Selasa, 20 November 2012

[Naira, Kisah Yang Hilang]


NAIRA, KISAH YANG HILANG
Oleh : Nafilah Nurdin
            Aku tidak ingin menangis untuk hidupku yang kacau ini. Tidak lagi. Menangis tentu saja tidak akan menyelesaikan apapun. Hanya akan meredakan dalam waktu yang relatif singkat. Setelah itu, masalah-masalah yang terungsikan sementara akan kembali mengusikku dengan kesesakan yang teramat melelahkanku. Aku tidak bisa mengharapkan siapapun untuk membantuku. Saat ini aku lebih nyaman dengan diam. Sungguh, aku tak punya pilihan lain.
            Kutemukan catatan singkat itu di dalam buku harian Naira, dua hari setelah ia menghilang. Kertas lusuh itu terselip di antara lembar-lembar kertas berbau harum.
            Naira sahabatku. Aku mengenalnya ketika kami bersekolah di TK yang sama. Dan ternyata rumahnya terletak tak jauh dari rumahku. Hanya terpisah satu blok. Sesuatu kemudian terjadi pada ayahnya. Usaha mandiri yang dikelola ayah Naira kolaps ketika kami duduk di bangku kelas dua SMP, sehingga Naira dan keluarganya harus pindah ke Bandung. Setelah itu aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Naira. Ia seperti hilang ditelan bumi. Lalu kami dipertemukan kembali setahun silam ketika aku menginjakan kaki di Universitas. Semester pertamaku.
            Naira banyak berubah. Kacamata minus melapisi sepasang mata beningnya. Ia terlihat sangat pendiam dan kikuk. Aku sangsi Naira akan menegurku jika  bukan aku yang duluan menowel pinggangnya. Tahi lalat didagu bagian kirinya tak kan pernah kulupakan. Ternyata kami mengambil jurusan yang sama. Komunikasi. Kontras dengan pembawaannya yang sunyi.
            Tak sulit bagiku untuk mengakrabkan diri dengan Naira. Meskipun Naira pendiam tapi Naira baik dan penuh perhatian padaku. Masih seperti saat kami masih kanak-kanak dulu. Dia selalu mendengarkan dan menasehatiku jika aku sedang dipusingkan dengan urusan yang kuhadapi. Satu yang luput dari perhatianku sebagai sahabat. Naira tak pernah membagi secuilpun keluhannya padaku. Aku baru menyadari itu ketika Naira tiba-tiba menghilang dari peredaran. Aku tak melihatnya di kampus. Poselnya di luar area. Ketika kudatangi kamar kosnya, ibu kosnya bilang Naira sudah berhari-hari tidak pulang.
Dengan menggunakan kunci duplikat dari ibu kos Naira, aku berhasil masuk ke dalam kamarnya. Semua barang-barang naira masih lengkap dan tersimpan rapi. Tak sengaja kutemukan buku harian berwarna langit senja di atas ranjangnya. Dan membaca catatan itu membuatku memahami seorang Naira yang sebenarnya. Naira sahabatku. Dia sedang dirundung masalah. Dan itu tidak sepele.
***
Genap seminggu Naira lenyap tanpa kabar. Aku sangat menghawatirkannya. Tak ada nomor yang bisa kuhubungi. Dibantu teman-temanku di jurusan yang juga berempati dengan hilangnya Naira, kami memutuskan ke Bandung. Berharap menemukan Naira di alamat yang ditulisnya pada berkas pendaftaran dulu.
“Neng Naira mah udah nggak tinggal disini sejak ibunya meninggal.”
Aku seperti tersengat arus listrik tegangan tinggi ketika mendengar penuturan tetangga rumah yang pernah ditinggali Naira dan keluarganya.
Lalu lanjutan cerita si bapak setengah baya mengenai Naira sungguh memerihkan hati terdalamku sebagai sahabatnya, yang mengaku paling dekat dengannya dari sisi perasaan. Tidak. Aku keliru selama ini. Ibu Naira meninggal saat Naira sedang menempuh tahun terakhirnya di bangku putih abu-abu. Kanker hati akut. Akibat desakan ekonomi, lagi-lagi Naira beserta Ayah dan ketiga adiknya harus meninggalkan Bandung. Ke mana mereka setelah itu? Si bapak menggeleng tak tahu. Katanya Ayah Naira berusaha menghindari para penagih hutang.
Aku termangu sangat lama. Air mataku menggenang. Kehilangan kata. Betapa berat beban Naira melewati hari-hari sulit. Bagaimana ia melewati semua itu tuhan?
“Naira nggak ada di sini ras,” Rengga, ketua tingkat di angkatanku menyadarkanku.
“Trus, kita musti nyari Naira kemana?” Tanya Vika menimpali.
Aku menatap wajah mereka satu-persatu. Rengga, Dhodot, Hesti dan Rana. Orang-orang ini begitu peduli pada sosok Naira. Sosok pendiam itu telah berhasil mencuri perhatian manusia-manusia penghuni komunikasi. Tak hanya sebatas angkatanku. Begitu pula senior, yunior bahkan dosen-dosen. Naira selalu sukses memberikan solusi setiap kali himpunan kesulitan menemukan ide untuk program-program kerja. Naira yang tak suka banyak bicara. Hanya seperlunya saja. Namun kontribusinya buat kami sungguh luar biasa, terlebih aku.
Aku merindukan si pendiam itu. Air mataku tak henti-hentinya mengalir dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Ya Tuhan.. orang macam apa aku ini? Aku selalu mengatakan pada orang-orang di sekitarku bahwa Naira adalah sahabatku. Aku mengenalnya sejak kecil. Dia baik sekali. Selalu ada baik di saat aku jatuh maupun tertawa. Pernahkah sekali saja aku menanyakan suasana hati Naira? Tidak pernah. Aku bahkan gelagapan dan kelimpungan saat memutuskan mencari Naira. Tak ada petunjuk yang memungkinkanku menemukannnya. Aku berada di puncak tertinggi kesadaranku. Aku tak pernah mengenal Naira seperti ia mengenal duniaku. Egoisnya aku.
***
Ras.., Rasti?”
Sentuhan di keningku menyadarkanku. Perjalanan pulang Bandung-Jakarta benar-benar melelahkanku. Badanku terasa remuk. Aku tertidur pulas begitu menyentuh bantal empuk di kamarku. Kubuka kelopak mataku pelan-pelan. Sosok samar di hadapanku kian jelas.
“Naira?” aku bangun cepat-cepat. Menggosok mataku berkali-kali demi memastikan penglihatanku.  Naira duduk di pinggiran ranjangku. Ia tersenyum.
“Kamu seperti melihat hantu saja,” ucapnya.
“Kamu ke mana aja sih? Anak-anak pada nyariin kamu, kita sampe ke Bandung segala..,”
“Aku nggak kemana-mana, aku hanya kesuatu tempat untuk menenangkan diri,” ucap Naira singkat. Wajahnya terlihat memucat. Ah.., sahabat, pastilah beban yang menghimpitmu tak ringan. Dalam satu jeda detik, aku menghambur memeluk Naira. Ia agak kaget, terlebih mendengar isakanku.
“Maafin aku Ra, aku udah bersikap nggak adil sama kamu. Aku... aku bukan teman yang baik. Bukan seseorang yang pantas kamu panggil sahabat,” ucapku terbata-bata. Naira mengelus punggungku.
“Udah ah, nggak ada yang perlu dimaafin. Aku nggak pernah nyalahin kamu, kamu tetap saudaraku yang baik. Sahabat cerewetku,” sela Naira lembut.
“Tapi aku nggak pernah ngertiin kamu, aku selalu sibuk dengan urusanku sendiri. Seolah lupa bahwa bukan cuma aku yang bisa tertimpa masalah, berpikir kalau satu-satunya yang rajin dikunjungi masalah hanya aku. Aku bahkan nggak pernah ngasih kesempatan untukmu bercerita.”
Kukeluarkan semua hal yang kuanggap biang ketidakpedulianku terhadap Naira. Aku yang selalu sibuk sendiri.
“Aku nggak tahu kalo hidupmu sesulit itu, Ra.”
“Itu udah berlalu, Ras. Aku udah bisa bernapas lega sekarang. Kamu nggak perlu khawatir lagi,” Naira menukas. Ia melepaskan pelukanku. Matanya menatapku. Tapi aku merasa tak menemukan apa-apa disana.
“Aku nggak pernah nyalahin kamu, aku yang nggak ingin kamu masuk dalam pusaran gelap hidupku. Dengan kamu masih menganggapku sahabat masa kecilmu, itu udah sangat berarti. Seenggaknya aku nggak merasa sendiri.”
“Kamu nggak perlu khawatir. Aku udah tenang, Ras. Semua kesulitan-kesulitan itu udah kutinggalkan,,.” Naira berulang kali mengulang kalimat itu.
“Sampai kapanpun kamu akan tetap jadi sahabat terbaikku, Rasti.”
Malam itu, aku benar-benar mengeluarkan semuanya. Tanpa ada yang kusisakan kecuali janji untuk lebih peka lagi. Selama ini aku memang terlalu peduli dengan suasana hatiku. Cenderung egois. Kami bercerita hingga larut. Naira menceritakan bagaimana ayahnya berjuang menyelamatkan hidup Naira dan ketiga adiknya. Hidup berpindah-pindah hingga akhirnya menetap di Jakarta. Ayahnya melakoni profesi sebagai buruh bangunan. Hatiku remuk mendengar ceritanya.
Esok paginya tak kutemui sosok Naira di kamarku. Kupikir ia pulang subuh-subuh sekali dengan bus pertama. Anehnya, Papa, Mama, Mas Radit dan mbok Ati sukses menghadiahiku kerutan di kening mereka kala kutanya apakah mereka melihat Naira pulang.
“Kok mama nggak tahu ya kalo Naira semalam datang?” Mama bertanya-tanya.
***
Pukul 8 pagi, aku melenggang ke kampus. Aku senang karena Naira sudah kembali. Tiba di ruangan kuliah B 1.2. keheningan menyambutku. Wajah sembab teman-temanku menimbulkan tanda tanya besar dikepalaku. Naira belum datang.
“Pada kenapa sih?” Tanyaku pada Vika. Vika bungkam. Kecuali tatapannya yang makin membuatku takut. Rengga menghampiriku. Menyodorkan Koran harian terbitan kota.
“Kami turut berduka cita Ras,” ucapnya terbata.
“Apaan sih?” Lantas mataku menyusururi paragraf headline news pagi ini.
GEMPAR! SESOSOK TUBUH WANITA DITEMUKAN TEWAS DI DALAM KAMAR HOTEL KARTIKA.
Aku memandang Rengga bingung.
“Naira bunuh diri Ras, wanita di hotel itu Naira Prameswari. Teman kita. Sahabatmu!”
Ada yang berdesing riuh di telingaku. Aku limbung. Tak sanggup mencerna apa yang tengah terjadi. Naira bunuh diri? Hoax! Nggak mungkin! Semalam aku dan Naira masih sempat bercerita panjang lebar. Ia bahkan mengatakan padaku bahwa masalahnya sudah berlalu. Sudah selesai. Naira sudah tenang. Nggak mungkin. Aku menangis bingung. Kuguncang bahu Rengga.
“Jangan membohongiku Ga, Naira nggak mungkin bunuh diri! Semalam dia ada di kamarku!” aku histeris. Teman-teman yang lain merubungiku. Berusaha menenangkanku.
“Polisi udah mengidentifikasi mayatnya Ras, dan pihak kampus yang dihubungi berdasarkan kartu mahasiswa yang ditemukan didompet mayat mengatakan keyakinan bahwa mayat itu adalah Naira,” Rengga meyakinkanku.
Lututku melemas. Pandanganku mengabur, gelap.
...wanita berusia 20 tahun ini diidentifikasi adalah Naira prameswari. Mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di sebuah perguruan tinggi negeri Jakarta. Polisi menyimpulkan sementara bahwa kasus ini adalah bunuh diri melihat tak ditemukannya tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya. Barang bukti berupa selimut yang digunakan untuk menggantung dirinya kini di amankan di kantor polisi setempat demi pengusutan lebih lanjut. Mayat Naira saat ini masih berada di rumah sakit Bakti husada menunggu konfirmasi dari keluarganya.
                                                                        Kendari, Mei 2010
                                                           
 

2 komentar:

  1. Ini kali keberapa mbak Nafilah menulis cerpen 'agak' misteri?

    BalasHapus
  2. Ini masuk kategori misteri ya? Keberapa ya? Ckckck, aku baru nyadar kalo di setiap cerpenku selalu ada 'misteri'nya walaupun gak terlalu dalam aura misterinya. Kadang kalo nulis aku senang membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri seperti apa akhirnya :D

    BalasHapus

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^