Oleh : Kaliandra Bayu
Aku
diam-diam mencintaimu, lalu pada waktunya nanti, aku akan diam-diam pula aku
meninggalkanmu....
Hujan pertama di
penghabisan musim panas selalu indah. Untukku. Ada satu perasaan yang mendadak
menyelinap keluar dari kotak kenanganku. Aku menyebutnya rindu. Entah sudah
berapa lama aku menyimpan perasaan semacam ini. Mungkin semenjak aku mengenalnya
atau barangkali perasaan ini
mulai
menjajahku saat ia pergi. Menghilang ke tempat yang jauh yang tidak terjamah
mata dan telingaku. Maka adalah kebohongan besar bila aku mengatakan aku hanya
merindukannya jika hujan turun. Sesungguhnya, aku merindukannya setiap saat
selama tiga tahun
terakhir ini.
Hujan adalah petikan
cerita tentang dia. Segalanya. Yang aku lakukan setiap hujan turun, aku akan
berdiri di depan jendela kaca kamarku, menatap butir-butir bening yang
ditumpahkan langit. Berdiam di sana. Mengulang semua ingatan tentang dirinya.
Aku tidak tahu harus menyebut ini sebagai apa. Orang-orang di sekelilingku
menyebutku gila karena masih terobsesi pada dirinya sekalipun ia telah
meninggalkanku. Lalu apa yang harus aku lakukan? Haruskah kutunjukkan pada
orang-orang itu bahwa ternyata
aku baik-baik saja? Tidak. Aku tidak ingin membuat kebohongan
lagi. Satu kebohongan di masa lalu membuatku nyaris kehilangan napas.
Lihat, beginilah caraku mencintai manusia itu. Aku tempatkan dia di hatiku. Tanpa benci. Tanpa luka dan air mata yang
terkadang mengalir diam. Aku berpikir, kadang-kadang cinta itu tidak logis. Aku
masih setia pada harapan kelak ia akan kembali. Padahal aku tahu dengan jelas,
tak pernah ada kabar secuil pun dari dia semenjak ia hengkang. Aku menunggu
sendirian. Di bilik paling sunyi. Di
balik gemuruh hujan, aku menemui kenanganku.
=oOo=
“Kau yakin tidak akan jatuh cinta padaku?”
Pertanyaan bodoh itu lagi!
Aku memonyongkan bibirku. “Apa kau tidak sadar, Wan? Kau sudah mengulang
pertanyaan itu lebih dari dua puluh kali dalam sehari ini! Itu membuatku frustasi!”
“Benarkah? Makanya kau harus menjawabnya!” Ia terlihat bahagia telah sukses
merusak konsentrasiku. Pencapaian terbesarnya hari itu.
Awan mengekori langkahku. Andai saja aku tidak ingat Mikroskop di hadapanku
berharga puluhan juta, aku tak akan sungkan menjatuhkannya di atas kepala Awan.
Dia tak pernah rela melihatku bekerja dengan tenang mengurus sampel
penelitianku di laboratorium. Malangnya lagi, hanya dia satu-satunya orang yang
setia menemaniku di laboratorium hingga dini hari.
“Kau harus membuatku yakin, kau tidak akan pernah jatuh cinta padaku!”
“Apa itu sangat penting bagimu?” tanyaku cuek sambil meneteskan aquades ke
atas kaca preparat.
“Tentu saja. Itu lebih penting dari semua sampel penelitianmu!”
“Kau membuatku mulas!”
“Berjanjilah untuk tidak jatuh cinta padaku, Langita....” nada suaranya mirip rengekan.
Aku melengos. Kuletakkan hati-hati kaca preparat berisi sampel penelitian
lalu menatapnya lekat-lekat. Sepasang mata beningnya siaga. Menunggu.
“Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada orang sepertimu! Simpan itu
baik-baik. Kalau perlu ditulis di buku catatanmu! Cukup? Oke. Berhentilah
mengusikku. Satu lagi, harus berapa kali kutegaskan jangan
memanggilku Langita. Panggil aku Elok! ” intonasi suaraku sedikit naik. Bukan marah.
“Haha!
Elok Langita bisa marah juga? Kau harus benar-benar memastikan tidak akan jatuh
cinta pada orang sepertiku.” Awan menyengir jenaka.
“Aku
menjaminnya dengan hidupku. Aku bukan orang yang bisa dengan gampangnya
menyukai makhluk paling
menyebalkan di seluruh laboratorium ini! Saat mendengarmu bicara aku merasa
ketenanganku terancam dan kau selalu membuat perutku mulas. Aku jamin aku akan
tetap waras dengan tidak menyukaimu, kau puas?”
Awan mengangguk. “Kedengarannya sangat meyakinkan. Itu bagus. Jadi aku
tidak perlu repot jika nantinya kau terluka karena menyukaiku.”
“Lagipula, apa kau tidak merasa sedikit malu?” Aku memicingkan mata.
“Kenapa aku harus malu?”
“Tingkat kepercayaan dirimu membuatku khawatir!”
Tawa Awan meledak. Wajahnya sampai memerah.
“Tanpa itu aku tidak bisa hidup! Kau tahu itu, kan?” Tangan Awan menjajah
kepalaku.
“Stres!” Kulemparkan jas praktikumku ke wajahnya. Kacau.
“Bagaimana bila kau benar-benar jatuh cinta padaku?”
Kalimat Awan membuatku bungkam sekian detik. Aku (pura-pura) mengubah
diafragma lensa Mikroskop. Bisa gaswat berkubik-kubik jika Awan menyadari
gelagat saltingku. Eh, kenapa aku jadi gugup begini?
“Itu akan menjadi keajaiban dunia paling menyebalkan! Percayalah, aku masih
ingin tetap waras.” Aku menghalau tatapanku agar tak jatuh di matanya.
“Aku pegang janjimu. Kalau kau sampai menyukaiku aku akan menghilang.”
“Iya, menghilang seperti kabut.” Aku menimpalinya setengah bergurau. Awan
mencubit pipiku. Dasar!
Percakapan itu terjadi 6 bulan sebelum kami menjalani ujian
akhir semester. Aku tidak tahu
apa yang menyebabkan Awan selalu mengejarku dengan pertanyaan semacam itu.
Bahkan mungkin aku tidak akan pernah tahu.
Awan, si mahasiswa paling edan dan paling aneh di Departemen Kimia.
Untungnya ia ditopang oleh kecerdasan yang di atas rata-rata makhluk penghuni
FMIPA. Itulah yang membuatnya terkenal ke seantero Jurusan kami dan seluruh
fakultas MIPA. Kesayangan semua dosen dan asisten dosen paling banyak penggemarnya.
Ia pernah berseloroh bahwa kepopulerannya mengalahkan ketua BEM kami. Lihat, tidak
perlu meragukan tingkat kenarsisannya. Kronis.
Sejak masa orientasi kami sudah
saling memusuhi. Pikirkan, apakah kau akan bersikap baik ketika seseorang yang
belum kau kenal mengatakan kau mirip pohon pinus sekarat yang tinggal menunggu angin menamatkan riwayatnya
di depan senior dan ribuan mahasiswa baru? Astaga, meskipun aku kurus bukan
berarti aku boleh seenaknya dihina! Awan terlihat santai menghinaku di ruang orientasi, sekejap
saja menjadikanku bahan ejekan. Baginya, tak ada waktu luang untuk tidak saling
mengusik. Dia yang selalu berinisiatif mengacaukan kekalemanku. Awan tak bisa tenang sebelum mendengar teriakan kesalku. Hal
wajar jika setiap hari kami saling kejar-kejaran di laboratorium dan ruang
kuliah. Pernah, di semeter tiga aku hampir meledakkan seisi laboratorium Anorganik
gara-gara Awan
yang sengaja menukar larutan yang mudah terbakar ke dalam tabung reaksiku. Menurutnya
itu sangat lucu. Ingin rasanya aku mempraktekkan padanya jurus karate yang aku
kuasai. Aku tak sabar menunggu kesempatan itu datang.
Dan Awan tidak pernah membiarkan kesempatan itu datang.
Awan tidak pernah menyelesaikan kuliahnya di Kimia Industri.
Dia menghilang.
Kehilangan itu begitu nyata. Begitu lekat.
Aku sudah sering mendengar kalimat yang mengatakan bahwa terkadang kita
akan menyadari betapa berartinya kehadiran seseorang justru ketika orang
tersebut telah meninggalkan kita. Aku tidak pernah berpikir rasanya akan
sesakit ini. Walaupun aku sudah berhenti menangisinya, rasanya tetap sama.
Sesak.
Awan dan hujan.
Entahlah. Bagiku, tak ada yang lebih indah ketika aku berdiam di balik
rinai hujan. Mencerna rinduku dengan hati-hati. Aku telah menghapus banyak hal
dalam hidupku, tetapi menghapus Awan dari kenanganku tak pernah berhasil kulakukan. Karena
aku menyukainya. Ternyata.
=oOo=
“Apakah kamu masih
terlalu menyukainya?” pertanyaan itu terlontar buru-buru dari bibir Bayu. Aku
membaca kesal dari nada bicaranya. Ah, pria malang yang sudah setia menunggu di
sisiku bahkan jauh sebelum aku menyadari perasaanku terhadap Awan.
Aku mengangguk, kuhirup
kopi pahitku.
“Penantianku akan lebih
lama,” lirihnya.
“Maafkan aku, Bayu.”
Kutatap bola mata biru beningnya. “Kau seharusnya sudah menyerah sejak dulu.”
“Tidak, sama halnya
seperti perasaanmu pada Awan. Kau tidak perlu bersusah payah memintaku berhenti
menyukaimu. Kau tahu dengan jelas bagaimana perasaanku padamu,” ucap Bayu.
“Lucu, terkadang aku ingin membencimu karena sudah tega mengabaikanku demi
seseorang yang bahkan keberadaannya entah di mana. Tetapi setiap kali
melihatmu, aku seperti menatap pantulan diriku di cermin. Tahukah kau apa yang
paling aku takutkan?”
Aku tidak bersuara,
hanya menatapnya. Menunggunya melanjutkan kalimatnya.
“Aku takut kita sudah
terlalu lelah dalam penantian kita masing-masing dan lupa bahwa kita masih
punya kesempatan besar menciptakan kenangan yang jauh lebih melegakkan. Saat
kita sadar, segalanya telah terlambat.”
Siang yang terik,
perbincanganku dan Bayu lagi-lagi berujung pada keheningan yang menyakitkan.
Aku tidak ingin menyakiti siapapun, terlebih Bayu. Jika saja makhluk jelek bernama Awan itu tidak mengunci
kenangan kami di kotak ingatanku dan membawa pergi kuncinya, aku mungkin bisa memberikan ruang bagi Ranindra
Bayu.
Bayu, begitu aku
memanggilnya. Dia tipikal pria yang akan membuatmu jatuh cinta berkali-kali.
Aku dan dia begitu berbeda dalam segala hal. Ia membenci hujan—sesuatu yang
sangat kucintai. Tetapi saat aku membutuhkan lengan untuk melarikan air mataku,
ia selalu tahu makna kedatanganku padanya. Dan khotbah panjang lebarnya tentang
move on, move up, bangun dari mimpi
buruk pun mengucur deras bak banjir bah seraya menepuk punggungku. Lalu di
ujung kalimatnya, ia akan berkata pelan. Sangat pelan.
“Jangan
sembunyikan air matamu. Menangislah sepuasmu. Kau tidak perlu berpura-pura
baik-baik saja. Kau bukan Wonder Woman atau semacamnya.”
Di lain kesempatan ia
berkata seperti menujukan itu untuk dirinya.
“Aku
tidak tahu kapan, tapi aku yakin kau akan menemukan jalan untuk memulangkan
Awan ke hatimu. Saat waktu itu datang, kau akan tahu siapa yang lebih pantas
menghuni hatimu selamanya.”
Atau…
“Aku
cemburu pada Awan. Kukira ketampananku bisa menjadi jaminan bahwa aku sanggup
menggeser namanya dengan mudah, sekali tepis. Makin lama, aku merasa
kepercayaan diriku mengecil… Harusnya aku tahu dalam urusan perasaan adalah
fatal jika terlalu percaya diri.”
Kenyataannya di hari
berikutnya ia tetap datang dengan segala pengharapannya. Kadang, aku
bertanya-tanya cinta macam apa yang sedang kami lakoni. Rasanya seperti
menyusuri jalan yang tidak pernah berujung.
Tidak ada label unlimited pada perasaan suka terhadap
seseorang, kan?
=oOo=
Hujan dan malam seperti
merambat dengan malas. Suara televisi di ruang tengah menyiarkan news pukul Sembilan, sayup-sayup
terdengar. Ada sisa percakapan yang menggantung di udara. Mungkin Papa dan
Mama. Suhu panas politik nampaknya turut andil menggoyang kemesraan kedua
orangtuaku. Aku terlalu enggan untuk turut campur karena pada akhirnya tatapan
selidik disertai pertanyaan beruntun serta merta dimuntahkan padaku.
Kapan
kau akan mengenalkan priamu pada kami? Semacam itu. Maka aku
memilih diam di ranjangku, mendengarkan ritme hujan di luar dinding kamarku
yang lembab seraya memainkan kenangan yang belum selesai. Nanggung.
Beep.
Ponselku
bordering sekali. Pesan masuk. Bayu. Ini aneh, pria itu sangat jarang mengirim
SMS, apalagi sampai memakan banyak karakter. Bayu lebih suka menelepon. Ia
tidak butuh kategori penting atau tidak.
Aku
mengirim email, kurasa sudah saatnya kau melepaskan Awan. Dia tak berhak
melukaimu sedalam itu.
Email?
Seharian ini aku
memisahkan diri dari socmed atau
semacamnya. Agak terburu-buru, aku membuka aplikasi di ponselku. Kuakui, tanganku
gemetar mengingat Bayu menyebut Awan di SMS-nya.
… melepaskan Awan.
Aku bukan orang bodoh
untuk sadar bahwa Bayu telah menyembunyikan sesuatu dariku perihal Awan. Sesuatu yang membuatku takut membaca isi
email itu.
=oOo=
(Bukan) Epilog
Bayu memandangi layar
leptopnya. Wajahnya kuyu. Inilah titik kulminasi pertahanannya. Seharusnya ia
melaksanakan janjinya bertahun-tahun silam, sebelum Elok Langita jatuh terlalu
dalam. Ia terlalu sayang, tak cukup berani membunuh bungah di mata Elok setiap kali
menyebut nama Awan walau pada akhirnya itu pula yang pelan-pelan membunuh
kesempatannya melukis wajahnya seorang di manik mata gadis itu. Mereka
sama-sama terluka. Luka yang entah dimulai oleh siapa. Dibacanya lagi artikel
dari potongan Koran tahun yang sudah lama lewat, hasil scanning dari wujud aslinya yang menggunung memenuhi kardus di
sudut kamarnya. Ia pernah sangat bernapsu menemukan keberadaan Awan hingga
sebuah kejadian besar mengantarnya masuk ke lingkaran gelap rekan kuliahnya itu
Bayangan pertemuannya
dengan Awan sebelum eksekusi mati yang merenggut hidupnya bertahun lalu kini
menggenangi pelupuknya.
=oOo=
“Aku
tahu kau dan Langita punya hubungan yang sangat dekat. Kedekatan yang sering
membuatku cemburu.” Awan dibalut seragam tahanan tak nampak seperti seorang
mahasiswa jenius yang pernah dilahirkan di universitas mereka. “Kau lebih
berhak memilikinya.”
Jujur,
detik itu Bayu ingin membungkam mulut Awan dengan kepalan tangannya. Setahun
kehilangannya, Elok merana. Dan sekarang pria itu tanpa rasa bersalah
memperlakukan Elok bak barang.
“Jika
kau tahu Elok akan memilihmu, lalu kenapa kau justru memilih jalan gelap dan
meninggalkannya di belakang? Aku gagal memahami jalan pikiranmu, Awan.”
“Benar,
aku pernah sangat mencintainya. Tapi saat itu aku sadar, Elok Langita tidak
pernah masuk dalam prioritasku.” Enteng. Datar.
Bayu
menatap bengis.
“Kau
tidak pantas menerima cinta Elok,” desisnya.
Awan
tersenyum getir. “Aku tahu. Oleh sebab itu sedari awal aku melarangnya agar
jangan jatuh cinta padaku. Bila kemudian ia tetap menyukaiku bahkan sampai
terluka, itu bukan salahku semata kan?”
Detik
itu, Bayu gagal menahan amarahnya. Ia meninju dinding bening yang menghalangi
dirinya dan Awan.
“Sekarang
tugasmu melindungi Langita dari kenangan orang yang sudah mati, Bayu.” Awan
membuang napas panjang. Matanya redup dan sunyi.
=oOo=
Bayu tak bergeming. Ia
membiarkan ponselnya berderit berkali-kali menampilkan nama Elok di layarnya.
Elok sudah membaca emailnya. Membaca kenyataan perihal hilangnya Awan. Tentang ledakan bom di sebuah pusat perbelanjaan
yang menewaskan banyak nyawa. Menemukan nama Awan di antara para pelaku yang
berhasil diringkus. Tentang hukuman mati. Tentang detak rindu yang harus Elok
akhiri.
Hujan semakin deras.
Ada seseorang sedang menangis mengalahkan suara hujan malam ini.
“Kau
tahu? Awan tidak akan pernah bisa mencapai posisi langit. Ia hanya bisa
mengawang, menggantung sunyi dan berjarak. Suatu waktu lenyap disapu angin.” –Awan Airlangga=
Tamat
Note : Cerpen ini pernah saya muat di blog lain dengan menggunakan nama yang berbeda. Blog itu udah gak bisa saya buka lagi karena lupa password *facepalm* T.T