Kamis, 19 Januari 2012

[Cerpen] Edisi Mentoring yang Gagal Terbit ^___^

B U T A             
Oleh : Nafilah Nurdin
Rahyan membanting pintu kamarnya dengan kesal. Air mukanya menunjukkan kalau ia sedang kesal. Yah! Tentu saja! Siapa yang tidak kesal di kejar-kejar bak selebritis papan atas (ceileh), dicari-cari hingga ke kelas segala, disms-in setiap hari, rutin pula! Pagi-sore, siang malam. Diundang ke kegiatan ini, acara itu oleh senior-senior berjilbab lebar di kampusnya... hadeuh. Emang tuh senior gak punya pekerjaan laen apa? Yang dikejar aja capek, masa` yang ngejar enggak? Suebel tingkat dewa ini mah namanya!
Tutiit tiit tiiiitttt...!
“Halo! Siapa nih?”
“Masya Allah Buk! Harus ya pake nada suara setinggi itu?”
“Sory Sya, lagi bad mood nih jadi gak sempet nyadar kalo kamu yang nelpon.” Rahyan secepat kilat menata intonasi suaranya setelah mendengar balasan suara penelpon. Syahnaz, teman satu jurusannya.
Di ujung telpon, Syahnaz mengeluarkan decakan yang entah apa maksudnya.
“Masih sebel gara-gara Kak Dinar dan kakak mentor yang lain, Yan? Ya ampun segitunya kah? Oh iya, tadi Kak Dinar nanyain kamu lho, kapan kamu mau ngikut mentoring lagi. Trus...”
Klik.
Rahyan mematikan sambungan telpon sepihak. Telinganya panas mendengar cerocosan Syahnaz. Penting ya memberitahunya tentang itu? Syahnaz tahu betul derajat kekesalannya terhadap Mentoring dan perangkat-perangkatnya, kenapa masih mengisi pendengarannya dengan hal-hal yang berbau itu?
Layar ponselnya berkedip menampakan nama Syahnaz tapi Rahyan terlanjur mengacuhkannya.
Masih sore, Rahyan memutuskan tidur sedini itu. Sepertinya kekesalannya akan sedikit reda bila ia tertidur. Bodo amat dengan mentoring dan Kak Dinar!
=oOo=
Kak Dinar!
Aduh. Rahyan bergegas menyusuri teras jurusannya mengambil rute berseberangan dengan Kak Dinar. Ia Berusaha menyelipkan diri di antara kerumunan teman-temannya. Ribet urusannya jika Kak Dinar menemukannya. Ia baru bisa bernapas lega ketika tiba di ruangan kuliah. Tak pelak, Syahnaz yang sudah hadir duluan mengerutkan kening demi dilihatnya wajah Rahyan yang memucat.
“Sakit Buk?”
“Gak.”
“Kok pucat gitu? Kayak abis ketemu setan kepala tujuh aja.”
“Emang iya. Setannya Kak Dinar.”
Syahnaz refleks mengetuk kepala Rahyan. Hush.
“Gak sopan ngomong gitu di belakang orang apalagi Kak Dinar kan lebih tua dari kita. Niat banget sih anti Kak Dinar.”
“Arrggh, udahan ya ngebahas Kak Dinar. Dosennya telat lagi ya?” Rahyan memotong kalimat Syahnaz. Memutar arah pembicaraan ke topik lain. Entah mengapa, nun jauh di dalam hatinya muncul perasaan asing tatkala teringat raut wajah Kak Dinar tadi. Benar, Kak Dinar melihatnya dan tersenyum padanya dari jarak jauh. Tapi bukan itu masalahanya. Hei, sebenarnya ia sedang melakukan apa? Menghindar? Iya. Mengapa? Karena ia tidak suka mengikuti kegiatan kerohanian, Mentoring. Itu alasannya. Lalu hubungannya dengan Kak Dinar? Karena Kak Dinar selaku mentornya. Itu saja? Iya.
Sebatas itu?
Iya.
Sederhana saja. Tapi mengapa hatinya agak kehilangan ketenangan kali ini? Wajah tersenyum Kak Dinar menyeberangi pelupuk matanya. Aisshh.
=oOo=
“Assalamu`alaikum, Yan.”
Tertangkap!
Rahyan meringis. Kali ini ia gagal menyabotase pertemuannya dengan Kak Dinar. Ia tidak bisa mengelak. Terlanjur bertemu langkah. Skakmat.
Wa`alaikumsalam.” Ia tersenyum malu-malu. Help me...
“Abis kuliah?”
“i, iya,” sahut Rahyan kikuk. Tak berani menatap langsung ke dalam mata bening Kak Dinar. Ia menunduk, menjatuhkan tatapannya ke lantai teras laboratorium di lantai dua. Apa yang harus ia lakukan? Rasanya seperti maling tertangkap. Merasa bersalah? Huft...
“Kamu apa kabar?”
“Baik Kak.”
“Sykurlah. Kirain kamu abis sakit karena gak pernah lagi nongol di mentoring.”
Tembakan tepat sasaran. Rahyan membisu. Tidak tahu harus memilih alasan dan jalan berkelit yang mana.
“Syahnaz udah cerita kok,” ucap Kak Dinar sembari tersenyum hangat. Tidak ada riak kemarahan di sana.
“Gak apa-apa.”
“Hukuman untuk saya apa kak?” tanya Rahyan takut-takut.
“Hukuman? Lho, kenapa musti dihukum?”
“Karena saya mangkir ikut mentoring.”
“Emang kamu pengen dihukum apa?”
Deg. Bibir Rahyan kelu. Pengen dihukum?
Ia melihat senyum Kak Dinar. Tenang sekali.
“Kamu kan gak salah apa-apa jadi gak perlu dihukum kecuali kamu pengen menghukum diri sendiri. Kak Dinar tunggu ya di mentoring besok ya, kalo kamu gak datang Kak Dinar tunggu pekan depannya lagi...”
Kak dinar memeluknya dan hendak pergi namun mendadak langkahnya terhenti.
“Saya penasaran sama satu hal. Kata Syahnaz kamu gak suka mentoring. Kenapa? Karena apa? Gak apa-apa, Kak Dinar gak doyan daging manusia kok. Jangan takut. Bagian mana dari mentoring yang membuatmu emoh ikut?”
Syaraf tawa rahyan mendadak macet. Kacau nih.
...karena ia malas ikut mentoring. Karena rasanya lebih enakan nge-tam di kamar ketimbang duduk ngantuk selama dua jam menerima ceramah kakak mentor, karena ia tidak tertarik sama sekali dengan mentoring atau apapun sebutannya. Karena mentoring bukan sesuatu yang menarik... karena... karena..
Rahyan ingin sekali mengeluarkan seribu alasan yang ia punya untuk pertanyaan Kak Dinar namun kenyataannya mulutnya seolah terkunci rapat.
“Rahyan?” Kak Dinar menyentuh bahunya hangat.
“Kalau kamu gak suka seharusnya kamu gak menyimpan dalam hatimu, gak baik buat kesehatan lho dek... tanpa kamu bilang pun kakak udah tahu alasan-alasan yang gak bisa kamu keluarkan itu. Karena itu Kak Dinar keliling nyariin kamu buat minta maaf jika selama ini ternyata Kak Dinar bikin kamu gak nyaman dan merasa terganggu. Sungguh, gak ada niat sedikitpun membuatmu jengkel. Yang penting kamu ketahui, terlepas dari kegiatan mentoring baik saya maupun mentor-mentor lainnya hanya ingin dekat dengan kalian, Kak Dinar pengen banget akrab dengan kamu, inginnya setelah mentoring kita masih tetap bisa deket. Tapi kalau itu justru membuatmu marah, Kak Dinar hanya bisa minta maaf. Sulit ya jalin silaturrahim dengan kakak? Atau cara Kak Dinar yang keliru?”
Rahyan benar-benar kehilangan kata-katanya.
“Kamu tahu gak bedanya orang yang bener-bener buta dan orang  yang tanpa sadar sengaja membutakan diri? Jangan sampe kita keliru menempatkan diri sayang...”
Rahyan menghela napas. Apa yang salah ya?
Aku di golongan mana? Rahyan membatin. Tak menyadari Kak Dinar sudah berlalu.


Sabtu, 14 Januari 2012

[Sebuah Percakapan] Dialog Tiga

DIALOG TIGA
Selamat datang. Kau terlihat semakin baik.
Benarkah?
Apakah aku keliru?
Tidak. Kau benar.
Jadi, kau tak butuh bercerita padaku lagi?
Siapa bilang?
Kau sudah baik-baik saja sekarang.
Kau mau meninggalkanku?
Aku tidak bilang begitu. Hei kenapa selalunya kita mendebatkan sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan? Aku benar-benar sedang ingin mendengar kau bercerita. Tentang apa sajalah.
Tentang kamu.
Aku? Aku tidak punya sesuatu yang bisa diceritakan.
Kebohongan macam apa yang ingin kau sampirkan di matamu itu? Kau tak pandai memanipulasi dan tidak seharusnya kau begitu. Kau sedang jatuh cinta. Benar?
Tidak.
Bagian mana kalimatku yang salah.
Aku sedang jatuh cinta. Kamu salah.
Lalu apa?
Aku ingin kau yang bercerita bukan aku.
Sekali waktu gantian dirimu tak masalah, bukan?
Baiklah, dengarkan baik-baik. Ini `kecelakaan` kecil. Aku tahu setan paling lihai  menyusupkan jebakan di jalan-jalan yang kita tempuh. Aku tak luput pula. Setan oh setan. Aku yang sejak awal tidak tahu menahu soal wajah itu berbalik ingin tahu. Ini bencana awal. Bencana pertengahan, ada-ada saja waktu datang menerjemahkan kediamanku dengan mengingatnya. Aku takut ini menutup langkah warasku. Ini gila! Aku sudah bilang aku tidak mau hal-hal seperti ini. Kenapa kau tertawa?
Kau takut?
Aku juga sama sepertimu. Kau lupa kita ini satu. Dasar bodoh! Sebenarnya apa yang kita bicarakan? Kau tahu dengan jelas dan aku paham dengan sempurna. Kita satu.
Apakah kita akan baik-baik saja nantinya?
Insya Allah. Aku berharap.
Apakah Tuhan akan menolong kita?
Allah sebaik-baik penolong. Kau lupa itu?
Bagaimana dengan wajah itu?
Aku yakin bila saatnya kelak datang, kita hanya perlu membungkusnya rapi dalam do`a.
Do`a apa yang ingin kau rapalkan?
Ya Rabb... hindarkanlah kami dari petunjuk yang salah lagi menjauhkan wajah dan hati kami dari jalanMu. Palingkanlah kami dari ketidaksadaran saling mendzhalimi hati saudara kami yang lain. Itu.
Siapa yang sedang jatuh cinta?
Kita. Kau tidak mengizinkanku tertawa? Seram amat dirimu. Sesekali tertawa tak apalah...
Kemarikan kupingmu.
Apa?
Kau mau melihat setan menangis pilu?
Caranya?
Pukul telak mereka dengan ketangguhan kita. Karena kita punya Allah....
Kalimat siapa lagi yang kau util?
Seseorang. Kau tahu siapa dia.
Huahahaha... kita benar-benar sepasang sayap rahasia.
Pssssaatttthh. Aku menyerah bermain petak umpet denganmu.
Yaaahh, aku memang jatuh cinta tapi aku baik-baik saja karena aku punya Allah, bukan begitu, sayang?
Aku mendengar setan menangis.

[Sebuah Percakapan] Dialog Dua

DIALOG DUA
Hy, apa kabar?  
Kau datang?
Ya. Ini aku. Lama tak bertemu.
Sibuk?
Begitulah.
Ada apa lagi sekarang?
Ah. Kau sepertinya sedang bosan denganku.
Tidak.
Nada bicaramu seolah-olah kau enggan meladeniku. Sedang dalam mood yang buruk kah?
Tidak juga.
Lalu?
Hmmm... kita jangan bertele-tele. Kepalaku pusing.
Sebenarnya apa yang sedang kita bicarakan saat ini? Tentang aku atau tentang kamu atau tentang kita?
Kau ingin kita membahas tentang siapa?
Aku.
Baiklah. Mulailah bercerita. Aku akan mendengarkan....
Aku ingin memulai.
Bukankah kau sedang memulai?
Maksudku memulai sesuatu.
Apa?
Hidupku.
Ada apa dengan hidupmu? Kelihatannya baik-baik saja? Apa yang sudah berakhir dan apa yang perlu dimulai?
Banyak yang telah berakhir dari hidupku. Masa depanku. Aku membuangnya entah di jalan yang mana. Aku ingin memungutnya kembali. Membenahinya.
Kau menyesali sesuatu?
Apalagi namanya selain menyesal?
Ah. Manusia...
Apakah kau ingin menyarankan sesuatu? Aku butuh saran.
Kau tak perlu meminta saran pada orang lain. Cukup kau tahu apa yang ingin kau lakukan dan apa tujuan hidupmu. Harusnya setelah tahu itu kau sudah bisa menentukan apa yang perlu kau benahi. Orang lain tidak tahu apa yang sedang kau hadapi makanya mereka hanya mampu memberimu saran abu-abu. Sekali lagi kau tidak terlalu butuh itu. Kau butuh dirimu sendiri untuk keluar dari labirin kemacetan otak dan pikiran. Sekarang, masalah terberatmu apa?
Masalah terberat?
Ya. Yang membuatmu sulit bernapas.
Aku cemburu.
Pada?
Semuanya.
Semuanya? Itu tidak jelas. Kau cemburu pada apa dan mengapa kau ingin mencemburui itu? Kau terbiasa mengatakan semuanya. Padahal akan lebih baik kalau kau tahu dengan jelas, satu persatu apa yang menjadi titik inti masalahmu, sayangku...
Aku cemburu. Cemburu mengapa orang lain bisa dan aku tidak bisa.
Karena kau tak cukup berusaha. Sederhana saja, bukan?
Aku cemburu mengapa orang lain penuh dengan keberhasilan dan aku selalu biasa-biasa saja.
Karena kau cenderung membiarkan hidupmu di jalur yang biasa-biasa saja.
Lalu apa yang mesti aku lakukan?
Berdoa.
Itu saja?
Ya. Kau melupakan itu. Usahamu sia-sia belaka sebab saat kau mengusahakan sesuatu kau tak cukup percaya Allah ada di semua lini, entah nanti usahamu sukses atau gagal, kau seharusnya melibatkan Allah Sang Pemilik Dzat yang hidup dan yang mati.
Kau melupakan banyak hal makanya kau biasa-biasa saja. Kau membuang semua kebiasaan yang mendatangkan kebaikan dan menukarnya dengan sesuatu yang mendatangkan kemalasan. Kau tidak sadar?
...
Bangun pagi.
Memakan makanan yang sehat dan teratur.
Istirahat yang cukup.
Tidur di malam hari tepat waktu.
Dan yang lebih utama dari semua itu adalah... kau melupakan Tuhan.
Sebelum kau memulai sesuatu maka mulailah terlebih dahulu membersihkan hatimu dari beraneka macam kekerdilan. Bersihkan hatimu. Bagaimana mungkin kebaikan akan datang padamu jika kau tak membuka sebuah tempat yang lapang di hatimu untuk ditempati hal-hal yang baik. Berhentilah mencurigai dirimu sendiri bahwa kau tak cukup layak dan cerdas untuk diakui. Lalu ikhlaslah...
Kau paham sekarang?
Terimakasih. Kau selalu berhasil menenangkanku.
Itu karena kau. Aku seperti ini karena dirimu. Bersemangatlah... sering-seringlah mengunjungiku. Kau hanya datang saat sendu dan membutuhkan sedikit gerimis di ranah hatimu. Itu sangat tak adil untukku.
Maafkan aku.
Tanpa kau meminta maaf pun, aku sudah memaafkanmu. Coba kau pikir, adakah orang seperti aku disekitarmu?

[Sebuah Percakapan] Dialog Satu

DIALOG SATU
Tuhan, aku memohon semoga perasaan ini tidak datang di waktu yang salah. Semoga ia tepat waktu dan tidak terlalu cepat menemuiku. Aku takut.
---
Met milad! Selamat atas penambahan usia sekaligus berkurangnya jatah hidupmu! Seungil Cukkae sayang...
Bagaimana perasaanmu? Bahagia? Apakah resolusimu di tahun kemarin ketika kamu merayaan hari yang sama tercapai? Ayolah, ceritakan padaku... aku akan setia mendengarkan. Biarkan kita sejenak saja tanpa rahasia. Bukankah kita selalu bersama walaupun kamu lebih sering mengacuhkanku dan berjalan seolah-olah aku tak ada di sisimu? Tapi sesering kau melakukan hal itu maka sesering itu pula aku memelukmu hangat. Aku tidak pernah menyalahkanmu. Ah, jika bukan padaku, pada siapa lagi kau berlari pulang saat hatimu terluka entah oleh apa yang membuatmu sesenggukan saban malam? Itu aku, bukan? Yang menjadi perantara bagimu dan Sang pemilik segala yang ada dan tiada?
Ah, lihatlah. Aku sudah terlalu banyak mengoceh dan kau masih mengunci suaramu (selalu seperti itu).
Berceritalah mulai dari apa yang kau rasakan detik ini.
Aku kesepian.
Ahoi, kau berbicara juga akhirnya. Kenapa kamu merasa kesepian sayang? Aku pikir kau justru semakin banyak tertawa keras akhir-akhir ini. Yang mana yang kau sebut kesepian itu? Aku penasaran kesepian semacam apa itu.
Haruskah kau memulainya dengan pertanyaan? Kau bilang akan mendengarkanku tapi kenapa kau memotong ceritaku saat aku baru memulai?
Kau marah? Ah, aku bertanya lagi. Maafkan aku. Aku akan diam.
Sampai dimana cerita kita tadi?
Kesepian.
Ya, kesepian.
Aku berjalan di antara kesepian. Aku tertawa dan menangis sekaligus. Saat aku tertawa keras, saat itu juga aku sedang menangis pilu. Mungkin bagimu, aku terlihat sedang mendemonstrasikan sebuah naskah drama picisan.
Aku tidak berpikir begitu. Hei, aku tidak sengaja memotong ceritamu! Kau yang membuatku terpaksa menjawab.
Kuizinkan. Asal bukan pertanyaan. Sudah terlalu banyak pertanyaan menjejali otakku yang bebal ini. Aku sedang menjadi diri sendiri di hadapanmu. Sekarang. Kau tahu apa maksudku? Selama ini, bila berhadapan dengan lingkungan yang ribut aku selalu berusaha lebih ribut lagi, berusaha lebih menonjol lagi kemudian sesudah itu aku bahkan tak tahu kenapa aku mesti seribut itu? Seolah-olah aku hidup di antara dua orang. Satu si penyendiri dan satu si riuh. Yang mana aku yang sebenarnya? Kurasa kau tahu.
Apakah aku baik-baik saja? Tidak. Kau jelas-jelas tahu betapa tak beresnya hatiku belakangan ini. Aku melupakan Tuhan. Aku menjauhi semua urusan yang seharusnya kuselesaikan. Aku menyibukkan diri di wilayah yang asal jadi. Ugal-ugalan tanpa aturan jelas. Kenapa aku seperti ini? Benar. Karena aku tidak punya pegangan yang jelas. Aku tak tahu rencana hidup mana yang sedang aku pijaki. Ini sama halnya aku sedang berjalan sambil menutup mata, saat ada sesuatu yang terdengar menakutkan aku lantas mengkerut mencari tempat persembunyian. Padahal akan terlihat lebih baik jika aku membuka mataku dan mengenali apa yang kelihatannya menakutkan itu?
Aku tidak percaya pada kemampuanku sendiri. Aku tahu bahwa manalah mungkin orang lain akan percaya padaku kalau aku sendiri sangsi terhadap kualitas diriku sendiri? Aih, semakin aku banyak bicara semakin terlihat betapa memalukannya aku.
Jangan pikirkan itu. Aku lega kau berani menelanjangi dirimu sendiri. Tak banyak orang yang dengan jujur mengakui kesalahannya.
Apakah aku terlihat seperti itu?
Apa?
Jujur.
Ya.
Syukurlah.
Kenapa?
Kau tahu apa yang menjadi satu-satunya harapanku di hari ulang tahunku malam ini?
Kau belum memberitahuku.
Aku berencana memberitahumu.
Aku akan mencatatnya.
Tuhan, tolong anugerahkan aku sifat jujur.
Hanya itu? Kenapa tidak meminta banyak hal? Mumpung kau mempunyai kesadaran jernih macam ini. Biasanya juga kau menulis banyak permintaan di buku harian.
Aku sudah lama tak menengok lembar buku harianku. Ah. Lupakan. Aku akan menjawab pertanyaanmu. Walaupun kau sudah melanggar perjanjian kita untuk tidak bertanya. Aku menjawabnya bukan untukmu tapi untuk diriku sendiri agar aku lebih tahu diri.
Kenapa aku hanya memohon satu doa pada Tuhan? Sebab akar dari seluruh masalah, urusan, beban yang terhimpun di pundakku tak lain dan tak bukan karena aku tidak jujur.
Aku melupakan Tuhan.
Karena aku berbohong telah mengingatnya sepanjang waktu. Aku menyebut namaNya, aku menggantungkan harapan hariku padaNya. Aku melakukan itu bukan karena aku mengingat Tuhan. Aku melakukannya untuk diriku sendiri. Aku egois. Aku sangat malu mengingat betapa murahannya trik yang kupakai. Pada akhirnya aku menipu diriku sendiri. Lelucon yang membunuh hatiku pelan-pelan.
Apa yang bisa kita sembunyikan dari jangkauan Tuhan? Allah yang Maha Pengasih, maafkan aku...
Aku kesepian. Itu aku. Bukankah aku pernah bilang kalau aku sangat menyukai sunyi? Sunyi dan sepi bukankah dua hal yang berbeda?
Aku kesepian karena aku tak berani mengakui bahwa aku sebenarnya sunyi. Aku lebih merasa aman jika memilih diam. Seharusnya aku menggenggam sifat itu dimanapun dan apapun yang sedang aku lakukan.
Aku ingin jujur mengakui kelemahanku.
Aku ingin jujur mengakui kekuranganku.
Dan aku akan jujur mengakui betapa berharganya diriku.
Betapa tak sia-sianya Allah menciptakanku. Betapa tak sia-sianya Ibu mengandungku sembilan bulan lebih. Aku tidak ingin semua perjuangan Ibu dan Bapak menguap sia-sia karena aku tak cukup berani menghadapi dunia. Aku tidak akan menyembunyikkan wajahku lagi. Tolong doakan aku ya sayang...
Pukul 00.04
Selamat ulang tahun sayangku. Kau selalu yang terbaik. Kau harus selalu menjadi yang terbaik untuk alasan yang terbaik pula sebab kau dilahirkan bukan untuk menjadi sia-sia dan mati tanpa bahagia. Apakah aku boleh memelukmu? Hei, jangan menangis...
Seharunya kau memelukku sejak tadi...
Maafkan aku. Mendekatlah...
Pelukanmu hangat. Kau tidak bertanya mengapa aku berdamai denganmu?
Tidak perlu. Nanti bila kau dalam kondisi baik hati, kau akan memberitahuku.
Karena aku akan bercerita segalanya padamu mulai hari ini...