Selamat
menjadi dua puluh tiga!
30
November, 23 tahun silam saya dilahirkan ibu saya dengan selamat. Kakek saya
memberi nama Nafilah. Sudah menjadi semacam kebiasaan di keluarga besar Adam
Nurdin—kakek saya, seluruh anak-cucunya diberi nama oleh beliau sendiri kecuali
adik saya yang bungsu. Sebab itulah namanya sedikit lebih panjang dari
kakak-kakaknya. Uniknya, baik Bapak dan semua saudara (paman, bibi, adik,
sepupu dari pihak Bapak saya) memiliki nama satu suku kata saja. Nafilah,
Muslimah, Syajaruddin. Ini juga yang kadang membikin teman-teman sekolah saya
dulu kesulitan mengeja nama panggilan untuk saya dan kedua adikku. Nanti ketika
saya masuk kuliah barulah nama panggilan `Fila` saya sandang. Di rumah? Tetaaaap,
N A F I L A H. Jangan salah, arti lain nama Nafilah adalah ibadah tambahan dan
terjemahan versi bebasnya, anugerah. Entah apa maksud Alm. Kakek saya memberi
tersebut, yang saya yakini insya Allah niatnya baik. :D
Dari cerita
yang saya dengar, kelahiran saya disambut penuh sukacita. Sebab kenapa? Karena saya
merupakan cucu pertama bagi keluarga Adam Nurdin dan anak pertama bagi kedua
orangtua saya. Dalam ingatan saya, masa kecil yang saya lalui abu-abu. Kalau
saya mau mengatakan bahagia, saya bahagia. Kalau saya mau mengatakan saya tidak
bahagia, saya tidak bahagia. Jadi tergantung sudut pandang apa yang saya pakai
ketika menjawab bahagiakah saya dengan masa kecil saya?
Tiga atau
empat tahun lalu, barangkali saya akan keukeuh ngomong saya benci masa lalu
yang pernah saya alami. Saya berharap tidak pernah mengalami hal-hal buruk di
belakang. Insiden-insiden yang membuat saya benci mendengar keributan, benci
melihat orang lain begitu betah menggunakan telunjuknya untuk memerintah yang
lain, membuat saya sebal jika mendengar seseorang berteriak, benci dengan
segala tetek-bengek yang membentuk saya menjadi pribadi yang `sulit didekati`
siapapun. Bakat tertutup yang saya punyai berkat pengalaman masa kecil saya. Hebat,
bukan?
Itu tiga
atau empat tahun lalu...
Sekarang,
saya tak henti-hentinya bersyukur telah melewati semua itu... Ternyata saya
adalah orang yang penuh dengan pengalaman dan pelajaran. Saya tidak akan pernah
bisa menjadi pendengar yang baik bagi sahabat-sahabat saya bila tidak mengalami
sendiri betapa tak enaknya menjadi seseorang yang diacuhkan, yang suaranya tak
pernah didengar, saya mungkin tidak akan mengecap mimpi sebagai Penulis jika
bukan karena desakan masa lalu, saya yang pendiam, tidak suka berteman,
tertutup (lebih seneng ngobrol sama buku atau dinding papan kamar saya), semua
itu... jika bukan karena pengalaman buruk dulu, saya tidak akan pernah bisa
menjadi saya yang sekarang...
Masa remaja
saya juga cenderung biasa saja. Satu-satunya yang membuatnya berbeda adalah
kehadiran sahabat saya yang saya cintai, saya memanggilnya Matt. Kami sudah
hampir sepuluh tahun menggenapi sebagai sahabat. Masa remaja saja bersama Matt
jauh berbeda dari teman-teman saya. Di saat teman-teman saya sibuk membicarakan
urusan pacaran dan romantika masa pubertas, saya dan Matt juga sedang
disibukkan dengan topik bahasan tentang Bola, kartun Naruto, Detective Conan,
Buku bacaan yang keren, filosofi hidup yang keren, Quote-quote indah yang kami
comot dari novel apa, tukaran majalah yang memuat cerpen-cerpen nyastra atau
sekadar membahas cowok-cowok yang demikian gigih mendekati sahabat saya itu. “Nggak
capek apa, ngejar-ngejar orang yang nggak mau dikejar?”
Soal cinta-cintaan
monyet, saya juga pernah kok tapi bukan untuk diekspos. Biarlah itu menjadi
pembelajaran buat saya.
Juga ketika
memutuskan mengenakkan Hijab, kami melakukannya bersama-sama.
Selebihnya,
masa remaja saja agak suram. Tekanan demi tekanan melahirkan saya dalam wujud
pemberontak, menakutkan. Sedikit saja gesekan menghampiri saya... Dor! Meledak!
Saya yang labil. Saya dicap galak. Hehe...
Tiga atau
empat tahun lalu, saya masih terhitung labil. Teman-teman kuliah masih merasa
sulit mendekati saya. Saya ingat, saya pernah membanting kursi di ruang kuliah
gara-gara teman saya yang emang udah dari sononya cerewet, nyerocos tiada henti
sementara saya sudah memberi peringatan kalau emosi saya sedang buruk. Saya pernah
memukul meja kantin dengan perkara yang hampir mirip. Saya benar-benar tidak
menyukai keributan. Dada saya terasa sesak.
Tiga atau
empat tahun lalu, saya kesulitan memanejemen emosi saya... masih tetap
menakutkan bagi teman-teman di sekitar saya.
Dan bersama
seluruh yang pernah dan telah saya alami, saya bahagia. Saya bersyukur karena
tiga atau empat tahun silam, saya bertemu Tarbiyah yang mengubah saya menjadi
lebih baik, lebih baik lagi hari demi hari. Insya Allah...
Hari ini,
30 November 2012... saya genap berusia dua puluh tiga tahun. Adik saya yang
nomer satu iseng menggoda saya. “Nafilah udah 23 tahun, berarti bentar lagi
nikah dong!” cetusnya.
Duk!
Wisuda aja
belon udah nginget nikah aja! (tapi diaminin juga dalem ati haha) ^^
Saya ingin
sedikit me-review hidup saya setaon lalu hingga hari ini. Buanyaak. Sangat banyak
hal-hal baik yang saya alami. Tak sedikit pencapaian yang saya jejaki. Sejumlah
mimpi masa kanak-kanak yang terwujud. Subhanallah...
Saya
dipertemukan dengan orang-orang keren dan bersahabat. Ada sepupu tersayang
saya, prisi. Saya selalu kangen dengan curhatan gaje kita dulu (sekarang udah
nggak sesering dulu curhat gara-gara kesibukan). Ada Teh Wiwit+Teh Eti yang
kompak sekali. Neng Rani, my bestfriend yang jauh di mata dekat di hati. Ka
Andra Eka Putra yang membantu saya berkenalan dengan dunia lain di luar ranah
pikiran saya. Ka Iman yang pernah membagi harapannya dengan saya, Ka Abrag yang
menjadi kakak laki-laki saya. Chogah, kawan seperjalanan yang susah payah saya
dekati dan sekarang malah dekat sebagai sahabat (Replika maskulin saya), Mbak
Kasma, seorang sahabat, kakak, teman sharing, aahhh... pokoknya Mbak Kasma
melengkapi hidup saya yang bolong sana-sini. Ada Mbak Putu, saya sangat-sangat
bahagia ketika pelan-pelan kami menjadi dekat lalu menjadi kawan cerita.
Saya pernah
bermimpi cerpen saya lolos media Nasional. Allah mewujudkannya.
Saya pernah
bermimpi mengenal seseorang yang keras kepalanya melebihi saya, Allah
mengabulkannya walaupun setelahnya saya harus berjuang mendamaikan sesuatu yang
terlanjur membadai.
Saya pernah
berangan-angan menginjakkan kaki di Bandung, Allah memberikan saya sebuah
kenyataan yang jauh lebih indah dari yang pernah saya cita-citakan... bertemu
saudara-saudara saya yang sangat luar biasa, saya bahkan bablas hingga ke Solo
hehe...
Saya pernah
membayangkan suatu saat saya mengajar anak-anak mengaji, Allah mendengarnya...
Ngajar anak-anak bisa sekaligus melatih diri menjadi Ibu kelak (Ehm!).
Saya pernah
berdoa, “Ya Allah bantulah saya menjadi seseorang yang lebih lembut hatinya,
seseorang yang lebih pandai mengatur emosinya, seseorang yang cengeng ini ingin
berubah lebih baik hari ini, hari esok dan hari depan... Tolong saya Ya
Allah...”
Saya sangat
percaya, Allah sedang menolong saya menuju perwujudan doa-doa saya. Tidak mudah
memang, bukan berari tidak bisa kan? Segala sesuatunya butuh proses dan proses
itulah yang nantinya akan kita kenang sebagai jembatan perjuangan. Muaranya kemudian
adalah ungkapan syukur yang tak putus-putus.
Hari ini,
Jumuah mubarak... usia saya bertambah, jatah hidup saya berkurang. Saya sedang
menjalani proses pendewasaan. Doa dan harapan saya sederhana saja.
Saya ingin
melihat wajah sumringah Ibu dan Bapak ketika saya diwisuda kelak, mendengar celotehan
adik-adik saya bahwa mereka bangga menjadi adik dari seorang Nafilah Nurdin,
membuat orang-orang bahagia dengan keberadaan saya di dekat mereka. Saya ingin
membuat kenangan yang baik hari demi hari. Doakan saya ya! ^^
Special
thanks for Matt dan Vina, dua sahabat yang jarang saya sapa tapi lekat di
hati :D
Dan semua
orang yang terus mendukung dan menghebatkan saya hingga detik ini. Lop yu pull!
^^
Hepi milad!
Barakallahu fii umrik. Masa lalu adalah pembelajaran dan masa depan adalah
perjuangan! So, don’t give up. Keep Holding On. Prayer. Take Care n’
cmaaaaiiiil kakaaaak :D
Tiga atau empat tahun di belakang adalah masa lalu... :)