Sabtu, 10 Oktober 2015

KEPADA SEORANG KAKAK YANG BAIK HATINYA

(Sebuah catatan untuk ulang tahun  yang terlambat)

Note : tulisan ini berisi kenangan-kenangan yang merentang acak.
Pada satu dari banyak tahun yang telah kami lewati, dia mengajak saya menyepi di stadion mini di tak jauh dari fakultas MIPA. Siang itu terik, kami duduk berdua di salah satu deretan bangku beton yang hening ditemani lagu milik Hadad Alwi. Waktu itu, kami belum sedekat seperti sekarang, hitungannya masih sebagai senior-yunior dari jurusan yang berbeda tetapi bernaung di bawah organisasi dakwah kampus yang sama. Ada alasan mengapa siang itu, dia mengajak saya ke tempat itu. Kakak yang baik itu sedang riuh hatinya karena ujian skripsi yang sudah digadang-gadangkan akan segera dijalaninya terpaksa harus di-pending satu semester lagi. Ada satu mata kuliah yang tertinggal entah karena tidak teliti atau sebab lain, hal itu baru disadarinya ketika hendak membuat transkrip nilai sementara sebagai salah satu persyaratan sidang. Saya adalah pendengar yang baik dan sopan, tetapi terlalu kikuk jika harus memberikan penguatan pada orang yang sedang rusuh hatinya. Hemat saya, seseorang yang sedang mengalami masalah tidak akan mempan dicekoki nasihat-nasihat bak motivator luar biasa, cukup tempatkan diri sebagai pendengar, itu adalah pilihan paling bijak yang bisa kita jalani. Maka seperti itulah saya. Jika pun menimpali sesekali, saya berusaha agar tidak terdengar menggurui.
Satu kalimat dari dia yang saya  ingat hingga detik ini,
“Semua pasti ada hikmahnya...”
Sederhana.
Ya, apalagi yang bisa kita usahakan kalau memang keadaannya sudah stuck di jeda itu. Hanya sebuah penerimaan yang disertai upaya menabah-nabahkan diri dengan segenap kekuatan hati yang tersisa. Berusaha menaruh prasangka baik kepada Allah. Itu saja yang bisa kita lakukan  sebagai manusia yang tahu diri dan tahu kapan harus berhenti sejenak.
Setelah hari berat itu, saya tiba pada kesimpulan, dia—kakak yang baik itu—memiliki mental yang kuat. Di tengah peliknya hati,dia masih bisa tersenyum. Lalu, datanglah tahun-tahun yang semakin mendekatkan kami. Saya semakin sadar, dia—kakak yang baik itu—benar-benar baik hatinya. Baik bukan dalam standar sederhana. Baik yang tidak cukup dikalkulasikan dalam bentuk kata atau nominal angka.
Sambil menulis ini, saya teringat lagi kenangan tahun pertama saya memasuki universitas yang akan menjadi rumah bagi saya menuntut ilmu empat tahun ke depan—mirisnya saya menghabiskan nyaris seluruh usia dua puluhan saya di sana—saya, yang datang dari satu desa di sebuah kabupaten yang seumur-umur bisa dihitung jari berapa kali keluar kampung halaman, kali ini harus rela meninggalkan rumah dan menetap di satu kota asing bersama orang-orang yang masih terasa asing, dan tentu saja situasi lingkungan yang juga asing. Saya penasaran, apakah orang dengan kepribadian kaku dan kikuk macam saya, bisa berinteraksi dengan orang-orang di sini? Apakah saya akan memiliki teman-teman yang bila bersama mereka, akan mengikis pelan-pelan homesick yang melanda di semester awal kuliah?
Potret kepribadian saya di masa-masa sulit itu sangat mengkhawatirkan.
Saya pun turut menjalani inisiasi sebagai mahasiswa baru bersama teman-teman satu angkatan baru di jurusan. Di tingkat fakultas, di sanalah saya bertemu pertama kali dengan mereka—termasuk si kakak yang baik hati itu—akhawat-akhawat berjilbab lebar selebar senyum yang senantiasa mengambang di bibir. Perlakuan kakak-kakak senior yang sangat ramah meninggalkan kesan mendalam di hati saya. Itulah yang mengantarkan kaki saya bergabung bersama mereka di organisasi dakwah kampus di tahun yang sama, 2008.
Saya pernah baca di suatu tempat bahwa darah memang kental, namun ikatan yang dilandaskan cinta karena Allah terkadang bisa melampaui logika terbatas manusia. Itulah yang saya alami. Terkadang, saya lebih merasa nyaman berada di sekitar orang-orang yang saya kenal dekat melalui tarbiyah dibandingkan dengan orang-orang secara ikatan darah masih ada hubungan keluarga dengan saya. Sekali lagi, bagi saya perasaan nyaman dan aman adalah satu point penting.
Kakak yang baik itu adalah satu dari sekian banyak nama yang melekat di hati saya sampai kapan pun karena kebaikan dan ketulusannya. Tidak akan cukup susunan kata-kata untuk saya tuliskan satu persatu kebaikan yang pernah dia berikan untuk hidup saya. Salah satunya adalah kesabarannya menemani saya dalam proses menyelesaikan skripsi yang terkatung-katung hampir tiga tahun lamanya. .
Saat itu, teman-teman seangkatan sudah menyelesaikan kuliah, saya saja yang tersisa sendiri. Jangan tanya bagaimana rupa perasaan saya. Andai tembok di kamar kosan saya bisa berbicara, mereka akan mendongengkannya padamu selama tujuh hari tujuh malam, dan itu takkan terasa cukup saking saratnya kegalauan dan kesedihan yang mengendap di hati serta pikiran saya.
Kakak yang baik itu selalu ada—menyediakan waktu dan seluruhnya—bila saya datang menghampirinya. Beberapa hari sebelum sidang hasil, ponsel butut saya hilang entah di mana. Belum lagi, isi kantong pas-pasan, jadi saya tidak bisa secepat kilat membeli ponsel baru. Pikir saya, bagaimanalah bisa saya lancar berurusan kalau ponsel yang selalu saya gunakan untuk berkomunikasi dengan dosen pembimbing dan penguji, saya tidak punya? Dia lah yang mengusahakan agar saya dapat pinjaman ponsel sementara hingga urusan skripsi saya selesai. Usai sidang hasil, dia tetap tinggal walau kampus sudah kosong menjelang magrib, diajaknya saya makan sebelum pulang, menghibur saya yang ketika ujian lebih banyak salahnya menjawab pertanyaan dosen. Beberapa jam setelah sidang hasil, saya jatuh sakit. Tepar. Saya menghilang dari peredaran beberapa hari lamanya, dia lah—yang mungkin satu-satunya orang yang kelimpungan mencari saya—yang kalau saya renungkan lagi, saya jahat sekali membiarkan orang lain mengkhawatirkan saya sedemikian rupa—maafkan saya, Kak. Kejadian lain, di hari ketika saya sidang skripsi, dia dan adik-adik yunior di organisasi-lah yang membantu menyiapkan konsumsi dosen penguji. Sekali lagi takkan cukup barisan paragraf untuk menuliskan kebaikan-kebaikan yang telah dia berikan untuk saya. Coba tanyakan pada adik-adik di organisasi dakwah kampus siapa yang paling bisa dan selalu diandalkan menyangkut banyak urusan-urusan di kampus? Saya sangat yakin ada satu nama yang akan selalu terlontar—Kak Via--namanya. Kakak yang baik hatinya ini, selalu menjadi titik mula pertemuan titik-titik lain yang telah memencar.
--Kak, berapa banyakkah persediaan sabar dan sanggup yang kamu miliki? Saya ingin mencemburuimu dalam hal ini. Ketika saya memutuskan pelan-pelan–tanpa sadar—menarik diri dari tarbiyah dan dakwah kampus, kamu masih di sana, berdiri di garda terdepan. Saya lebih dari yakin, terlalu banyak hal-hal tak menyenangkan yang kamu lalui namun kamu pilih menyimpannya sendiri. Karena itu saya cemburu, Kak. Belakangan ini, saya tak lagi hanya menyimpan kesedihan sendiri tapi juga ikut menepikan diri dari siapapun—pilihan yang tidak bijak sama sekali—tapi, sekali lagi saya melakukannya karena saya pikir tak baik membagi aura negatif ke orang lain. Masalah-masalah itu saya anggap membawa aura negatif, jadi saya pilih menghadapinya sendiri.
--Kak, percayalah. Saya menarik diri, menepi, atau semacamnya, bukan berarti saya melupakanmu. Agak sulit menjabarkan kebiasaan saya ini. Beginilah saya adanya, tak berkabar bukan berarti tak ingat. Saya mengingatmu, mengingat kalian dalam pelukan hangat doadoa yang Insya Allah tidak akan pernah putus.    
Dari lubuk hati terdalam saya selalu berdoa semoga Allah yang maha luas karuniaNya senantiasa memberikan kelapangan di hatinya untuk menerima kebaikan, menegarkan pijakan kakinya menghadapi hari-hari sulit, menguatkan pundaknya memanggul beban yang datang entah dari penjuru mana.

--Kak, kelak hari-hari baik—yang jauh lebih baik dari hari ini—akan datang menemuimu, memelukmu dan mengiringi langkahmu. Insya Allah. Saya percaya. Dan bila hari itu tiba, tolong ikutkan nama saya dalam ingatanmu.

Untuk hari-hari yang telah terlewati, untuk hari-hari yang akan kita jelang, tolong maafkan saya yang belum sanggup memenuhi kriteria sebagai adik yang baik untukmu, Kak.
Terimakasih telah menjadi kakak untuk orang seperti saya :)



With love,
--Nafilah Nurdin--

Senin, 21 September 2015

Sebut Saja Ini Rindu...

Pada setiap inci rindu yang kujelajahi
Pada setiap jejak yang kupijak
Pada ranum kenangan yang tak kunjung terjatuh dari ingatanku
Pada luka-duka yang kusembuhkan seorang diri meski tertatih
Pada desir angin, kecipak air, pada senja yang tak pernah terlambat dijemput malam...
Pada dingin tatapan yang membikin gigil
Pada kata-kata nan riuh yang telah banyak kehilangan makna
Juga pada malam-malam tak bernama yang kupeluk erat sambil sesekali menangisi entah...
Aku hanya ingin selalu pulang pada-Mu
Tuhanku.
Pemilik sah atas seluruhku. Segalaku.

=oOo=

Malam demikian melankolik untuk kutinggal tidur. Aku teringat beberapa kawan yang sudah cukup lama tak pernah lagi saling bertukar kabar. Bilang saja aku sedang rindu. Cukup.
Tak jarang aku berpikir dan menuduh diriku sebagai seseorang yang anti-sosial. Terlalu penyendiri, menarik diri dari lingkaran lingkungan. Tetapi, kalau kupikir-pikir lagi, aku bukan orang seperti itu. Ada alasan lain yang membuatku lebih memilih menikmati waktu seorang diri. Aku tidak pernah berniat sedikit pun menjauhi siapapun. Aku—yang kata banyak orang adalah tipe orang yang susah ditebak—tidaklah sesulit itu.
Seseorang hanya perlu meluangkan jeda seluas-luasnya untuk mengenaliku. Mungkin terdengar egois, tapi bukankah sebelum menjatuhkan penilaian terhadap seseorang  atau sesuatu ada baiknya mendekat lalu belajar membaca apa yang tak tertulis pada setiap gerak, warna, sorot, dan garis waktu yang melekat padanya? Dengan demikian, lambat laun kau pun akan melihat jelas apa yang samar, tersamarkan dan berusaha disamarkan? Meski pada akhirnya, tak pernah ada yang benar-benar tahu ada berapa lapisan yang dimiliki bawang (kecuali kamu sedang kurang kerjaan dan mencoba menghitungnya hehehe).
Menyukai, menyayangi, mencintai, adalah perjalanan mengenal sesuatu bukan berdasarkan sudut pandangmu saja.
Tapi orang terlalu sibuk hanya untuk sekadar mengenal dekat kamu hahaha.
Dan kamu boleh mengabaikanku kapanpun kamu menginginkannya karena aku, tanpa kamu tahu aku selalu mengingatmu secara acak pada rentang waktu yang tak terbaca. Mendoakan yang terbaik bagi hidupmu diam-diam. Karena aku, tak pernah lupa menyimpan nama dan wajah orang-orang yang pernah beriteraksi intens denganku di dalam ingatan. Menguncinya di tempat yang bisa kukunjungi setiap waktu.
Tak terhitung berapa kali aku menahan diri untuk tidak menelpon nama-nama familiar di phonebook-ku. Setiap kali keinginan itu datang, kutekankan pada diriku bahwa orang-orang ini pasti sibuk—terlalu sibuk—untuk sekadar menjawab hallo-mu. Begitu saja. Dan selesai. Ng, sebenarnya di samping itu... aku tidak terlalu suka berbicara lama di telepon. Mengirim pesan singkat penuh basa-basi? Orang-orang pasti sangat sibuk dan tidak sempat membalas pesanmu. Atau membalasnya duapuluh jam kemudian.
Kusibukkan saja hatiku dengan mendoakanmu.
Aku benar-benar tidak sesulit yang kamu bayangkan.
Ada jenis-jenis orang yang secara tanpa terencana, aku hindari.
Aku tidak bisa menjelaskan ini, kamu boleh tidak percaya. Ketika bertemu seseorang, aku—tanpa sadar—akan membaca apa yang bersembunyi di balik wajah, kata-kata serta gerak orang tersebut. Dan hasilnya jarang sekali meleset dari kebenaran. Barangkali akibat terlalu sering jadi telinga bagi curhatan orang lain atau karena aku tidak pernah lepas mengamati apapun yang terjangkau mata dan telingaku membentuk ruang kepekaanku terlalu tinggi yang seringkali berimbas tidak baik pada kebiasaanku. Aku cenderung menghindari orang-orang yang di matanya kutemukan rasa tidak aman dan tidak nyaman. Yang sorotnya menyiratkan hal-hal yang tidak akan pernah dia katakan terang-terangan melainkannya menyimpannya untuk diumbar habis-habisan di belakang punggungku—orang-orang seperti ini yang menguatkan niatku menjauh—mereka, yang bertampang ramah tapi bertopeng ganda. Daripada tinggal berlama-lama di dekat orang yang hanya menumbuhkan kemunafikan—berpura-pura tak terjadi apa-apa—maka aku lebih memilih tidak berinteraksi. Itu jauh lebih menyenangkan bagi kedua pihak. Aku tidak perlu mengumbar kepalsuan.
Bersikaplah apa adanya, bukan ada apanya.
Kamu mesti ingat, aku kadang-kadang bisa sangat membosankan. Hihi....
Malam ini, kutandaskan rinduku dalam rumpun doa-doa ritmis pada Tuhan untuk nama-nama yang pernah kuakrabi dan akan terus kuakrabi. Aku punya keinginan menceritakannya pada anak-anakku kelak. Tentang kamu, kalian, yang pernah sangat mesra denganku.
 Semoga.
Aku tidak pernah berharap dilupakan, tapi jika memang harus, kita harus tetap bahagia. Sudah semestinya kita berbahagia untuk hal-hal yang pernah dan belum sempat kita miliki.
Aduhai. Begitu melankoliknya ini malam.
Aku memanggilmu, sayup-sayup tak jelas iramanya. Tapi suara ini, tahu ke mana ia harus menuju. Bisa ke dinding-dinding atau jendela kamarmu, bisa langsung ke langit. Menggantung di sana dengan sabar hingga kelak pulang menemuimu. Ketika kamu tanpa sengaja membuka-buka catatan-catatan lama di bukumu yang usang, atau kamu secara acak mendengarkan lagu-lagu lama dari siaran radio di suatu jalan atau tempat ramai.
Jika saat itu tiba, aku berdoa semoga kita selalu berbahagia.
Teman.


Sabtu, 18 Juli 2015

Untitled Part II

Teras Rumah, 18 Juli 2015
Lepas Magrib, saya duduk sendirian di sini. Merenung entah apa. Tidak jelas. Memandangi semburat senja yang memerah keemasan. Mata saya terasa panas. Sesuatu menyundul ulu hati saya, memunculkan perasaan yang saya tidak tahu apa, namun jelas membikin saya seperti orang yang ingin menangis berlama-lama. Ini sejenis kesepian yang sering saya alami dulu. Lucunya, saya ternyata menikmatinya. Lagi-lagi, saya tidak bisa mengidentifikasi apa yang membuat saya sedih.
Ini hari kedua Lebaran Idul Fitri. Tadi pagi, saya, dua adik saya dan ibu, kami berempat mengunjungi kampung halaman ibu saya dan sekaligus merangkap desa tempat saya dilahirkan Duapuluh Enam tahun silam. Seingat saya, sudah terlalu lama sejak saya menginjakkan kaki saya terakhir kali di rumah Almarhum Kakek. Sayang sekali, ketika kami tiba, Nenek saya sedang keluar—ada halal bil halal di masjid kampung—Silaturahim-nya tidak nuntas. Jadilah, kami hanya menziarahi kubur Kakek dan Nenek saya lain—iya, nenek saya banyak sekali.
Tapi saya bersedih bukan  karena itu—bukan karena tidak bisa bertemu Nenek—saya bersedih karena hal lain. Sesuatu yang abstrak dan sedikit tragik. Tolong biarkan saya berlebay ria, kali ini saja.
Ada satu keuntungan yang saya keruk ketika saya masih berstatus sebagai mahasiswa, yaitu ada bagian dari diri saya yang berhasil menemukan alasan agar tetap tertib di jalur aman sebagai dia yang sendiri. Di kosan, atau di bagian manapun saya menginjakkan kaki—sepanjang itu jauh dari rumah—saya selalu bisa mentalak ponsel saya, saya bahkan sanggup mematikan ponsel selama berhari-hari tanpa merasa perlu risau kalau-kalau ada yang mencari saya. Sebab di kampung orang, saya bertransformasi menjadi invisible girl yang tidak bakal bisa dilacak memakai radar jenis apapun. Saya punya bakat penyendiri yang luar biasa mumpuni—dan banyak mengorbankan orang lain—banyak orang kelimpungan mencari saya, tak jarang memendam kesal dan marah akibat ulah saya itu. Saya sadar ini tidak benar, tapi... ah sudahlah.
Di rumah, ceritanya menjadi berbeda. Kamu akan jarang menemukan saya tanpa ponsel tergenggam di tangan. Bisa jadi karena profesi baru saya sebagai p-e-n-g-a-n-g-g-u-r-a-n yang walhasil menyulap saya sebagai orang kurang kerjaan alias lebih banyak waktu kosong. Malangnya saya adalah si pemalas yang kapan dikasih waktu luang dikiiiiit saja, saya akan memanfaatkannya dengan semena-mena sampai bablas. Astagfirullah...
Sebaliknya, saya bisa berubah menjadi orang super sibuk yang bahkan bisa lupa makan dan mandi (huek) saking sibuknya. Contohnya, saya sibuk menikmati kemalasan saya misalnya (dikeplak-in pentungan). Tetapi, sekali lagi, akhir-akhir sekarang saya memiliki lebih banyak waktu kosongnya sehingga ruang untuk melamun yang enggak-enggak pun melebar dan mengancam kepolosan hati dan jiwa saya. Maksud saya, saya jadi sering galau-in cem-macem. Mulai dari soal pekerjaan sampai perkara jodoh.
Kalau ditanya kapan saya terakhir kali jatuh cinta, tanpa ragu saya akan menjawab; akhir duaribu sebelas dan benar-benar mencapai puncaknya sepanjang tahun duaribu dua belas. Saya jatuh cinta pada menulis dan dia yang mencintai buku-buku, sejarah dan kopi. Pria kurang ajar ini pula yang sukses menjungkirbalikkan konsep no pacaran, let’s enjoy my solitaire milik pribadi saya. Saya menjalani proses jatuh cinta, patah hati dan move on secara berkelanjutan. Andai bisa memilih, saya tidak ingin jatuh cinta jika sepanjang cerita berjalan saya-lah yang pihak yang menelan luka sendirian, meramu sendiri resep meredakan rindu dan menyembuhkan pedihnya berharap pada sesuatu yang saya sudah tahu, saya tidak akan pernah sanggup memilikinya sampe lebaran kodok datang. Jika ada jenis kehilangan atas sesuatu yang belum pernah kamu miliki, maka inilah wujudnya. Kamu memiliki perasaan sayang terhadap seseorang, dan di waktu hampir bersamaan kamu harus rela kehilangan harapan menyandingkan dua hati di singgasana yang setara. Benarkah mencintai seseorang selalu dibarengi rasa ingin memiliki atau setidaknya respon yang diberikan harus setimpal dengan kadar perasaan kita? Entah. Dua kali saya mengalami apa yang disebut orang jatuh cinta dan dua kali pula saya mengalami hal yang sama—berharap balasan. Dan ini jelas-jelas semu. Akan selalu ada aroma luka menjalar-jalar kasatmata nun jauh di sana, bersiap memanaskan sel-sel di matamu dan kamu dibikin menangis di malam-malam hening, jika yang kamu harapkan tidak kesampaian.
Ada seseorang yang datang kembali mengusik ketenangan saya. Seseorang yang pernah saya lukai. Seseorang yang punya hak membenci saya sebanyak yang dia mau. Tapi dia tidak melakukan itu. Sampai detik ini, saya dan dia masih berhubungan baik. Tidak ada ikrar baik antara saya dan dia untuk kembali menjalin sesuatu yang pernah saya putuskan sepihak dulu walau teraba jelas interaksi saya dan dia agak merepet ke sana. Inilah yang barangkali menjadi pusat kegamangan saya. Ada perasaan takut, saya takut menjejaki kembali satu hal yang sudah saya tinggalkan. Saya tidak ingin kembali ke sana. Solitaire, saya masih ingin setia dengan kamu. Itu saja.
Untungnya, saya dan dia paham batas-batas yang tidak bisa kami seberangi.
Untuk memastikan bagaimana seutuhnya perasaan saya terhadap dia, saya tidak tahu harus bagaimana. Kemarin, saya memutuskan untuk mengambil jarak. Bukan apa-apa, itu upaya saya untuk menghargainya.
Anehnya, saya tidak merasa kehilangan apa-apa.
P.s : Saya barusan ngecek kalender, woooops periode saya udah deket. Pantesan rada sensitif. Oya, saya ingin cepat-cepat punya kesibukan supaya pikiran liar saya punya juntrungan ke mana dia harus dikandangkan LOL.


Minggu, 12 Juli 2015

Untitled


“... Everybody screaming, I try to make a sound but no one hears me...”
-Simple Plan/Untitled
Pernah gak kamu ngerasain kayak gini? Kamu seperti ditenggelamkan kebisingan sekitar sementara nun jauh di dalam hatimu, kesepian justru semakin menggenapkan kehadirannya di sana.
Dulu. Dulu sekali, saya selalu berpikir di dunia yang hanya selebar daun kelor ini, hanya saya yang mengalaminya—masa-masa paling sunyi dan muram yang pernah saya lalui—ada saat saya tertawa  tapi di dalam hati saya menangis diam-diam, atau ketika saya bertemu teman-teman lalu terlibat interaksi dan jujur saja pertemuan demi pertemuan tersebut tidak terserap manis di benak dan hati saya. Ya—saya merasa selalu kosong. Selalu ada satu titik penemuan yang entah apa, meneguhkan keyakinan saya agar terus mencari apa itu.
Maka menjelmalah saya sebagai si pembaca. Saya membaca apa saja yang tertangkap dan terekam mata dan pendengaran. Buku-buku, lagu-lagu, televisi, percakapan di jalan, di angkot, di pasar, di rumah sakit, di bank, di kampus, di halte bus—di mana pun saya menjejakkan kaki.
Membaca manusia. Itulah yang coba saya lakukan. Menyelami dan mengkaji tingkah polah manusia dari berbagai macam sudut pandang. Sesuatu terjadi pasti ada alasannya. Si Fulan berbuat ini, pasti ada motif yang memicunya melakukan itu.
Saya lantas tidak bermaksud sok tahu dengan segala-galanya.
Bagi saya, dengan melakukan ini saya menganggap diri saya sedang melakukan perjalanan spiritualnya dengan cara paling sederhana. Mengenal manusia—makhluk ciptaan Allah yang dengan segera akan mempertemukan saya Sang Maha Pemilik. Dengan mengenal manusia, itu sama halnya dengan mengenal titik terdalam diri saya sendiri. Karena dengan ini, saya akhirnya menyadari betapa banyak kesalahan dan kekhilafan yang telah saya perbuat.
Setiap orang ingin menjadi lebih baik dari menit ke menit, dari hari ke hari. Saya pun demikian adanya. Walaupun untuk menuju ke sana, kita dituntut untuk rela kehilangan banyak hal. Contoh dekatnya, kita harus merelakan kebiasaan-kebiasaan jelek yang tanpa kita sadari telah mendarah-daging dalam diri. Bukan sesuatu yang mudah mengubah persepsi negatif ke persepsi positif. Gak segampang bagaimana Om Mario Teguh menjejali telinga kita dengan kalimat-kalimat morivasinya yang zzzuuuppeer itu. Dan kita pun menyambutnya sendu sambil manggut-manggut mengaminkan. Lalu tibalah saatnya kita kembali ke dunia nyata—terjun langsung ke medan pertempuran—di mana satu-satunya lawan yang harus dihadapi adalah tak lain diri kita sendiri.
Okelah, kita memang butuh angsuran motivasi dari orang lain. Akan tetapi akhirnya pada kitalah kembalinya satu keputusan penting apakah kita mau berubah atau tidak.
Berapa banyak dari kita yang masih gagal bangun pagi, melewatkan shalat subuh, menulikan telinga dari panggilan menghadap Tuhan? Sembari pada waktu lain kita muncrat berkata-kata soal kedisiplan bla bla bla... Berapa banyak dari kita yang masih merasa memegang kebenaran atas sesuatu—gontok-gontokkan pake paragraf-paragraf makian di medsos—dan entah lupa atau memang dasarnya egois dan emoh menerima kekalahan, terus saja menggelontorkan argumentasi basi yang terdengar lucu di telinga anak TK. Belakangan ini kita menjadi saksi hidup bagaimana orang-orang—bahkan mungkin termasuk diri kita—yang mengaku orang dewasa terjebak dalam lingkaran setan yang dipenuhi kebencian.
Kamu tidak setuju dengan saya berarti kamu musuh saya dan saya berhak menghakimi kamu seenak udel dan seperlunya saya.”
Yap. Seolah ada aturan tak tertulis bahwa kalau saya tidak memilih kanan maka saya adalah pihak kiri. Saya gagal memahami atraksi teman-teman saya di medsos akhir-akhir ini. Apa yang sebenarnya kita bela? Benarkah kita membela apa yang kita labeli kebenaran dan kebaikan? Ataukah yang kita bela justru keegoisan kita sendiri?
Mengubah kebiasaan buruk seumpama membunuh satu sisi dirimu yang selama ini kamu sayangi sepenuh hati, yang kamu akrabi dan peluk sepanjang waktu. Kenapa ya, dosa terasa nikmat dan kebaikan terlalu sulit ditempuh?
Membaca manusia kian membuat saya terpekur. Saya tidak tahu harus memulai dari mana agar bisa menebus apa yang pernah saya kerjakan. Saya mengalami langsung betapa sulitnya menangangi kekeraskepala-an diri saya sendiri, mencoba memahami jalan pikiran orang lain—nggak usah jauh-jauh ngambil sampel, memahami saudara kandung saya sendiri sulitnya minta ampun. Lebih banyak makan ati-nya ketimbang senengnya. Belum lagi orang lain di luar rumah saya?
Sampai di sini, saya masih belum bisa mengaplikasikan apa yang pernah dikatakan ibu salah satu teman saya bahwa satu-satunya tips agar bisa hidup tenang dan bahagia adalah dengan ikhlas. Mengikhlaskan semua kejadian yang menimpa kita.
Akhir-akhir ini juga, saya banyak menitikkan air mata tanpa sadar. Saya malu sama Allah. Tak terhitung berapa banyak kali saya mengkhianati dan menjauhkan diri dari Allah namun hingga detik ini Allah masih belum membuka aib saya kepada orang lain, sedangkan saya begitu rapi membentangkan kesalahan demi kesalahan yang pernah orang lain perbuat terhadap saya, sulit sekali meluruskan dan meluluskan kata maaf.
Saya masih berusaha menemukan apa yang saya cari dengan cara membaca manusia atau apalah namanya. Sungguh, saya cemburu melihat bagaimana orang lain begitu khidmat mencintai Tuhan-nya. Saya ingin sekali seperti mereka. Mungkin dosa-dosa saya terlampau menggunung sehingga menghalangi pandangan saya sehingga yang perlu saya lakukan adalah mengikis gunung itu sedikit demi sedikit, hati-hati, sabar dan tabah....
Semoga jalan pulang untuk saya belum tertutup....
Teruntuk kalian yang pernah tersakiti oleh saya secara sadar dan tidak sadar, izinkan saya meminta maaf, tolong berikan saya maaf yang ikhlas serta doakan saya semoga saya istiqamah dalam pencarian saya ini... 
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dan alhamdulillah, dalam situasi dan kondisi apapun, saya selalu mengusahakan menempuh bahagia akhir-akhir ini. Sepi yang saya rasa bukan lagi kekosongan yang menyakitkan lagi sendu.


Senin, 29 Juni 2015

Dear Kamu

Dear kamu yang inisialnya masih dirahasiakan Allah,
Setelah berpikir dan menimbang banyak hal saya akhirnya memutuskan menulis surat tanpa judul ini. Kamu tahu sendiri kan, jika sudah menyangkut berbicara empat mata, saya selalu gagal. Maka menulis adalah satu-satunya cara paling ampuh untuk berkomunikasi dengan kamu dan siapa saja yang saya kenal.
 Saya tidak mau memungkiri bahwa selepas wisuda ada dua hal yang selalu merisaukan pikiran saya. Urusan pekerjaan dan menikah.
Menikah.
Iya, menikah.
Di awal usia puluh, saya pernah berandai-andai ingin menikah pada usia duapuluh enam. Pun kepada teman-teman, saya selalu menceritakan keinginan saya yang satu itu.
Beberapa bulan lagi, tepatnya di penghujung November, saya genap berusia duapuluh enam. Dan saya belum melakukan pencapaian apa-apa dalam banyak hal yang saya rencanakan. Rasanya target menikah juga semakin jauh dalam angan saya. Entahlah, saya tidak merasa harus terburu-buru. Di lain sisi, saya menentang keras ikatan pacaran. I’m single and I’m very happy. Soal menikah, secara psikis dan emosional, saya belum siap. Begitu juga dalam urusan finansial. Akan tetapi jika saya terus-menerus berpatokan pada dua hal tersebut, maka saya akan sulit menikah. Sejujurnya, ada ketakutan besar dalam diri saya. Anggaplah ini sebagai akumulusi ketakutan demi ketakutan yang tanpa sengaja dikumpulkan sel-sel otak saya sejak kecil hingga menjelang dewasa, dalam kumparan ingatan yang mengikuti saya ke mana pun kaki saya melangkah. Jika saya menikah kelak, saya takut akan mengalami hal yang pernah dialami  ibu saya. Saya tidak ingin anak-anak saya mengalami apa yang saya pernah alami. Saya tidak ingin mereka tumbuh dalam lingkungan yang membuat jiwa mereka kerdil dan kehilangan pegangan dan panutan. Ah, belum apa-apa, saya sudah berpikir macam-macam. Dan beginilah saya. Si pemikir yang kadang suka ribet sendiri dengan hasil pikirannya.
Menikah hanya sekali sepanjang hayat.
Saya rasa, setiap perempuan menginginkan hal ini. Tidak ada perempuan yang ingin gagal dalam berumah tangga. Demikian pula saya.
Mungkin, tersebab hal-hal tersebut sehingga saya begitu hati-hati menyebut satu kata ini; menikah. Seringkali menjelang tidur, selepas shalat lima waktu, atau saat sendiri di kamar, saya teringat dan seketika sekujur tubuh saya mendadak dingin, gugup dan blank. Separah inikah traumatis tumbuh dalam diri saya? Saya berangkat dari keluarga yang nyaris hancur. Alhamdulillah Allah menyelamatkan kami. Tapi bayangan-bayangan buruk yang terekam dengan sempurna oleh otak saya, tidak mau hilang. Mengendap, menjadi racun yang mengerikan. Menumbuh suburkan kekhawatiran demi kekhawatiran.
Jika kamu membaca surat tanpa judul ini, saya hanya ingin kamu tahu saya tidak pernah menuntut kamu menjadi sosok tanpa cela karena kita bukan malaikat. Bagi saya, terlepas dari banyak tetek-bengek syarat-syarat soal sosok ideal seorang suami, nomor satu adalah agama. Seorang imam yang bijaksana dan bertanggungjawab. Kepada siapa anak-anak saya kelak belajar dasar-dasar akidah dan agamanya jika bukan kepada kedua orangtuanya? Saya tidak menuntut seseorang yang hapal 30 juz, atau hapalan hadis yang banyak, paling tidak shalat lima waktu yang konsisten. Seorang laki-laki yang menyayangi ibunya, keluarga dan sosialnya baik. Dan saya benci asap rokok hehe.
Kata ibu saya, saya ini orangnya keras kepala—darah Bapak begitu kental mengaliri darah saya—semoga kamu tidak keras kepala seperti saya.
Orang-orang bilang, jodohmu adalah cerminan dirimu. Maka saya pun sedang berusaha memantaskan diri agar jodoh yang ditakdirkan Allah untuk saya sesuai dengan potongan kalimat ini, “perempuan-perempuan baik untuk laki-laki yang baik pula”. Manalah masuk akal bila saya sebagai perempuan menginginkan jodoh yang baik sedang saya sendiri tidak mengusahakan diri saya menjadi pribadi yang pantas untuk dijadikan istri? Tidak tahu malu doooong namanya. Sepertinya langkah saya masih terlampau jauh ya :D
Jikapun saya dan kamu tidak berjodoh, saya berdoa dengan sungguh-sungguh, semoga Allah memberimu jodoh yang baik pula.

Sincerely, me.

Rabu, 06 Mei 2015

Surat Untuk Hati #1

26 April 2015
Jarum jam menunjukkan sudah lewat pukul 12, lima menit menuju satu malam. Mata saya belum menampakkan tanda-tanda mengantuk. Padahal seharusnya saya kelelahan—dengan kata lain akan membuat saya cepat didatangi kantuk—sehabis membereskan kamar yang berantakan. Tapi nyatanya tidak sama sekali. Sejak bergiat mengejar penyelesaian tugas akhir awal tahun ini, pola makan dan tidur saya memang agak berantakan—sangat berantakan—seperti sudah menjadi kebiasaan. Saya menderita insomnia parah, makan terkadang sehari sekali doang tergantung daya ingat saya dan parahnya, saya pelupa.
Ah sudahlah, kita tinggalkan di belakang curhat berkaitan tugas akhir saya yang Alhamdulillah sudah selesai, hanya tinggal menantikan wisuda awal Mei depan.
Saya ingin bercerita yang ringan-ringan saja.
Omong-omong, ini postingan pertama saya setelah mengganti url dan nama blog ini. Sebenarnya, saya pernah berniat men-delete blog Rumah Angin ini. Saya merasa isi blog kebanyakan curhatan dan aib-aib yang semestinya tidak perlu saya publikasikan melalui media sosial. Dan saya benar-benar pernah men-delete Rumah Angin. Peraturan Om Google, blog yang telah dihapus masih bisa di-aktifkan kembali tiga bulan atau 90 hari setelah proses penghapusan dilakukan. Lewat dari itu, penghapusan resmi terjadi. Dua bulan setelah menghapus, saya memutuskan membatalkannya. Salah satu pertimbangan saya adalah, ada beberapa tulisan saya yang bagi saya sangat berharga dan sayang untuk saya hapus.
Tentang entri yang erat hubungannya dengan lingkungan kehidupan saya, saya hanya perlu menerima bahwa saya pernah melewati masa-masa yang mungkin bagi sebagian orang cuma perkara sepele tetapi bagi saya justru sanggup menyita waktu saya sekadar untuk mendamaikan hati. Sekali lagi, saya bukan orang yang cukup terlatih untuk bilang saya baik-baik saja kepada orang-orang yang mengenal saya. Nyatanya, saat sendirian saya berubah menjadi sosok yang berkebalikan dari yang terlihat. Barangkali setiap orang memang seperti itu, selalu ada yang tidak bisa diceritakan kepada yang lain.
Ada dua hal yang saya ingat betul pernah menjungkirbalikkan ketenangan dan ketegaran saya, ibarat seeorang yang sudah babak belur dipukuli tapi masih dihajar sampai tidak berdaya, untuk bergerak pun tidak bisa. Hingga akhirnya saya mencurahkannya melalui postingan demi postingan di blog ini. Saya khawatir bila tidak mengeluarkannya maka kesehatan hati dan pikiran saya akan semakin buruk lalu kolaps. Gelap. Pekat. Dan setan akan berpesta pora menyambut kejatuhan saya. Di waktu-waktu yang terasa berat itu saya tidak cukup berani dan percaya pada orang-orang di dekat saya.
Menulis menolong saya menemukan ketenangan meski bukan seutuhnya.
Pertama, Bapak.
Saya dan Bapak memiliki hubungan aneh. Saya teringat betapa asingnya saya dan Bapak dulu. Dulu sekali, ketika saya masih belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Kemarahan dan kekecewaan memenuhi ingatan saya tentang Bapak. Saya tidak menemukan tipe ayah ideal pada beliau. Memasuki usia duapuluh dan bertahun-tahun kemudian saya tinggal terpisah jauh dari rumah karena urusan kuliah tidak lantas mengubah hubungan saya dan beliau menjadi hangat. Ada beberapa  jeda waktu yang saya kira bisa menjembatani kami namun kenyataannya jauh dari harapan. Semakin saya coba berusaha menjadi anak baik, berbanding lurus dengan semakin besar kekecewaan yang saya telan. Seolah-olah hanya ada satu pihak yang menginginkan damai. Itu saya. Begitulah kesimpulan yang tertanam subur di benak saya, menjelma racun yang pelan-pelan meninggikan tembok antara saya dan Bapak.
Lalu tibalah satu waktu yang sukses meruntuhkan seluruh hipotesa saya.
Malam itu, entah keberanian dari mana, saya menelpon Bapak. Hati saya sedang luar biasa rusuhnya. Pusing dengan Draft Hasil Penelitian dan perkara lain. Saya tiba-tiba merindukan Bapak. Detik itu yang terbesit di kepala saya hanya, ‘saya ingin minta maaf’, seperti itu. Dan saya benar-benar meminta maaf dari beliau. Sekuat hati saya menahan agar air mata saya tidak jatuh. Saya sampaikan apa yang telah membuat saya memendam amarah hingga dua puluh tahun lamanya. Kami benar-benar serupa. Dua orang yang tidak bisa mengekspresikan warna emosi. Bapak menimpali saya dengan bercanda begitupun saya—saya sadar setelah malam itu, tidak akan ada lagi tembok yang akan menghalangi saya dan Bapak—damai.
Kesadaran saya membulat. Bahwa bertahun-tahun saya membenamkan diri dalam kubangan egoisme yang sangat kental. Tidak saja kepada Bapak, namun juga kepada tiga adik-adik saya dan perempuan yang saya kasihi sepenuh hati—Ibu. Saya tidak pernah menyempatkan sejenak melongok ke arah Bapak. Benar-benar menolehkan kepala dan mengamatinya lebih lekat lebih dekat. Benarkah Bapak tidak pernah berusaha mendekati kami? Saya abai melihat betapa sepi-nya dunia beliau. Bahwa apa yang membentuknya di masa sekarang merupakan imbas masa lalu yang mungkin saja tidak sesuai harapannya. Saya lupa bagaimana beliau memprotes bernada cemburu ketika saya dan adik-adik saya yang akhirnya mengikut kuliah di kota seberang hanya menelepon Ibu, dan jarang menghubungi ponsel beliau. Saya dengan cepat melupakan ungkapan kebahagiaan beliau menjelang kepulangan kami ke rumah pada libur lebaran. Sungguh, setan punya jurus kamuflase jitu yang akan menyesatkanmu nun jauh ke dalam jelaga yang akan menghitamkan hatimu—amarah.
Ah. Bapak.
Mengingat waktu-waktu itu, air mata saya jatuh lagi. Ini perjalanan panjang untuk mengenali wajah-wajah kita. Wajah Bapak. Wajah saya. Wajah kerinduan seorang kanak-kanak kepada bapaknya yang ingin dia cintai setulus hati.
Ada sirat kebanggaan di wajah Bapak tatkala menceritakan pada teman-teman beliau. “ Anak saya sudah sarjana…”
Maafkan saya telah membuat Bapak menunggu lama untuk menyambut uluran tangan damai itu. Kesalahan terbesar saya adalah diam, memendam kemarahan dan berharap Bapak menyadarinya. Saya-lah yang memegang andil besar pada komunikasi sepihak yang berjalan limbung itu. Seringkali manusia salah mengambil sikap, seolah orang lain bisa transparan membaca keinginannya dan berharap pengertian. Yang akhirnya menimbulkan prasangka aneka macam jika kenyataan tidak berjalan seperti keinginan.
Bicaralah agar orang mengerti.
Setelah sidang skripsi Februari kemarin, saya pulang ke rumah. Saya bercerita banyak pada Bapak. Tentang apa saja.
Kedua, cinta platonik berhasil menjatuhkan saya. Telak. Saya paham dan sangat tahu saya berada dalam posisi yang tidak membolehkan saya menerjunkan diri ke sebuah hubungan yang tidak semestinya. Sebab itulah proses move on saya terasa berat. Dijatuhkan cinta pada seseorang bisa sangat melelahkan dan menyakitkan, tetapi di sisi lain akan mempertemukanmu dengan macam-macam pengalaman emosional. Namanya saja jatuh, pasti ada sakitnya.
Saya tidak akan malu mengakui, saya pernah sangat menyukai seseorang dan berhasil berdamai dengan perasaan asing itu. Butuh waktu memang, namun hasilnya cukup memuaskan. Terhitung setelah saya sukses move on, saya belum jatuh cinta lagi. Setidaknya doa saya kepada Tuhan agar jangan dijatuhkan cinta sebelum datang waktu yang tepat, dikabulkan.
Dan jejak cinta saya bisa ditemukan di blog ini.
Saat ini, Alhamdulillah kondisi emosional saya jauh lebih stabil. Saya belum pernah selega ini.
Saya mengurungkan niat menghapus blog ini. Saya hanya mengganti alamat url dan nama. Adapun postingan-postingan bernada curhat dan aib, saya menganggapnya masa lalu yang pada potongan-potongan kenangan tersebut, saya belajar menjadi pribadi yang semoga jauh lebih baik lagi dan lagi besok, dan seterusnya. Insya Allah…
Jika saya merasa malu dengan masa lalu saya yang tidak menyenangkan, maka yang seharusnya saya lakukan adalah berjanji untuk tidak mengulanginya, bukan? Hm… Tetapi, siapa yang bisa mengomandoi hati untuk jangan atau jatuh cintalah pada seseorang? Kapan dan kepada siapa? Jatuh cinta bukan kesalahan, dan baru akan menjadi kesalahan bila diteruskan ke muara yang biasa disebut—pacaran. Setidaknya, itulah yang saya percayai.
Selamat berbahagia,
-Love-

@Kaliandrabayu