*Cerpen yang saya tulis 2 tahun lalu. Waktu itu saya masih nebeng lepi milik temen. Saya kira file cerpen ini udah ludes bersama insiden hilangnya Flasdisk saya dulu, ternyata masih tersave dengan aman di folder akun Email lama saya :D
OLEH : NAFILAH NURDIN
Aku punya kisah tentang pelangi. Kata Ayah, di antara deretan warna-warna indah pelangi ada Bunda disana. Ia selalu mengawasiku. Makanya aku menyukai hujan. Pelangi baru akan muncul saat hujan. Aku percaya. Di saat itulah aku bisa merasakan kehadiran Bunda. Aku tak ingat seperti apa wajah Bunda. Tak ada sedikit pun kenangan bersama beliau dalam rekaman ingatanku. Bunda menghembuskan napas terakhir saat aku baru berusia sembilan hari. Pun potret Bunda, tak ada yang tersisa. Lenyap bersama rumah kami yang terbakar 15 tahun lalu.
Jadilah aku menikmati kerinduanku pada sosok Bunda berdasarkan cerita-cerita Ayah. Kata Ayah, Bunda cantik. Ada lesung pipi di kedua belah pipinya. Rambut Bunda panjang. Masih kata Ayah, jika Bunda tersenyum kedua mata Bunda seolah ikut tersenyum. Persis sepertiku.
Sudah dua hari ini aku menunggui hujan. Kemarau terlalu lama singgah, padahal aku begitu merindukan Bunda. Rasanya lama sekali tak kulihat pelangi. Banyak yang ingin kuceritakan pada Bunda. Apakah Bunda tahu, bahwa sebentar lagi akan ada Bunda baru dirumah? Bagaimana perasaan Bunda jika tahu Ayah sudah melupakannya? Relakah Bunda?
Seketika perasaan marahku menyeruak saat Ayah memberitahuku tentang keinginannya memberiku Bunda baru seminggu silam. Belum sempat aku utarakan penolakanku, Ayah mendahuluiku dengan mengenalkan padaku seorang perempuan cantik. Aku cemburu melihat sosoknya yang mirip gambaran Ayah tentang Bunda.
Aku marah, kecewa sekaligus sedih. Sebab sebentar lagi perhatian Ayah akan terbagi bahkan mungkin akan mengacuhkanku dengan kehadiran wanita itu.
Mengapa hujan enggan bersua? Aku rindu pelangi. aku rindu Bunda.
“Ayah akan menikahi Tante Alya bulan depan, Ayah harap kamu bisa merestui keinginan Ayah.”
Aku membisu. Tak berkomentar apa-apa. Sebab apapun yang kukatakan nantinya Ayah tak akan mengundurkan keinginannya. Sama seperti ketika Ayah memasukkanku ke asrama sekolah dulu. Keberatanku ditangkis Ayah dengan sederet wejangan bahwa asrama akan membentuk kemandirianku. Ayah tak pernah mau tahu betapa sedihnya aku melewatkan hari-hariku di balik tembok asrama yang kaku dan monoton. Aku menunduk, memainkan rumbai-rumbai bajuku. Ayah terus memacu mobil dengan kecepatan teratur menuju asrama sekolahku. Masa liburan semesterku telah berakhir.
“Kamu masih marah sama Ayah, Ray?” tanya Ayah pelan.
“Nggak ada gunanya rayna marah sama Ayah, Ayah tetap akan menikahinya bukan?” sahutku datar.
“Tapi Ayah lakukan ini demi kebaikanmu juga. Bukankah selama ini kamu menginginkan kehadiran Bunda? Jadi apa salahnya ayah mewujudkan keinginanmu? Ayah mohon Ray, terimalah kehadiran Tante Alya. Ayah yakin Tante Alya bisa jadi Bunda yang baik buatmu.”
“Udah nyampe Yah,” cetusku seolah tak mendengar kalimat terakhir Ayah. Aku bergegas turun dari mobil saat Ayah baru saja memarkir mobil.
“Rayna hanya mau Bunda, bukan Tante Alya!” desisku sembari melepas pelukan ayah.
Ayah menatapku pasrah. Aku tahu masih banyak yang ingin ia katakan namun aku terlebih dulu mendaratkan ciuman dipipinya dan melesat masuk kedalam asrama. Aku tak ingin berdebat dengan Ayah. Aku menyayanginya namun belum bisa berkompromi tentang bunda baru.
Aku masih menunggu hujan. Dan ketika kulihat arak-arakan mendung dari arah barat kota, hatiku bersorak. Semoga ada pelangi hari ini.
Menjelang sore, gerimis pelan-pelan turun. Kubiarkan separuh tubuhku basah. Aku ‘melarikan’ diri dari kepenatan usai menjalani latihan pementasan teater untuk hari ibu nanti. Kupilih halaman belakang asrama yang ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon akasia yang berderet rapi. Sudah lama halaman belakang ini tak tersentuh petugas kebersihan.
Hujan semakin menderas. Aku bergeming. Kunikmati fantasi hujan. Namun aku harus menelan kekecewaan sebab hingga hujan berakhir dan arak-arakkan mendung beringsut meninggalkan langit senja, tak kulihat kehadiran pelangi. mungkin ia muncul ditempat lain bukan disini.
Bunda, Rayna rindu,,
-=oOo=-
Aku masih tetap pada pendirianku. Aku tak membutuhkan kehadiran orang baru dalam kehidupan antara Ayah dan aku. Sekali pun Ayah berjanji akan memulangkanku dari asrama. Tak ada istilah tawar menawar.
“Rayna ya?”
Kepalaku terangkat demi memenuhi teguran itu. Seketika rasa muak memenuhi rasaku. Aku batal memasukkan sepotong roti kedalam mulutku. Lapar yang menyanderaku sehabis menjalani olahraga pagi bersama teman-teman asrama menguap dengan cepat begitu melihatnya. Mengapa wanita itu bisa berada di asrama sepagi ini?
“Tante bawain sarapan kesukaanmu. Kata Reza kamu suka roti selai kacang sama cokelat hangat, jadi Tante sengaja singgah kesini sebelum ngantor,” ucapnya ramah seraya mengangsurkan sekotak roti dan botol berisi cokelat. Aku mendengus tak suka.
“Aku nggak pernah minta Tante Alya membawakanku makanan atau apapun! Kalau Tante berpikir bahwa dengan sedikit perhatian Tante akan menyukai Tante, itu nggak akan berhasil. Karena sampai kapan pun aku nggak akan pernah mau Tante Alya jadi Bunda untukku! Camkan itu Tante!” cetusku sambil berlari meninggalkannya sendiri di taman asrama. Bayangan kemarahan Ayah atas kelakuanku pada Tante Alya kutepis jauh-jauh. Aku tak peduli!
Tetapi Tante Alya tak pernah menyerah. Hampir setiap hari Tante Alya menjengukku di asrama. Entah itu hanya sekedar singgah sebentar sebelum ke kantor hingga membawakanku macam-macam. Ketika aku berulang tahun ke 16, sebuah boneka Tedy Bear cokelat dihadiahkan Tante Alya padaku, dan berkat kekerasan hatiku boneka itu tak butuh waktu semalam bagiku untuk menyarangkannya di tong sampah.
Ayah benar-benar mengabaikanku ketika pada bulan berikutnya ia mengumumkan acara pernikahannya dengan Tante Alya pada umum, dengan atau tanpa persetujuanku. Sekalipun aku dirawat dirumah sakit karena mogok makan, pernikahan itu tetap terjadi. Berhari-hari kemudian aku puasa bicara pada Ayah. Aku marah, kecewa, sedih, semuanya berakumulasi menjadi satu dan sasaran utama dari semua itu adalah Tante Alya! Sialnya, pada liburan semester aku harus tinggal serumah dengan wanita itu. Jika saja aku bisa tetap tinggal di asrama saat liburan tiba aku tak perlu memasang tampang 12 pas saat berpapasan dengan Tante Alya. Aku merasa atmosfer rumah yang tadinya adem ayem berubah gerah setiap harinya sejak kehadiran Tante Alya. Hasilnya adalah aku lebih banyak mengunci diri dalam kamar ketimbang berkeliaran dengan konsekuensi bersinggungan dengan Tante Alya, sebab Ayah takkan mengizinkanku keluar tanpa kawalan.
Nampaknya Ayah paham apa yang terjadi padaku, tentang ketidaksukaan dan kebencianku pada istri barunya. Hanya saja, Ayah sepertinya sengaja tak ambil bagian dalam konflik ini.
“Rayna mau pindah ke rumah Eyang Puteri aja, Yah!” ucapku pada Ayah setelah selama 2 hari puasa bicara padanya. Anehnya, aku tak melihat riak penolakan di wajah Ayah.
“Kalau itu bisa membuatmu bahagia, Ayah nggak akan bisa menahannya. Tapi Ayah minta tolong pertimbangkan baik-baik keputusanmu,” kata Ayah terkesan datar. Aku jadi menarik kesimpulan lain : Ayah tak menginginkanku lagi! Buktinya, Ayah fine-fine saja. Padahal, dulu sewaktu Eyang Puteri ingin mengambilku Ayah bersikeras menolak dengan alasan Ayah akan mampu mengasuhku tanpa Bunda di sisinya. Dan sekarang Ayah sudah punya Tante Alya, Ayah tak membutuhkanku lagi,, aku berusaha keras agar air mataku tak tumpah ruah.
“Rayna udah menghubungi Eyang Puteri, Eyang sendiri yang akan menjemput Rayna, Yah” ucapku sambil berlalu dari ruang kerja Ayah. Ayah tak memberiku pilihan lain. Aku berpapasan dengan Tante Alya di ruang tengah. Aku hanya mendengus. Sebenarnya Tante Alya sangat baik namun entah mengapa hatiku tidak bisa menerimanya dengan alasan apapun itu.
Lepas sore aku sudah selesai merapikan barang-barang yang akan kubawa ke rumah eyang. Liburan tersisa dua minggu lagi. Semestinya rentan waktu itu merupakan hari-hari yang menyenangkan bagiku sebab aku bisa menggunakannya untuk menumpahkan kerinduanku pada Ayah seperti yang sering kami lakukan pada liburan-liburan sebelumnya. Tante Alya sudah mengoyaknya, dan sekali lagi Ayah tak memberiku pilihan lain.
“Rayna berangkat, Yah” pamitku sambil menyeret koperku. Ayah tak bergeming di balik koran sorenya. Tante Alya memegang tanganku, berusaha menahanku mungkin.
“Kita masih bisa bicarakan baik-baik jika memang ada masalah, Ray,” ucap Tante Alya lembut.
“Udah terlambat Tante, seharusnya Tante Alya sadar. Nggak akan ada masalah andai saja Tante nggak ngotot masuk dalam keluarga ini!” kataku sengit. Tante Alya terdiam. Kutunggu reaksi Ayah atas ucapanku. Ayah masih tak bergeming. Aku kesal, ada berita apa sih di koran itu hingga Ayah tak punya waktu untuk meladeniku?
Hingga aku meninggalkan rumah, Ayah tak pernah mengajakku bicara. Aku menangisinya semalaman. Aku rindu ayah yang dulu, yang selalu peduli dan selalu ada untukku.
-=oOo=-
Minggu terakhir liburan semesterku kuhabiskan dengan berburu novel-novel terbitan lama dipasar loak sekedar mengobati kerinduanku pada Ayah. Cuaca makin panas saja. Hujan mengungsi entah kemana.
Eyang Puteri menelponku tiba-tiba.
“Iya, kenapa Eyang? Ray masih di pasar loak, apa? Pulang sekarang? Nanggung Eyang. Bukunya belum nemu juga. Apa? Ayah? Ayah pingsan? Rumah sakit?”
Wajahku memucat seketika. Air mataku tumpah ruah. Ayah ditemukan pingsan diruang kerjanya oleh salah satu karyawan kantor. Aku seperti tak menginjak tanah lagi ketika menerima berita itu. Ayah....
-=oOo=-
Ayah belum sadar. Mataku bengkak akibat terlalu banyak menangis. Aku takut sekali. Semalaman aku, Eyang Puteri dan Tante Alya menunggui Ayah. Kami tak saling berbicara.
“Eyang, Ayah akan baik-baik saja kan?” suaraku memecah keheningan. Eyang Puteri merangkulku.
“Pasti, Ayahmu pasti akan baik-baik saja. kamu banyakin doa supaya Ayahmu cepat bangun,” ucap Eyang Puteri sambil mengelus rambutku.
Air mataku jatuh lagi. Kupandangi tubuh Ayah dari balik kaca pintu ruang perawatannya. Aneka macam peralatan medis menancapi tubuhnya. Ayah tak pernah mengeluh sakit selama ini selain sakit kepala atau sekedar flu biasa.
Ayah cepat bangun ya... Ray udah nggak marah lagi sama Ayah. Rayna janji kalo Ayah bangun nanti Rayna akan pulang ke rumah, Rayna nggak akan lagi musuhan sama Tante Alya. Rayna sayang sama Ayah makanya Ayah cepat bangun ya... Rayna butuh Ayah.
Aku terisak.
Tante Alya menyentuh bahuku.
“Tante boleh minta waktumu sebentar?”
Aku tak menyahut hanya mengikuti langkah kakinya. Tiba di ujung koridor, Tante Alya memelukku erat. Ia menangis. Ketegaran yang ia pertahankan sejak Ayah masuk rumah sakit roboh sudah.
“Tante takut Ayahmu nggak akan bisa bertahan lama, oleh sebab itu Tante memilih memberitahumu sekarang agar Tante nggak terlalu lama menyimpan rasa bersalah ini terhadapmu.”
Aku membisu. Mulutku terkunci rapat. Aku kehilangan selera mendebatnya kali ini.
“Ayahmu mengidap kanker otak akut, Ray.” Suara Tante Alya nyaris tak terdengar karena diiringi tangis tertahan.
Apakah aku baru saja mendengar bunyi petir siang bolong? Ayah mengidap kanker otak? Nggak, nggak mungkin! Aku berontak.
“Tante jangan main-main, selama ini Ayah baik-baik aja. Ayah nggak mungkin sakit kanker, nggak mungkin!” Aku histeris.
Tante Alya mencoba merangkulku.
“Maafkan Tante karena sudah merusak kebahagiaanmu, tapi kamu harus tahu Tante nggak pernah berniat mencuri perhatian ayahmu. Pernikahan ini semata-mata atas permintaan ayahmu. Ia tak ingin meninggalkanmu sendirian,, ia sangat menyayangimu Ray....”
Tangisku menghebat. Di depan ruang perawatan ayah kulihat bahu Eyang Puteri berguncang hebat. Eyang Puteri menangis.
Ayahku?
-=oOo=-
Hujan rintik-rintik. Ada pelangi di bagian selatan. Pemakaman mulai ditinggalkan pelayat. Tante Alya merangkulku.
“Kita pulang ya?”
Aku menggeleng. Aku masih ingin disini, menemani ayah. Aku masih menunggu Ayah bangun untuk mendengar permintaan maafku. Aku belum sempat mengatakannya.
“Ray....”
Bahuku berguncang menahan tangis. Sepagi ini Ayah meninggalkanku. Ayah pergi tanpa sepengetahuanku, sama seperti Bunda. Ayah pergi setelah mengalami koma akibat pembuluh darah di otak yang pecah. Bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri. Aku selalu saja menyusahkannya. Bahkan di saat Ayah sakit aku masih sempat-sempatnya meninggalkannya.
“Kita harus pulang Ray, sebentar lagi hujan deras. Nanti kamu sakit, bagaimana Tante bisa bertanggung jawab pada ayahmu nanti?”
Pelan-pelan kami mulai meninggalkan pusara Ayah. Kudongakkan kepalaku. Lingkaran pelangi makin jelas. Mengapa pelangi harus muncul di saat seperti ini? aku benci pelangi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^