Sabtu, 14 Januari 2012

[Sebuah Percakapan] Dialog Satu

DIALOG SATU
Tuhan, aku memohon semoga perasaan ini tidak datang di waktu yang salah. Semoga ia tepat waktu dan tidak terlalu cepat menemuiku. Aku takut.
---
Met milad! Selamat atas penambahan usia sekaligus berkurangnya jatah hidupmu! Seungil Cukkae sayang...
Bagaimana perasaanmu? Bahagia? Apakah resolusimu di tahun kemarin ketika kamu merayaan hari yang sama tercapai? Ayolah, ceritakan padaku... aku akan setia mendengarkan. Biarkan kita sejenak saja tanpa rahasia. Bukankah kita selalu bersama walaupun kamu lebih sering mengacuhkanku dan berjalan seolah-olah aku tak ada di sisimu? Tapi sesering kau melakukan hal itu maka sesering itu pula aku memelukmu hangat. Aku tidak pernah menyalahkanmu. Ah, jika bukan padaku, pada siapa lagi kau berlari pulang saat hatimu terluka entah oleh apa yang membuatmu sesenggukan saban malam? Itu aku, bukan? Yang menjadi perantara bagimu dan Sang pemilik segala yang ada dan tiada?
Ah, lihatlah. Aku sudah terlalu banyak mengoceh dan kau masih mengunci suaramu (selalu seperti itu).
Berceritalah mulai dari apa yang kau rasakan detik ini.
Aku kesepian.
Ahoi, kau berbicara juga akhirnya. Kenapa kamu merasa kesepian sayang? Aku pikir kau justru semakin banyak tertawa keras akhir-akhir ini. Yang mana yang kau sebut kesepian itu? Aku penasaran kesepian semacam apa itu.
Haruskah kau memulainya dengan pertanyaan? Kau bilang akan mendengarkanku tapi kenapa kau memotong ceritaku saat aku baru memulai?
Kau marah? Ah, aku bertanya lagi. Maafkan aku. Aku akan diam.
Sampai dimana cerita kita tadi?
Kesepian.
Ya, kesepian.
Aku berjalan di antara kesepian. Aku tertawa dan menangis sekaligus. Saat aku tertawa keras, saat itu juga aku sedang menangis pilu. Mungkin bagimu, aku terlihat sedang mendemonstrasikan sebuah naskah drama picisan.
Aku tidak berpikir begitu. Hei, aku tidak sengaja memotong ceritamu! Kau yang membuatku terpaksa menjawab.
Kuizinkan. Asal bukan pertanyaan. Sudah terlalu banyak pertanyaan menjejali otakku yang bebal ini. Aku sedang menjadi diri sendiri di hadapanmu. Sekarang. Kau tahu apa maksudku? Selama ini, bila berhadapan dengan lingkungan yang ribut aku selalu berusaha lebih ribut lagi, berusaha lebih menonjol lagi kemudian sesudah itu aku bahkan tak tahu kenapa aku mesti seribut itu? Seolah-olah aku hidup di antara dua orang. Satu si penyendiri dan satu si riuh. Yang mana aku yang sebenarnya? Kurasa kau tahu.
Apakah aku baik-baik saja? Tidak. Kau jelas-jelas tahu betapa tak beresnya hatiku belakangan ini. Aku melupakan Tuhan. Aku menjauhi semua urusan yang seharusnya kuselesaikan. Aku menyibukkan diri di wilayah yang asal jadi. Ugal-ugalan tanpa aturan jelas. Kenapa aku seperti ini? Benar. Karena aku tidak punya pegangan yang jelas. Aku tak tahu rencana hidup mana yang sedang aku pijaki. Ini sama halnya aku sedang berjalan sambil menutup mata, saat ada sesuatu yang terdengar menakutkan aku lantas mengkerut mencari tempat persembunyian. Padahal akan terlihat lebih baik jika aku membuka mataku dan mengenali apa yang kelihatannya menakutkan itu?
Aku tidak percaya pada kemampuanku sendiri. Aku tahu bahwa manalah mungkin orang lain akan percaya padaku kalau aku sendiri sangsi terhadap kualitas diriku sendiri? Aih, semakin aku banyak bicara semakin terlihat betapa memalukannya aku.
Jangan pikirkan itu. Aku lega kau berani menelanjangi dirimu sendiri. Tak banyak orang yang dengan jujur mengakui kesalahannya.
Apakah aku terlihat seperti itu?
Apa?
Jujur.
Ya.
Syukurlah.
Kenapa?
Kau tahu apa yang menjadi satu-satunya harapanku di hari ulang tahunku malam ini?
Kau belum memberitahuku.
Aku berencana memberitahumu.
Aku akan mencatatnya.
Tuhan, tolong anugerahkan aku sifat jujur.
Hanya itu? Kenapa tidak meminta banyak hal? Mumpung kau mempunyai kesadaran jernih macam ini. Biasanya juga kau menulis banyak permintaan di buku harian.
Aku sudah lama tak menengok lembar buku harianku. Ah. Lupakan. Aku akan menjawab pertanyaanmu. Walaupun kau sudah melanggar perjanjian kita untuk tidak bertanya. Aku menjawabnya bukan untukmu tapi untuk diriku sendiri agar aku lebih tahu diri.
Kenapa aku hanya memohon satu doa pada Tuhan? Sebab akar dari seluruh masalah, urusan, beban yang terhimpun di pundakku tak lain dan tak bukan karena aku tidak jujur.
Aku melupakan Tuhan.
Karena aku berbohong telah mengingatnya sepanjang waktu. Aku menyebut namaNya, aku menggantungkan harapan hariku padaNya. Aku melakukan itu bukan karena aku mengingat Tuhan. Aku melakukannya untuk diriku sendiri. Aku egois. Aku sangat malu mengingat betapa murahannya trik yang kupakai. Pada akhirnya aku menipu diriku sendiri. Lelucon yang membunuh hatiku pelan-pelan.
Apa yang bisa kita sembunyikan dari jangkauan Tuhan? Allah yang Maha Pengasih, maafkan aku...
Aku kesepian. Itu aku. Bukankah aku pernah bilang kalau aku sangat menyukai sunyi? Sunyi dan sepi bukankah dua hal yang berbeda?
Aku kesepian karena aku tak berani mengakui bahwa aku sebenarnya sunyi. Aku lebih merasa aman jika memilih diam. Seharusnya aku menggenggam sifat itu dimanapun dan apapun yang sedang aku lakukan.
Aku ingin jujur mengakui kelemahanku.
Aku ingin jujur mengakui kekuranganku.
Dan aku akan jujur mengakui betapa berharganya diriku.
Betapa tak sia-sianya Allah menciptakanku. Betapa tak sia-sianya Ibu mengandungku sembilan bulan lebih. Aku tidak ingin semua perjuangan Ibu dan Bapak menguap sia-sia karena aku tak cukup berani menghadapi dunia. Aku tidak akan menyembunyikkan wajahku lagi. Tolong doakan aku ya sayang...
Pukul 00.04
Selamat ulang tahun sayangku. Kau selalu yang terbaik. Kau harus selalu menjadi yang terbaik untuk alasan yang terbaik pula sebab kau dilahirkan bukan untuk menjadi sia-sia dan mati tanpa bahagia. Apakah aku boleh memelukmu? Hei, jangan menangis...
Seharunya kau memelukku sejak tadi...
Maafkan aku. Mendekatlah...
Pelukanmu hangat. Kau tidak bertanya mengapa aku berdamai denganmu?
Tidak perlu. Nanti bila kau dalam kondisi baik hati, kau akan memberitahuku.
Karena aku akan bercerita segalanya padamu mulai hari ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^