Oleh : Nafilah Nurdin
Hujan.
Kudongakkan kepalaku. Menatap langit yang menghitam. Rintik air mengenai wajahku. Sejenak kukatupkan kelopak mataku. Mencoba menahan sedikit ketenangan di balik dadaku. Mengingat semua yang telah terjadi di belakang. Mencoba membuat sebuah salam perpisahan yang manis sebelum aku pamit. Serasa ada yang keluar dari sudut mataku. Hangat.
Akhirnya aku menangis lagi. Aku terduduk di halte. Menangis sampai terisak. Kupikir aku akan bisa dengan mudah meninggalkan semua kenanganku di sini. Nyatanya, aku masih saja bergumul dengan luka. Menangis dan menangis lagi.
“Bukankah sudah kubilang berkali-kali jangan menangis lagi? Ah, kau ini benar-benar keras kepala!”
Sebuah suara membuatku mengangkat kepala. Mataku menangkap sosoknya.
“Radar?”
Cowok itu merunduk meneliti wajahku.
“Gadis cengeng!” pungkasnya lalu mengacak rambutku.
Radar duduk di sampingku. Memiringkan kepalanya ke arahku.
“Begini ya caramu pergi? Tanpa pamit padaku? Selain cengeng kamu juga jahat ya? Heran, kenapa aku bisa punya teman sepertimu,” ucapnya tajam.
“Maafkan aku,” kataku pelan. Aku tak punya kalimat lain selain ucapan memohon maaf untuknya kali ini.
“Enak aja. Maaf nggak berpengaruh apa-apa neng! Aku marah beneran lho ini.”
Kutolehkan wajahku padanya. Melihat sekilas senyumnya, mana bisa ia mengungsikan wajah tengil itu sebentar saja.
“Dasar,” cetusku sambil menyusut air mataku.
Radar terbahak.
“Sudah jahat! cengeng, sekarang malah berhasil melarangku marah, gadis hebat!”
Sejenak kami terdiam. Bermain dengan pikiran masing-masing.
“Kamu beneran akan pergi, La?” Radar tiba-tiba bertanya. Suaranya sumbang.
Aku menangguk.
“Aku harus pergi, jika tetap di sini aku nggak bisa menjamin bahwa aku akan baik-baik saja,” sahutku. Aku tersenyum.
Radar menatapku agak lama. Sorot matanya aneh, membuatku harus membuang pandanganku ketempat lain.
“Jangan memberiku senyuman. Aku benci melihatmu tersenyum sementara jauh di dalam hatimu ada pekikan luka. Aku mengenalmu lebih dari siapapun, Nala.”
Kalimat radar membuatku tertunduk dalam. Hanya padanya aku tak bisa berpura-pura. Kami sudah berteman sejak kecil. Radar selalu menjadi orang pertama yang tahu apapun masalah yang aku hadapi. Begitupun sebaliknya. Dan ketika masalah itu mencuat, Radar maju menjadi tameng untukku. Bagaimana bisa aku menemuinya untuk berpamitan. Jika melihatnya saja sudah membuatku rindu.
“Oi, Veitnala Hanum!” Tiba-tiba ia berteriak keras. Seolah ingin menandingi deru bising kendaraan yang berlalu lalang di jalan depan halte. Ini kebiasaan lama kami. Aku tersenyum. Sebentar lagi, air mataku akan meleleh.
“Oi, Radar khalik!!” Aku membalasnya.
Radar tergelak.
“Aku kangen nih! Jangan pergi dong!”
Aku diam sejenak. Radar nyengir. Ia menggenggam tanganku.
“Sebelum pergi, kamu mau kan menemaniku seharian ini? Hanya hari ini saja. Nanti setelah kamu pergi aku bakalan kesepian nggak punya lawan. Jadi untuk menebus hari-hari mendatang, kamu harus rela memberikan waktumu untukku hari ini, bagaimana gadis cengeng?”
Aku memonyongkan bibirku. Radar memasang tampang penuh harapnya. Jika sebelum-sebelumnya aku rajin mengacuhkan trik manisnya ini, namun kali ini aku dengan sukarela menurutinya. Radar khalik, aku pasti akan merindukanmu. Kurasakan sudut mataku memanas.
Aku dan Radar beriringan meninggalkan halte. Bergegas. Gerimis beranjak menjadi hujan deras.
=oOo=
Ada yang bilang tentang masa lalu, kau tak perlu menghiraukannya. Kau hanya boleh hidup untuk masa depan. Jika kau terus bergelantungan pada masa lalu, selama itu pula hidupmu akan jalan di tempat. Entahlah. Dalam ceritaku, aku justru ingin kembali ke masa lalu. Mengambil sebanyak-banyaknya kebahagiaan di sana untuk perbekalanku di masa depan. Sebab aku adalah orang yang gampang patah. Aku takut, jika dihampiri kesedihan maka aku tak akan pernah sanggup bertahan. Jika aku punya cadangan kebahagiaan, aku tak perlu memusingkan jika aku bersedih. Aku memang terlalu muluk sebagai pemilik hati. Mestinya harus menyadari, tak bisa sesederhana itu merumuskan keinginan menjadi kenyataan. Seperti menulisnya di atas kertas ajaib, yang akan seketika terwujud setelah kau selesai. Bukan seperti itu.
Aku gadis malang dengan masa lalu yang terus mengekori langkahku. Pernahkah dalam hidup, kau merasa seolah seluruh dunia menolak kehadiranmu? Seperti itulah yang kurasakan sekarang. Mendadak, dunia beserta isinya memusuhiku. Getirnya, seseorang yang kuharapkan tetap ada di sisiku di saat-saat seperti ini justru hengkang tanpa tedeng aling-aling. Mencampakanku seperti daun kering yang dihempaskan angin. Terlupakan.
“Aku udah nggak bisa menjalani hubungan ini, Nala.”
“Kenapa? Apakah karena…”
“Pokoknya aku nggak bisa lagi, maafin aku…”
Cukup sampai di situ saja dan satu persatu orang di sekelilingku menjauh untuk sebuah alasan. Bahkan Fadil yang sudah 2 tahun ini memposisikan diri sebagai orang terdekatku setelah Radar, juga ikut dalam gelombang orang-orang yang menjauhiku.
“Jadi berita yang aku dengar itu benar? Pembunuhan sadis terhadap Papamu, pelakunya Ibumu sendiri? Ya Tuhan, kok kamu nggak cerita sih?”
“Kalau Ibunya pembunuh, bukan mustahil anaknya juga bisa ketularan mengerikan, ih!”
“Tau nggak, darah itu lebih kental dari air! Apa kamu nggak takut darah dingin ibumu menjalari tubuhmu?”
Air mataku belum berencana mengering.
=oOo=
Aku sudah cukup terluka dengan peristiwa miris yang menimpa Papa ditambah cemoohan dan lirikkan sinis orang-orang yang kadung tahu kejahatan yang dilakukan Ibu, rasa-rasanya Aku lebih baik memilih ikut menghambur ke kuburan Papa, seandainya itu bisa. Nyatanya. Tidak. Aku kini harus berjuang sendiri menepis tudingan miring orang-orang padaku. Dan untuk tetap bertahan di kota ini, hatiku tak cukup tegar. Kota ini menjadikan aku terhukum untuk kesalahan yang tidak pernah aku lakukan. Ajakan pindah dari Om Prio yang dipindah tugaskan di Kendari akhirnya aku terima.
“Aku nggak pernah meminta dilahirkan oleh ibuku yang pada akhirnya berbuat keji. Aku nggak pernah meminta, Radar. Kenapa orang-orang itu harus melihatku seolah aku ini pesakitan yang telah melakukan sebuah kesalahan besar? Apakah aku harus menanggung imbas atas apa yang telah dilakukan ibuku? Ini nggak adil, Radar! Ini nggak pernah adil bagiku!”
Aku berbisik pelan dengan suara penuh tekanan.
“Aku tahu, menangislah bila kamu merasa akan sedikit lebih baik setelahnya….” Radar berucap pelan.
Menangis? Aku sudah lelah menangis.
“Aku nggak akan menangis lagi,” cetusku.
“Benarkah? Baguslah. Berarti aku nggak perlu mengkhawatirkan siapa yang akan menghapus air matamu saat kau bersedih di sana. Sepertinya kau harus secepatnya menemukan penggantiku, orang yang akan dengan sukarela menghapus air matamu di sana,” ucap Radar sendu.
“Aku nggak mungkin bisa menggantikanmu dengan orang lain. Asal kamu tahu saja, satu-satunya orang yang membuatku sulit meninggalkan kota ini adalah dirimu,” kataku.
Radar mencibir. Menowel pipiku.
“Jangan berusaha menghiburku. Kalau kamu memang nggak berniat pergi, maka jangan pergi!”
“Aku tetap harus pergi, kamu tahu itu kan?”
Radar menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanyaku.
Ia membalikkan badannya. Memunggungiku. Aku mendekatinya.
“Radar?”
Radar memutar badannya menghadap padaku. Tulang-tulang pipinya mengeras. Aku seolah tak mengenalinya lagi. Dia seperti seseorang yang asing dari negeri antah berantah.
“Kamu gadis paling jahat yang aku kenal!” bentaknya membuatku terhenyak. Suaranya timbul tenggelam di antara derai riuh lalu lintas jalan yang sibuk. Aku tidak mengerti sama sekali.
“Radar, ada apa? Kamu….”
“Kamu! kamu bahkan belum sadar atas apa yang telah terjadi padaku selama ini, selama aku mengenalmu!” Radar belum menurunkan intonasi suaranya.
“Radar, jangan membuatku takut. Kenapa kamu tiba-tiba berubah aneh begini sih?”
“Itulah kesalahan terbesarmu, apa yang kamu mengerti? Apa yang kamu tahu dan pahami? Kamu hanya tahu dirimu saja!”
Air mataku merebak seiring hujan yang jatuh. Jalan tetap sibuk dan tak ada yang mencoba peduli pada kami. Ini hanya antara aku dan Radar. Antara kami berdua.
“Kamu marah. Aku senang akhirnya kamu bisa juga memarahiku, membentakku. Aku….”
Kulihat Radar mengepalkan tangannya. Kuat. Aku tahu ia sedang mencoba menahan gelegak emosi di balik dadanya. Yang tidak aku mengerti adalah apa yang membuatnya terlihat marah besar? Belum pernah aku melihatnya seasing ini.
“Selama ini kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Merasa sebagai orang yang paling menyedihkan dan paling malang. Tapi apakah kamu pernah menyempatkan sekian menit dalam hidupmu untuk memikirkan bagaimana orang-orang di sekelilingmu, khususnya aku? Pernahkah kamu berpikir luka bukan hanya kepunyaanmu?”
Kalimat Radar membuatku beku di tempat dan waktu seolah mati. Diam. Sebening-beningnya hening antara aku dan Radar (keramaian jalan raya tak berpengaruh). Aku kehilangan rumus kata-kataku dalam hitungan kecepatan cahaya. Yang aku tahu kemudian mataku memanas dengan segera dan perlahan tapi pasti melahirkan muara di pipiku. Aku terisak. Tuhan….
“Aku tidak ingin membebani pikiranmu sebelum kamu pergi. Aku hanya berpikir bahwa inilah saat yang tepat untuk mengakui semuanya. Segalanya. Aku menyukaimu entah sejak kapan. Aku menyukaimu tanpa sebab yang jelas hingga aku mengambil kesimpulan nggak ada jalan yang lebih indah bila aku tetap menyimpannya di hatiku, di mataku. Bukankah selalu ada awal dan akhir? Kuanggap pengakuan ini sebagai akhir kekurangajaranku menyukaimu.”
Aku masih menangis demi sebuah alasan yang tidak kupahami. Bukan. Belum kupahami.
Mataku yang tersapu air bening (hasil konspirasi kesedihan mendalam plus rasa bersalah dan… entah aneka rasa lainnya) menangkap siluet Radar mendekatiku. Ikut duduk memeluk lutut di hadapanku.
“Aku sudah puas menghakimimu untuk yang pertama dan terakhir kali, Nala. Selesaikan kesedihan kita malam ini dan besok aku harap kamu kembali baik-baik saja karena dengan melihatmu baik-baik saja aku pun akan akan baik-baik saja.”
Aku mendongak. Radar tertawa lepas. Aku tak lagi menemukan riak amarah di sana. Radar menghapus air mataku, mengacak-acak rambutku yang lembab akibat hujan yang turun renyai-renyai, ia menowel hidungku,
Mendadak aku bersyukur tak terkira, aku tidak pernah menyesali kepergianku ke Kendari.
“Pulang yuk, aku membebaskanmu dari penculikan sehari.” Radar bangkit duluan. Aku mendengar hembusan napas lega dari mulutnya. Ia berjalan menjauh. Aku berlari mendahuluinya menuju halte bus terdekat. Untuk yang pertama kalinya aku menikmati gemuruh panggung jalanan yang semakin larut semakin ramai saja. Apapun yang sedang dan telah terjadi malam ini, aku benar-benar merasa hatiku ringan seperti kapas.
=oOo=
Bandara pukul 3 sore. Aku merasa leherku pegal setengah lelah gara-gara keseringan celingak-celinguk. Sesering aku memutar kepalaku kanan-kiri, sesering itu pula aku menelan gumpalan kekecewaan. Apakah anak itu bersungguh-sungguh tega tidak mengantar kepergianku? Radar tidak menunjukkan gelagat kehadirannya.
“Pesawatnya bentar lagi take off, Nala.” Om Prio mengingatkanku. Dan dengan hati berat aku mengekori langkah Om Prio. Kamu kemana, Radar?
Aku membuang pandanganku keluar sebelum pesawat lepas landas. Membuat semacam salam perpisahan dengan kota ini. Aku ingin kembali kelak, ada yang belum kutuntaskan.
Ponsel di saku jaketku bergetar. Omo! Aku lupa menonaktifkannya. Sms dari Radar. Anak itu…. kurang ajar!
Seorang pramugari cantik menegurku dan menyuruhku mematikan ponselku. Aku mingkem. Menurut. Lega. Om Prio tertawa kecil melihatku. Aku memilih duduk rileks sembari mengatupkan kelopak mataku, membaca ulang isi pesan singkat Radar barusan.
Kalo udah nyampe di Kendari, segera cek E-mail yee…
Cuma itu. Tega.
=oOo=
Assalamu alaikum. Alhamdulillah, aku sepenuhnya percaya kamu tiba dengan selamat di Bumi Anoa, benar kan tebakanku? Jangan mencoba memaafkan diriku yang tidak mengantarmu ke bandara, aku tahu kamu kesal, marah, kecewa dan… kamu yang tahu apa yang kamu rasakan jadi aku cuma berpesan teruslah marah padaku hingga kita bertemu kembali entah kapan itu terjadi supaya kita punya sesuatu yang bisa dijadikan bahan pertengkaran tidak penting seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya (ah, aku bahkan sudah dibebani berton-ton rindu sebelum langkahmu sempurna menjejak tanah Sulawesi).
Kamu ingin tahu mengapa aku tidak muncul di bandara? Sebuah kejutan untukmu, aku sebenarnya datang. Mengantarmu sampai pesawatmu lepas landas. Aku ada di sana. Melihatmu dari jauh. Kamu pasti sudah tahu alasannya hingga aku bersikap seperti itu. kamu lebih tahu dari siapapun. Aku tidak akan membiarkanmu melihatku menangis di depan batang hidungmu! Aku ini laki-laki.
Oke. Sekarang kita ke point utama isi e-mail ini. Aku dan kamu, seberat apapun masalah yang sudah lewat waktu akan tetap menuliskan kisah kita sebagai sahabat satu sama lain. Tentang perasaanku, aku bisa menanganinya. Kamu hanya perlu percaya padaku. ingat, aku ini laki-laki. Jadi, aku memohon dengan sangat jadilah Veitnala Hanum, sahabatku nomor satu seluruh dunia! lanjutkan hidupmu, jangan berhenti di titik yang belum seharusnya kamu berhenti. Aku selalu percaya Tuhan menciptakan koma di kehidupan kita dalam wujud kesulitan, kebahagiaan, luka, duka, perih. Dan pada koma itulah kita menemukan jalan baru untuk kelanjutan hidup seterusnya. Karena kita hanya perlu menghadapinya. Maafkan segala lukamu, karena hidup itu jalan ke depan bukan mundur ke belakang. Aku tegaskan, perasaanku terhadapmu bukan masalah yang bisa seenak jidat menggusur kebersamaan kita sebelumnya dan yang akan datang.
P.s : * Anggap saja aku sedang kena virus aneh hingga sanggup berbuat sok tua/tau kali ini
* Sejujurnya, aku menangis saat melepasmu. Aku masih menangis. Toh aku (masih) tetap laki-laki! :)
=oOo=
Aku menyusut air mataku. Hidup itu jalan ke depan buka mundur ke belakang. Tuhan Yang Maha Baik, terimakasih untuk semua yang terjadi. Aku merasa plong. Napasku lancar. Lega. Kecuali yang satu itu, kangen Radar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^