Jumat, 30 November 2012

[Postingan ke-200] Hepi Milad, Nafilah Nurdin!



Selamat menjadi dua puluh tiga!

30 November, 23 tahun silam saya dilahirkan ibu saya dengan selamat. Kakek saya memberi nama Nafilah. Sudah menjadi semacam kebiasaan di keluarga besar Adam Nurdin—kakek saya, seluruh anak-cucunya diberi nama oleh beliau sendiri kecuali adik saya yang bungsu. Sebab itulah namanya sedikit lebih panjang dari kakak-kakaknya. Uniknya, baik Bapak dan semua saudara (paman, bibi, adik, sepupu dari pihak Bapak saya) memiliki nama satu suku kata saja. Nafilah, Muslimah, Syajaruddin. Ini juga yang kadang membikin teman-teman sekolah saya dulu kesulitan mengeja nama panggilan untuk saya dan kedua adikku. Nanti ketika saya masuk kuliah barulah nama panggilan `Fila` saya sandang. Di rumah? Tetaaaap, N A F I L A H. Jangan salah, arti lain nama Nafilah adalah ibadah tambahan dan terjemahan versi bebasnya, anugerah. Entah apa maksud Alm. Kakek saya memberi tersebut, yang saya yakini insya Allah niatnya baik.  :D

Dari cerita yang saya dengar, kelahiran saya disambut penuh sukacita. Sebab kenapa? Karena saya merupakan cucu pertama bagi keluarga Adam Nurdin dan anak pertama bagi kedua orangtua saya. Dalam ingatan saya, masa kecil yang saya lalui abu-abu. Kalau saya mau mengatakan bahagia, saya bahagia. Kalau saya mau mengatakan saya tidak bahagia, saya tidak bahagia. Jadi tergantung sudut pandang apa yang saya pakai ketika menjawab bahagiakah saya dengan masa kecil saya?

Tiga atau empat tahun lalu, barangkali saya akan keukeuh ngomong saya benci masa lalu yang pernah saya alami. Saya berharap tidak pernah mengalami hal-hal buruk di belakang. Insiden-insiden yang membuat saya benci mendengar keributan, benci melihat orang lain begitu betah menggunakan telunjuknya untuk memerintah yang lain, membuat saya sebal jika mendengar seseorang berteriak, benci dengan segala tetek-bengek yang membentuk saya menjadi pribadi yang `sulit didekati` siapapun. Bakat tertutup yang saya punyai berkat pengalaman masa kecil saya. Hebat, bukan?

Itu tiga atau empat tahun lalu...

Sekarang, saya tak henti-hentinya bersyukur telah melewati semua itu... Ternyata saya adalah orang yang penuh dengan pengalaman dan pelajaran. Saya tidak akan pernah bisa menjadi pendengar yang baik bagi sahabat-sahabat saya bila tidak mengalami sendiri betapa tak enaknya menjadi seseorang yang diacuhkan, yang suaranya tak pernah didengar, saya mungkin tidak akan mengecap mimpi sebagai Penulis jika bukan karena desakan masa lalu, saya yang pendiam, tidak suka berteman, tertutup (lebih seneng ngobrol sama buku atau dinding papan kamar saya), semua itu... jika bukan karena pengalaman buruk dulu, saya tidak akan pernah bisa menjadi saya yang sekarang...

Masa remaja saya juga cenderung biasa saja. Satu-satunya yang membuatnya berbeda adalah kehadiran sahabat saya yang saya cintai, saya memanggilnya Matt. Kami sudah hampir sepuluh tahun menggenapi sebagai sahabat. Masa remaja saja bersama Matt jauh berbeda dari teman-teman saya. Di saat teman-teman saya sibuk membicarakan urusan pacaran dan romantika masa pubertas, saya dan Matt juga sedang disibukkan dengan topik bahasan tentang Bola, kartun Naruto, Detective Conan, Buku bacaan yang keren, filosofi hidup yang keren, Quote-quote indah yang kami comot dari novel apa, tukaran majalah yang memuat cerpen-cerpen nyastra atau sekadar membahas cowok-cowok yang demikian gigih mendekati sahabat saya itu. “Nggak capek apa, ngejar-ngejar orang yang nggak mau dikejar?” 

Soal cinta-cintaan monyet, saya juga pernah kok tapi bukan untuk diekspos. Biarlah itu menjadi pembelajaran buat saya.

Juga ketika memutuskan mengenakkan Hijab, kami melakukannya bersama-sama. 

Selebihnya, masa remaja saja agak suram. Tekanan demi tekanan melahirkan saya dalam wujud pemberontak, menakutkan. Sedikit saja gesekan menghampiri saya... Dor! Meledak! Saya yang labil. Saya dicap galak. Hehe...

Tiga atau empat tahun lalu, saya masih terhitung labil. Teman-teman kuliah masih merasa sulit mendekati saya. Saya ingat, saya pernah membanting kursi di ruang kuliah gara-gara teman saya yang emang udah dari sononya cerewet, nyerocos tiada henti sementara saya sudah memberi peringatan kalau emosi saya sedang buruk. Saya pernah memukul meja kantin dengan perkara yang hampir mirip. Saya benar-benar tidak menyukai keributan. Dada saya terasa sesak.

Tiga atau empat tahun lalu, saya kesulitan memanejemen emosi saya... masih tetap menakutkan bagi teman-teman di sekitar saya.

Dan bersama seluruh yang pernah dan telah saya alami, saya bahagia. Saya bersyukur karena tiga atau empat tahun silam, saya bertemu Tarbiyah yang mengubah saya menjadi lebih baik, lebih baik lagi hari demi hari. Insya Allah...

Hari ini, 30 November 2012... saya genap berusia dua puluh tiga tahun. Adik saya yang nomer satu iseng menggoda saya. “Nafilah udah 23 tahun, berarti bentar lagi nikah dong!” cetusnya.

Duk!

Wisuda aja belon udah nginget nikah aja! (tapi diaminin juga dalem ati haha) ^^

Saya ingin sedikit me-review hidup saya setaon lalu hingga hari ini. Buanyaak. Sangat banyak hal-hal baik yang saya alami. Tak sedikit pencapaian yang saya jejaki. Sejumlah mimpi masa kanak-kanak yang terwujud. Subhanallah...

Saya dipertemukan dengan orang-orang keren dan bersahabat. Ada sepupu tersayang saya, prisi. Saya selalu kangen dengan curhatan gaje kita dulu (sekarang udah nggak sesering dulu curhat gara-gara kesibukan). Ada Teh Wiwit+Teh Eti yang kompak sekali. Neng Rani, my bestfriend yang jauh di mata dekat di hati. Ka Andra Eka Putra yang membantu saya berkenalan dengan dunia lain di luar ranah pikiran saya. Ka Iman yang pernah membagi harapannya dengan saya, Ka Abrag yang menjadi kakak laki-laki saya. Chogah, kawan seperjalanan yang susah payah saya dekati dan sekarang malah dekat sebagai sahabat (Replika maskulin saya), Mbak Kasma, seorang sahabat, kakak, teman sharing, aahhh... pokoknya Mbak Kasma melengkapi hidup saya yang bolong sana-sini. Ada Mbak Putu, saya sangat-sangat bahagia ketika pelan-pelan kami menjadi dekat lalu menjadi kawan cerita.

Saya pernah bermimpi cerpen saya lolos media Nasional. Allah mewujudkannya.

Saya pernah bermimpi mengenal seseorang yang keras kepalanya melebihi saya, Allah mengabulkannya walaupun setelahnya saya harus berjuang mendamaikan sesuatu yang terlanjur membadai.

Saya pernah berangan-angan menginjakkan kaki di Bandung, Allah memberikan saya sebuah kenyataan yang jauh lebih indah dari yang pernah saya cita-citakan... bertemu saudara-saudara saya yang sangat luar biasa, saya bahkan bablas hingga ke Solo hehe...

Saya pernah membayangkan suatu saat saya mengajar anak-anak mengaji, Allah mendengarnya... Ngajar anak-anak bisa sekaligus melatih diri menjadi Ibu kelak (Ehm!).

Saya pernah berdoa, “Ya Allah bantulah saya menjadi seseorang yang lebih lembut hatinya, seseorang yang lebih pandai mengatur emosinya, seseorang yang cengeng ini ingin berubah lebih baik hari ini, hari esok dan hari depan... Tolong saya Ya Allah...”

Saya sangat percaya, Allah sedang menolong saya menuju perwujudan doa-doa saya. Tidak mudah memang, bukan berari tidak bisa kan? Segala sesuatunya butuh proses dan proses itulah yang nantinya akan kita kenang sebagai jembatan perjuangan. Muaranya kemudian adalah ungkapan syukur yang tak putus-putus.

Hari ini, Jumuah mubarak... usia saya bertambah, jatah hidup saya berkurang. Saya sedang menjalani proses pendewasaan. Doa dan harapan saya sederhana saja.

Saya ingin melihat wajah sumringah Ibu dan Bapak ketika saya diwisuda kelak, mendengar celotehan adik-adik saya bahwa mereka bangga menjadi adik dari seorang Nafilah Nurdin, membuat orang-orang bahagia dengan keberadaan saya di dekat mereka. Saya ingin membuat kenangan yang baik hari demi hari. Doakan saya ya! ^^

Special thanks for Matt dan Vina, dua sahabat yang jarang saya sapa tapi lekat di hati  :D
Dan semua orang yang terus mendukung dan menghebatkan saya hingga detik ini. Lop yu pull! ^^
Hepi milad! Barakallahu fii umrik. Masa lalu adalah pembelajaran dan masa depan adalah perjuangan! So, don’t give up. Keep Holding On. Prayer. Take Care n’ cmaaaaiiiil kakaaaak :D

Tiga atau empat tahun di belakang adalah masa lalu... :)

Rabu, 28 November 2012

Sejenak...

Istigfar. Saya hanya ingin beristigfar sebanyak yang saya bisa... Astagfirullah al-adzim...  Allahu Akbar! 
Jazakallahu kh\oiran katsiran kepada seseorang yang sudah membuat saya menangis. Bukan karena saya merasa sakit tapi karena berkat seseorang itu, saya menemukan jawaban dari sebagian yang menjadi pertanyaan saya selama ini... Dia tidak tahu, biarkan saja ini menjadi catatan bagi saya... Tolong maafkan, untuk orang-orang yang pernah saya 'dzolimi' dalam keadaan sadar atau tidak. Forgive me, please...

Mianheyo...

Kamis, 22 November 2012

Nothing to Lose, So...

I have to move on, because i know it’s been too long. I’ve got to stop the tears, give my faith and be strong...
I try to take it all eventhough it’ so hard...
Mendengar lirik lagu milik Maher Zein di atas membuat saya tertegun dan tanpa sadar menitikkan air mata. Begitu saja... haru menelanjangi perasaan saya seketika dan agak lama. Sepotong lirik tersebut menurut saya sangat menyentuh dan menembak sasaran yang tepat. Mirip sebuah ajakan kuat kepada saya yang (sebenarnya) sangat rentan down, putus asa, dan nggak mau bilang ke siapapun. Dieeem aja. Akibatnya yah orang-orang yang ngaku temenan sama saya, kerap menilai saya sepihak memakai sudut pandang yang mereka punya. Aih, andai saja mereka tahu nun jauh di dalam hati saya terlalu banyak hal yang tidak terkatakan. Saya memang menyedihkan tetapi saya tidak dan belum ingin menyerah sekalipun saya dianggap tidak serius.
Berapa kilo sih berat masalah kamu sampai membuat wajahmu tertekuk dalam begitu? Emang kalo merenung dan tertenung masalah, lantas segalanya menemu akhir, selesai, tamat, wassalam? Kagak, neng!
Aduh, berasa nih blog isinya curhat masalaaaah mulu! Hihi...
Back to topic. Saya ini kan orangnya suka kebanyakan mikir. Adek saya yang nomer satu aja setuju kalo kakaknya ini seperti punya satu dunia sendiri yang hanya ada satu penghuni tetapnya yaitu, saya! Dan saya kalo lagi ditubruk sesuatu yang bikin kepala cenat-cenut, kening berkerut bertingkat-tingkat mirip tangga rumah panggung saya di kampung (hadeh! Baca : masalah), saya biasanya berubah sangat pendiam. Di kamar kosan, adek saya sering merasa terzolimi gara-garanya saya demen banget nggak menggubris dirinya. Dia sibuk ngerjain apa, saya sibuk ngutak-atik leptop. Kalo dia nanya sesuatu, saya lebih sering nggak ngejawab, yah karena itu... larut dalam alam pikiran bawah sadar. Ckckckck, kakak yang baiiiik.
Sudah hampir sepekan ini saya menempatkan lagu So Soon-nya Om Maher Zein di playlist lepi tercintah. Satu-satunya lagu yang saya putar. saya menemukan ‘sesuatu’ yang hilang. Di tengah kegalauan mahasiswa tingkat akhir yang melnada hari-hari saya belakangan ini, saya berusaha melakukan yang terbaik sesuai kapasitas saya. Dan dari hasil usaha itu, saya menemukan berbagai macam bentuk kelemanah yang selama ini menggerogoti saya. Ya Ampuuuuun, ternyataaaa....
Resep keren untuk bisa mengenal diri sendiri yaitu dengan cara melakukan observasi terhadap diri sendiri. Jujur mengakui kelemahan, berani berjanji, menukar ketakutan dengan komitmen demi perubahan yang jauh lebih baik di hari-hari depan (Aamiin, Insya Allah). Inget, komitmen! Okeh.
Tidak ada jalan lain, harus melanjutkan langkah bersama resiko yang mengikutinya.
I have to move on...
Stop the tears...
Be strong...
Setiap kisah sudah punya takdirnya masing-masing, demikian pula kisah hidup seorang Nafilah Nurdin. Si pendiam yang pengen dilihat ‘bahagia’ maka jadilah ia bahagia di depan teman-temannya. Yang sering jadi tempat curhat sampe-sampe ia lupa bagaimana cara curhat/bercerita yang nyaman hingga pada akhirnya segala ceritanya ia simpan sendiri. Yang masih suka ragu-ragu di wilayah abu-abu, yang punya segudang rencana dan mimpi walau masih tertatih berkenalan dengan tantangan. Ya, she’s not a super women, but always try to take a right way.
Malam ini saya kembali bisa menyapa kamar kosan tercinta setelah empat malam nginep di rumah sakit menemani Bibi/tante saya yang habis lahiran via operasi besar. Alhamdulillah, sepupu saya nambah satu cowok. Saya punya kabar bahagia lainnya, kawan saya ada yang walimah hari ini. Hoho, mendadak inget target nikah di usia 26 taon. Lets see, manusia kan hanya sebatas merencanakan dan mengusahakan. Urusan lainnya ada di tangan Allah...
Selalu ada kabar bahagia terselip. Selalu ada hikmah dibalik air mata. Selalu ada jalan keluar. Iya, kan? Menulis benar-benar terapi menyehatkan jiwa ^^

Selasa, 20 November 2012

[Naira, Kisah Yang Hilang]


NAIRA, KISAH YANG HILANG
Oleh : Nafilah Nurdin
            Aku tidak ingin menangis untuk hidupku yang kacau ini. Tidak lagi. Menangis tentu saja tidak akan menyelesaikan apapun. Hanya akan meredakan dalam waktu yang relatif singkat. Setelah itu, masalah-masalah yang terungsikan sementara akan kembali mengusikku dengan kesesakan yang teramat melelahkanku. Aku tidak bisa mengharapkan siapapun untuk membantuku. Saat ini aku lebih nyaman dengan diam. Sungguh, aku tak punya pilihan lain.
            Kutemukan catatan singkat itu di dalam buku harian Naira, dua hari setelah ia menghilang. Kertas lusuh itu terselip di antara lembar-lembar kertas berbau harum.
            Naira sahabatku. Aku mengenalnya ketika kami bersekolah di TK yang sama. Dan ternyata rumahnya terletak tak jauh dari rumahku. Hanya terpisah satu blok. Sesuatu kemudian terjadi pada ayahnya. Usaha mandiri yang dikelola ayah Naira kolaps ketika kami duduk di bangku kelas dua SMP, sehingga Naira dan keluarganya harus pindah ke Bandung. Setelah itu aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Naira. Ia seperti hilang ditelan bumi. Lalu kami dipertemukan kembali setahun silam ketika aku menginjakan kaki di Universitas. Semester pertamaku.
            Naira banyak berubah. Kacamata minus melapisi sepasang mata beningnya. Ia terlihat sangat pendiam dan kikuk. Aku sangsi Naira akan menegurku jika  bukan aku yang duluan menowel pinggangnya. Tahi lalat didagu bagian kirinya tak kan pernah kulupakan. Ternyata kami mengambil jurusan yang sama. Komunikasi. Kontras dengan pembawaannya yang sunyi.
            Tak sulit bagiku untuk mengakrabkan diri dengan Naira. Meskipun Naira pendiam tapi Naira baik dan penuh perhatian padaku. Masih seperti saat kami masih kanak-kanak dulu. Dia selalu mendengarkan dan menasehatiku jika aku sedang dipusingkan dengan urusan yang kuhadapi. Satu yang luput dari perhatianku sebagai sahabat. Naira tak pernah membagi secuilpun keluhannya padaku. Aku baru menyadari itu ketika Naira tiba-tiba menghilang dari peredaran. Aku tak melihatnya di kampus. Poselnya di luar area. Ketika kudatangi kamar kosnya, ibu kosnya bilang Naira sudah berhari-hari tidak pulang.
Dengan menggunakan kunci duplikat dari ibu kos Naira, aku berhasil masuk ke dalam kamarnya. Semua barang-barang naira masih lengkap dan tersimpan rapi. Tak sengaja kutemukan buku harian berwarna langit senja di atas ranjangnya. Dan membaca catatan itu membuatku memahami seorang Naira yang sebenarnya. Naira sahabatku. Dia sedang dirundung masalah. Dan itu tidak sepele.
***
Genap seminggu Naira lenyap tanpa kabar. Aku sangat menghawatirkannya. Tak ada nomor yang bisa kuhubungi. Dibantu teman-temanku di jurusan yang juga berempati dengan hilangnya Naira, kami memutuskan ke Bandung. Berharap menemukan Naira di alamat yang ditulisnya pada berkas pendaftaran dulu.
“Neng Naira mah udah nggak tinggal disini sejak ibunya meninggal.”
Aku seperti tersengat arus listrik tegangan tinggi ketika mendengar penuturan tetangga rumah yang pernah ditinggali Naira dan keluarganya.
Lalu lanjutan cerita si bapak setengah baya mengenai Naira sungguh memerihkan hati terdalamku sebagai sahabatnya, yang mengaku paling dekat dengannya dari sisi perasaan. Tidak. Aku keliru selama ini. Ibu Naira meninggal saat Naira sedang menempuh tahun terakhirnya di bangku putih abu-abu. Kanker hati akut. Akibat desakan ekonomi, lagi-lagi Naira beserta Ayah dan ketiga adiknya harus meninggalkan Bandung. Ke mana mereka setelah itu? Si bapak menggeleng tak tahu. Katanya Ayah Naira berusaha menghindari para penagih hutang.
Aku termangu sangat lama. Air mataku menggenang. Kehilangan kata. Betapa berat beban Naira melewati hari-hari sulit. Bagaimana ia melewati semua itu tuhan?
“Naira nggak ada di sini ras,” Rengga, ketua tingkat di angkatanku menyadarkanku.
“Trus, kita musti nyari Naira kemana?” Tanya Vika menimpali.
Aku menatap wajah mereka satu-persatu. Rengga, Dhodot, Hesti dan Rana. Orang-orang ini begitu peduli pada sosok Naira. Sosok pendiam itu telah berhasil mencuri perhatian manusia-manusia penghuni komunikasi. Tak hanya sebatas angkatanku. Begitu pula senior, yunior bahkan dosen-dosen. Naira selalu sukses memberikan solusi setiap kali himpunan kesulitan menemukan ide untuk program-program kerja. Naira yang tak suka banyak bicara. Hanya seperlunya saja. Namun kontribusinya buat kami sungguh luar biasa, terlebih aku.
Aku merindukan si pendiam itu. Air mataku tak henti-hentinya mengalir dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Ya Tuhan.. orang macam apa aku ini? Aku selalu mengatakan pada orang-orang di sekitarku bahwa Naira adalah sahabatku. Aku mengenalnya sejak kecil. Dia baik sekali. Selalu ada baik di saat aku jatuh maupun tertawa. Pernahkah sekali saja aku menanyakan suasana hati Naira? Tidak pernah. Aku bahkan gelagapan dan kelimpungan saat memutuskan mencari Naira. Tak ada petunjuk yang memungkinkanku menemukannnya. Aku berada di puncak tertinggi kesadaranku. Aku tak pernah mengenal Naira seperti ia mengenal duniaku. Egoisnya aku.
***
Ras.., Rasti?”
Sentuhan di keningku menyadarkanku. Perjalanan pulang Bandung-Jakarta benar-benar melelahkanku. Badanku terasa remuk. Aku tertidur pulas begitu menyentuh bantal empuk di kamarku. Kubuka kelopak mataku pelan-pelan. Sosok samar di hadapanku kian jelas.
“Naira?” aku bangun cepat-cepat. Menggosok mataku berkali-kali demi memastikan penglihatanku.  Naira duduk di pinggiran ranjangku. Ia tersenyum.
“Kamu seperti melihat hantu saja,” ucapnya.
“Kamu ke mana aja sih? Anak-anak pada nyariin kamu, kita sampe ke Bandung segala..,”
“Aku nggak kemana-mana, aku hanya kesuatu tempat untuk menenangkan diri,” ucap Naira singkat. Wajahnya terlihat memucat. Ah.., sahabat, pastilah beban yang menghimpitmu tak ringan. Dalam satu jeda detik, aku menghambur memeluk Naira. Ia agak kaget, terlebih mendengar isakanku.
“Maafin aku Ra, aku udah bersikap nggak adil sama kamu. Aku... aku bukan teman yang baik. Bukan seseorang yang pantas kamu panggil sahabat,” ucapku terbata-bata. Naira mengelus punggungku.
“Udah ah, nggak ada yang perlu dimaafin. Aku nggak pernah nyalahin kamu, kamu tetap saudaraku yang baik. Sahabat cerewetku,” sela Naira lembut.
“Tapi aku nggak pernah ngertiin kamu, aku selalu sibuk dengan urusanku sendiri. Seolah lupa bahwa bukan cuma aku yang bisa tertimpa masalah, berpikir kalau satu-satunya yang rajin dikunjungi masalah hanya aku. Aku bahkan nggak pernah ngasih kesempatan untukmu bercerita.”
Kukeluarkan semua hal yang kuanggap biang ketidakpedulianku terhadap Naira. Aku yang selalu sibuk sendiri.
“Aku nggak tahu kalo hidupmu sesulit itu, Ra.”
“Itu udah berlalu, Ras. Aku udah bisa bernapas lega sekarang. Kamu nggak perlu khawatir lagi,” Naira menukas. Ia melepaskan pelukanku. Matanya menatapku. Tapi aku merasa tak menemukan apa-apa disana.
“Aku nggak pernah nyalahin kamu, aku yang nggak ingin kamu masuk dalam pusaran gelap hidupku. Dengan kamu masih menganggapku sahabat masa kecilmu, itu udah sangat berarti. Seenggaknya aku nggak merasa sendiri.”
“Kamu nggak perlu khawatir. Aku udah tenang, Ras. Semua kesulitan-kesulitan itu udah kutinggalkan,,.” Naira berulang kali mengulang kalimat itu.
“Sampai kapanpun kamu akan tetap jadi sahabat terbaikku, Rasti.”
Malam itu, aku benar-benar mengeluarkan semuanya. Tanpa ada yang kusisakan kecuali janji untuk lebih peka lagi. Selama ini aku memang terlalu peduli dengan suasana hatiku. Cenderung egois. Kami bercerita hingga larut. Naira menceritakan bagaimana ayahnya berjuang menyelamatkan hidup Naira dan ketiga adiknya. Hidup berpindah-pindah hingga akhirnya menetap di Jakarta. Ayahnya melakoni profesi sebagai buruh bangunan. Hatiku remuk mendengar ceritanya.
Esok paginya tak kutemui sosok Naira di kamarku. Kupikir ia pulang subuh-subuh sekali dengan bus pertama. Anehnya, Papa, Mama, Mas Radit dan mbok Ati sukses menghadiahiku kerutan di kening mereka kala kutanya apakah mereka melihat Naira pulang.
“Kok mama nggak tahu ya kalo Naira semalam datang?” Mama bertanya-tanya.
***
Pukul 8 pagi, aku melenggang ke kampus. Aku senang karena Naira sudah kembali. Tiba di ruangan kuliah B 1.2. keheningan menyambutku. Wajah sembab teman-temanku menimbulkan tanda tanya besar dikepalaku. Naira belum datang.
“Pada kenapa sih?” Tanyaku pada Vika. Vika bungkam. Kecuali tatapannya yang makin membuatku takut. Rengga menghampiriku. Menyodorkan Koran harian terbitan kota.
“Kami turut berduka cita Ras,” ucapnya terbata.
“Apaan sih?” Lantas mataku menyusururi paragraf headline news pagi ini.
GEMPAR! SESOSOK TUBUH WANITA DITEMUKAN TEWAS DI DALAM KAMAR HOTEL KARTIKA.
Aku memandang Rengga bingung.
“Naira bunuh diri Ras, wanita di hotel itu Naira Prameswari. Teman kita. Sahabatmu!”
Ada yang berdesing riuh di telingaku. Aku limbung. Tak sanggup mencerna apa yang tengah terjadi. Naira bunuh diri? Hoax! Nggak mungkin! Semalam aku dan Naira masih sempat bercerita panjang lebar. Ia bahkan mengatakan padaku bahwa masalahnya sudah berlalu. Sudah selesai. Naira sudah tenang. Nggak mungkin. Aku menangis bingung. Kuguncang bahu Rengga.
“Jangan membohongiku Ga, Naira nggak mungkin bunuh diri! Semalam dia ada di kamarku!” aku histeris. Teman-teman yang lain merubungiku. Berusaha menenangkanku.
“Polisi udah mengidentifikasi mayatnya Ras, dan pihak kampus yang dihubungi berdasarkan kartu mahasiswa yang ditemukan didompet mayat mengatakan keyakinan bahwa mayat itu adalah Naira,” Rengga meyakinkanku.
Lututku melemas. Pandanganku mengabur, gelap.
...wanita berusia 20 tahun ini diidentifikasi adalah Naira prameswari. Mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di sebuah perguruan tinggi negeri Jakarta. Polisi menyimpulkan sementara bahwa kasus ini adalah bunuh diri melihat tak ditemukannya tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya. Barang bukti berupa selimut yang digunakan untuk menggantung dirinya kini di amankan di kantor polisi setempat demi pengusutan lebih lanjut. Mayat Naira saat ini masih berada di rumah sakit Bakti husada menunggu konfirmasi dari keluarganya.
                                                                        Kendari, Mei 2010