Seperti inilah Bapak dan Ibu mengajari kami. Aku baru menyadari ini setelah aku menginjak usia duapuluhan. Bapak dan Ibu tidak mengajari kami lewat banyaknya kata-kata mengandung nasihat tetapi tersirat lewat apa yang mereka lakukan terhadap kami. Jika dahulu aku menganggapnya sebagai bentuk ketidakadilan yang diberikan kepada kami (khususnya aku sebagai anak tertua), hari ini aku dengan hati terbuka meralat tuduhanku itu.
Apa yang dilakukan Bapak dan Ibu tak lain adalah untuk menanamkan modal moral untuk kami anak-anaknya, bekal melanjutkan kehidupan di kemudian hari. Di masa depan.
Sejak di bangku sekolah dasar, aku termasuk anak yang berprestasi. Aku selalu masuk tiga besar di kelas. Memasuki bangku kelas 3 SD aku berhasil merebut posisi pertama. Itu berlangsung hingga aku tamat sekolah dasar. Jika boleh menilai diri sendiri maka aku akan bilang kalau aku ini termasuk anak yang selalu diperhitungkan :D *silahkan protes
Setahuku dan sesuai apa yang aku lihat, anak-anak yang berprestasi pasti akan menerima pelukan hangat dan aneka macam hadiah dari orang tua mereka. Pikiran kanak-kanakku memberontak. Lalu kenapa aku tidak menerima apapun dari Bapak-ibuku? Tidak pelukan dan ucapan bangga, tidak pula hadiah semacamnya? Aku juga ingin merasakan apa anak-anak seusiaku rasakan. Aku juga menginginkan kebahagiaan seperti mereka. Kala itu aku tidak berani memberikan protesku secara frontal kepada bapak-ibuku. Hingga aku beranjak dewasa, aku menemukan sendiri jawabannya.
Kenapa? Aha, ternyata jawabannya sangat sederhana dan membuatku tertegun lalu menangis haru. Bapak-ibuku yang baik hati.... bapak dan ibuku menginginkanku tumbuh secara sederhana dan tidak manja. Coba bayangkan bila setiap meraih prestasi aku diembel-embeli hadiah ini-itu, bukankah aku akan membentuk pribadi manja yang akan selalu mengharapkan imbalan dari setiap kebaikan yang aku lakukan? Bagi sebagian orang, menerima imbalan hadiah atas prestasi yang diraih adalah sah-sah saja dan itu memang wajar. Tetapi bagi orang yang hidupnya sederhana seperti bapak dan ibuku, yang seperti itu akan mempengaruhi perkembangan kami, anak-anaknya. Apa jadinya jika kami selalu mematok hadiah atas prestasi yang kami raih? Aku tidak bisa membayangkan betapa akan repotnya bapak-ibuku. Secara tak langsung bapak dan ibuku juga menyisipkan pelajaran bahwa melakukan sesuatu yang baik tak usah mengharapkan umpan balik dari orang lain. Bahwa sejatinya, setiap kita melakukan kebaikan tak lain adalah untuk memenuhi lumbung-lumbung hati kita yang kosong. Mengisinya dengan hal-hal baik dan entah kapan, di hari depan nanti, Tuhan akan membalasnya dengan jalan yang manis dan tidak kita sangka-sangka. Jika berprestasi adalah kebaikan maka itu adalah bekal kita di masa depan.
Ada lagi satu cerita yang sarat makna dari bapak-ibuku. Tahukah kawan? Semenjak memasuki bangku sekolah aku telah diepas bebas oleh bapak-ibuku. Saat bersekolah di sekolah dasar aku belum terlalu merasakan hal itu sebab ibuku mengajar sebagai guru agama di sekolah tempatku menuntut ilmu. Lagi-lagi aku menyadari ini setelah aku berada jauh dari mereka. Memasuki masa penerimaan siswa baru di bangku Madrasah Tsanawiyah dan SMU hingga menginjak bangku perkuliahan, baik bapak dan ibuku tidak pernah turut andil mengantarku melakukan pendaftaran. Aku melenggang sendirian seperti anak ayam kehilangan induknya. Apakah aku bersedih? Jelas sekali kawan aku memendam kesedihan. Terlebih melihat anak-anak lain datang ke tempat pendaftaran ditemani orang tua mereka. Aku sendirian. Lalu ketika tiba hari penerimaan raport, selalu sama. Situasi yang tak pernah berubah.
Bapak dan ibuku ingin mengajariku mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Aku rasakan betul manfaat itu ketika aku resmi menjadi anak perantauan di tanah orang tanpa bapak-ibuku. Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengan lingkungan asing sebab aku telah terbiasa melakukan banyak hal sendirian tanpa aba-aba dari bapak-ibuku. Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku bisa bepergian sendirian ke seberang pulau. Lihatlah... aku bisa! Makna lain yang aku tangkap adalah bahwa bapak-ibuku dengan sadar dan jujur menaruh keperayaan di pundakku. Mereka mantap memercayaiku. Mereka mengajariku (secara tak langsung) untuk menghargai kepercayaan yang diberikan padaku.
Kawan, percayalah.... cinta orang tua kita adalah ketulusan. Tidak sekarang, tetapi aku sangat yakin kelak kau pun akan menyadari tak ada cinta yang melebihi ketulusan cinta bapak dan ibu kita di dunia ini. Aku bersyukur Allah SWT telah menjadikan aku anak bapak dan ibuku. Jika ada yang menanyakan padaku apa yang membuatku kuat berdiri di atas kakiku sendiri hingga detik ini, aku tak akan ragu untuk menjawab : dari sekian banyak hal, salah satunya adalah karena bapak dan ibuku.... ^_______^
Ahhhhh lagi lagi kau mencuri hatiku dengan tulisanmu Ukhti ^^ Tulisan sederhana sarat makna >>> 4 jempol ^^
BalasHapusHehehe... saling berbagi ukh...
BalasHapusmakasih jempolnya :)