Jumat, 16 November 2012

[Cerpen] B A P A K*

BAPAK
Oleh Nafilah Nurdin
Satu-satu, aku sayang Ibu
Dua-dua, juga sayang Ibu
Tiga-tiga, sayang adik-adik
Satu, dua, tiga sayang semuanya....
Prolog
Kemarahanku muntab. Sudah tidak ada yang bisa diselesaikan bila kepala terisi penuh oleh amarah. Esok paginya, tanpa berpamitan aku meninggalkan rumah. Melenggang ke kota. Perkara itu selesai bersama kepergianku. Pikirku.
=oOo=
Aku berdiri di sisi jendela kamarku yang kubiarkan terpentang lebar sehingga kesiur angin pukul dua dini hari bebas menampar-nampar wajahku. Insomnia akut yang mengganggu jam tidurku belum juga menunjukan akan sembuh. Tatapanku beralih pada sebuah ampolop putih bercap pos kampung halamanku. Ada setumpuk amplop yang sama di dalam laci mejaku. Belum sempat kubuka. Ah, bukan belum sempat tapi enggan kubaca. Sudah terhitung dua bulan ini surat-surat Ibu beruntun datang. Tak biasa. Tanpa membaca surat-surat itu pun, aku sudah bisa menebak perihal isinya. Apalagi selain memintaku pulang kampung? Sejak surat pertama, tepat setahun setelah aku meninggalkan rumah, Ibu tak pernah menyerah memintaku pulang.
Pulang kampung? Kata itu tak lagi menjadi momok menyenangkan bagiku sejak tiga tahun silam. Berbeda dengan teman-teman kuliahku yang lain, mereka begitu antusias menyambut hari-hari di akhir semester. Itu artinya liburan tak lama lagi. Liburan bagi mereka adalah kembali sejenak ke kampung halaman, menengok sanak di sana, melepas kangen. Sedangkan bagiku, liburan adalah berdiam di  kamar kost-an bersama setumpuk tulisan. Tiga kali libur lebaran dan enam kali libur semester aku tak pernah berniat pulang. Satu-satunya alasan, Bapak.
Aku mendesah seraya mengatupkan mata. Entah mengapa malam ini kegelisahan menyemut di kepalaku tanpa kuketahui dengan jelas apa penyebabnya. Desktop laptopku masih menyala menampilkan Ms Word polos tanpa satu pun paragraf di situ. Bahkan ide tulisan yang biasanya mengalir tanpa hambatan, malam ini terasa buntu.
Surat-surat Ibu?
Sedetik kemudian aku memasukan amplop putih itu ke dalam laci, menyatukannya bersama-sama kawan sepenanggungannya. Nasib yang sama, tak pernah kubuka dan kubaca mereka. Sekadar pun tidak. Dari laci itu juga aku mengambil sebotol obat tidur.
Aku butuh tidur. 
=oOo=
Bapak.
Aku mewarisi sifat keras kepalanya. Sebab kami ibarat dua medan magnet sejenis yang membikin jalan kami tiada pernah menemu simpang. Kami selalu menempuh pikiran yang berbeda. Selalu tak sepaham. Pada puncak perseteruan kami, perkara kuliah kemudian benar-benar membawaku menjauh darinya. Dari rumah. Bapak ingin aku melanjutkan ke sekolah kesehatan tetapi aku bersikeras memilih Fakultas Sastra.
“Kau pergilah dengan pilihanmu dan jangan mengharap Bapak menanggungnya. Kau memilih berarti kau paham konsekuensi yang harus kau emban.”
Kalimat terakhir Bapak malam itu terdengar seperti menjatuhkan vonis telak untukku. Aku bukan anak Bapak lagi. Tangis Ibu tak mematahkan niatku. Demi Bapak, sayang betul kami berpisah dengan cara menyedihkan.
Aku serius melakoni pilihanku. Aku lolos di Jurusan Sastra Jepang. Di tanah orang, tanpa asupan dana dari rumah aku tetap berusaha bertahan dengan honor hasil menulis cerpen yang kadang-kadang tak lancar bila dalam sebulan tak ada satu pun karyaku diterbitkan di media. Tambahan uang saku datang dari les privat yang aku berikan pada anak-anak di sekitaran kompleks kost. Agak mengenaskan memang, namun berkat kekerasan kepalaku pula aku sanggup membuktikan kepada dunia, kepada Bapak, aku masih eksis hingga detik ini.
=oOo=
“Bapakmu sakit parah, Ning!”
Sekonyong-konyong aku bergegas cepat merebut surat Ibu yang kini digenggam Kalya, teman satu kost-an. Kurang ajar betul, anak itu berani menerobos kamarku di saat aku tak ada. Membaca surat Ibu pula!
“Tak ada urusan denganmu. Kau, apa yang kau lakukan di sini? Siapa yang memberimu kunci kamar?” cecarku kesal mendekati marah.
“Bapakmu sakit!” Kalya tak menggubris wajah galakku.
“Apa pedulimu?” Belum pernah aku sesengit ini pada Kalya. Juga dengan orang lain. Urusan ini tidak sesepele yang kalian pikirkan! Aku dibekap amarah. Entah mengapa. Aku marah karena karena Kalya membaca surat Ibu atau karena ia mengungkit Bapak?
“Kau harus pulang, Ning. Sebelum terlambat.” Kalya masih mencoba menguasai ketenangan. Aku acuh. Kuhenyakan pantatku di sisi ranjang. Meletakkan ranselku yang padat. Sejenak aku mencoba menetralisir denyut di batok kepala. Hari ini terasa panjang dan melelahkan dengan kehadiran Kalya di sini. Aku sudah cukup tenang setelah beberapa hari berpura-pura tak pernah ada surat Ibu di laci mejaku
“Keluarlah...” pintaku lebih halus kepada Kalya.
“Ning.” Wajah Kalya memelas. Aku tahu ia terlalu peduli padaku. Ia tidak tahu, aku tak pernah lagi berusaha memedulikan sesuatu kecuali hidupku hari ini. Sayang betul pada niat baiknya itu.
“Kau salah telah memasuki kamarku dan membaca surat yang tidak diperuntukkan padamu. Keluarlah, jangan sampai aku mengusirmu.” Suaraku merendah. Penuh tekanan.
Kalya terlihat tak rela saat melangkah keluar.
“Hatimu tidak sekeras itu, Ning. Aku tidak sok tahu. Kau hanya perlu berdamai.”
Aku menatap lembar surat Ibu yang jatuh ke lantai. Bapak sakit? Ah. Aku lelah.
=oOo=
“Bapakmu sakit keras, nak. Pulanglah. Ibu mohon luangkanlah sedikit waktu dari kesibukanmu untuk menjenguknya. Demi apapun yang kau anggap penting, tengoklah bapakmu.” Suara pelan Ibu tenggelam dalam rinai tangisnya. Di seberang sana, nun jauh di sebuah wartel kampung halamanku.
Kulirik jam dinding kamarku. Menjelang dini hari. Ada yang terasa melompat dari bilik dadaku. Bapak? Sedemikian gawatkah kondisi beliau sehingga mengharuskan Ibu keluar selarut ini hanya demi mengabariku?
“Bu....” Aku gagal menjawab. Tercekat.
“Bapakmu, bapakmu ingin melihatmu.”
Kenapa aku harus mendengarnya dari Ibu? Kalimat itu.... Rahangku mengeras
Tanpa sadar aku termenung di depan jendela kamarku lebih dari sejam lalu setelah Ibu menutup telpon. Bapak, apa kabar? Benarkah kau ingin bertemu denganku? Bapak...
Pulang.
Aku masih terjaga hingga semburat matahari menyepuh pagi.
=oOo=
“Bapak?”
Peganganku pada gagang pintu terlepas. Tenggorokanku seperti disusupi benda aneh. Aku baru saja kembali dari kampus petang ini. Kepala penat berkali lipat. Entah kenapa aku merasa terlalu cepat kelelahan belakangan ini. Ada sesuatu yang mengganjal pikiranku dan malangnya aku tak tahu apa.
Sosok itu demikian lekat. Bapak bangkit dari kursi di depan kamarku. Senyumnya mekar.
“Ah, kau pulang juga. Bapak kira temanmu main-main waktu bilang kau pulang menjelang isya`. Kau pasti capek. Ibumu membekali Bapak dengan Kinokori. Ayok, mana kunci kamarmu? Sudah lama Bapak tidak makan malam bersamamu. Hening, kenapa bengong, nak?”
Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Masih sibuk mencerna kekagetanku. Terlalu tiba-tiba. Bukankah Ibu bilang kemarin Bapak sedang sakit? Bagaimanalah ini? Situasi ganjil dan kikuk seketika memencar di antara kami. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Rasanya seperti ada tembok tinggi yang terlanjur menghalangi pandanganku pada Bapak. Aku sangat sadar kalau Bapak mencoba segala macam upayanya agar kami terlihat baik-baik saja. Bahwa apa yang pernah terjadi di masa lalu bukanlah apa-apa yang patut diungkap kembali. Bahwa kami tidak pernah saling menegangkan urat leher pada suatu malam silam. Bahwa aku sudah lupa kami belum pernah bersua hangat hingga hari ini aku menemukannya sedang menungguku di depan pintu kost sambil menenteng tas pakaiannya yang kumal.
Aku merasa asing di kamarku sendiri.
Menjelang dini hari, aku menyeberang ke kamar Kalya. Maafkan aku, Bapak...
=oOo=
“Maukah kau pulang ke rumah liburan semeter nanti? Kepulanganmu akan tepat bersamaan dengan panen jagung. Bukankah kau suka memanen jagung bareng Bapak waktu kecil dulu? Bapak masih ingat kau merengek ingin ikut Bapak ke kebun padahal hujan sedang derasnya. kau sangat suka hujan dan kebun. Aahh, kau sudah dewasa sekarang. Hening anakku sudah punya dunia sendiri...”
Kudengar Bapak bermonolog di belakangku. Ia sedang berbaring telentang di ranjang sembari menggantungkan tatapannya pada langit-langit kamar. ini hari keduanya bersamaku dan aku belum pernah sekalipun mengeluarkan suara untuknya. Aku hanya sekilas meliriknya sebelum kemudian menenggelamkan pikiranku dalam ketikan naskah cerpen yang kukerjakan sejak bakda Isya`.
“Ibumu bilang kau tidak mau pulang karena Bapak. Kau marah pada Bapak. Yah, Bapak memang bersalah padamu, nak. Bertahun-tahun Bapak membiarkanmu berjuang sendiri. Maukah kau percaya kalau Bapak bilang sejak malam ketika kau pergi Bapak tidak pernah nyenyak tidur? Saban malam memikirkan bagaimana kabarmu di tanah orang. Apakah kau makan dengan baik? Apakah kau masuk kuliah tanpa kendala? Apakah uang sakumu cukup? Apakah... apakah...” Suara Bapak tenggelam.
Di kursiku, aku tak berani memutar badan. Sama sekali tak punya nyali menatap Bapak. Tanganku gagap menggenggam mouse. Gemetar.
“Bapak tidak pernah alpa mengikuti kabarmu. Nak Kalya, dialah yang selalu membalas surat-surat ibumu. Mengabari kami tentang dirimu. Bapak tahu kau memilih menulis sebagai penghidupanmu, bukan perawat atau mantri seperti yang bapak inginkan. Kau benar sekali, nak. Jika keinginan Bapak membuatmu sakit hati maka tinggalkanlah. Kau sudah benar. Ketahuilah, Ning... Bapak bangga menjadi bapakmu. Kelak jika Bapak menghadap Tuhan, Bapak tidak akan menyesal meninggalkanmu. Kau bisa menjaga Ibu dan adik-adikmu. Bapak percaya padamu, nak.”
Bapak menangis.  
Perasaan entah apa serasa menggedor di balik dadaku. Sesak. Satu detik. Dua detik. Tiga. Empat. Aku bangkit cepat meraih jaket di sandaran kursi, kemudian berjalan keluar tanpa melihat Bapak. Kepalaku sebentar lagi meledak bila terus berada di kamar.
Kalya mencegatku di beranda kost. Matanya awas menangkap ketidakberesan di wajahku.
“Titip Bapak, Kal.”
Aku meninggalkan Kalya bersama sketsa kebingungannya.
Aku belum juga bisa menyapa Bapak dengan suaraku. Sejujurnya aku tak tahu apa yang sedang aku hindari. Bapak atau diriku sendiri?
=oOo=
“Bapakmu pulang pukul 6 pagi tadi, Ning. Beliau menunggumu semalam suntuk tapi kau tidak mucul hingga subuh. Kau kemana saja? Tega benar meninggalkan bapakmu sendirian. Kau seperti bukan Hening yang aku kenal.” Kalya menyambutku lengkap dengan wajah sebalnya.
Tak kupedulikan. Aku menerobos masuk ke kamarku. Rapi. Bapak pergi tanpa pamit padaku. Apakah ia kecewa karena aku tak mengatakan apa-apa semalam?
“Kau lupa atau pura-pura lupa?” Kalya mengikuti di belakang.
“Apa?”kugeletakkan tubuhku di kasur. Bapak menungguku semalaman?
“Hari ini ulang tahun bapakmu. Aku tidak percaya kau bisa lupa itu.”
Darahku memanas sangat cepat.
“Kau bilang apa?”
Belum sempat Kalya mengulang jawabannya aku sudah melompat dan berlari keluar. Ya Tuhan, entah sekarat apa aku memelihara amarah ini. Seluruh persendianku lemas. Tidak. Aku ingin memeluk Bapak. Sungguh. Air mataku mengalir, menderas dan untuk yang pertama kalinya selama hampir empat tahun terakhir aku menangis hebat. Bapak ulang tahun. Bapak mengajakku berdamai di hari ulang tahunnya. Tidakkah ini akan menjadi hadiah paling melegakan? Aku terisak dalam angkot yang membawaku ke terminal antar kota.
Bapak, jangan pergi...
=oOo=
Epilog
Satu-satu, aku sayang Ibu
Dua-dua, juga sayang Bapak
Tiga-tiga, sayang adik-adik
Satu, dua, tiga sayang semuanya....
Rintik hujan menempel di kaca jendela bus yang membawaku pulang. Aku membuang pandanganku ke deretan pepohonan rimbun di sepanjang jalan. aku selalu menyukai musim hujan karena saat itu semua tanaman seperti menemukan jalan keluar dari paceklik hidup..
“Pulang kampung dek?” Bapak paro baya yang duduk tepat di sampingku menegur ramah.
Aku mengangguk.
“Kapan terakhir pulang?”
“Musim panen jagung tahun kemarin, Pak.”
“Wah, aku pernah dengar Rarontole adalah penghasil jagung terbaik di Kabaena.”
Terbitlah percakapan sesama perantau. Diam-diam aku tersenyum. Kata Bapak, tahun ini jagung-jagung di ladang sehat-sehat semua. Tak sabar rasanya ingin segera tiba di rumah
Sudah habis masa ketika takaran benci memberatiku.
Aku membabi buta dalam kesal.
"Seharusnya, warnamu tak boleh ada di kanvasku!" Begitulah aku
menudingmu kala itu.
Aku yang senyap di riuhnya waktu.
Melihatmu, genderang perang seketika memekakkan telingaku.
Kaulah yang mengajariku mengeja makna amarah
menitinya di bebatuan cadas.
Kemudian kupahami, bahwa elegi yang kupikir sepanjang hayat ini hanyalah
Kamuflase
Jamahan kehangatan nurani pelan-pelan memberanguskan misi
membunuhmu dari darahku.
Membiarkannya luruh menganak sungai.
Bapak, ini riwayat kita.
Saat kau bangun pagi ini, hiruplah secangkir teh panas di atas meja d iteras
rumah panggung kita.
Telah kukabarkan kepulanganku....
Tamat
*Kinokori : Makanan khas Kabaena yang bahan utamanya terbuat dari jagung.
*Dimuat di majalah Story edisi September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^