NAIRA,
KISAH YANG HILANG
Oleh
: Nafilah Nurdin
… Aku tidak ingin menangis untuk
hidupku yang kacau ini. Tidak lagi. Menangis tentu saja tidak akan
menyelesaikan apapun. Hanya akan meredakan dalam waktu yang relatif singkat. Setelah itu, masalah-masalah yang
terungsikan sementara akan kembali mengusikku dengan kesesakan yang teramat
melelahkanku. Aku tidak bisa mengharapkan siapapun untuk membantuku. Saat ini
aku lebih nyaman dengan diam. Sungguh, aku tak punya pilihan lain.
Kutemukan
catatan singkat itu di dalam buku harian Naira, dua hari setelah ia menghilang.
Kertas lusuh itu terselip di antara lembar-lembar kertas berbau harum.
Naira
sahabatku. Aku mengenalnya ketika kami bersekolah di TK yang sama. Dan ternyata
rumahnya terletak tak jauh dari rumahku. Hanya terpisah satu blok. Sesuatu
kemudian terjadi pada ayahnya. Usaha mandiri yang dikelola ayah Naira kolaps
ketika kami duduk di bangku kelas dua SMP, sehingga Naira dan keluarganya harus
pindah ke Bandung. Setelah itu aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Naira.
Ia seperti hilang ditelan bumi. Lalu kami dipertemukan kembali setahun silam ketika
aku menginjakan kaki di Universitas. Semester pertamaku.
Naira
banyak berubah. Kacamata minus melapisi sepasang mata beningnya. Ia terlihat
sangat pendiam dan kikuk. Aku sangsi Naira akan menegurku jika bukan aku yang duluan menowel pinggangnya.
Tahi lalat didagu bagian kirinya tak kan pernah kulupakan. Ternyata kami
mengambil jurusan yang sama. Komunikasi. Kontras dengan pembawaannya yang
sunyi.
Tak
sulit bagiku
untuk mengakrabkan diri dengan Naira. Meskipun Naira pendiam tapi Naira baik
dan penuh perhatian padaku. Masih seperti saat kami masih kanak-kanak dulu. Dia
selalu mendengarkan dan menasehatiku jika aku sedang dipusingkan dengan urusan
yang kuhadapi. Satu yang luput dari perhatianku sebagai sahabat. Naira tak
pernah membagi secuilpun keluhannya padaku. Aku baru menyadari itu ketika Naira
tiba-tiba menghilang dari peredaran. Aku tak melihatnya di kampus. Poselnya di luar
area. Ketika kudatangi kamar kosnya, ibu kosnya bilang Naira sudah berhari-hari
tidak pulang.
Dengan menggunakan
kunci duplikat dari ibu kos Naira, aku berhasil masuk ke dalam kamarnya. Semua
barang-barang naira masih lengkap dan tersimpan rapi. Tak sengaja kutemukan
buku harian berwarna langit senja di atas ranjangnya. Dan membaca catatan itu
membuatku memahami seorang Naira yang sebenarnya. Naira sahabatku. Dia sedang
dirundung masalah. Dan itu tidak sepele.
***
Genap seminggu Naira
lenyap tanpa kabar. Aku sangat menghawatirkannya. Tak ada nomor yang bisa
kuhubungi. Dibantu teman-temanku di jurusan yang juga berempati dengan
hilangnya Naira, kami memutuskan ke Bandung. Berharap menemukan Naira di alamat
yang ditulisnya pada berkas pendaftaran dulu.
“Neng Naira mah udah
nggak tinggal disini sejak ibunya meninggal.”
Aku seperti tersengat
arus listrik tegangan tinggi ketika mendengar penuturan tetangga rumah yang
pernah ditinggali Naira dan keluarganya.
Lalu lanjutan cerita si
bapak setengah baya mengenai Naira sungguh memerihkan hati terdalamku sebagai
sahabatnya, yang mengaku paling dekat dengannya dari sisi perasaan. Tidak. Aku
keliru selama ini. Ibu Naira meninggal saat Naira sedang menempuh tahun
terakhirnya di bangku putih abu-abu. Kanker hati akut. Akibat desakan ekonomi,
lagi-lagi Naira beserta Ayah dan ketiga adiknya harus meninggalkan Bandung. Ke mana
mereka setelah itu? Si bapak menggeleng tak tahu. Katanya Ayah Naira berusaha
menghindari para penagih hutang.
Aku termangu sangat
lama. Air mataku menggenang. Kehilangan kata. Betapa berat beban Naira melewati
hari-hari sulit. Bagaimana ia melewati semua itu tuhan?
“Naira nggak ada di
sini ras,” Rengga, ketua tingkat di angkatanku menyadarkanku.
“Trus, kita musti nyari
Naira kemana?” Tanya Vika menimpali.
Aku menatap wajah
mereka satu-persatu. Rengga, Dhodot, Hesti dan Rana. Orang-orang ini begitu
peduli pada sosok Naira.
Sosok pendiam itu telah berhasil mencuri perhatian manusia-manusia penghuni
komunikasi. Tak hanya sebatas angkatanku. Begitu pula senior, yunior bahkan
dosen-dosen. Naira selalu sukses memberikan solusi setiap kali himpunan
kesulitan menemukan ide untuk program-program kerja. Naira yang tak suka banyak
bicara. Hanya seperlunya saja. Namun kontribusinya buat kami sungguh luar
biasa, terlebih aku.
Aku merindukan si
pendiam itu. Air mataku tak henti-hentinya mengalir dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Ya Tuhan.. orang macam apa
aku ini? Aku selalu mengatakan pada orang-orang di sekitarku bahwa Naira adalah
sahabatku. Aku mengenalnya sejak kecil. Dia baik sekali. Selalu ada baik di
saat aku jatuh maupun tertawa. Pernahkah sekali saja aku menanyakan suasana
hati Naira? Tidak pernah. Aku bahkan gelagapan dan kelimpungan saat memutuskan
mencari Naira. Tak ada petunjuk yang memungkinkanku menemukannnya. Aku berada
di puncak tertinggi kesadaranku. Aku tak pernah mengenal Naira seperti ia
mengenal duniaku. Egoisnya aku.
***
“Ras.., Rasti?”
Sentuhan di keningku
menyadarkanku. Perjalanan pulang Bandung-Jakarta benar-benar melelahkanku.
Badanku terasa remuk. Aku tertidur pulas begitu menyentuh bantal empuk di kamarku.
Kubuka kelopak mataku pelan-pelan. Sosok samar di hadapanku kian jelas.
“Naira?” aku bangun
cepat-cepat. Menggosok mataku berkali-kali demi memastikan penglihatanku. Naira duduk di pinggiran ranjangku. Ia
tersenyum.
“Kamu seperti melihat
hantu saja,” ucapnya.
“Kamu ke mana aja sih?
Anak-anak pada nyariin kamu, kita sampe ke Bandung segala..,”
“Aku nggak kemana-mana,
aku hanya kesuatu tempat untuk menenangkan diri,” ucap Naira singkat. Wajahnya
terlihat memucat. Ah.., sahabat, pastilah beban yang menghimpitmu tak ringan.
Dalam satu jeda detik, aku menghambur memeluk Naira. Ia agak kaget, terlebih
mendengar isakanku.
“Maafin aku Ra, aku
udah bersikap nggak adil sama kamu. Aku... aku bukan teman yang baik. Bukan
seseorang yang pantas kamu panggil sahabat,” ucapku terbata-bata. Naira
mengelus punggungku.
“Udah ah, nggak ada
yang perlu dimaafin. Aku nggak pernah nyalahin kamu, kamu tetap saudaraku yang
baik. Sahabat cerewetku,” sela Naira lembut.
“Tapi aku nggak pernah
ngertiin kamu, aku selalu sibuk dengan urusanku sendiri. Seolah lupa bahwa
bukan cuma aku yang bisa tertimpa masalah, berpikir kalau satu-satunya yang
rajin dikunjungi masalah hanya aku. Aku bahkan nggak pernah ngasih kesempatan
untukmu bercerita.”
Kukeluarkan semua hal
yang kuanggap biang ketidakpedulianku terhadap Naira. Aku yang selalu sibuk
sendiri.
“Aku nggak tahu kalo
hidupmu sesulit itu, Ra.”
“Itu udah berlalu, Ras.
Aku udah bisa bernapas lega sekarang. Kamu nggak perlu khawatir lagi,” Naira
menukas. Ia melepaskan pelukanku. Matanya menatapku. Tapi aku merasa tak
menemukan apa-apa disana.
“Aku nggak pernah
nyalahin kamu, aku yang nggak ingin kamu masuk dalam pusaran gelap hidupku.
Dengan kamu masih menganggapku sahabat masa kecilmu, itu udah sangat berarti.
Seenggaknya aku nggak merasa sendiri.”
“Kamu nggak perlu
khawatir. Aku udah tenang, Ras.
Semua kesulitan-kesulitan itu udah kutinggalkan,,.” Naira berulang kali
mengulang kalimat itu.
“Sampai kapanpun kamu
akan tetap jadi sahabat terbaikku, Rasti.”
Malam itu, aku
benar-benar mengeluarkan semuanya. Tanpa ada yang kusisakan kecuali janji untuk
lebih peka lagi. Selama ini aku memang terlalu peduli dengan suasana hatiku.
Cenderung egois. Kami bercerita hingga larut. Naira menceritakan bagaimana
ayahnya berjuang menyelamatkan hidup Naira dan ketiga adiknya. Hidup
berpindah-pindah hingga akhirnya menetap di Jakarta. Ayahnya melakoni profesi
sebagai buruh bangunan. Hatiku remuk mendengar ceritanya.
Esok paginya tak
kutemui sosok Naira di kamarku. Kupikir ia pulang subuh-subuh sekali dengan bus
pertama. Anehnya, Papa, Mama, Mas Radit dan mbok Ati sukses menghadiahiku
kerutan di kening mereka kala kutanya apakah mereka melihat Naira pulang.
“Kok mama nggak tahu ya
kalo Naira semalam datang?” Mama bertanya-tanya.
***
Pukul 8 pagi, aku
melenggang ke kampus. Aku senang karena Naira sudah kembali. Tiba di ruangan
kuliah B 1.2. keheningan menyambutku. Wajah sembab teman-temanku menimbulkan
tanda tanya
besar dikepalaku. Naira belum datang.
“Pada kenapa sih?”
Tanyaku pada Vika. Vika bungkam. Kecuali tatapannya yang makin membuatku takut.
Rengga menghampiriku. Menyodorkan Koran harian terbitan kota.
“Kami turut berduka
cita Ras,”
ucapnya terbata.
“Apaan sih?” Lantas
mataku menyusururi paragraf headline news pagi ini.
GEMPAR! SESOSOK TUBUH
WANITA DITEMUKAN TEWAS DI DALAM KAMAR HOTEL KARTIKA.
Aku memandang Rengga
bingung.
“Naira bunuh diri Ras, wanita di hotel itu Naira
Prameswari. Teman kita. Sahabatmu!”
Ada yang berdesing riuh
di telingaku. Aku limbung. Tak sanggup mencerna apa yang tengah terjadi. Naira
bunuh diri? Hoax! Nggak mungkin! Semalam aku dan Naira masih sempat bercerita
panjang lebar. Ia bahkan mengatakan padaku bahwa masalahnya sudah berlalu.
Sudah selesai. Naira sudah tenang. Nggak mungkin. Aku menangis bingung.
Kuguncang bahu Rengga.
“Jangan membohongiku Ga, Naira nggak mungkin bunuh diri!
Semalam dia ada di kamarku!” aku histeris. Teman-teman yang lain merubungiku.
Berusaha menenangkanku.
“Polisi udah
mengidentifikasi mayatnya Ras,
dan pihak kampus yang dihubungi berdasarkan kartu mahasiswa yang ditemukan
didompet mayat mengatakan keyakinan bahwa mayat itu adalah Naira,” Rengga
meyakinkanku.
Lututku melemas. Pandanganku
mengabur, gelap.
...wanita
berusia 20 tahun ini diidentifikasi adalah Naira prameswari. Mahasiswa jurusan
ilmu komunikasi di sebuah perguruan tinggi negeri Jakarta. Polisi menyimpulkan
sementara bahwa kasus ini adalah bunuh diri melihat tak ditemukannya tanda-tanda
kekerasan pada tubuhnya. Barang bukti berupa selimut yang digunakan untuk
menggantung dirinya kini di amankan di kantor polisi setempat demi pengusutan
lebih lanjut. Mayat Naira saat ini masih berada di rumah sakit Bakti husada
menunggu konfirmasi dari keluarganya.
Kendari,
Mei 2010
Ini kali keberapa mbak Nafilah menulis cerpen 'agak' misteri?
BalasHapusIni masuk kategori misteri ya? Keberapa ya? Ckckck, aku baru nyadar kalo di setiap cerpenku selalu ada 'misteri'nya walaupun gak terlalu dalam aura misterinya. Kadang kalo nulis aku senang membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri seperti apa akhirnya :D
BalasHapus