
Tak urung kegelisahanku memuncak.
“ini benar nomor adelia?” tanyaku memastikan, mungkin saja aku keliru menekan nomor.
“oh, adelia? Bentar ya gue panggilin. Woy, del ada yang nyariin lo nih,”
Jeda sejenak, ada sedikit keributan. Lalu kudengar suara adel. Panik.
“ada apa kak?”
“kamu lagi dimana del? Cepetan pulang, ayah udah nungguin kamu dari tadi. Takutnya ayah marah besar,”
“aduh, adel nggak bisa pulang sekarang, lagi nanggung nih, ntar aja deh, bilang sama ayah nggak usah takut, adel nggak pa-pa kok, ok kak?” adelia terkesan terburu-buru.
“tapi del, ayah,”
Klik. Adel mematikan ponselnya sepihak. Memutuskan kalimatku.
“bagaimana? Adel dimana? Kamu udah suruh dia pulang? Fila?” bunda menegurku. Aku menatap bunda setengah menerawang.
“adel,,” aku tercekat.
“dimana anak setan itu?” tahu-tahu ayah muncul. Mengagetkanku dan bunda. Ada kilat kemarahan dimata ayah, aku sangat paham posisi ayah sebagai kepala keluarga yang harus bertanggung jawab atas anak-istrinya terlebih mengingat kondisi keluarga kami sekarang yang sedang dilanda masalah keuangan.
Perusahaan tempat ayah bekerja mengalami paceklik sehingga harus merumahkan sebagian besar karyawannya, ayah masuk dalam daftar panjang karyawan yang dirumahkan, kata lainnya PHK. Hari-hari belakangan ini emosi ayah gampang tersulut meskipun dengan hal-hal sepele. Kasak-kusuk tetangga yang mempergunjingkan adelia adalah api yang memantik kebakaran amarah ayah. Aku benar-benar khawatir.
Jarum jam dinding telah menunjukan pukul setengah satu malam. Aku masih terjaga dikamarku. Adelia tak juga kunjung pulang.
“dari mana saja kamu??”
Gelegar suara ayah merobek keheningan malam. Aku mengejar keruang tengah, bunda pun melakukan hal yang sama. Disana kulihat Adelia berdiri mematung dengan seragam lengkapnya. Wajahnya terlihat lelah.
“kenapa diam? Ayo jawab dari mana saja kamu?” cetus ayah setengah membentak.
Adelia mendongak, menatap ayah dengan sikap menantang.
“untuk apa adel jawab, toh apapun jawaban yang adel kasih ayah tetap akan marah kan?” sahut adelia setenang mungkin. Ayah muntab.
“apa kamu bilang? Dasar anak tidak tahu aturan, anak perempuan macam apa kamu ini, kelayapan seenak jidat, ayah malu punya anak sepertimu!, kenapa kamu tidak bisa mencontohi kakakmu, dia tidak pernah membuat ayah marah, ”
Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi.
“dari dulu ayah memang nggak pernah bangga punya anak sepertiku,” ucap adelia, ia tersenyum miris. Aku seperti tersengat listrik mendengar ucapan adelia.
“kamu?” ayah melotot
“memang benar kan yah? Anak ayah hanya satu, kak fila. Sementara aku nggak pernah ayah anggap ada. Ayah selalu memuji kak fila, karena kakak pintar, patuh, nggak pernah menyusahkan. Lalu aku? Apa pernah sekalipun ayah bangga padaku? Dimata ayah aku ini manusia tembus pandang, hanya beban saja,,, bukan begitu yah?” suara adelia basah. 
Rahang ayah mengeras.
“kamu ini, sudah salah masih juga cari pembelaan!”
“pembelaan atau kenyataan sama saja, ayah baru peduli padaku jika aku membuat keluarga ini malu, tapi nggak masalah, seenggaknya marah karena masih menganggapku bagian dari keluarga ini,”
Plaak!
Tamparan keras mengantam pipi kanan adelia. telak. Adelia bergeming. Aku terlengak kaget. Bunda menangis sambil menghambur memeluk adelia.
“ayah udah,” bujuk bunda.
Sekilas kutangkap tatapan adelia. Aneh, tak ada bias kemarahan disana.
“jangan membela anak tidak tahu diuntung itu, biar dia tahu cara menghormati orang tua, minggir!” ayah melerai bunda, melewatiku yang berusaha menghentikan niat ayah melakukan tindakan lebih jauh lagi. Bunda bersikeras memeluk adelia. Aku tak tahu mengapa aku harus menangis, namun melihat paras adelia membuatku takluk. Tak kutemui bekas kekerasan hatinya seperti yang selama ini ia tampakan padaku, yang tersisa kemudian adalah kelelahan batin yang sekian lama dipendamnya. Aku tersadar, Betapa aku terlalu mengacuhkannya.
“ayah mau memukulku? Silahkan kalau itu bisa membuat ayah senang,” tantang adelia.
“cukup nak, sudah cukup, jangan ribut-ribut lagi,”
“nggak bunda, ayah nggak akan puas kalau nggak berhasil membuat adel babak belur, iya kan yah? Ayo pukul adel, jangan tanggung-tanggung!”
Ayah kalap. dijangkaunya pemukul baseball yang sudah ia persiapkan di atas meja. Bunda berusaha menjadi tameng bagi adelia namun disuatu kesempatan adelia mendorong bunda kebelakang hingga pelukan beliau terlepas, berkali-kali pemukul baseball menghantam tubuh adelia. Ayah benar-benar sudah gelap mata hingga tak menghiraukan tangis kesakitan adelia.
“ayah cukup!” aku histeris, tak sanggup melihat tubuh kecil adelia menjadi bulan-bulanan pukulan ayah. Sudut bibirnya, bekas tamparan ayah mengeluarkan darah.
 Dengan sekuat tenaga kutarik tangan adelia menjauh dari jangkauan ayah, malang saat hendak menghindar dari hantaman baseball yang mengarah kepalanya, adelia terjerembab jatuh, kepalanya menghantam pinggiran meja. Ia terkulai tak bergerak. Pingsan. Aku terpaku.
Bunda menjerit panik. Ayah terhenyak sadar. Beliau terduduk lemas.
Sudah dua hari adelia terbaring pingsan dirumah sakit. Tubuhnya dipenuhi memar. Aku dan bunda menungguinya secara bergantian. Dan ayah? Sejak kejadian malam itu, ayah tak banyak bicara. Namun aku tahu pasti, ayah menyesali tindakannya terhadap adelia, itu terlihat dari usaha ayah memperoleh pengobatan maksimal untuk kesembuhan adelia. Dokter menyimpulkan ada lebam di tengkorak kepala adelia, tidak parah. Namun yang lebih mengagetkan kami adalah keterangan dokter selanjutnya yang mengatakan adelia mengalami kelelahan batin dan fisik.
Ada kemungkinan kelelahan itu disebabkan karena adelia terlalu memforsir tenaganya untuk bekerja.
Kupandangi tubuh adelia yang terbaring lemah diranjang perawatan. Kepalanya dibalut perban. Matanya tertutup rapat. Pahatan wajahnya menyiratkan kekerasan hati yang diwarisinya dari ayah telah berhasil mengelabui kami. Aku, bunda dan ayah. Apa sebenarnya yang kamu kerjakan diluar sana del?
Pagi ini kutemukan buku harian adelia di antara tumpukan buku-buku pelajarannya. Aku tergoda untuk membacanya. Betapa terkejutnya aku ketika kubaca catatan-catatan hariannya. Aku tak kuasa menahan haru yang seketika menyeruak.
23 agustus 2007,,
Aku dan kak fila, apa bedanya? Bukankah kami sama-sama anak sah ayah bunda? Lantas mengapa ayah begitu perhatian padanya dan mengacuhkanku? Apa salahku?,,,
Sekecil apapun kesalahan yang kulakukan ayah selalu memarahiku, tetapi jika kak fila yang berbuat ayah tidak pernah menyalahkannya. Mengapa selalu aku yang mengecap pahit sikap keras ayah? Tak bisakah sekali saja ayah memperlakukanku istimewa? Sekali saja,,,
Mataku mengkristal. Kubuka halaman berikutnya.
30 november 2007
Kak fila ulang tahun. Ayah menghadiahkan ponsel keluaran terbaru, akh,, lagi-lagi ayah berlaku tak adil padaku,, saat aku berulang tahun tak pernah sekali saja ayah menghadiahiku sesuatu, pun ucapan selamat. Kenapa ayah jahat padaku?
Aku tidak pernah menyadari bahwa selama ini adelia, adikku satu-satunya menyimpan iri atas perhatian ayah padaku. Ya tuhan, kakak macam apa aku ini. Dibalik sikap cueknya adelia memendam sakit hati mendalam. Tak bisa kumaafkan diriku atas ini. Sedari dulu ayah dan adelia memang tak pernah akur, mungkin karena sama-sama keras kepala sehingga yang selalu terjadi kemudian adalah perselisihan tanpa jalan keluar yang bermuara pada ketidak cocokkan. Mereka tak pernah sepaham.
Kuusap air mataku.
5 maret  2009
 Ayah kena PHK,, ya tuhan, apa yang harus kulakukan untuk membantu ayah? Ayah kurusan sekarang. Mungkin ia kebingungan memikirkan bagaimana hidup kami selanjutnya. Jika sampai tak dapat pekerjaan kembali, bagaimana ayah bisa membiayai sekolah kami? Sebentar lagi kakak ujian akhir dan kuliah. Dari mana ayah mendapatkan uang untuk membiayai semua itu? Aku tak masalah walau Cuma tamat SMA, tapi kak fila? Dia pintar tak sepertiku, yang hanya mampu mempersembahkan deretan angka merah buat ayah, kak fila kebanggaan ayah, kebanggaan kami,,.  kakak harus tetap melanjutkan sekolah, dia harus mengejar cita-citanya menjadi sutradara hebat, tapi bagaimana caraku membantunya? Tuhan tolong kami,,
7 april 2009
Akhirnya,,, aku diterima kerja. Alhamdulillah,, terima kasih ya allah. Meskipun harus forsir sampe tengah malam, nggak pa-pa. asal dapat duit halal, itu yang penting kata ayah.
Aku terisak. Kutatap tubuh lemah adelia. Adikku,,,
25 april 2009.
Ayah marah-marah karena aku keseringan pulang malam, bagaimana ini? Aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada ayah tentang pekerjaanku di Pom bensin, apa kata ayah nanti, sudah pasti marah besar.bunda dan kakak juga memarahiku. Ya allah, semoga inilah yang terbaik,,,.
Sebegitu besarnya perhatian adelia padaku, pada kami semua. sedangkan aku? Berkali-kali menyalahkannya tanpa sekali saja menyelami sudut terdalam hati putihnya. Betapa aku ingin memeluk adik terbaikku seluruh dunia ini, meskipun ayah kerap menganak tirikannya, ia tak sedikitpun menaruh dendam padaku apalagi sampai membenciku. Hanya sebatas iri saja, malah jauh dilubuk hatinya ia selalu mendoakan yang terbaik untukku. Air mataku membanjir.
 Lekaslah bangun del, terlalu banyak sesal dan maaf yang harus aku, bunda dan ayah tebus.
“mengapa kakak menangis?” suara lemah itu menyadarkanku.
Aku mendongak.
Adel?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^