(Dimuat dalam Antologi UNSA Selaksa Makna Cinta. 2010)
Yaks, ini cerpen pertama saya yang terbit lewat Antologi. Waktu tahu cerpen saya menjadi salah satu cerpen yang lolos masuk Antologi, saya sueneng sekali. Saat itu saya merasa langkah saya di dunia kepenulisan membuka lebar. Walaupun saya sangat tahu diri cerpen saya ini masih jauh dari kata memuaskan. Toh sampe sekarang saya masih terus berusaha memperbaiki kualitas karya saya. Hepi reading...! Cekidot!
Oleh : Nafilah Nurdin
Aku tidak tahu mau menulis apa untuk saat ini. pikiranku tidak fokus. Betapa kerdilnya aku ini. aku belumlah apa-apa. Apa yang sudah kulakukan untuk hidupku? Untuk orang-orang yang kusayangi? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu rajin mengutak-atik pikiranku. Yah, aku bahkan tidak mengenal duniaku sendiri. Aku yang terperangkap dalam ketidak tahuanku atas hidupku sendiri. Kepalaku pusing. Pundakku seperti diberati berton-ton beban. Mempengaruhi tarikan nafasku.
Ketakutan, kekecewaan, kemarahan, putus asa, semua perasaan keparat itu berjejal-jejal di dalam rongga dadaku. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, berharap kesesakan ini berkurang. Air mataku tumpah ruah tanpa rencana. Seenaknya menghambur tanpa komandoku. Mungkin inilah masa terendah hidupku sejak aku menjejaki kota ini. kota yang kuharapkan bisa mewujudkan impianku.
Ah, mimpi? Masihkah aku punya mimpi? Ow, bukan. Pertanyaan yang tepat saat ini adalah, masihkah aku berani bermimpi setelah apa yang kulewati dalam rangka mewujudkan mimpi-mimpiku? Aku tak yakin. Mimpi-mimpiku tersesat. Kehilangan gaungnya. Aku cemburu pada mereka yang sudah menemukan mimpi-mimpi mereka. Tersenyum sumringahlah bagi mereka yang telah mampu menaklukan dan memeluk mimpi-mimpi mereka. Sementara aku? Jauh di sebuah sudut tergelap hatiku, aku terduduk kebingungan. Tak sanggup menjamah rasaku sendiri. Aku terperangkap dalam keterbatasanku.
“Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini Yas!”
Siang itu, Kharisma bertandang ke kost-ku setelah berkali-kali aku tak membalas panggilannya dan mengabaikan pesan singkatnya. Pasca presentasi karya tulis ilmiahku yang gagal aku memtuskan mematikan ponselku. Tepat seminggu aku mangkir kuliah. Sebenarnya aku tak enak hati padanya. Aku membuatnya khawatir. Tapi akupun tidak punya jalan keluar agar aku keluar dari labirin putus asaku. Bayangkan, kau berada pada grafik terendah dalam hidupmu, kehilangan semangat, kehilangan harapan, kehilangan keyakinan atas usahamu. Kau tak punya alasan untuk tetap bertahan. Itulah yang kurasakan sekarang kawan.
Sebagai sahabat, orang yang paling dekat denganku, kharisma tak akan berdiam diri melihatku terjun bebas. Aku tahu hatinya.
Ia beristighfar berkali-kali melihat kondisi kamarku yang sangat mengharukan, jika tak mau di sebut berantakan bak kapal pecah. Aku meringkuk di balik selimut tebalku. Mendengar omelan panjang pendeknya yang tak habis-habis. Kurasa sebelum datang menjengukku, kharisma telah menyiapkan segudang amunisinya untuk `membantaiku` siang ini.
“Bangun Yas! Kamu payah banget sih! Baru di jatuhin gitu aja udah keok, aku nggak yakin yasmin yang ada di hadapanku ini adalah yasmin sahabatku. Yasmin yang kutahu nggak lembek. Dia kuat!”
Kharisma menarik selimutku. Aku mengeluh tertahan. Tak cuma sampai disitu, Kharisma menarikku turun dari ranjang. Mendudukanku di kursi. Lalu ia berdiri berkacak pinggang tepat dihadapanku. Tatapannya galak.
“Dasar bodoh!” makinya.
“Kamu kenapa sih? Kamu mau mengalah begitu saja? Bego, tolol, payah! Kamu buang kemana pikiran jernihmu? Come on girl, dunia belum kiamat sekalipun kamu kalah dalam kompetisi kemarin. Sudah aturannya begitu, kalau nggak menang ya kalah. Tapi bukan berarti kamu jadi pecundang dong!”
Ah, lagi-lagi si nenek cerewet ini mengungkit kompetisi itu. Padahal susah payah aku berusaha menghapusnya dalam ingatanku. Aku masih bertahan dalam kediamanku. Menatapnya lesu.
“Yasmin!”
“Aku hanya ingin sendiri dulu, Ma,” ucapku akhirnya. Kasihan melihat bola matanya yang siap meloncat keluar dari rongganya bila aku masih menyuguhinya kebisuan dan tampang kusutku. Meskipun kemudian kalimat yang keluar dari mulutku tak begitu sukses meredakan kemarahannya.
“Nggak, masa semedimu udah berakhir. Kamu harus bangun.”
Kharisma mengeluarkan sesuatu dari dalam tas sampirnya. Majalah. Aku melengos. Sudah bisa meraba arah ucapannya. Apalagi kalau bukan lomba menulis bla bla bla. Ugh,,.
“Baca! Di halaman 54, di situ ada pengumuman lomba tulis cerpen dalam rangka pekan sastra Nasional.”
Tuh kan. Apa kubilang. Lomba lagi?
“Aku nggak bisa Ma,” tukasku cepat. Ku angsurkan majalah itu padanya. Alis Kharisma bertaut.
“Alasannya apa? Aku tahu kamu bisa makanya aku bela-belain bawa majalah itu ke sini. Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ikut!” Kharisma bersikukuh.
“Ma, aku,,.”
Kharisma mengangkat tangannya.
“Udah cukup rasa pesimismu itu menguburmu jauh-jauh dari impianmu! Kamu ini kenapa sih? Apa hanya karena kekalahanmu yang berturut-turut lantas kamu menarik kesimpulan kamu nggak bisa nulis? Begitu? Alasan macam apa itu? Aku memang nggak terlalu paham dunia yang kamu cintai itu, tapi aku punya keyakinan karya-karyamu selama ini bukan kacangan. Hanya faktor keberuntungan saja yang belum berpihak padamu, jika kamu terus mencoba dan sabar, kamu pasti akan sukses suatu saat nanti. Percaya kata-kataku Yas,” katanya penuh tekanan sambil memegang kedua bahuku. Ia berbicara seolah-olah aku ini anak umur 6 tahun. Dia berlagak motivator hebat. Kuakui Kharisma memiliki bakat itu. Sebab perempuan yang tergila-gila pada novel science fiction itu tahu betul bagaimana cara membuatku bertekuk lutut pada segala argumentasinya.
Kuhargai usaha Kharisma. Aku terharu melihat kesungguhannya. Namun tetap saja ia tak akan mengerti. Ini tak sesederhana yang ia pikirkan. Ini tentang perasaan. Aku merasa telah kehilangan harapan atas mimpi-mimpiku sendiri dan itu tragis. Setelah apa yang kualami, mimpi-mimpi yang ku perjuangkan berbalik menghianatiku. Telak. Silahkan memanggilku si picik berhati kerdil, aku tak akan melemparimu batu karena itu benar adanya. Setidaknya dala situasi ini.
Dulu, aku sangat berapi-api. Mengabarkan pada siapa saja yang ku kenal bahwa aku ingin menjadi penulis. Bahwa kelak karya-karyaku akan ikut berjejer di toko-toko buku, bahwa aku akan memberi orang-orang kebaikan lewat buku-bukuku. Maka akupun rajin mengirimkan tulisan-tulisanku ke berbagai media maupun penerbit. Bersemangat mengikuti aneka macam perlombaan yang berkaitan dengan dunia kepenulisan. Semakin sering aku mengirim semakin sering pula aku di tolak, tak ada satupun yang di terima. Aku pun belum pernah memenangi satupun dari segala perlombaan itu. Dewi fortuna mencibirku naas. Pelan tapi pasti, api-api semangatku mulai padam tersiram hujan keputus asaan. Babak belur di hajar penolakan. Banyak karyaku yang dikembalikan berakhir di tong sampah, menjadi abu, atau paling buruknya kujadikan pelapis dinding kamar kost ku yang mulai hancur dikeroyok komplotan rayap.
Semangatku patah. Alasan lainnya adalah persoalan tekhnis. Aku terkadang kehabisan uang untuk memprint out tulisan-tulisanku. Aku tak punya Pentium 4. Kantongku tak cukup mampu membelinya. Untuk biaya kuliah saja aku sering kesulitan. Untungnya ada Kharisma yang kerap membantuku. Ku beberkan satu hal, aku merental semua tulisanku. Aku tak bisa membayangkan jika aku tak punya sahabat seperti Kharisma. Penyulut kebaikan nomor wahid di hatiku. Belum pernah aku bertemu orang seperti dia. Selalu berada di garda terdepanku dalam situasi seperti apapun. Bahkan ketika aku di lempari telur busuk, tomat, gelas aqua, kulit kacang karena presentasiku yang gagal kemarin, Kharisma adalah satu-satunya orang yang memberiku pelukan hangat. Menghiburku dengan ucapan-ucapan penuh semangatnya. Kegagalanku menjadi pemenang dalam kompetisi LKTM (Lomba Karya Tulis Imiah) di tingkat Universitas kian memperparah semangat juangku. Kau tahu kawan? Berbulan-bulan aku menyiapkan presentasi itu. Karena aku menaruh harapan besar dapat memenangkannya. Hadiahnya lumayan untukku dapat memiliki sebuah notebook. Nyatanya aku kalah. Parahnya lagi, saat presentasi aku berkali-kali melakukan kesalahan dan berbuah lemparan dari para hadirin. Sekali lagi aku harus mengulanginya, aku sedang kolaps. Tak ada ruang untukku bangkit. Aku lelah.
“Aku udah nggak berminat lagi dengan apapun yang namanya lomba atau apalah jenisnya, biarkan aku menenangkan diri dulu. Yang kemarin itu sudah cukup membunuhku. Pulanglah, jangan memikirkanku. Aku pasti akan baik-baik saja Ma,” tuturku lirih. Kharisma menatapku prihatin. Sesaat kutangkap matanya mengkristal.
“Aku hanya nggak ingin melihatmu menyerah Yas, aku menyayangimu. Kalau kamu lemah begini bagaimana aku bisa terus berusaha? Melihatmu kacau aku juga ikut terluka. Kita sama-sama punya mimpi. Aku dengan mimpi ilmuanku dan kamu dengan dunia menulismu. Kamu ingat nggak waktu pertama kali kita masuk kuliah? Kamu bilang ke aku kalau kamu akan jadi penulis besar lalu aku yang jadi pembaca setia buku-bukumu. Aku masih ingat Yas, kamu jangan menyerah. Majulah untuk orang-orang yang percaya bahwa kamu mampu. Yang sedang kamu lewati ini adalah konsekuensi atas keberanianmu bermimpi, Yas...” Kharisma menyusut cairan bening yang perlahan menyusuri pipinya. Kurasakan mataku memanas.
Kharisma memeluku.
“Banyak jalan menuju Roma, pasti ada jalan untukmu asal kamu nggak nyerah dan tetap sabar,” tambahnya. Kharisma terisak.
Ya Allah, betapa bening hati sahabatku ini. dia punya simpanan energi yang luar biasa. Ada yang luruh dari dinding hatiku. Sudah kubilang tadi, Kharisma tahu betul bagaimana cara membuatku bertekuk lutut pada argumentasinya.
“Tugas kamu sekarang adalah mengusir rasa pesimismu itu dari pikiranmu. Pesimis adalah racun yang sangat berbisa bagi tipikal pemimpi seperti kita”
Di saat aku menuju jurang kematian mimpiku, di saat aku sudah mantap menyiapkan pusara untuk harapanku, Kharisma menjungkir balikan putus asaku. Ribuan kilometer dari Ibu, ayahku, adik-adikku, Tuhan begitu baiknya menitipkanku seorang sahabat karib tanpa pamrih. Entah dengan apa membayar segala kebaikannya.
***
Berkat Kharisma akhirnya aku mengirimkan naskahku untuk mengikuti lomba pekan sastra Nasional yang diadakan sebuah majalah Nasional terkemuka. Meskipun belum sepenuhnya pulih tapi aku mulai bisa berdamai dengan kekalahan beruntunku. Bukankah selalu ada hikmah dari setiap inci jejak yang kita lewatkan dalam hidup ini? aku bersyukur belum terlambat menyadari pelajaran berharga ini.
***
“Yaaah, kamu nggak menang Yas,” keluh Kharisma kecewa ketika tak melihat namaku di deretan nama-nama pemenang lomba pekan sastra tersebut.
“Ah, tapi nggak apa-apa. Belum menang sekarang kan masih bisa mencoba lain waktu,” sambungnya seperti biasa ceria dan optimis.
“Aku memang belum ditakdirkan menang, tapi aku punya ini,” kataku sambil mengipas-ngipaskan sehelai amplop cokelat.
Kharisma menatapku. Matanya berkilat-kilat menyelidik.
Aku tersenyum penuh rahasia.
“Cerpenku dimuat di harian kota!” ucapku sedikit tertahan. Mendramatisir tentunya. Charisma tak sanggup menyembunyikan rasa haru dan terkejutnya.
“Aku mengirimkan kembali cerpenku yang ditolak oleh media Nasional tempo hari pada harian kota. Kamu bilang cukup bagus jalan ceritanya. Nggak tahunya malah dimuat! Aku benar-benar nggak nyangka,,.”
“Tuh kan ku bilang juga apa? Jangan menyerah. Tuhan selalu punya rencana buat kita semua. Nggak ada usaha yang sia-sia Yas, aku percaya itu.
Aku dan Kharisma saling berpelukan. Kusyukuri apapun yang telah kulewati dalam hidupku. Berkat Kharisma aku tetap berdiri. Dan lepas dari semua itu, Tuhan yang paling banyak berrperan karena telah mengirimkan Kharisma padaku.
Terima kasih ya Allah....
Sore harinya kami sama-sama membeli harian kota yang memuat karyaku. Betapa bangganya aku melihat namaku tertera di sana.
YASMIN PANE, “SEBENTUK SENYUM UNTUK KHARISMA
Kendari, 12:19 Maret 2010
(Special thanks to : orang-orang yang selama ini gigih menyemangatiku. Orang-orang yang belum pernah kujumpai dalam pertemuan sesungguhnya. Betapa beruntungnya aku mengenal kalian).
Great, memotifasi, menggugah... :D
BalasHapusMakasih udah mampir Akhi ^^
BalasHapusCerpen saya masih amburadul
sama-sama, masih amburadulan punya ku hehehe....
BalasHapusminta doanya, pengen belajar nulis nih, salah satunya dari mbak Fila.. :D
Siiip! Saling mendoakan sesama orang yang baru belajar... ^^
BalasHapusmbak, postingannya gak dikasih read more gthu.. :D
BalasHapusUdah deh kayaknya... :)
BalasHapushmmm gthu, soalnya terlihat panjang ke bawah gthu.. :)
BalasHapus