BAPAK
Oleh
Nafilah Nurdin
Satu-satu, aku sayang Ibu
Dua-dua, juga sayang Ibu
Tiga-tiga, sayang adik-adik
Satu, dua, tiga sayang semuanya....
Prolog
Kemarahanku
muntab. Sudah tidak ada yang bisa diselesaikan bila kepala terisi penuh oleh
amarah. Esok paginya, tanpa berpamitan aku meninggalkan rumah. Melenggang ke
kota. Perkara itu selesai bersama kepergianku. Pikirku.
=oOo=
Aku berdiri di
sisi jendela kamarku yang kubiarkan terpentang lebar sehingga kesiur angin
pukul dua dini hari bebas menampar-nampar wajahku. Insomnia akut yang
mengganggu jam tidurku belum juga menunjukan akan sembuh. Tatapanku beralih
pada sebuah ampolop putih bercap pos kampung halamanku. Ada setumpuk amplop
yang sama di dalam laci mejaku. Belum sempat kubuka. Ah, bukan belum sempat
tapi enggan kubaca. Sudah terhitung dua bulan ini surat-surat Ibu beruntun
datang. Tak biasa. Tanpa membaca surat-surat itu pun, aku sudah bisa menebak
perihal isinya. Apalagi selain memintaku pulang kampung? Sejak surat pertama,
tepat setahun setelah aku meninggalkan rumah, Ibu tak pernah menyerah memintaku
pulang.
Pulang kampung?
Kata itu tak lagi menjadi momok menyenangkan bagiku sejak tiga tahun silam.
Berbeda dengan teman-teman kuliahku yang lain, mereka begitu antusias menyambut
hari-hari di akhir semester. Itu artinya liburan tak lama lagi. Liburan bagi
mereka adalah kembali sejenak ke kampung halaman, menengok sanak di sana,
melepas kangen. Sedangkan bagiku, liburan adalah berdiam di kamar kost-an bersama setumpuk tulisan. Tiga
kali libur lebaran dan enam kali libur semester aku tak pernah berniat pulang.
Satu-satunya alasan, Bapak.
Aku mendesah
seraya mengatupkan mata. Entah mengapa malam ini kegelisahan menyemut di
kepalaku tanpa kuketahui dengan jelas apa penyebabnya. Desktop laptopku masih
menyala menampilkan Ms Word polos
tanpa satu pun paragraf di situ. Bahkan ide tulisan yang biasanya mengalir
tanpa hambatan, malam ini terasa buntu.
Surat-surat Ibu?
Sedetik kemudian
aku memasukan amplop putih itu ke dalam laci, menyatukannya bersama-sama kawan
sepenanggungannya. Nasib yang sama, tak pernah kubuka dan kubaca mereka.
Sekadar pun tidak. Dari laci itu juga aku mengambil sebotol obat tidur.
Aku butuh tidur.
=oOo=
Bapak.
Aku mewarisi
sifat keras kepalanya. Sebab kami ibarat dua medan magnet sejenis yang membikin
jalan kami tiada pernah menemu simpang. Kami selalu menempuh pikiran yang
berbeda. Selalu tak sepaham. Pada puncak perseteruan kami, perkara kuliah
kemudian benar-benar membawaku menjauh darinya. Dari rumah. Bapak ingin aku
melanjutkan ke sekolah kesehatan tetapi aku bersikeras memilih Fakultas Sastra.
“Kau pergilah
dengan pilihanmu dan jangan mengharap Bapak menanggungnya. Kau memilih berarti
kau paham konsekuensi yang harus kau emban.”
Kalimat terakhir
Bapak malam itu terdengar seperti menjatuhkan vonis telak untukku. Aku bukan
anak Bapak lagi. Tangis Ibu tak mematahkan niatku. Demi Bapak, sayang betul
kami berpisah dengan cara menyedihkan.
Aku serius
melakoni pilihanku. Aku lolos di Jurusan Sastra Jepang. Di tanah orang, tanpa
asupan dana dari rumah aku tetap berusaha bertahan dengan honor hasil menulis
cerpen yang kadang-kadang tak lancar bila dalam sebulan tak ada satu pun
karyaku diterbitkan di media. Tambahan uang saku datang dari les privat yang
aku berikan pada anak-anak di sekitaran kompleks kost. Agak mengenaskan memang,
namun berkat kekerasan kepalaku pula aku sanggup membuktikan kepada dunia,
kepada Bapak, aku masih eksis hingga detik ini.
=oOo=
“Bapakmu sakit
parah, Ning!”
Sekonyong-konyong
aku bergegas cepat merebut surat Ibu yang kini digenggam Kalya, teman satu
kost-an. Kurang ajar betul, anak itu berani menerobos kamarku di saat aku tak
ada. Membaca surat Ibu pula!
“Tak ada urusan
denganmu. Kau, apa yang kau lakukan di sini? Siapa yang memberimu kunci kamar?”
cecarku kesal mendekati marah.
“Bapakmu sakit!”
Kalya tak menggubris wajah galakku.
“Apa pedulimu?”
Belum pernah aku sesengit ini pada Kalya. Juga dengan orang lain. Urusan ini
tidak sesepele yang kalian pikirkan!
Aku dibekap amarah. Entah mengapa. Aku marah karena karena Kalya membaca surat
Ibu atau karena ia mengungkit Bapak?
“Kau harus
pulang, Ning. Sebelum terlambat.” Kalya masih mencoba menguasai ketenangan. Aku
acuh. Kuhenyakan pantatku di sisi ranjang. Meletakkan ranselku yang padat.
Sejenak aku mencoba menetralisir denyut di batok kepala. Hari ini terasa
panjang dan melelahkan dengan kehadiran Kalya di sini. Aku sudah cukup tenang
setelah beberapa hari berpura-pura tak pernah ada surat Ibu di laci mejaku
“Keluarlah...”
pintaku lebih halus kepada Kalya.
“Ning.” Wajah
Kalya memelas. Aku tahu ia terlalu peduli padaku. Ia tidak tahu, aku tak pernah
lagi berusaha memedulikan sesuatu kecuali hidupku hari ini. Sayang betul pada
niat baiknya itu.
“Kau salah telah
memasuki kamarku dan membaca surat yang tidak diperuntukkan padamu. Keluarlah,
jangan sampai aku mengusirmu.” Suaraku merendah. Penuh tekanan.
Kalya terlihat
tak rela saat melangkah keluar.
“Hatimu tidak
sekeras itu, Ning. Aku tidak sok tahu. Kau hanya perlu berdamai.”
Aku menatap
lembar surat Ibu yang jatuh ke lantai. Bapak sakit? Ah. Aku lelah.
=oOo=
“Bapakmu sakit
keras, nak. Pulanglah. Ibu mohon luangkanlah sedikit waktu dari kesibukanmu
untuk menjenguknya. Demi apapun yang kau anggap penting, tengoklah bapakmu.”
Suara pelan Ibu tenggelam dalam rinai tangisnya. Di seberang sana, nun jauh di
sebuah wartel kampung halamanku.
Kulirik jam
dinding kamarku. Menjelang dini hari. Ada yang terasa melompat dari bilik
dadaku. Bapak? Sedemikian gawatkah kondisi beliau sehingga mengharuskan Ibu
keluar selarut ini hanya demi mengabariku?
“Bu....” Aku
gagal menjawab. Tercekat.
“Bapakmu,
bapakmu ingin melihatmu.”
Kenapa aku harus
mendengarnya dari Ibu? Kalimat itu.... Rahangku mengeras
Tanpa sadar aku termenung
di depan jendela kamarku lebih dari sejam lalu setelah Ibu menutup telpon.
Bapak, apa kabar? Benarkah kau ingin bertemu denganku? Bapak...
Pulang.
Aku masih
terjaga hingga semburat matahari menyepuh pagi.
=oOo=
“Bapak?”
Peganganku pada
gagang pintu terlepas. Tenggorokanku seperti disusupi benda aneh. Aku baru saja
kembali dari kampus petang ini. Kepala penat berkali lipat. Entah kenapa aku
merasa terlalu cepat kelelahan belakangan ini. Ada sesuatu yang mengganjal
pikiranku dan malangnya aku tak tahu apa.
Sosok itu
demikian lekat. Bapak bangkit dari kursi di depan kamarku. Senyumnya mekar.
“Ah, kau pulang
juga. Bapak kira temanmu main-main waktu bilang kau pulang menjelang isya`. Kau
pasti capek. Ibumu membekali Bapak dengan Kinokori.
Ayok, mana kunci kamarmu? Sudah lama Bapak tidak makan malam bersamamu.
Hening, kenapa bengong, nak?”
Aku benar-benar
kehilangan kata-kata. Masih sibuk mencerna kekagetanku. Terlalu tiba-tiba.
Bukankah Ibu bilang kemarin Bapak sedang sakit? Bagaimanalah ini? Situasi
ganjil dan kikuk seketika memencar di antara kami. Aku tidak tahu harus
bersikap seperti apa. Rasanya seperti ada tembok tinggi yang terlanjur
menghalangi pandanganku pada Bapak. Aku sangat sadar kalau Bapak mencoba segala
macam upayanya agar kami terlihat baik-baik saja. Bahwa apa yang pernah terjadi
di masa lalu bukanlah apa-apa yang patut diungkap kembali. Bahwa kami tidak
pernah saling menegangkan urat leher pada suatu malam silam. Bahwa aku sudah
lupa kami belum pernah bersua hangat hingga hari ini aku menemukannya sedang
menungguku di depan pintu kost sambil menenteng tas pakaiannya yang kumal.
Aku merasa asing
di kamarku sendiri.
Menjelang dini
hari, aku menyeberang ke kamar Kalya. Maafkan aku, Bapak...
=oOo=
“Maukah kau
pulang ke rumah liburan semeter nanti? Kepulanganmu akan tepat bersamaan dengan
panen jagung. Bukankah kau suka memanen jagung bareng Bapak waktu kecil dulu?
Bapak masih ingat kau merengek ingin ikut Bapak ke kebun padahal hujan sedang
derasnya. kau sangat suka hujan dan kebun. Aahh, kau sudah dewasa sekarang.
Hening anakku sudah punya dunia sendiri...”
Kudengar Bapak
bermonolog di belakangku. Ia sedang berbaring telentang di ranjang sembari
menggantungkan tatapannya pada langit-langit kamar. ini hari keduanya bersamaku
dan aku belum pernah sekalipun mengeluarkan suara untuknya. Aku hanya sekilas
meliriknya sebelum kemudian menenggelamkan pikiranku dalam ketikan naskah
cerpen yang kukerjakan sejak bakda Isya`.
“Ibumu bilang
kau tidak mau pulang karena Bapak. Kau marah pada Bapak. Yah, Bapak memang
bersalah padamu, nak. Bertahun-tahun Bapak membiarkanmu berjuang sendiri.
Maukah kau percaya kalau Bapak bilang sejak malam ketika kau pergi Bapak tidak
pernah nyenyak tidur? Saban malam memikirkan bagaimana kabarmu di tanah orang.
Apakah kau makan dengan baik? Apakah kau masuk kuliah tanpa kendala? Apakah
uang sakumu cukup? Apakah... apakah...” Suara Bapak tenggelam.
Di kursiku, aku
tak berani memutar badan. Sama sekali tak punya nyali menatap Bapak. Tanganku
gagap menggenggam mouse. Gemetar.
“Bapak tidak
pernah alpa mengikuti kabarmu. Nak Kalya, dialah yang selalu membalas
surat-surat ibumu. Mengabari kami tentang dirimu. Bapak tahu kau memilih
menulis sebagai penghidupanmu, bukan perawat atau mantri seperti yang bapak
inginkan. Kau benar sekali, nak. Jika keinginan Bapak membuatmu sakit hati maka
tinggalkanlah. Kau sudah benar. Ketahuilah, Ning... Bapak bangga menjadi
bapakmu. Kelak jika Bapak menghadap Tuhan, Bapak tidak akan menyesal
meninggalkanmu. Kau bisa menjaga Ibu dan adik-adikmu. Bapak percaya padamu,
nak.”
Bapak menangis.
Perasaan entah
apa serasa menggedor di balik dadaku. Sesak. Satu detik. Dua detik. Tiga.
Empat. Aku bangkit cepat meraih jaket di sandaran kursi, kemudian berjalan
keluar tanpa melihat Bapak. Kepalaku sebentar lagi meledak bila terus berada di
kamar.
Kalya mencegatku
di beranda kost. Matanya awas menangkap ketidakberesan di wajahku.
“Titip Bapak,
Kal.”
Aku meninggalkan
Kalya bersama sketsa kebingungannya.
Aku belum juga
bisa menyapa Bapak dengan suaraku. Sejujurnya aku tak tahu apa yang sedang aku
hindari. Bapak atau diriku sendiri?
=oOo=
“Bapakmu pulang
pukul 6 pagi tadi, Ning. Beliau menunggumu semalam suntuk tapi kau tidak mucul
hingga subuh. Kau kemana saja? Tega benar meninggalkan bapakmu sendirian. Kau
seperti bukan Hening yang aku kenal.” Kalya menyambutku lengkap dengan wajah
sebalnya.
Tak kupedulikan.
Aku menerobos masuk ke kamarku. Rapi. Bapak pergi tanpa pamit padaku. Apakah ia
kecewa karena aku tak mengatakan apa-apa semalam?
“Kau lupa atau
pura-pura lupa?” Kalya mengikuti di belakang.
“Apa?”kugeletakkan
tubuhku di kasur. Bapak menungguku semalaman?
“Hari ini ulang
tahun bapakmu. Aku tidak percaya kau bisa lupa itu.”
Darahku memanas
sangat cepat.
“Kau bilang
apa?”
Belum sempat
Kalya mengulang jawabannya aku sudah melompat dan berlari keluar. Ya Tuhan,
entah sekarat apa aku memelihara amarah ini. Seluruh persendianku lemas. Tidak.
Aku ingin memeluk Bapak. Sungguh. Air mataku mengalir, menderas dan untuk yang
pertama kalinya selama hampir empat tahun terakhir aku menangis hebat. Bapak
ulang tahun. Bapak mengajakku berdamai di hari ulang tahunnya. Tidakkah ini
akan menjadi hadiah paling melegakan? Aku terisak dalam angkot yang membawaku
ke terminal antar kota.
Bapak, jangan pergi...
=oOo=
Epilog
Satu-satu, aku sayang Ibu
Dua-dua, juga sayang Bapak
Tiga-tiga, sayang adik-adik
Satu, dua, tiga sayang semuanya....
Rintik hujan
menempel di kaca jendela bus yang membawaku pulang.
Aku membuang pandanganku ke deretan pepohonan rimbun di sepanjang jalan. aku
selalu menyukai musim hujan karena saat itu semua tanaman seperti menemukan
jalan keluar dari paceklik hidup..
“Pulang kampung
dek?” Bapak paro baya yang duduk tepat di sampingku menegur ramah.
Aku mengangguk.
“Kapan terakhir
pulang?”
“Musim panen jagung
tahun kemarin, Pak.”
“Wah, aku pernah
dengar Rarontole adalah penghasil jagung terbaik di Kabaena.”
Terbitlah
percakapan sesama perantau. Diam-diam aku tersenyum. Kata Bapak, tahun ini
jagung-jagung di ladang sehat-sehat semua. Tak sabar rasanya ingin segera tiba
di rumah
Sudah habis masa
ketika takaran benci memberatiku.
Aku membabi buta
dalam kesal.
"Seharusnya,
warnamu tak boleh ada di kanvasku!" Begitulah aku
menudingmu kala itu.
Aku yang senyap
di riuhnya waktu.
Melihatmu,
genderang perang seketika memekakkan telingaku.
Kaulah yang
mengajariku mengeja makna amarah
menitinya di bebatuan
cadas.
Kemudian
kupahami, bahwa elegi yang kupikir sepanjang hayat ini hanyalah
Kamuflase
Jamahan
kehangatan nurani pelan-pelan memberanguskan misi
membunuhmu dari darahku.
Membiarkannya
luruh menganak sungai.
Bapak, ini
riwayat kita.
Saat kau bangun
pagi ini, hiruplah secangkir teh panas di atas meja d iteras
rumah panggung
kita.
Telah kukabarkan
kepulanganku....
Tamat
*Kinokori :
Makanan khas Kabaena yang bahan utamanya terbuat dari jagung.
*Dimuat di majalah Story edisi September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^