Senin, 02 Januari 2012

[Cerpen] KOTAK PANDORA


Oleh : Nafilah Nurdin
Pandora? Dora? Panda?
Wajah bulat. Tembem. Gemuk. Jelek tentu saja.
Hahaha….
Biasanya, Pandora akan melepas senyum pasrahnya setiap kali mendengar dan melihat orang lain menertawakan namanya. Namanya yang aneh, tidak lazim dan lucu. Usianya menginjak tahun ke-16 dan ia sudah terbiasa. Saking seringnya ia mendapat ejekan dan tawa kelakar dari teman-temannya, Pandora menjadi kebal. Benar kata Ibu, biarkan tawa teman-temannya hanya sampai di gendang telinganya dan luruh dalam hitungan detik. jangan sampai ejekan itu membuatnya kecil hati dan terbawa arus kemarahan.
Dulu, saat masih tak tahu apa-apa ia memang marah pada Eyang Kakung yang memberinya nama aneh, Pandora. Lambat laun ia menerimanya, melihat teman-temannya tertawa hanya karena namanya saja, Pandora sudah senang. Kata Ibu (lagi), membuat orang lain tersenyum karena kehadiran kita adalah salah satu bentuk sedekah paling sederhana dan dalam.
Pandora memeluk erat pesan Ibu sebagai penguatnya.
Tetapi, hari ini ucapan Ibu seolah mental entah kemana. Pandora marah besar sekaligus sedih tak ketulungan. Sepulang sekolah ia hanya mengurung diri di kamar. Menumpahkan tangisnya pada boneka Panda kesayangannya. Entah karena masih dalam keadaan marah, Pandora merasa dirinya senasib dengan boneka Panda dipelukannya. Mereka sama-sama gemuk, pendek dan tentu saja jelek.
Pandora terisak.
Ketukan dan panggilan berulang Ibu di depan pintu kamar yang terkunci tak digubrisnya. Pandora teramat marah. Ia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya pada siapa dan dengan cara seperti apa. Sebab itulah ia lebih memilih menangis saja di kamarnya.
Dia benar. Selama ini Pandora mencoba melarikan diri dari kenyataan dengan cara tersenyum. Menerima sekaligus menolak semua olokan  dan ejekan teman-temannya dengan cara tidak memberi komentar padahal nun jauh di dalam hatinya ia merasa sangat sakit. Selama ini ia menelan bulat-bulat nasihat Ibu supaya ia memiliki alasan pelarian diri paling sempurna. Dia benar. Yang sesungguhnya Pandora tidak pernah benar-benar menerima nama itu, menerima kondisinya yang memprihatinkan. Sekali lagi, dia benar.
Pandora ingin berteriak sekeras-kerasnya.
Ibu berdiri menahan kecemasan di bilik dadanya. Sejam setelah pulang sekolah Pandora belum juga mau keluar dari kamarnya. Tidak menyentuh makanan. Ini di luar kebiasaannya.
“Ada sesuatu yang terjadi di sekolahnya, Ayah yakin.”
“Bagaimana ini, Yah? Apa yang harus kita lakukan?”
Ayah meletakan buku tebal bacaannya di atas meja.
“Kita tunggu saja sampai sore, kalau Pandora belum mau keluar juga biar Ayah yang menelpon Wali kelasnya.”
Ibu setuju. Tiba-tiba Ibu teringat pertanyaan Pandora sesaat sebelum berangkat sekolah tadi pagi.
“Ayah….”
“Ya?” Ayah menurunkan kacamatanya hingga di atas hidung.
“Apakah mungkin ini ada kaitannya dengan namanya?”
“Nama?”
“Iya. Tadi pagi Pandora tiba-tiba menanyakan itu lagi. Mengapa ia diberi nama Pandora.”
Ayah terlihat menghela napas panjang.
“Bukankah masalah itu sudah lama selesai dan Pandora sudah mengerti?”
Ibu merenung sejenak.
“Semoga saja.”
Ibu membuang pandangannya ke arah daun pintu kamar Pandora yang masih tertutup rapat. Biasanya kamu mau bercerita apa saja pada Ibu, nak….
=oOo=
Lyra merobek surat bersampul ijo lumut itu dengan kesal. Emosinya naik hingga ke ubun-ubun. Lancang. Lancang benar anak itu! dia pikir dia itu siapa? Berani betul menyerobot, menyalipnya tanpa permisi.
Lyra mondar-mandir di dalam kamarnya. Selintas wajah menyedihkan Pandora mengusik pikirannya namun cepat-cepat dilibasnya. Tak ada yang perlu disesali. Toh salah Pandora yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu hingga membuat Lyra marah. Perhitungannya sepadan.
Lyra mengambil pigura dirinya dan Pandora yang terpajang di atas meja belajarnya lalu dimasukannya ke dalam laci. Sudah waktunya pensiun dari persahabatan tak sehat ini. Lyra mengambil keputusan.
=oOo=
Pandora berangkat sekolah pagi-pagi. Wajahnya masih murung. Ia tidak menyentuh sarapannya. Tidak mengucapkan salam pada Ibu dan Ayah. Lebih tepatnya Pandora berangkat diam-diam menumpang bus paling pagi menuju sekolah. Ia hanya ingin tiba di sekolah sebelum yang lainnya melihatnya.
Sekolah masih lengang. Selapis kabut tertangkap matanya. Matahari belum tiba di bumi.
“Aku tahu kamu akan datang sepagi ini.”
Pandora menahan napas. Langkahnya tertahan di depan pintu kelas yang masih gelap. Seseorang menempati kursinya.
“Gaara?”
“Iya. Ini aku.”
Pandora merasa kepalanya memanas. Lututnya melemas. Aih, macam beginilah bila ia berubah gugup mendadak. Seperti ingin melompat ke dalam tanah saja rupanya. Perkara ini belum tamat.
“Apa yang kamu lakukan di situ? Mau berdiri sampai anak-anak berdatangan? Aku ingin meminta penjelasanmu tentang kemarin. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apa aku melakukan kesalahan fatal padamu? Ayolah, aku ingin mendengar ceritamu….”
Pandora tidak tahan lagi. Ia ingin menangis dan berlari pulang ke rumah. Kalau bisa ia ingin libur setahun.
“Aku bela-belain datang pagi ke sekolah hanya untuk mendengar penjelasanmu. Apa yang terjadi kemarin? Padahal aku ingin mendiskusikan materi teori asam-basa yang diberikan Bu Sesi minggu lalu. Tahu-tahu kamu sudah menghilang bahkan sebelum pelajaran benar-benar kelar. Itu bukan dirimu, Pandora.”
Karena namanya Pandora. Dada Pandora sesak betul.
“Ini karena salahku. Aku yang salah.” Pelan suara Pandora. Basah.
Gaara bangkit dari kursi yang didudukinya. Didekatinya Pandora yang masih tertunduk di depan pintu.
“Semua akan jelas kalau kamu mau bercerita dari awal….”
“Dengar, aku tidak akan mendekatimu lagi. Urusan kita selesai sejak hari ini. Karena aku mencoba menyukaimu dengan menulis surat untukmu seseorang menjadi berang. Seharusnya aku menyadari ini sejak awal, aku akan mempermalukan diriku sendiri jika tetap menjadi temanmu. Aku ini Pandora. Panda. Apa kamu lupa?” Air mata Pandora sempurna jatuh.
Gaara serba salah. Masih belum cukup mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Jadi kuperingatkan, carilah teman yang sepadan. Yang cukup pintar dan tentu saja cantik!”
Tak ada pilihan lain baginya selain berlari pulang ke rumah. Pandora menangis sedih sepanjang jalan.
=oOo=
Ibu menghapus air mata Pandora.
“Ibu sedih sekali kemarin saat kamu tidak mau membuka pintu untuk Ibu. Kamu marah pada Ibu. Perkiraan Ibu benar. Masih tentang nama itu. namamu, bukan?”
Pandora terisak. Bahunya berguncang. Tidak. Ia tidak sedikitpun marah pada Ibu. Ia hanya….
“Aku sudah hampir lupa tapi seseorang kembali menyulitkanku dengan mengingatkanku tentang nama itu lagi. Pandora tidak akan sesedih ini seandainya bukan Lyra yang melempar hinaan semacam itu padaku. Ibu tahu aku menyayangi Lyra, satu-satunya teman yang tidak mempermasalahkan aku bernama Pandora. Nama yang aneh. Tapi, kemarin Lyra menemukan surat yang kutulis untuk Gaara. Dia marah besar karena ternyata dia juga menyukai Gaara. Ibu, kalau saja aku tahu Lyra menyukai Gaara, aku tidak akan berani menulis surat itu.
Aku marah, sakit hati dan sedih sewaktu mendengar Lyra menyebutku Panda bulat, jelek, Pandora…. Nama macam apa itu? Lyra mengungkit semuanya, Ibu. Katanya aku hanya pura-pura menerima padahal aku sebenarnya sangat marah diberi nama Pandora. Sayangnya ucapan Lyra memang benar. Kemarahan Lyra kemarin membuatku sadar. Aku tidak pernah benar-benar menyukai namaku. Aku masih marah pada Eyang Kakung, pada Ibu, Ayah, teman-teman yang selalu mengejeku sejak dulu. Aku marah. Sangat marah, Ibu. Bukan. Aku tidak marah, aku….”
Usai berkata panjang lebar masih sambil menangis, Pandora menenggelamkan kepalanya ke dalam pelukan Ibu. Ibu memberi isyarat mata pada Ayah yang berdiri di depan pintu kamar Pandora agar mendekat. Ayah sengaja pulang cepat hari ini setelah mendapat telepon dari Wali kelas Pandora yang mengabarkan puteri semata wayangnya itu bolos masuk kelas.
Urusan ini harus lekas diusaikan. Harus.
“Pandora mau dengar cerita Ayah tentang sejarah pemberian namamu?”
Pandora mengangkat wajahnya. Tersadar akan kehadiran Ayah yang masih mengenakan seragam kantornya.
“Ayah pikir sudah saatnya kamu mendengarnya,” lanjut Ayah seraya tersenyum. Ayah duduk di pinggir ranjang, mengelus kepala Pandora penuh sayang.
“Pandora adalah sosok perempuan cantik dan pintar dalam Mitologi Yunani….” Tatapan teduh Ayah menyentuh daun jendela yang terpentang lebar membiarkan angin musim panas bebas keluar masuk.
Pandora menata wajahnya. Biasanya cerita Ayah selalu menarik.
“Zeus meminta seorang Dewa buruk rupa untuk membuat sebuah patung yang akan dihadiahkan kepada Ephimetus, lalu terciptalah sebuah patung perempuan cantik. Oleh Zeus dan beberapa dewa memberikan nyawa dan keterampilan berupa kecerdasan, kepintaran dan naluri sebagai manusia. Patung perempuan itu dinamakan Pandora. Sebelum diserahkan kepada Dewa Ephimetus, Pandora dibekali sebuah kotak rahasia. Ia dilarang membuka kotak itu apapun yang terjadi. Kotak yang sangat rahasia.
Maka hiduplah Paandora bersama Ephimetus yang sangat mencintainya. Seperti halnya manusia yang memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Bertahun-tahun kemudian, Pandora yang didorong rasa penasaran membuka kotak itu. dimulailah bencana berkepanjangan di Bumi. Segala macam keburukan keluar dan menyebar ke Bumi. Ternyata masih ada satu benda di dalam kotak Pandora. Itulah harapan yang akan selalu menjadi kekuatan bagi manusia. Jadi keburukan berjalan seiring harapan yang terus tumbuh. Harapan menjadi lebih baik. Karena tanpa harapan hidup sudah lama mati.”
Cerita yang menarik. Tetapi Pandora belum menemukan alasan mengapa Eyang Kakung memilih nama Pandora untuknya? Nama yang aneh.
“Mengapa namamu Pandora?” Ayah mengelus poni yang menutupi kening Pandora.
“Karena bagi kami, kamu adalah harapan yang tak pernah putus. Harapan yang membuat hidup Eyang Kakung, Eyang Puteri, Ayah dan ibumu selalu bersemangat setiap harinya demi melihatmu tumbuh. Tahukah nak? Kelahiranmu tak semulus bayi lainnya. Prematur dan kondisimu sangat memprihatinkan. Setelah menunggu 7 tahun, mana bisa kami berdiam diri mendengar tangisan kesakitanmu? Tidak, nak. Eyang Kakung kemudian memilih nama Pandora untukmu. Eyang Kakung ingin kami selalu ingat apa yang telah kamu lewati, agar ketika melihatmu, mendengar orang memanggil namamu, kami ingat perjuanganmu untuk terus hidup dan sehat sampai sekarang. Kami bisa tersenyum dan berkata, “Lihatlah…. Inilah puteri kecil kami. Dia bisa tumbuh sehat dan cerdas. Dia bukan lagi seorang bocah kecil yang lemah. Inilah Pandora kami, semangat dan harapan kami…. Begitulah nak, mengapa namamu Pandora. Almarhum Eyang kakung sangat menyayangimu. Tak ada yang tidak menyayangimu. Dan tentang olok-olok teman-temanmu, bukankah semakin mereka meyakitimu kamu justru akan semakin kuat. Mereka akan lelah dengan sendirinya. Tak ada yang salah dengan namamu, sayang.”
Pandora mengusap matanya yang mendadak basah. Hatinya gerimis.
“Namamu bukan sekadar dongeng. Lebih dari itu. kamu harapan kami. Lihatlah ibumu, gara-gara kamu malas makan, enggan berbicara dengan kami sejak kemarin, ibumu tak bisa tertidur nyenyak karena memikirkanmu….”
Pandora menangkupkan kedua belah tangannya, isakannya keluar. Ia 16 tahun dan masih saja kekanak-kanakan. Ah, ini memalukan sekali.
Ibu memeluk Pandora. Menangis.
“Anak Ayah gemuk. Apakah itu salah? Tidak. Itu menandakan ia sehat. Anak Ayah cerdas. Anak Ayah memiliki hati yang lembut. Anak Ayah dan Ibu nomor satu seluruh dunia!”
Pandora tertawa sambil menangis.
“Lho, kenapa hanya Ibu yang dipeluk?”
Mereka tertawa bersama. Selesai.
Ponsel Pandora mengeluarkan ringtone Arigatou-Kokia. SMS Gaara.
“Aku di depan rumahmu sekarang, keluarlah….”
“Gaara menunggu di halaman sejak sejam lalu. Ayah sudah bicara padanya tadi. Tak baik melarikan masalah, nak. Temuilah dia dan selesaikan urusanmu,” ucap Ayah lembut. Ibu mengiyakan. Dielusnya rambut Pandora yang sebahu.
“Aku ingin memeluk Ayah….”
=oOo=
Gaara menyambut kedatangannya dengan memasang tampang marah. Ia tak sendirian. Pandora terkejut menemukan Lyra datang bersama Gaara. Sudah sejauh mana urusan ini? Pertanyaan itu menekan-nekan saraf otaknya.
Pandora tersenyum kikuk.
“Masuklah….”
“Tidak. Kita selesaikan di sini saja,” tolak Gaara.
“Apa yang terjadi di antara kita bertiga? Aku, Lyra dan kamu. Aku merasa semuanya menjadi sangat aneh dan tak terduga. Kamu dan Lyra, kalian berdua membuatku bingung. Mumpung kita bertiga berkumpul. Siapa yang memulai membuat pegakuan?”
Pandora merasakan deburan keras menghantam dinding jantungnya ketika mendengar suara datar Gaara. Ciut. Bagaimana ia bisa blak-blakan jujur tentang perasaannya? Bagaimanalah ini?
Lyra meremas ujung jemarinya sendiri. Persahabatan ini di ujung tanduk bernama egoistis. Malu rasanya pada Gaara setelah cowok itu tahu apa yang telah terjadi pada hatinya, apa yang telah ia lakukan pada Pandora. Ia sangat marah sampai melupakan kebersamaannya dengan Pandora. Kalau bukan karena Gaara yang menemuinya dan meluruhkan pekat hatinya, ia akan menjadi manusia paling jahat. Tanpa mengatakan apa-apa Lyra menubruk Pandora, memeluknya hangat.
“Aku tidak bisa  kehilangan sahabat sepertimu… Pandora yang jelek, gemuk, menyebalkan tapi cerdas, aku menyayangimu, Ra….”
Pandora kehilangan kata.
Sempurna.
“Nah, anak-anak…. Om lihat semuanya sudah beres. Ayo, waktunya masuk untuk makan siang yang sudah sangat terlambat.” Ayah dan Ibu membuka pintu. Menyaksikan ketiga anak itu saling berangkulan.
 “Tante minta maaf, menunya sederhana karena Pandora rewel dan ngambek seharian jadinya Tante tidak sempat memasak enak….” Ibu mengulum senyum.
“Lho, kok pada diam. Ayo masuk… masuk….”
Gaara memandang penuh arti ke arah Pandora dan Lyra yang berjalan saling menggenggam tangan masuk ke dalam rumah mengikuti langkah ayah dan ibu Pandora. Riang.
Gaara mengeluarkan secarik kertas berwarna hijau lumut harum. Surat Pandora yang diberikan Lyra berserta sebuah pernyataan mengejutkan.
Gadis jelek, gemuk, menyebalkan tapi cerdas dan berhati lembut….
Gaara menggengam surat itu. menggenggamnya di hatinya.
“Gaara! Sampai kapan kamu mau berdiri di depan rumahku? Sudah waktunya masuk!” Pandora berlari keluar dan berteriak mengejutkan Gaara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^