Senin, 17 November 2014

[CERPEN] INTERMESSO SUNYI


Oleh : Kaliandra Bayu
Aku diam-diam mencintaimu, lalu pada waktunya nanti, aku akan diam-diam pula aku meninggalkanmu....
Hujan pertama di penghabisan musim panas selalu indah. Untukku. Ada satu perasaan yang mendadak menyelinap keluar dari kotak kenanganku. Aku menyebutnya rindu. Entah sudah berapa lama aku menyimpan perasaan semacam ini. Mungkin semenjak aku mengenalnya atau barangkali perasaan ini mulai menjajahku saat ia pergi. Menghilang ke tempat yang jauh yang tidak terjamah mata dan telingaku. Maka adalah kebohongan besar bila aku mengatakan aku hanya merindukannya jika hujan turun. Sesungguhnya, aku merindukannya setiap saat selama tiga tahun terakhir ini.
Hujan adalah petikan cerita tentang dia. Segalanya. Yang aku lakukan setiap hujan turun, aku akan berdiri di depan jendela kaca kamarku, menatap butir-butir bening yang ditumpahkan langit. Berdiam di sana. Mengulang semua ingatan tentang dirinya. Aku tidak tahu harus menyebut ini sebagai apa. Orang-orang di sekelilingku menyebutku gila karena masih terobsesi pada dirinya sekalipun ia telah meninggalkanku. Lalu apa yang harus aku lakukan? Haruskah kutunjukkan pada orang-orang itu bahwa ternyata aku baik-baik saja? Tidak. Aku tidak ingin membuat kebohongan lagi. Satu kebohongan di masa lalu membuatku nyaris kehilangan napas.
Lihat, beginilah caraku mencintai manusia itu. Aku tempatkan dia di hatiku. Tanpa benci. Tanpa luka dan air mata yang terkadang mengalir diam. Aku berpikir, kadang-kadang cinta itu tidak logis. Aku masih setia pada harapan kelak ia akan kembali. Padahal aku tahu dengan jelas, tak pernah ada kabar secuil pun dari dia semenjak ia hengkang. Aku menunggu sendirian. Di bilik paling  sunyi. Di balik gemuruh hujan, aku menemui kenanganku.
=oOo=
“Kau yakin tidak akan jatuh cinta padaku?”
Pertanyaan bodoh itu lagi!
Aku memonyongkan bibirku. “Apa kau tidak sadar, Wan? Kau sudah mengulang pertanyaan itu lebih dari dua puluh kali dalam sehari ini! Itu membuatku frustasi!”
“Benarkah? Makanya kau harus menjawabnya!” Ia terlihat bahagia telah sukses merusak konsentrasiku. Pencapaian terbesarnya hari itu.
Awan mengekori langkahku. Andai saja aku tidak ingat Mikroskop di hadapanku berharga puluhan juta, aku tak akan sungkan menjatuhkannya di atas kepala Awan. Dia tak pernah rela melihatku bekerja dengan tenang mengurus sampel penelitianku di laboratorium. Malangnya lagi, hanya dia satu-satunya orang yang setia menemaniku di laboratorium hingga dini hari.
“Kau harus membuatku yakin, kau tidak akan pernah jatuh cinta padaku!”
“Apa itu sangat penting bagimu?” tanyaku cuek sambil meneteskan aquades ke atas kaca preparat.
“Tentu saja. Itu lebih penting dari semua sampel penelitianmu!”
“Kau membuatku mulas!”
“Berjanjilah untuk tidak jatuh cinta padaku, Langita....” nada suaranya mirip rengekan.
Aku melengos. Kuletakkan hati-hati kaca preparat berisi sampel penelitian lalu menatapnya lekat-lekat. Sepasang mata beningnya siaga. Menunggu.
“Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada orang sepertimu! Simpan itu baik-baik. Kalau perlu ditulis di buku catatanmu! Cukup? Oke. Berhentilah mengusikku. Satu lagi, harus berapa kali kutegaskan jangan memanggilku Langita. Panggil aku Elok! ” intonasi suaraku sedikit naik. Bukan marah.
Haha! Elok Langita bisa marah juga? Kau harus benar-benar memastikan tidak akan jatuh cinta pada orang sepertiku.” Awan menyengir jenaka.
Aku menjaminnya dengan hidupku. Aku bukan orang yang bisa dengan gampangnya menyukai makhluk paling menyebalkan di seluruh laboratorium ini! Saat mendengarmu bicara aku merasa ketenanganku terancam dan kau selalu membuat perutku mulas. Aku jamin aku akan tetap waras dengan tidak menyukaimu, kau puas?”
Awan mengangguk. “Kedengarannya sangat meyakinkan. Itu bagus. Jadi aku tidak perlu repot jika nantinya kau terluka karena menyukaiku.”
“Lagipula, apa kau tidak merasa sedikit malu?” Aku memicingkan mata.
“Kenapa aku harus malu?”
“Tingkat kepercayaan dirimu membuatku khawatir!”
Tawa Awan meledak. Wajahnya sampai memerah.
“Tanpa itu aku tidak bisa hidup! Kau tahu itu, kan?” Tangan Awan menjajah kepalaku.
“Stres!” Kulemparkan jas praktikumku ke wajahnya. Kacau.
“Bagaimana bila kau benar-benar jatuh cinta padaku?”
Kalimat Awan membuatku bungkam sekian detik. Aku (pura-pura) mengubah diafragma lensa Mikroskop. Bisa gaswat berkubik-kubik jika Awan menyadari gelagat saltingku. Eh, kenapa aku jadi gugup begini?
“Itu akan menjadi keajaiban dunia paling menyebalkan! Percayalah, aku masih ingin tetap waras.” Aku menghalau tatapanku agar tak jatuh di matanya.
“Aku pegang janjimu. Kalau kau sampai menyukaiku aku akan menghilang.”
“Iya, menghilang seperti kabut.” Aku menimpalinya setengah bergurau. Awan mencubit pipiku. Dasar!
Percakapan itu terjadi 6 bulan sebelum kami menjalani ujian akhir semester. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Awan selalu mengejarku dengan pertanyaan semacam itu. Bahkan mungkin aku tidak akan pernah tahu.
Awan, si mahasiswa paling edan dan paling aneh di Departemen Kimia. Untungnya ia ditopang oleh kecerdasan yang di atas rata-rata makhluk penghuni FMIPA. Itulah yang membuatnya terkenal ke seantero Jurusan kami dan seluruh fakultas MIPA. Kesayangan semua dosen dan asisten dosen paling banyak penggemarnya. Ia pernah berseloroh bahwa kepopulerannya mengalahkan ketua BEM kami. Lihat, tidak perlu meragukan tingkat kenarsisannya. Kronis.
 Sejak masa orientasi kami sudah saling memusuhi. Pikirkan, apakah kau akan bersikap baik ketika seseorang yang belum kau kenal mengatakan kau mirip pohon pinus sekarat yang tinggal menunggu angin menamatkan riwayatnya di depan senior dan ribuan mahasiswa baru? Astaga, meskipun aku kurus bukan berarti aku boleh seenaknya dihina! Awan terlihat santai menghinaku di ruang orientasi, sekejap saja menjadikanku bahan ejekan. Baginya, tak ada waktu luang untuk tidak saling mengusik. Dia yang selalu berinisiatif mengacaukan kekalemanku. Awan tak bisa tenang sebelum mendengar teriakan kesalku. Hal wajar jika setiap hari kami saling kejar-kejaran di laboratorium dan ruang kuliah. Pernah, di semeter tiga aku hampir meledakkan seisi laboratorium Anorganik gara-gara Awan yang sengaja menukar larutan yang mudah terbakar ke dalam tabung reaksiku. Menurutnya itu sangat lucu. Ingin rasanya aku mempraktekkan padanya jurus karate yang aku kuasai. Aku tak sabar menunggu kesempatan itu datang.
Dan Awan tidak pernah membiarkan kesempatan itu datang.
Awan tidak pernah menyelesaikan kuliahnya di Kimia Industri.
Dia menghilang.
Kehilangan itu begitu nyata. Begitu lekat.
Aku sudah sering mendengar kalimat yang mengatakan bahwa terkadang kita akan menyadari betapa berartinya kehadiran seseorang justru ketika orang tersebut telah meninggalkan kita. Aku tidak pernah berpikir rasanya akan sesakit ini. Walaupun aku sudah berhenti menangisinya, rasanya tetap sama. Sesak.
Awan dan hujan.
Entahlah. Bagiku, tak ada yang lebih indah ketika aku berdiam di balik rinai hujan. Mencerna rinduku dengan hati-hati. Aku telah menghapus banyak hal dalam hidupku, tetapi menghapus Awan dari kenanganku tak pernah berhasil kulakukan. Karena aku menyukainya. Ternyata.
=oOo=
 “Apakah kamu masih terlalu menyukainya?” pertanyaan itu terlontar buru-buru dari bibir Bayu. Aku membaca kesal dari nada bicaranya. Ah, pria malang yang sudah setia menunggu di sisiku bahkan jauh sebelum aku menyadari perasaanku terhadap Awan.
Aku mengangguk, kuhirup kopi pahitku.
“Penantianku akan lebih lama,” lirihnya.
“Maafkan aku, Bayu.” Kutatap bola mata biru beningnya. “Kau seharusnya sudah menyerah sejak dulu.”
“Tidak, sama halnya seperti perasaanmu pada Awan. Kau tidak perlu bersusah payah memintaku berhenti menyukaimu. Kau tahu dengan jelas bagaimana perasaanku padamu,” ucap Bayu. “Lucu, terkadang aku ingin membencimu karena sudah tega mengabaikanku demi seseorang yang bahkan keberadaannya entah di mana. Tetapi setiap kali melihatmu, aku seperti menatap pantulan diriku di cermin. Tahukah kau apa yang paling aku takutkan?”
Aku tidak bersuara, hanya menatapnya. Menunggunya melanjutkan kalimatnya.
“Aku takut kita sudah terlalu lelah dalam penantian kita masing-masing dan lupa bahwa kita masih punya kesempatan besar menciptakan kenangan yang jauh lebih melegakkan. Saat kita sadar, segalanya telah terlambat.”
Siang yang terik, perbincanganku dan Bayu lagi-lagi berujung pada keheningan yang menyakitkan. Aku tidak ingin menyakiti siapapun, terlebih Bayu. Jika saja makhluk jelek bernama Awan itu tidak mengunci kenangan kami di kotak ingatanku dan membawa pergi kuncinya, aku mungkin bisa memberikan ruang bagi Ranindra Bayu.
Bayu, begitu aku memanggilnya. Dia tipikal pria yang akan membuatmu jatuh cinta berkali-kali. Aku dan dia begitu berbeda dalam segala hal. Ia membenci hujan—sesuatu yang sangat kucintai. Tetapi saat aku membutuhkan lengan untuk melarikan air mataku, ia selalu tahu makna kedatanganku padanya. Dan khotbah panjang lebarnya tentang move on, move up, bangun dari mimpi buruk pun mengucur deras bak banjir bah seraya menepuk punggungku. Lalu di ujung kalimatnya, ia akan berkata pelan. Sangat pelan.
“Jangan sembunyikan air matamu. Menangislah sepuasmu. Kau tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. Kau bukan Wonder Woman atau semacamnya.”
Di lain kesempatan ia berkata seperti menujukan itu untuk dirinya.
“Aku tidak tahu kapan, tapi aku yakin kau akan menemukan jalan untuk memulangkan Awan ke hatimu. Saat waktu itu datang, kau akan tahu siapa yang lebih pantas menghuni hatimu selamanya.”
Atau…
“Aku cemburu pada Awan. Kukira ketampananku bisa menjadi jaminan bahwa aku sanggup menggeser namanya dengan mudah, sekali tepis. Makin lama, aku merasa kepercayaan diriku mengecil… Harusnya aku tahu dalam urusan perasaan adalah fatal jika terlalu percaya diri.”
Kenyataannya di hari berikutnya ia tetap datang dengan segala pengharapannya. Kadang, aku bertanya-tanya cinta macam apa yang sedang kami lakoni. Rasanya seperti menyusuri jalan yang tidak pernah berujung.
Tidak ada label unlimited pada perasaan suka terhadap seseorang, kan?
=oOo=
Hujan dan malam seperti merambat dengan malas. Suara televisi di ruang tengah menyiarkan news pukul Sembilan, sayup-sayup terdengar. Ada sisa percakapan yang menggantung di udara. Mungkin Papa dan Mama. Suhu panas politik nampaknya turut andil menggoyang kemesraan kedua orangtuaku. Aku terlalu enggan untuk turut campur karena pada akhirnya tatapan selidik disertai pertanyaan beruntun serta merta dimuntahkan padaku.
Kapan kau akan mengenalkan priamu pada kami? Semacam itu. Maka aku memilih diam di ranjangku, mendengarkan ritme hujan di luar dinding kamarku yang lembab seraya memainkan kenangan yang belum selesai. Nanggung.
Beep. Ponselku bordering sekali. Pesan masuk. Bayu. Ini aneh, pria itu sangat jarang mengirim SMS, apalagi sampai memakan banyak karakter. Bayu lebih suka menelepon. Ia tidak butuh kategori penting atau tidak.
Aku mengirim email, kurasa sudah saatnya kau melepaskan Awan. Dia tak berhak melukaimu sedalam itu.
Email?
Seharian ini aku memisahkan diri dari socmed atau semacamnya. Agak terburu-buru, aku membuka aplikasi di ponselku. Kuakui, tanganku gemetar mengingat Bayu menyebut Awan di SMS-nya.
melepaskan Awan.
Aku bukan orang bodoh untuk sadar bahwa Bayu telah menyembunyikan sesuatu dariku perihal Awan. Sesuatu yang membuatku takut membaca isi email itu.
=oOo=
(Bukan) Epilog
Bayu memandangi layar leptopnya. Wajahnya kuyu. Inilah titik kulminasi pertahanannya. Seharusnya ia melaksanakan janjinya bertahun-tahun silam, sebelum Elok Langita jatuh terlalu dalam. Ia terlalu sayang, tak cukup berani membunuh bungah di mata Elok setiap kali menyebut nama Awan walau pada akhirnya itu pula yang pelan-pelan membunuh kesempatannya melukis wajahnya seorang di manik mata gadis itu. Mereka sama-sama terluka. Luka yang entah dimulai oleh siapa. Dibacanya lagi artikel dari potongan Koran tahun yang sudah lama lewat, hasil scanning dari wujud aslinya yang menggunung memenuhi kardus di sudut kamarnya. Ia pernah sangat bernapsu menemukan keberadaan Awan hingga sebuah kejadian besar mengantarnya masuk ke lingkaran gelap rekan kuliahnya itu
Bayangan pertemuannya dengan Awan sebelum eksekusi mati yang merenggut hidupnya bertahun lalu kini menggenangi pelupuknya.
=oOo=
“Aku tahu kau dan Langita punya hubungan yang sangat dekat. Kedekatan yang sering membuatku cemburu.” Awan dibalut seragam tahanan tak nampak seperti seorang mahasiswa jenius yang pernah dilahirkan di universitas mereka. “Kau lebih berhak memilikinya.”
Jujur, detik itu Bayu ingin membungkam mulut Awan dengan kepalan tangannya. Setahun kehilangannya, Elok merana. Dan sekarang pria itu tanpa rasa bersalah memperlakukan Elok bak barang.
“Jika kau tahu Elok akan memilihmu, lalu kenapa kau justru memilih jalan gelap dan meninggalkannya di belakang? Aku gagal memahami jalan pikiranmu, Awan.”
“Benar, aku pernah sangat mencintainya. Tapi saat itu aku sadar, Elok Langita tidak pernah masuk dalam prioritasku.” Enteng. Datar.
Bayu menatap bengis.
“Kau tidak pantas menerima cinta Elok,” desisnya.
Awan tersenyum getir. “Aku tahu. Oleh sebab itu sedari awal aku melarangnya agar jangan jatuh cinta padaku. Bila kemudian ia tetap menyukaiku bahkan sampai terluka, itu bukan salahku semata kan?”
Detik itu, Bayu gagal menahan amarahnya. Ia meninju dinding bening yang menghalangi dirinya dan Awan.
“Sekarang tugasmu melindungi Langita dari kenangan orang yang sudah mati, Bayu.” Awan membuang napas panjang. Matanya redup dan sunyi.
=oOo=
Bayu tak bergeming. Ia membiarkan ponselnya berderit berkali-kali menampilkan nama Elok di layarnya. Elok sudah membaca emailnya. Membaca kenyataan perihal hilangnya Awan. Tentang ledakan bom di sebuah pusat perbelanjaan yang menewaskan banyak nyawa. Menemukan nama Awan di antara para pelaku yang berhasil diringkus. Tentang hukuman mati. Tentang detak rindu yang harus Elok akhiri.
Hujan semakin deras. Ada seseorang sedang menangis mengalahkan suara hujan malam ini.

“Kau tahu? Awan tidak akan pernah bisa mencapai posisi langit. Ia hanya bisa mengawang, menggantung sunyi dan berjarak. Suatu waktu lenyap disapu angin.” –Awan Airlangga=
Tamat
Note : Cerpen ini pernah saya muat di blog lain dengan menggunakan nama yang berbeda. Blog itu udah gak bisa saya buka lagi karena lupa password *facepalm* T.T

[November Wish] #3 Best Future


Ketika memasuki tahun ketiga atau keempat kuliah, saya baru menyadari bahwa ‘pembawaan’ saya selama ini merupakan ‘hasil’ dari apa yang pernah alami dan rasakan sejak kecil hingga memasuki ambang usia dewasa. Di antaranya saya trauma—membenci—suara ribut-ribut dan teriakan, jantung saya suka berdegub kencang dan terasa sakit dengar yang semacam itu, saya juga bisa langsung kehilangan respek terhadap orang yang gampang mengumbar kata-kata kasar/kotor, emosi yang mudah pecah, dan masih banyak lainnya. Saya tidak sadar telah menternak sifat/sikap yang cenderung berkiblat ke arah negatif itu.
 Cerita-cerita sedikit, saya paling sering mengajak dialog seseorang di dalam diri saya, bertukar cerita mengenai apa saja. Paling banyak adalah tentang siapa saya dan apa yang sudah saya lakukan. Dengan begitu, saya mendapat pencerahan langkah apa yang harus saya ambil selanjutnya. Saya tidak pernah serius menganggap orang-orang yang dengan percaya dirinya mengatakan kepada saya bahwa mereka akan mendengarkan dan membantu saya mencari jalan keluar bila saya sedang semaput dengan masalah-masalah sepele yang saya hadapi. Bagi saya, tidak ada orang yang lebih memahami apa yang saya alami, atau apa yang perlu saya lakukan agar sesak di dada saya lenyap selain diri saya sendiri. Bukannya saya tidak mau memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengenal saya lebih jauh, tapi selagi saya masih sanggup mengatasinya, mengapa mesti merepotkan orang lain yang pastinya punya urusan-urusannya sendiri? Saya yang over sensitive ini cukup jeli menakar mana orang yang benar-benar tulus dan mana yang sekadar ingin turut memeriahkan.
Orang-orang yang tumbuh besar bersama saya, tentu tahu benar bagaimana metamorfosa saya. Kanak-kanak, bahagia (karena saya belum paham apa yang terjadi di rumah yang saya cintai sepenuh hati). Saya bermain layaknya anak-anak lain, setidaknya seperti itulah yang terlihat. Namun jika saya ingat-ingat, sifat rendah diri yang melekat kuat pada diri saya berasal dari hardikan-hardikan penuh tudingan negatif yang kerap saya terima semasa saya kecil. Sedikit saja saya melakukan kesalahan atau saya tidak melakukan dengan baik apa yang diperintahkan orang-orang dewasa di keluarga saya, ujung-ujungnya telinga saya akan ditampar dengan umpatan b*d*h, be*o, tol** dst. Akibatnya, saya selalu ketakutan akan salah saat melakukan sesuatu, kikuk, tidak berani menyuarakan diri saya apa adanya. Seolah selalu ada tangan-tangan jahat yang menudingkan sepuluh jari kepada saya. Saya terbiasa mendengar orang-orang saling berteriak—sedihnya mereka adalah sosok-sosok terdekat saya—saling mencaci. Saya menyaksikan sendiri bagaimana oaring-orang saling membicarakan keburukan orang lain dengan sangat percaya diri, tidak ingat atau terlupa besok-besok bisa jadi hal-hal buruk yang mereka gosipkan itu akan menimpa hidup mereka atau orang-orang yang mereka sayangi. Sepertinya, bibit-bibit ketidakpercayaan saya terhadap orang lain berangkat dari pengamatan saya itu. Bahwa sedekat apapun kamu dengan dia yang kamu anggap teman, tidak mustahil dia tidak akan membelakangimu sambil memasang senyum iblisnya.
Ada dua satu cerita yang sampai mati tidak pernah saya lupakan. Cerita pertama, saya mendengar langsung rekan-rekan kerja ibu saya membicarakan masalah keluarga kami penuh rasa belas kasihan—yang membuat saya ingin berlari pulang dari sekolah dan menangis—nada bicara mereka menusuk-nusuk hati saya. Di saat ibu saya sedang menjalani masa-masa berat sehabis melahirkan adik keempat saya, ada orang-orang yang menyembunyikan wajah sinisnya di balik topeng bernama empati. Entah mereka benar-benar kasihan, tetapi mestikah membicarakannya secara sembunyi-sembunyi dan dicampur-adukkan dengan sindir menyindir? Terkadang kita sulit memilah, benarkah kita setulusnya berempati atau hanya ingin memuaskan sisi lain diri kita yang bolehlah kita sebut ingin eksis.
Cerita kedua, orang-orang yang hidup dan mimpinya banyak diselamatkan ibu saya, begitu tega menjelek-jelekkan ibu saya. Saya yang tidak sengaja menguping, tanpa babibu segera berlari pulang ke rumah sambil menangis hebat. Bagi saya, saya masih bisa menerima orang menghina saya, tapi tidak kalau objeknya adalah ibu saya. Perempuan yang seluruh hidupnya dipenuhi luka dan duka itu... Sejak saat itu, orang-orang tersebut saya masukkan dalam daftar orang-orang yang tidak akan pernah saya percaya seumur hidup.
Dengan pengalaman tidak mengenakkan seperti itu, saya kira cukup wajar mengapa akhirnya saya memilih mengunci rapat-rapat hati saya. Percayalah, saya bukan tipe pendendam. Saya hanya memegang prinsip, memaafkan namun tidak melupakan. Saya bahkan masih ingat pernah dibikin menangis cowok temen sekelas saya waktu SMA gara-gara dia sambil bercanda menyebut saya gila hahahaha. Lantas dalam pergaulan saya memilih sisi netral dan sering menjadi juru damai dua pihak yang bertikai xD
Seburuk-buruknya perkembangan mental saya di masa kecil, ada kok kenangan-kenangan manis yang membuat saya tersenyum bahagia bila mengingatnya. Seperti bermain permainan tradisional bersama teman-teman sepulang mengaji di sore hari dan—ini yang paling menggelikan—bagaimana jantung saya berdegub tidak karuan setiap kali melihat sosok crush saya dikejauhan. Benih-benih cinta pertama muncul terlalu dini *nyengir*
Memasuki usia belasan, di bangku SMA saya semakin pendiam dan tertutup. Menjaga jarak sejauh mungkin terhadap makhluk bernama laki-laki. Saya memfokuskan diri pada hal-hal lain ketimbang berhaha-hihi membahas urusan percintaan dan heboh ala remaja. Yep, memasuki kelas sepuluh, saya memilih jomblo. Imbas patah hati—sebenarnya saya sendiri yang mematahkan hati saya—sungguh luar biasa. Perjuangan move on memberikan kepercayaan diri kepada saya, cinta kanak-kanak yang saya pikir tidak bisa saya lupakan ternyata bisa saya lengserkan. Itulah, awal mula saya mulai mengenal hijab.
Saya menghabiskan masa-masa remaja tidak seperti remaja seumuran saya. Buku, bola, lagu-lagu, dan Naruto adalah objek-objek yang mewarnai hari-hari saya di tengah sumbu jiwa pemberontak saya yang telah mendapatkan pemantiknya.
Belajar banyak dari masa lalu, saya pelan-pelan berusaha mematikan sifat/sikap negatif yang telah melekati alam bawah sadar saya. Saya mulai bisa menekan sisi emosional saya—yang sering membuat orang-orang takut kepada saya—ketakutan saya terhadap pernikahan juga sedang saya coba hilangkan. Saya pun juga sangat memimpikan memeluk penuh sayang anak-anak saya, membesarkan mereka dengan sepenuh cinta, mendengarkan celoteh riang mereka, membantu menyeka tangis mereka… Saya juga perempuan yang teramat mengharapkan bisa menjadi sosok ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Cukuplah pengalaman buruk tentang keluarga berakhir di saya saja. Saya tidak ingin anak-anak saya kelak dibesarkan dengan mendengar hardikan atau kata-kata kotor, terikan demi teriakan—kekerasan verbal dan fisik—itu akan membunuh mental dan menciptakan sosok-sosok yang mungkin apatis terhadap hidup. Beruntung jika mereka bertemu dengan sesuatu yang bisa menolong mereka ke jalan pulang—seperti saya yang dipertemukan dengan buku—namun, bagaimana jika mereka tidak menemukan lentera dalam kegelapan mereka? Pada siapa mereka akan menuju?
Ada satu aforisma mengharukan dari Dorothy Law Nolte berjudul Children Learn What They Live, yang saya kutip dari buku favorit saya River’s Note-fauzan Mukrim.
Anak belajar dari kehidupannya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan member sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Ikhlas itu hanya Tuhan yang tahu, saya tidak mau lagi mengumbar kata-kata bahwa saya sudah benar-benar mengikhlaskan serta memaafkan tulus orang-orang yang pernah meninggalkan jarah luka bertumpuk-tumpuk di ingatan saya. Saya pernah melakukannya dan berakhir kecewa luar biasa, karena kenyataannya hanya saya yang mencoba berdamai. Saya tidak ingin lagi menyalahkan siapapun.
Namun terlepas dari semua ini, harapan terbesar saya satu, perjalanan yang saya tempuh sejauh ini akan menemukan akhir yang bahagia. Tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi keluarga dan teman-teman yang mengenal saya.
Semoga kelak di masa depan, kita bisa menjadi rumah yang hangat tempat kembali bagi seluruh pedih dan bahagia orang-orang yang mencintai dan kita cintai. Bukankah sebaik-baik manusia, adalah dia yang bisa memberikan manfaat bagi manusia lain? Barangkali apa yang saya katakan ini terlalu klasik, tapi tidak ada salahnya kita saling mengingatkan, buakan? Terlalu fokus pada kekurangan diri akan menutup mata kita dari pesan baik yang dikirim Allah dari penjuru mana saja. Mulailah menyalakan lentera di dalam hatimu, yang dengan itu kamu bisa memabantu orang di sekelilingmu keluar dari kegelapan.

Minggu, 16 November 2014

Di Pagi Begini

Pagi begini, ada setangkup doa dari masa lalu yang masih bernapas. Ada rindu yang mengintai dari bilah-bilah rerumputan pagi dan embun yang masih perawan, belum tersentuh matahari. Aku berdiri di sisi jalan lengang. Tidak ada sesiapa di sana, hanya cericit burung-burung pemuja pagi terdengar di kejauhan. Kupunguti sisa-sisa kenangan dari lintasan bernama waktu. Pahit dan manisnya membangkitkan takjub. Sesakit apapun, nyatanya tidak sanggup membunuhku.

Di pagi begini, kulontarkan baitbait pengharapan kepada Tuhan.
Walaupun aku tidak selalu berada dalam situasi yang searah jalan Cinta-Nya...
Terkadang alpa mengeja nama-Nya di setiap jejak kakiku,
Walaupun aku masih terlampau sering sadar tidak sadar, menghadirkan banyak alasan untuk hal-hal baik yang sengaja kutinggalkan begitu saja...
Di pagi begini, aku akan (selalu) meminta kelapangan hati agar aku tahu bagaimana rasanya bahagia sehabis menaklukan ego sendiri.

Aku ingin mati membawa bahagia dan tidak meninggalkan petaka.

Di pagi begini, di antara sapuan warna-warna langit yang indah, aku percaya ada malaikat-malaikat yang akan mengantarkan doadoaku kepada Tuhan.

Di pagi begini, di pagi-pagi lainnya, esok dan esoknya lagi... Semoga aku masih bisa menyapa langit dengan syukur yang tidak pernah mati.

Sabtu, 15 November 2014

[Random] Kontemplasi

Kenapa seseorang memilih menutup hatinya dan tidak membiarkan orang lain membuka dan masuk ke dalam? Ada banyak alasan. Mungkin dia pernah melewati masa di mana dia berkali-kali menelan kekecewaan karena terlalu percaya pada orang selain dirinya. Di kesempatan berikutnya, dia kehilangan keberanian untuk percaya barang secuil saja. Dia takut terluka dan menganggap tidak ada yang bisa lebih dipercaya kecuali dirinya sendiri. Yang seperti ini sudah mendekati tahap kritis :) *kayak familiar yah*

Alangkah melegakkannya bagi dia yang selalu punya bahu untuk melarikan tangisnya, ada telinga yang siap sedia 7/24 mendengarkan cerita-ceritanya, ada senyum tulus yang tidak pernah alpa menyapanya jika sewaktu-waktu Ia terpeleset di jalan yang salah. Dan bagi dia yang tidak punya sesiapa untuk menyandarkan diri, bukan berarti dia tidak berarti apa-apa. Tuhan punya cara keren untuk menunjukkan betapa beruntungnya dia melewati hari-hari sulit itu sendirian. 

Dia yang mencerna kepahitan satu-persatu dalam keheningan. Suatu hari dibikin tercenung. Merenung mendapati kenyataan hal-hal buruk yang dihadapinya tidak lebih buruk dari orang lain. Terbesit syukur, ia jauh lebih beruntung. Untuk urusan kesulitan dan masalah hidup, tidak tepat bila saling membandingkan milik siapa yang lebih berat lantas menggunakannya sebagai alasan melarikan diri pada hal-hal buruk sebagai bentuk protes terhadap entah... Tuhan. barangkali.

Bahagia itu (bisa sangat) sederhana. Takaran kebahagiaan masing-masing kepala berbeda satu sama lain. Tinggal sejauh mana mensyukurinya.

Ada satu dorama Jepang ber-genre medikal yang sangat saya sukai. Judulnya Code Blue. Saya ingat Dr. Aizawa Kosaku, salah satu tokoh utama di dorama itu pernah berkata kurang lebih begini, dengan memahami kesedihan diri sendiri, maka kita akan semakin peka melihat kesedihan orang lain. Itulah yang terjadi pada saya.

Mungkin melalui cara itu, kita bisa menemukan jalan pulang menuju maaf seutuhnya untuk waktu-waktu beserta orang-orang yang sudah berjasa memberikan kita kesedihan sedemikian rupa.

Kapan saya merasa benar-benar bahagia?
Ada satu moment yang bisa bikin airmata saya terjun bebas; ketika saya bisa berbuat baik kepada orang-orang yang saya jumpai di jalan, ketika saya tahu bahwa kehadiran saya bisa memberikan kelegaan bagi yang lain.

Saya tidak punya bakat spesial, saya juga tidak pintar, tapi saya berharap suatu saat dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang saya miliki, saya bisa melakukan kebaikan sekecil apapun itu untuk menolong orang lain yang sangat membutuhkan. 

Sejujurnya, saya sudah tiba di tahap jika memang sudah jalannya begini, biarkanlah. Dan saya memilih terus melangkah. Semoga Allah memaafkan sederet kekhilafan yang pernah saya lakukan, senantiasa menjaga saya dari hal-hal yang akan menjauhkan saya dari-Nya. Lalu untuk kedua orangtua saya, saya berjalan sejauh ini untuk memahami tentang apa dan mengapa jarak terasa jauh lebih mendamaikan daripada pertemuan itu sendiri. Saya menunggu waktu yang tepat untuk menumpahkan seluruh rekaman masa lalu di kepala saya ini, hanya agar kalian tahu, saya tidak pernah benar-benar membenci apalagi menyalahkan. Selalu ada alasan di balik setiap kejadian. Pun perkara kita.  

Lagi dan lagi, tidak ada yang lebih tahu apa yang saya inginkan selain diri saya sendiri. Tidak ada yang bisa menenangkan saya selain diri saya sendiri dan campur tangan Allah. Belajar menjadi pribadi yang hatinya lapang itu tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa, kan? Butuh waktu dan keistiqamahan. :)

[NovemberWish] #2 GADO-GADO


Nope. Saya tidak akan membahas keinginan makan gado-gado pada postingan kali ini. Kenapa judulnya seperti jenis makanan yang merupakan campuran bermacam sayuran dan lontong itu? Karena isi postingan saya isinya kayak gado-gado. Buanyaaak yang ingin saya ceritakan hehehe. So, Anggap saja ini refleksi yang saya lakukan setelah menerima kabar gembira dua bulan berturut-turut ini.
Saya pertama kali menulis cerpen saat duduk di kelas dua Madrasah Tsanawiyah. Entah di mana rimbanya cerpen itu. Mungkin turut hilang bersama renovasi rumah bertahun-tahun lalu. Yang saya ingat dari cerpen itu adalah tokoh utama cowoknya bernama Sandy dan inti ceritanya tentang cewek kuper yang jatuh cinta pada sosok kakak kelas tampan di sekolahnya. Pwahahahaha. Ngakak. Cerpen itu saya tulis manual di atas sobekan buku pelajaran. Saya tidak terlalu ingat dengan jelas apa yang memotivasi saya menulis fiksi. Keinginan itu timbul barangkali akibat kesukaan saya membaca buku/novel/majalah apa saja yang saya temukan. Di usia saya yang masih butuh bimbingan mengenai buku apa saja yang boleh dan tidak boleh saya baca, saya melahap bacaan apapun itu. Tanpa pengawasan. Sebab orang-orang di sekitar saya sudah terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedang saya harus menemukan cara positif agar tetap waras. Dan buku adalah jawabannya.
Beranjak dari buku-buku, saya pun sering—terlalu sering—mengkhayal. Seperti membuat film-film yang storyline beserta tokoh-tokohnya saya bikin sendiri. Tidak jarang saya menangis kalau film di dalam kepala saya berakhir tragis LOL.
Kala itu, saya tidak punya satupun koleksi buku/novel/majalah pribadi. Saya tinggal di sebuah kecamatan kecil di Pulau Kabaena yang termasuk dalam wilayah administrasi Buton (setelah melalui pemekaran kini Kabaena masuk dalam wilayah Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara). Tidak ada ponsel, tidak ada akses internet, listrik pun hanya menyala di malam hari. Tahun 2003 belum ada yang namanya komputer di sana. Kalaupun ada, hanya satu-dua orang yang memilikinya. Lanjut cerita, saya mendapatkan buku bacaan dari perpustakaan sekolah (SD), milik Kakek saya yang semasa muda dulu pernah bekerja sebagai wartawan di kota, ada juga koleksi buku-buku Nenek saya yang saya panggil Nenek Raha (adik Kakek) yang kembali ke kampung setelah pensiun dari posisinya sebagai Kepala TK di Raha. Ketika memasuki bangku SMA, saya banyak membaca buku-buku berkualitas hasil pinjam dari kakak-kakak senior yang menempuh kuliah di ibukota provinsi. Saya harus mengakui bahwa imbas dari bacaan-bacaan semasa SMA-lah yang banyak mempengaruhi perkembangan pola pikir saya. Tentu saja ke arah yang lebih baik.
Proses menulis yang saya lalui sejak 2003 hingga tamat SMU ditutup dengan sebuah hadiah kecil. Saya memenangkan posisi pertama lomba menulis cerpen yang dalam rangka PENSI tahunan sekolah. Itu honor pertama yang saya terima. Sungguh, rasanya bahagia. Ada optimisme bahwa saya bisa memperjuangkan keinginan saya menjadi penulis. Dan tahukah, berapa cerpen yang saya hasilkan dalam rentan waktu itu? Buanyaaaaaakkk! Iya. Banyak yang nanggung alias tidak selesai. Kata lainnya, tidak menemui ending. Tidak terhitung juga ada berapa banyak buku pelajaran saya yang jadi korban. Ibu saya hanya bisa geleng-geleng kepala setiap kali masuk ke kamar dan mendapati gulungan-gulungan kertas berserakan di sana-sini. Sesekali ibu saya ngomel. Kamu kira harga buku murah? *Maapin anakmu, Ibu…*
Yang kasihan itu adik perempuan saya yang pertama, dia beberapa kali pernah iseng nyuri-nyuri kesempatan membaca cerpen saya yang masih dalam proses penyelesaian. Ujung-ujungnya saya tidak pernah menyelesaikannya dan adik saya—Cully—menahan kedongkolan dibuat penasaran ending ceritanya. Siapa juga yang nyuruh baca? Jeleknya, saya jamin tidak akan pernah bisa menyelesaikan cerita yang saya tulis kalau dibaca orang lain dalam proses penulisannya.
Saya juga pernah melewati apa yang dibilang susah memulai cerita, menentukan nama tokoh, membuat dialog, membuat ending yang kece badai, frustasi kenapa cerita yang saya bikin selalu menggantung. Pertanyaan, ‘kenapa orang lain bisa menulis kisah yang bagus dan saya tidak bisa?’ tak terhitung lagi berapa kali terlontar dari alam bawah sadar saya.
Saya tidak memiliki teman yang bisa saya tanyai mengenai kepenulisan, maka tidak ada pilihan kecuali melakukannya dengan otodidak. Belajar sendiri. Bila dulu saya membaca untuk menikmati kisahnya, layaknya menonton film, pelan-pelan saya melatih diri mengamati dan mempelajari bagaimana seorang penulis mengarahkan kisah yang dituangnya dalam bentuk paragraf-paragraf panjang itu, bagaimana penggunaan EYD-nya dan lain-lain yang menyangkut penulisan cerita. Dari situ, saya mengenal banyak style penulis seperti Om Donatus A. Nughroho, Gol A Gong, S. Gegge Mappangewa (sukaaaa banget cerpen-cerpen beliau di Aneka Yess!), Asma Nadia dll. Jujur saya akui, di awal-awal saya sangat kebingungan dengan pola bercerita saya sendiri. Saya banyak meniru. Itulah yang dinamakan pencarian. Saya harus melaluinya agar bisa menemukan style saya sendiri.
Setamat SMU, saya mengambil kuliah di ibukota provinsi. Saya merasa mimpi saya semakin dekat. Di kota ini, saya bertemu computer dan internet. Percayakah kalau saya bilang, saya baru belajar mengetik di komputer ketika kuliah itu. Saya bela-belain duduk di warnet berjam-jam demi untuk tahu bagaimana cara membuat email, friendster, blog dll. Hal-hal baru yang belum pernah saya temui semasa saya di kampung.
Memasuki tahun kedua kuliah, saya memberanikan diri mengirim cerpen ke majalah remaja. Alhamdulillah ditolak. Saya tidak lantas menyerah, saya pikir memang tulisan saya masih butuh perbaikan di sana-sini.
Memasuki tahun 2010, saya mulai aktif menggunakan facebook. Niat awal saya membuat akun sebenarnya tidak jauh-jauh dari kepenulisan. Saya meng-add banyak penulis yang saya kenal karya-karyanya, juga rekan-rekan yang punya kecendrungan yang sama—menulis fikis—seperti saya. Saya yang aslinya lumayan pendiam dan pemalu ini pun mulai membiasakan diri menyapa dan mengajak kenalan banyak orang. Di tahun tersebut sedang ramai-ramainya kompetisi menulis yang diadakan berbagai pihak. Saya juga turut mengikutinya. Terhitung beberapa kali karya saya lolos seleksi dan masuk antologi. Bahagia? Pastinya. Tingkat kepercayaan diri saya meningkat sekian centi xD
Adalah lomba UNSA (Untuk Sahabat) yang menjadi pembuka langkah saya. Dua tulisan saya masuk dalam Antologi. Disusul karya-karya lainnya di lomba yang berbeda. Ternyata saya bisa!
Ketika Kissing (Kisah Singkat) saya dimuat di majalah Story untuk pertama kalinya setelah melalui seleksi ketat, euphoria yang saya rasakan benar-benar luar biasa. Mungkin bagi orang lain biasa saja. Tetapi, bagi saya yang sering merasa rendah diri moment itu menjadi cambukan agar saya tidak menyerah.
Saya bisa kalau saya mau dan selanjutnya yang dibutuhkan adalah kerja keras, konsisten dan doa.
Saya menikmati tahun-tahun itu hingga memasuki 2013 hingga bulan Ramadhan di tahun selanjutnya, sesuatu yang menyedihkan terjadi—berhubungan dengan dunia nyata—membuat saya ambruk dari sisi emosional dan fisik. Ada yang hilang. Semangat menguap. Saya tidak pernah lagi menulis. Saya pun pelan-pelan menarik diri dari pergaulan dunia nyata dan dunia maya. Mencipta jarak sejauh mungkin dari orang-orang. Karya terakhir saya dimuat di GADIS edisi Januari dan sebuah Koran lokal di kota saya edisi Februari. Sesudahnya saya hilang. Saya bukanlah penulis produktif yang senantiasa menghasilkan karya setiap bulan. Adakalanya dalam sebulan saya tidak menulis apa-apa entah karena malas *slappingmyself* dan alasan lainnya. Akan tetapi, yang saya hadapi saat itu benar-benar sebuah kebuntuan yang sengaja saya pilih. Ditambah pula, saya merasakan ketidaknyamanan pada kenyataan bahwa teman-teman saya kadung mengetahui saya memilih menjadi penulis. Hanya karena karya-karya saya pernah dimuat majalah dan antologi, bukan berarti saya pantas menerima perlakuan yang menurut saya tidak berhak saya dapatkan karena saya pun sama dengan kebanyakan teman-teman yang lainnya, masih belajar. Saya tidak siap menerima beban berat dari pandangan-pandangan kagum orang-orang. Risih. Akhirnya, saya turut menarik diri dari sebuah organisasi kepenulisan, salah satunya karena alasan tersebut
 Saya memilih hiatus. Pilihan terbodoh yang pernah saya lakukan. Saya butuh ruang untuk menekuri kembali bagaimana saya hidup selama ini. Rasanya saya hanya berjalan di tempat yang sama bertahun-tahun tanpa beranjak ke tempat lain. Saya menelan banyak kekecewaan dan kesedihan. Di saat teman-teman saya sudah berjaya dengan pilihannya masing-masing, saya masih tersungkur. Partikel-partikel negatif membungkus rapat otak saya hingga membuat saya malas berpikir.
Up and down.
 Memasuki 2014, masih tetap begitu. Saya belum menulis apa-apa. Teman-teman seangkatan di dunia menulis sudah banyak yang menelurkan novel soliter-nya sedang saya, jangankan novel, cerpen saja tidak ada.
Saya adalah orang yang apabila sudah menyusun satu rencana terstruktur mengenai apa yang akan kerjakan, bila ada satu dari sekian rencana itu tidak terlaksana maka keseluruhan rangkaian rencana tersebut dipastikan carut-marut bahkan bisa gagal sama sekali. Agaknya itu berlaku pula pada sisi emosional saya. Bila satu elemen sedang kacau, imbasnya akan mengenai yang lainnya.
Sampai di sini, saya melupakan satu hal penting yang telah menjadi pegangan saya. Bahwa dengan menulis, saya melalui proses penyembuhan diri. Semua cerpen-cerpen yang saya buat, sedikit-banyaknya mengandung sisi nyata dari penulisnya. Pernah saya menulis cerpen sambil menangis karena kemarahan terhadap seseorang. Hasilnya, cerpen itu hampir 80% adalah curhatan dan dimuat!
Tamparan Allah bisa datang dari mana saja dari arah yang tidak terduga.
Suatu hari di bulan September 2014, saya menonton koleksi video VS dari boiben Korea yang saya suka (MBLAQ), video itu sudah berkali-kali saya rerun. Entah kenapa saat itu saya merasa ada sesuatu yang menggelitik pikiran saya. Satu kalimat dari Mir—salah satu member MBLAQ—membuat saya menghela napas panjang sesaat. Mir dikenal sebagai pribadi yang pekerja keras. Kadang-kadang saya berpikir dia ini bukan artis, sama saja dengan kita. Karena cara dia berinteraksi fans dan bagaimana dia tidak pernah sungkan bercerita dengan harapan-harapan serta ketakutan-ketakutannya sebagai artis. Menampakkan sisi manusia yang apa adanya, yang dibesarkan di sebuah perkampungan kecil di Korea Selatan sana.
Setiap orang sudah memiliki takdirnya masing-masing. –Mir of MBLAQ
Degh.
Dada saya sesak. Saya langsung beristigfar, menyebut-nyebut nama Allah, memanggil nama ibu dan bapak (yang jauh di seberang lautan sana). Lirih.
Benar. Setiap manusia sudah memiliki takdirnya masing-masing. Hanya tinggal bagaimana dia mencari, melakoni dan menerima takdirnya tersebut. Apa yang saya lakukan sebelumnya sama saja dengan menutup satu jalan menuju banyak kebaikan-kebaikan lainnya. Apa yang sudah saya lakukan untuk diri sendiri? Untuk orangtua dan adik-adik saya? Untuk keinginan-keinginan saya yang ingin bermanfaat bagi orang lain? Di usia saya yang sudah memasuki ¼ abad, buanyak waktu terbuang percuma. Saya mengaku sudah menerima apa yang sudah terjadi, namun kenyataannya saya belum se-ikhlas apa yang terlontar dari mulut saya. Sisa-sisa kemarahan dan kekecewaan yang bertumpuk rajin mencuri ketenangan hati saya.
Bentuk protes yang secara tidak sadar saya tampakkan, kalau tidak mau dibilang menyerah, menunjukkan bahwa saya—istigfar—tidak berprasangka baik pada Allah.
Malam itu juga, saya bertelepati dengan Allah. Saya ingin menulis lagi, mencoba peruntungan saya di majalah, disusul nazar lainnya. Karena hanya dengan menulis, saya bisa pelan-pelan menyembuhkan diri. Semangat itu datang lagi ^^
Saya menyelesaikan satu judul cerpen saat itu dan berhasil merevisi beberapa naskah cerpen nanggung di folder Rumah Angin. Dua hari kemudian, setelah melakukan self editing, cerpen-cerpen itu meluncur ke email majalan-majalah yang saya targetkan. Kali ini saya memilih menggunakan nama pena dan meninggalkan nama asli yang sudah saya pakai sejak 2010 ini.
Allah sungguh maha baik. Saya yang tidak tahu diri sudah terlalu sering membelakangi-NYA. Malu.
Tidak lama berselang, sekitar seminggu setelah saya mengirim cerpen ke majalah, surat cinta dari redaksi majalah HAI sukses menciptakan pagi yang indah untuk saya…. *taelaaaah lebai dikit ga papa yah*
Seperti biasa saya pasti gemeteran mendapat kabar pemuatan karya. Hamdalah berkali-kali, syukur sama Allah.
Allah menjawab doa saya… Allah selalu menjawab doa-doa saya…
Dua hari lalu satu lagi kabar menyenangkan datang dari redaksi fiksi majalah GADIS. Cerpen saya dimuat. Alhamdulillah… Terimakasih untuk Mbak Yulina Trihaningsih yang sudah berbaik hati mengabari saya :)
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” –QS. Ar-rahman
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” –QS. Al-Insyirah
Tidak ada jaminan bahwa saya tidak akan ambruk lagi tapi saya selalu berharap dan berdoa, saya tidak membelakangi Allah ketika masa-masa sulit yang membuat saya sulit bernapas itu datang menyapa saya. Karena hanya Allah satu-satunya tempat saya mengadu dan memperlihatkan kerapuhan saya sebagai makhluk fana. Semoga saya selalu tahu diri. Saya tetaplah Nafilah Nurdin yang terus belajar mengenali warna hatinya sendiri, sembari memperbaiki apa yang perlu dan harus diperbaiki.

Dan tentang menulis fiksi, saya tidak akan berhenti. Menulis adalah satu-satunya ruang bernapas yang saya nikmati sejak dulu. 

Minggu, 02 November 2014

[November Wish] #1

Saya baru menyadari betapa kesepiannya seorang Nafilah Nurdin….
Saya tidak sedang mengarahkan tiga jari saya ke diri sendiri, menyalahkan kenapa begini-begitu. Kenyataannya, saya yang memilih menjadi penyendiri, menutup akses orang lain untuk lebih dekat dan lebih memahami bagaimana seutuhnya saya. Membiarkan siapapun hanya bisa menerka dan meraba-raba seperti apa sebenarnya kepribadian orang yang sudah mereka anggap sebagai teman ini.
Saya sengaja mengunci diri.
Bukan tanpa alasan. Barangkali karena saya terlalu sensitif dan perasa sehingga sulit mempercayai orang lain. Ada perasaan tidak nyaman bila saya menyadari bahwa saya keceplosan membuka satu cerita tentang saya. Mungkin juga karena saya tidak percaya diri bahwa ada kok orang yang akan rela meminjamkan waktu dan telinganya untuk seluruh cerita-cerita saya yang kadang absurd, terlalu melankolis, lebay dll. Ada orang yang akan mendengar tanpa menyela atau memotong cerita saya dengan nasihat-nasihatnya. Ada masanya ketika seseorang hanya ingin didengarkan.
Kepala saya sudah sarat dengan banyak hal hingga membuat saya sulit memulai mengurainya satu persatu. Dan percayalah, saya sudah sangat tahu side effect urusan-urusan yang belum selesai di dalam kepala saya ini, saya tahu nilai kebenaran dan kesalahannya setelah melalui proses berpikir bertahun-tahun. Sekali lagi, saya ingin mengeluarkannya bukan meminta solusi. Ya itu tadi, saya belum menemukan seseorang yang hanya dengan menatap matanya, saya sudah tahu dia memang datang untuk saya. Yang dengan dia saya bisa bebas menangis, marah atau mengutuk.
Saya pernah merasa sudah menemukannya. Sekali. Di teman perjalanan yang baik. Semata baik. Karena satu kesalahan kecil, saya dan dia terpaksa memutus komunikasi. Semoga itu bukan salah satu keputusan terbodoh yang pernah saya ambil selama hidup.
Setahun belakangan ini saya benar-benar banyak menghabiskan waktu sendiri, menjauh dari keramaian. Sering melakukan kontemplasi, jatuh-bangun, menangis dan tertawa untuk lelucon yang entah. Sendirian. Karena hanya dengan begitu saya bisa menemui diri saya yang asli. Saya yang tidak banyak bicara, dan lebih suka mengamati. Terkadang saya merasa sedikit luka pada kenyataan saya tidak punya sesiapa untuk saya ajak bicara saat saya begitu ingin berbicara. Tidak ada nomor telepon yang bisa saya hubungi, karena memang pada dasarnya saya tidak terlalu dekat secara emosional dengan orang lain bahkan terhadap orangtua saya sendiri. Ujung-ujungnya saya cuma bisa menangis diam-diam, bertelepati sama Allah. Itulah pilhan terbaik yang saya miliki sebagai manusia.
Saya punya tingkat kepekaan dan sensitivitas yang cukup tinggi. Percaya tidak percaya, saya bisa merasakan situasi hati seseorang dengan membaca gesture, sorot mata dan air mukanya. Saya bisa tahu ketika seseorang marah atau tidak nyaman dengan kehadiran saya. Kalau diingat-ingat, saya mulai tanpa sadar ‘membaca’ orang lain waktu kelas satu MTs. Ceritanya di usia saya yang msih sangat belia, sekitar 12-13 tahun itu, saya pacaran. Ckck, kelakuan. Namanya juga abege yang sedang mencari jati diri yah. Sekarang mah udah tobat, kakaaaaak xD
Setiap orang punya masa lalunya masing-masing. Persoalannya adalah sebanyak apa kita sudah mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang pernah kita alami di masa lalu. Iya, gak?
Back to story.
Orang yang saya pacari (ehm, first love. uhuks) punya label bad boy alias troublemaker di lingkungan. Saya tidak tahu kenapa rasa suka yang saya punya untuk dia bisa begitu besar bahkan mencetak rekor terlama usaha move on saya, berton-ton air mata sudah saya keluarkan LOL. Orang-orang yang mengenal saya pun sering nanya kok saya bisa suka dengan orang yang karakternya sangat berbeda jauh dengan saya? Bagai bumi dan langit. Jawabannya sederhana, karena dia yang saya lihat tidak seburuk yang lingkungan tuduhkan ke dia. Saya dan dia memiliki benang kesepian yang mirip. Tanpa perlu menggunakan rumus apa-apa, hanya dengan saling berbicara satu sama lain, saya tahu dia banyak menyimpan kesakitannya yang menurut saya terlampau berat untuk seorang anak laki-laki berusia 14 tahun. He’s too young…. Tidak ada yang berhak menyalahkan dia bila kemudian dia melarikannya ke hal-hal negatif. Tidak ada yang mau mendengarnya, atau sekadar bertanya apakah dia baik-baik saja. Orang-orang terlalu sibuk menjustifikasi, nyinyir dan memandangnya sinis. Dan itu adalah senjata pembunuh paling ampuh bagi seseorang yang sedang butuh tangan-tangan ikhlas untuk membimbingnya menemukan jalan pulang.
Dari dialah semuanya bermula…
Saya percaya setiap orang punya alasan mengapa mereka melakukan ini dan itu. Dan kita tidak punya hak men-judge atau menghakimi tanpa mau tahu apa yang melatar belakanginya.
Jatuh cinta di usia belia, menjadi korban ketidakharmonisan rumah sejak kecil, punya phobia terhadap keramaian dan ketidaksukaan pada suara bentakan, penyendiri…. Saya yang sekarang dibentuk oleh itu semua.
Jangan pernah berpikir bahwa saya menyesal telah mengalaminya. Saya justru bersyukur Allah mengenalkan aneka warna perasaan selagi saya belum cukup mapan secara emosional. Saya belajar mengenali diri saya sendiri, melewati step by step, walaupun adakalanya saya bergerak lebih lambat dari orang lain, saya tidak mau menyerah bahkan hingga detik ini.
Kita tidak akan pernah tahu betapa romantisnya melihat pelangi jika tidak ada hujan sebelum itu. Saya percaya, selalu ada pesan yang ingin disampaikan Allah pada setiap apa yang kita alami. Apa yang kita lihat, kita rasakan, dan kita dengar.
Saya memang kesepian, tetapi saya sendiri lah yang memilih jalan ini.
Saya tidak akan merasa kesepian lagi bila suatu saat, pada hari yang membahagiakan, saya dipertemukan dengan seseorang yang sudah Allah tuliskan untuk saya jauh sebelum saya lahir. Seseorang yang hanya dengan melihat matanya, saya tahu dia datang untuk saya. Seseorang yang akan setia mendengar celotehan saya tentang apa saja. Tentang kecintaan saya pada hujan, senja, dini hari dan warna hijau. Dia yang bisa saja ajak diskusi ngalor-ngidul soal buku, film, lagu, politik, hingga berapa harga bawang di pasar. Allahumma aamiin…

Saya bisa berubah menjadi orang yang sangat-sangat cerewet loh xD