Rabu, 19 Desember 2012

Intermezzo Sunyi

Hei, kamu...
Waaah, kamu benar-benar serius menutup akses komunikasi kita. Mengecewakan sekaligus menyebalkan.
Sungguh, saya mendadak ingin menjitak kepalamu (saya sesadar-sadarnya itu sangat mustahil, bukan? Hehe). Setelah semua kenangan yang tertinggalkan di belakang, saya mau bilang kalau saya senang sekali pernah mengenal, bertemu dan berpisah dengan ideologi yang tumbuh dan bernapas di dalam kamu, meskipun di waktu yang bersamaan, saya mengernyit tak suka. Kamu yang hebat, tak cukup hebat dari kelihatannya. Kamu teman yang baik. Terimakasih sudah pernah memberitahu saya soal banyak hal. Saya masih ingat semua detailnya, loooooh. Keren kan saya? *plak*

Semoga kamu baik-baik saja.

Kelak, siapa tahu di sebuah tempat entah dimana, di belahan bumi sebelah mana, saya dan kamu bertemu tanpa sengaja, semoga kamu tidak melupakan saya. Sebab saya tidak berniat melupakan kamu. Tidak ada kenangan yang expired, mereka hanya sengaja menyembunyikan diri dan menunggu waktu yang tepat untuk hadir kembali. Sekali waktu saya juga menemui ingatan saya dan menulis cerpen yang ada kamu-nya.

Terimakasih ya... Ini semacam Intermezzo sunyi dengan saya sebagai monolog dan kamu adalah sunyi. 

Hati-hati dengan intermezzo yang kamu lakukan! ^^

Google

Minggu, 09 Desember 2012

Makan Malam atau Sahur?

Kalo nggak diingetin saya pasti sudah lupa kalau saya belum makan malam. Berhubung mata saya udah ngantuk dan pagar kosan sudah dikunci, praktisnya saya masak mie + telor. Asal perut saya terisi. Saya pernah membaca sebuah artikel bahwa kita sebaiknya jangan tidur dalam keadaan perut kosong... saya lupa alasannya kenapa. Nyatanya, saya masih sering tidur sebelum makan malam. Lhaaa, saya pan pelupaaaaa *kalo di rumah, saya udah lama  disambit gara-gara malas makan*

Udah kurus, malas makan pula!

Saya cuman nyengir.

Taadddaaaaaaa, inilah makan malam saya hari ini. Sebungkus mie dan 2 butir telor masak :D

*Maklum aja, lagi kurang kerjaan

Jarum jam menunjukkan pukul 12 lewat beberapa menit. Saya makan malam atau sahur nih? Au ah, pokoe makaaaaaaaaaaaan!


[Movie] Diary Of June


Masih berhubungan dengan insomnia yang saya alami, semalam sambil menantikan kunjungan kantuk, saya memutuskan nonton tivi. Nonton apa saja. Tapi ujung-ujungnya, semua tontonan saya malah film n' drama korea :D

Ada sebuah judul film yang berhasil menarik perhatian saya. Sebelumnya saya memang sudah pernah menonton film ini namun barulah pada kali kedua saya merasakan feeling terhadap film ini. Mungkin karena terpengaruh suasana hati yang lagi melankolis maksimal. Judulnya "Diary of June". Ini sebenarnya film lama tapi berhubung saya baru nonton ya teteup masuk itungan baru dong buat saya.

Okeh, let's cekidot laporan pandangan mata dari saya tentang "Diary of June".




Directed by  : Im Kyeong-soo

Produced by : Byun Moo-rim, Im Kyeong-soo

Written by    : Im Kyeong-soo

Starring         : Eric Moon as Kim Dong Wook, Shin Eun Kyung as Chu Ja Young, 

Yunjin Kim as Seo Yun Hee

Release date : Desember 1, 2005

Alternative title: Bystanders

Sinopsis
Film ini dimulai dengan dua kasus kematian anak sekolah yang kemudian diketahui saling berhubungan oleh dua orang detektif, Choo Ja-young (Shin Eun-kyung) dan juniornya Kim Dong-wook (Eric / Moon Jung-hyuck) dari kesamaan bukti berupa kapsul berisi kertas potongan diary. Penyelidikan pun dimulai dari sekolah korban dan mendapatkan petunjuk tentang penulis diary, Jin-mo yang ternyata telah meninggal beberapa bulan sebelumnya dalam kasus tabrak lari. Setelah diary ditemukan petunjuk-petunjuk pun semakin jelas untuk mengungkap korban-korban selanjutnya, selain itu pelecehan terhadap Jin-mo di sekolah pun terbuka dan membuka rahasia-rahasia lain dibalik kasus ini. Klik di sini untuk review keseluruhan :)


*Note :

Terlepas dari kekurangan Diary of June seperti alur cerita yang tidak fokus, terlalu banyak hal yang ingin ditonjolkan pada akhirnya membuat cerita film ini berjalan lambat, padahal genre-nya thriller loooh tapi kok ya nggak tegang-tegang amat. Saya malah lebih cenderung merasakan atmosfer psikologi di film ini hehe. Tapi saya sangat-sangat menyukai film ini. Menjelang akhir film, saya menangis. Saya seperti bisa merasakan duka yang dirasakan tokoh Jin-mo. Jin-mo, siswa SMA yang meninggal karena tabrak lari (laporan kepolisian, sebenarnya bunuh diri) sebelumnya mengalami pelecehan  bertubi-tubi dan secara terus menerus oleh teman-teman sekelasnya. Untuk ukuran anak-anak, saya menilai pelecehan yang dialami Jin-mo sangat brutal dan menyakitkan. Sosoknya yang lemah dan tidak mempunyai teman akrab semakin membuatnya terlihat empuk sebagai sasaran. Tidak ada yang mau mendengar ia bersuara. Pun di rumah, kondisi keuangan keluarganya kacau balau sejak ayahnya melarikan diri karena bisnisnya kandas. Hutang-hutang menumpuk membuat ibunya kerap marah-marah. Acapkali Jin-mo harus merasakan dua kali kesakitan, dilecehkan teman-temannya di sekolah dan dipukuli ibunya di rumah apabila ia pulang membawa bekas-bekas penganiayaan teman-teman. Di sini lah saya menangis. Saya membayangkan bila saya berada di posisi itu, duh... Betapa menyakitkannya ketika tidak ada seorang pun yang mau mendengar apa yang kita katakan. Suara kita hanya membentur ruang hampa. Itulah yang Jin-mo rasakan. Ia kemudian lebih memilih menuliskan kesedihannya di buku harian. Tujuannya bukan apa-apa, hanya sekadar agar beban duka yang memenuhi dadanya berkurang. 

Tetapi justru buku inilah yang mengawali seluruh tragedi pembunuhan teman-teman Jin-mo. Nama-nama yang ada di diary tersebut satu-persatu tewas mengenaskan oleh pembunuh yang ternyata adalah ibu Jin-Mo. Soo Yoon Hee (ibu Jin-mo) menyalahkan orang-orang yang melecehkan anaknya sebagai penyebab kematian anaknya.


Lengkap sekali kepedihan yang dialami Jin-Mo. Selama masa-masa getir pelecehan itu, ibu Jin-mo tahu kalau anakany tertindas tapi ia justru menyalahkan anaknya. Dalam sebuah adegan di mobil, beberapa menit sebelum Jin-mo memutuskan bunuh diri dengan berdiri di tengah jalan raya, ibunya berkata atau setengah memelas agar Jin-mo menghilang sejenak dari hidupnya, pergi ke suatu tempat di mana ibunya tidak perlu lagi menghadapi hal-hal yang membuatnya tertekan (Jin-Mo dan ayahnya). Jin-mo benar-benar mengabulkan permintaan ibunya dengan menghilang selama-lamanya.

Catatan terakhir di diary-nya, Jin-Mo menulis...

"Pengamat itu adalah ibuku..."

Itulah kalimat kunci yang menyelesaikan semuanya.







"Kenali sekitarmu... jangan menutup mata dan telingamu. Jika kau jeli, ada luka di setiap bola mata yang memandangmu...."






[Puisi] Pada Suatu Hari Nanti-Sapardi Djoko Damono

Sumber Picture  
Pada Suatu Hari Nanti
Oleh : Sapardi Djoko Damono

Pada suatu hari nanti
Jasadku takkan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi diantara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun disela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari

Sumber Gambar


Saya adalah pengagum dan penikmat puisi Sapardi Djoko Damono (SDD). Bermula ketika saya masih duduk di bangku Tsanawiyah, teman sebangku saya memberitahu saya kalau dia menemukan sebuah pusi keren. Judulnya "Aku Ingin". Waktu itu kami belum tahu siapa penulis puisi yang liriknya sangat amat dalam itu. Semata-mata kami mengagumi pesan yang tersirat pada bait-bait pusis tersebut. Setelah beberapa saat lamanya akhirnya saya tahu kalau penulis puisi "Aku Ingin" adalah Sapardi Djoko Damono, seorang Sastrawan besar yang dimiliki bangsa ini. Kalau dipikir-pikir saya emang agak telat mengagumi karya-karya beliau. Saya lebih dahulu mengenal nama Sutardji Calzhoum Bahri, Rendra, Taufuk Ismail dan beberapa naman lainnya sebab saya sering menemukan nama-nama mereka di buku Bahasa dan Sastra serta buku-buku lainnya.

Dan bisa ditebak cerita selanjutnya. Saya mencari tahu semua puisi-puisi SDD. Saya menyukai semuanya. Puisi-puisi SDD menurut saya sederhana namun justru di situlah letak kekuatannya. Bahasa puisi SDD sanggup menohok titik terdalam hati. Mengena, hati-hati dan membekas dalam. (Saya kesulitan nyari kalimat yang tepat untuk menggambarkan apa yang saya rasakan ketika membaca puisi-puisi beliau). Intinya adalah saya jatuh hati, apalagi puisi-pusi beliau banyak bersinggungan dengan alam, hujan, pohon, bunga, embun... aiiiiiiih... bagaimana mungkin saya tidak jatuh hati? :)

Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" mempunyai kesan yang mendalam bagi saya. Ada rahasia yang mengikutinya, ada janji, ada harapan, ada mimpi, karena saya suka menulis dan sangat berharap kelak ketika saya mati orang-orang akan mengingat saya saat membaca apa yang saya tulis.

Saya ingin kamu mengingat saya ketika membaca tulisan saya... Mengingatkanmu pada seorang sahabat jauh yang pernah memberimu buku berisi doa, harapan dan cita-cita. Semoga kamu masih ingat.
 

Kamis, 06 Desember 2012

Bisakah Kamu Mengetuk Dinding Mayaku, Sebentar Saja?

Entah kenapa, saya sangat berharap warna hijau di chat facebookmu menyala. Hanya untuk menit ini saja, sapalah saya walau sekadar salam. Saya tidak akan menuntut apa-apa karena memang tidak ada yang perlu dituntut. Saya hanya sedang merindukan masa-masa keakraban kita dulu, membahas apa saja tanpa merasa aneh satu-sama lain.



Dan, kamu tahu tidak? Kok saya tiba-tiba berpikir alasan kamu kemarin-kemarin tidak membalas pesan singkat saya bukan karena kamu kehabisan pulsa melainkan karena  kamu memang tidak berniat membalasnya. Saya cukup mengenalmu. Ah, sudahlah. Saya tidak mau lagi berspekulasi mengenai segala hal yang ada kamu-nya. Toh saya tidak perlu melakukan itu, tidak ada gunanya kecuali membuang waktu berharga saya.

Saya akan menghitung sampai seratus kali. Kalau lampu hijaunya tidak menyala maka saya akan melanjutkan melancong di dunia-nya maya hahahaha


*Saya kerap ingat kamu kalo dengerin lagu Dona-Dona & nonton film Gie. Semoga kamu tidak pernah menemukan blog saya. Aamiin :D

[Cerpen] Rumah Kunang-kunang

RUMAH KUNANG-KUNANG
Oleh : Nafilah Nurdin

BRAKKK!

Bantingan super keras itu mengagetkan Dhira. Pensil warna digenggamannya terlepas seketika. Mungkin itu bantingan pintu rumah sebab dinding kamarnya juga ikut bergetar saking kuat hentakannya. Hening sebentar. Gadis Sembilan tahun itu urung melanjutkan gambarnya. Ada getar luar biasa yang menjalari seluruh sendi tubuhnya. Cepat sekali butir-butir keringat menembus pori-pori kulitnya. Beberapa minggu belakangan, pintu menjadi objek paling vital yang menjadi sasaran kemarahan laki-laki itu. Dan Dhira belum juga terbiasa meningkahinya.
Tubuhnya menegak. Menunggu. Waspada.
                          
PRAAANNGG!

Bunyi benda jatuh. Mungkin pecah. Entah apa. Tubuh Dhira menggigil. Ia hapal betul jalan cerita yang dibuka oleh sebuah keributan di pintu depan. Setelah ini akan diikuti bentakan-bentakan keras, makian serapah, bunyi benda-benda yang saling beradu, pekikan Ibunya lalu berakhir dengan tangis kesakitan Ibunya. Selalu seperti itu. Ritme yang menakutkan.

Dhira terisak. Air matanya membanjir cepat. Diambilnya boneka Teddy Bear cokelat kesayangannya di atas ranjang. Memeluknya erat seolah ingin melarikan segenap ketakutannya. Tidak. laki-laki gelap itu tidak akan bisa menyentuhnya. Tidak akan bisa. Ia tidak boleh takut. Jangan takut, Dhira.

Dhira menelungkupkan tubuhnya di bawah kolong ranjangnya. Di sini, tak akan ada satupun orang yang akan menemukannya. Tidak Ibunya, juga laki-laki gelap itu. Ia akan berbaring sepanjang malam hingga datang waktu fajar. Biasanya, hari terang akan membantunya sedikit melupakan ketakutannya terhadap malam, yang tak pernah lelah menjemputnya dalam bayang-bayang kesesakan. Dan ia juga tak pernah lupa bercerita kepada Tuhan tentang air matanya. Ia paham, sekalipun ia tak bercerita, Tuhan sudah tahu apa yang terjadi. Kata Ibunya, Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan pastilah melihat semuanya. Oleh sebab itu ia bercerita. Mungkin saja dengan begitu Tuhan akan selekasnya menolongnya. Menolong Ibunya. Dengan cerita yang sama dan harapan yang sama, ia yakin Tuhan tak akan bosan. Kata Ibunya lagi, Tuhan teramat sayang kepada anak-anak yang rajin berdoa. Di bawah kolong ranjangnya yang gelap lagi pengap karena langit-langitnya yang terlalu rendah, kepalanya sudah terlalu sering terantuk. Kadangkala karena ia terburu-buru bersembunyi atau ketika bangun di pagi hari, ia lupa bahwa ia sedang tertidur di bawah kolong ranjang.  
Dhira menghapus air matanya yang masih saja mengalir deras. Suara-suara di luar kamarnya semakin parah. Ia hanya bisa menangis tanpa suara ketika mendengar teriakan minta tolong dari Ibunya. Ia hanya bisa mengepalkan jemari-jemari kecilnya, aih. Tangan yang masih terlampau mungil untuk dipakai memukul. Ia hanya bisa menegakkan telinganya untuk menyerap semua jerit kesakitan Ibunya. Ia hanya bisa bersembunyi setiap kali gedoran kasar singgah di pintu kamarnya. Mendengar laki-laki gelap itu menyerukan namanya berulang kali diselingi tawa sangar membahana. Suara yang teramat dibencinya.

Malam, mengapa lambat sekali jalanmu?

=oOo=

“Ini gambar Ibu, Ayah dan Dhira! Untuk Ibu….”

Ibunya menerima kertas gambar itu dari tangannya. Mata Ibunya terlihat berbinar. Itu menandakan bahwa ia tak perlu khawatir perjuangannya menyelesaikan gambar itu selama 3 hari berturut-turut menguap sia-sia. Senyum Ibunya sudah lebih dari cukup melegakan. Setelahnya ia menggelayut manja di lengan Ibunya. Menagih cerita tentang Ayahnya.
Selama ini, ia mendapat gambaran tentang Ayahnya hanya dari cerita indah Ibunya. Mereka hanya tinggal berdua karena sejak lahir, Dhira belum pernah melihat sosok Ayahnya. Di beranda rumahnya, setiap menjelang senja mengalirlah serentetan cerita dari bibir Ibunya. Dan ia akan dengan seksama mendengarkan. Tak ada yang tak menarik. Ibunya mengatakan bahwa Ayahnya suatu saat akan pulang. Ketika ia bertanya kapan, Ibunya biasanya akan mengelus punggung kepalanya lalu menautkan hidungnya ke hidung Dhira dan berkata itu tak akan lama lagi. Dhira akan mengangguk percaya. Sebab selama ini, Ibunya tidak pernah membohonginya.

Tetapi senja ini, wajah Ibunya terlihat murung. Sepasang matanya mengalirkan kegelisahan. Dhira luput melihat itu. Ia tetap datang dengan sepotong kertas bergambar di tangannya. Memperlihatkan pada Ibunya lalu menggelayut manja di lengan Ibunya. Dhira tak mengira dan tidak akan pernah sanggup mengerti mengapa hari ini mendadak semuanya berubah. Ketika ia menagih cerita. Ibunya menggeleng pelan. Perubahan pertama. Penolakan pertama Ibunya atas permintaannya.
“Mengapa, Ibu? Ibu tidak suka gambar Dhira? Ibu marah sama Dhira ya? Ibu sakit? Mengapa Wajah Ibu pucat?”
Dhira meletakkan telapak tangannya di kening Ibunya seperti yang sering dilakukan Ibunya bila ia mengeluh demam.

“Tidak panas. Berarti Ibu tidak suka gambar Dhira. Ibu marah karena Dhira menggambar Ayah jelek sekali ya?. Maafin Dhira, Ibu. Pensil warna Dhira sudah habis. Jadi Dhira terpaksa menggambar Ayah dengan pensil warna hitam.”

“Tidak sayang. Ibu tidak marah sama Dhira,” sahut Ibunya pelan seraya mengelus keningnya.

“Tapi kenapa Ibu tidak mau bercerita? Karena gambar Dhira jelek? Baiklah, Dhira akan membuat gambar yang lain biar Ibu mau bercerita lagi.”

Di ujung kalimatnya, terdengar derit rem dadakan di luar halaman rumah. Ibunya terburu-buru bangkit dari kursi rotan yang sedari tadi di dudukinya. Melepaskan tangan Dhira dari lengannya tanpa menatap mataya. Perubahan kedua. Ibunya tidak pernah melepaskan pegangan tangannya. Tidak ketika di beranda. Tidak ketika senja kemarin dan kemarin. Dhira bergeming. Menatap belakang Ibunya yang kini berdiri di dekat tangga beranda. Menyambut si pengendara motor yang barusan berhenti di depan rumah. Rupanya Tante Rani. Adik Ibunya. Satu-satunya, kata Ibunya. Biasanya, kemunculan Tante Rani mengisyaratkan hal buruk. Ia akan dititipkan, misalnya. Seperti ketika Ibunya di tugaskan di luar kota. Apakah?
“Kenapa lama sekali, Ran?” suara Ibunya. Nampak terburu-buru.

“Macet Mbak. Biasalah. Jam segini padat merayap. Jenggotan baru nyampe,” sahut tante Rani. “Sweetie! Kok Tante Rani nggak disambut sih?” Tante Rani menghampirinya dan menciumi pipi kanannya.

Tante Rani dan Ibunya melangkah menuju ke dalam rumah.

“Dia sudah keluar, Ran. Aku lihat beritanya di koran kemarin!” Dhira mendengar Ibunya berbisik.

“Jangan terlalu khawatir, Mbak. Lagipula dia nggak tahu kan kalau Mbak sekarang tinggal di sini?”

“Mbak takut, Ran. Dia akan menyakiti Dhira. Dia pasti akan menemukan kami cepat atau lambat. Untuk sementara ini aku titip Dhira sama kamu ya?”

Dhira mengamati seksama paras Ibunya. Dia? Siapa? Percakapan yang mencurigakan.

Kemudian segalanya berlangsung teramat cepat sebelum ia berhasil mencerna perihal apakah yang telah merenggut ketenangan Ibunya.

Dhira menggeleng keras ketika Ibunya mengatakan bahwa ia harus mau menginap di rumah tante Rani selama beberapa hari.

“Toh Ibu nggak akan keluar kota, kan? Terus, kenapa Dhira harus tinggal bersama Tante Rani?” Ia sudah menangis duluan.

“Hanya beberapa hari, sayang. Habis itu Dhira bisa pulang ke rumah kembali,” bujuk Ibunya.
“Kenapa?”

“Dhira, dengarkan Ibu, nak. Dhira masih ingat rumah kunang-kunang yang Ibu ceritakan?”
Bagaimana ia bisa lupa kalau nyaris di setiap malam Ibunya mendongengkannya untuknya. Tentang rumah kunang-kunang di atas bukit. Kata Ibunya, Rumah itu tidak pernah mengalami kegelapan sepanjang masa karena seribu kunang-kunang yang selalu meneranginya. Kunang-kunang yang selalu memberikan ketenangan di rumah itu. Para penghuni yang merupakan kurcaci berhati baik suka mengirim kunang-kunang ke rumah-rumah di bawah bukit. Membawa terang. Dhira hanya sekali-dua kali melihat rupa kunang-kunang. Ketika Ibunya mengajaknya berlibur ke puncak tahun baru kemarin.

Apa hubungannya dia tinggal beberapa hari di rumah Tante Rani dengan cerita rumah kunang-kunang Ibunya?

“Ibu akan menangkapkan banyak kunang-kunang untuk Dhira, jadi selama Ibu berburu kunang-kunang Dhira sama tante Rani dulu ya?”

“Dhira nggak butuh kunang-kunang!” Ia merengek. Ibunya tidak menyadari, bakal kesedihannya mulai muncul saat Ibunya menolak bercerita tentang Ayahnya tadi. Perubahan ketiga. Ibunya seolah selalu menolak tatapan dalam Dhira. Ada sesuatu di dalam bola mata Ibunya. Dhira melihatnya. Apa itu? Semacam ketakutan. Mungkin. Ia belum pernah melihat Ibunya canggung begini. Belum pernah.

Tetapi Ibunya tetap mengirimnya ke rumah Tante Rani. Bahkan tangisan pemberontakan Dhira hanya menyundul langit-langit kosong. Ibunya bergeming. Perubahan ke empat. Ibunya hari ini rajin menghela napas panjang.

=oOo=

Setelah lima hari tinggal di rumah Tante Rani, akhirnya ia pulang. Dan ia menjumpai segalanya berubah. Ada lebam ungu di sudut mata kiri Ibunya. Mustahil jika itu karena berburu kunang-kunang. Sepasang mata Ibunya yang selalu tersenyum menyambutnya juga sembab. Tidak pernah ada kunang-kunang di rumah.
Ada orang lain di rumah. Laki-laki tinggi besar dengan wajah yang dijejali beberapa bekas luka memanjang. Dhira bergidik ngeri melihatnya. Belum lagi beberapa tato menyeramkan di sepanjang lengan hingga pergelangan tangannya. Sejak pertama bersitatap dengannya, Dhira seketika merasa kehilangan rasa aman sorot mata yang jahat. Persis salah satu karakter tokoh kartun yang sering ditontonnya di tivi.

Lelaki gelap itu, datang memporak-porandakkan kebahagiaannya bersama Ibunya. Tak ada yang tersisa. Bahkan gambar-gambarnya bersama Ayah dan Ibunya habis dibakar oleh laki-laki tinggi besar itu.. Saat ia berusaha menolong Ibunya yang berusaha menyelamatkan gambar-gambarnya dari laki-laki itu, ia justeru terlempar kena tendangan jauh menghantam tembok. Sakit. Serasa remuk. Napasnya terhenti sejenak. Tetapi ia lebih sakit dan sedih melihat tubuh Ibunya yang menjadi bulan-bulanan. Ia hanya bisa menangis.

Dhira tidak pernah sanggup mengerti. Juga ketika laki-laki itu menyuruhnya lebih kepada memaksa agar memanggilnya Ayah. Ayah? Kepada laki-laki yang memberi Ibunya air mata?

Lalu menjelmalah malam-malam panjang lagi gelap serupa bayang-bayang hitam. Menenggelamkan Ibunya dalam kesedihan luar biasa. Dhira tak pernah mampu mereka-reka kisah. Ibunya sudah tercerabut paksa dari kebersamaan itu. Padahal ia belum sempat menagih cerita, siapa laki-laki itu? Mengapa Ibu selalu dipukuli? Mengapa Ibu? Apakah selama ini Ibu membohongiku? Tetapi Ibunya tak pernah berbohong? Kata Ibunya, Tuhan membenci kebohongan, kecuali kebohongan demi kebaikan. Apakah ada yang seperti itu di dunia?

“Dhira harus jadi anak yang baik. Jangan nakal, Ibu akan selalu menyayangi Dhira. Ibu akan membuat rumah kunang-kunang untuk Dhira. Jangan menangis, nak. Ibu akan baik-baik saja, sayang….”

Siang sepulang sekolah, Dhira bersimpuh di samping tubuh Ibunya yang tergeletak kepayahan di lantai kamarnya. Darah merembesi sudut bibirnya. Lebam-lebam ungu kebiruan yang belum juga hilang. Dan laki-laki gelap itu kini lenyap sehabis membuat Ibunya babak belur.

“Siapa dia, Ibu?”

“Dia jahat! Mengapa dia selalu memukuli Ibu? Mengapa Ibu diam saja? Ibu, jawab Dhira, Ibu…” isaknya tertahan.

Ibunya tak berkata apa-apa hanya berusaha menjangkau Dhira ke dalam pelukannya. Meski kemudian ia harus sekuat tenaga menahan sakit luar biasa yang menyerang seluruh tubuhnya ketika berhasil memeluk Dhira. Ini takkan sederhana dan terlihat mudah oleh anak sekecil itu. Air matanya bergulir patah-patah.

“Ibu akan membuatkan rumah kunang-kunang untukmu, nak…” bisik Ibunya lemah setengah meringis menahan sakit.

=oOo=

Ada suara gaduh di luar sana. Bukan suara Ibunya. Bukan pula suara beringas laki-laki gelap itu. Dhira terbangun. Kepalanya terantuk langit-langit ranjang. Lagi. Utnuk yang kesekian kalinya. Beberapa menit ia masih memilih diam di kolong ranjang. Menunggu. Biasanya, Ibunya akan datang menghampirinya. Dengan langkah-langkahnya yang pincang. Membantunya keluar. Menyuruhnya mandi dan membuatkan sarapan roti selai kacang favoritnya  dan melepasnya ke sekolah.
Beberapa menit berlalu. Pintu kamarnya berderit. Ada beberapa pasang kaki yang melangkah masuk. Mondar-mandir. Dhira menahan napas.
“Ada anak perempuan Pelaku di sini, dimana dia?”
“Kita harus menemukannya, perintahkan yang lain memeriksa seluruh ruangan dan jangan sampai ada yang terlewat.”
“Siap!”
“Sebentar, ada sesuatu di bawah sini…”
Sepasang mata besar itu terbelalak kaget. Dhira tak bergerak.

=oOo=

Bagi Dhira ini memang tidak pernah mudah dan sederhana. Mendadak rumahnya dipenuhi orang-orang asing. Banyak sekali bapak-bapak berseragam cokelat,  setiap saat kilatan putih menampar wajahnya. Ini jelas bukan cahaya kunang-kunang. Bapak berseragam cokelat itu masih juga menggenggam tangannya. Semua orang terlihat sibuk. Banyak genangan merah di sekitar kakinya.

Ia melihat Tante Rani sedang serius berbicara dengan seorang bapak berseragam cokelat. Dimana Ibunya?
“Tante Rani….” Suara Dhira serak.

Tante Rani menoleh. Matanya basah. Dihampirinya Dhira dan memeluknya erat.

“Ibuku dimana?”

Tante Rani tak menjawab.

“Tante Ran… Ibuku dimana?” Dhira menangis keras demi dilihatnya seluruh orang-orang di ruangan itu memberinya tatapan yang belum pernah ia  dapat sebelumnya. Dimana Ibunya?

“Ibumu sedang mencari kunang-kunang yang banyak untuk rumah kunang-kunang Dhira, Ibumu pasti akan kembali, sayang…. Sementara ini Dhira sama tante Rani ya?”

Dhira menggeleng keras. Air matanya membanjir. Kilatan cahaya itu makin banyak saja yang menerpa wajahnya.

“Ibuku dimana? Ibuku dimana?? Ibu….”

Karena bagi Dhira ini takkan pernah mudah dan sederhana.

“Ibu akan membuatkan rumah kunang-kunang untukmu, nak…”


Kendari, 31 Desember 2010. 03:40
Special thanks to : kunang-kunang satu pohon.

PUISI-AKULAH SUNYI
Oleh : Nafilah Nurdin

Akulah sunyi
Yang dini hari tadi menemani tangismu..

Akulah sunyi
Si penjaga hatimu
Tak pernah lelap demi dirimu....

Akulah sunyi
Tempatmu berpulang kala kau berantakan...
Akulah sunyi....
Telah dengan sengaja menyita seluruh aliran jiwamu untuk ku tinggali..

Akulah sunyi
Yang mengantarkanmu kepada TUHAN mu..

Perempuan Nomor Satu seluruh Dunia!

Saya mengenalnya seperti saya mengenal aroma tubuh sendiri. Dia yang karena saya nyaris tutup usia dua puluh tiga tahun silam. Wajahnya teduh dengan sorot mata sederhana. Perempuan paling sabar sekaligus paling rempong yang pernah saya kenal. Kabar baiknya, saya pun mewarisi separuh sifatnya itu. Perempuan ini pernah melalui sebuah masa sulit di mana air mata seolah tak pernah mengenal kekeringan, keran penahan banjir pada kelenjar matanya seperti tak berfungsi namun justru itulah yang menjadi bekal baginya dalam menghadapi hidup hingga detik ini.

Perempuan tangguh itu adalah orang yang saya panggil Ibu. 


Banyak sekali kata yang ingin saya susun untuk menggambarkan sosok Ibu. Saking banyaknya saya tidak sanggup menuliskannya. Kenapa? Karena sepintar-pintarnya seorang pujangga kelas dunia menuliskan gambaran seorang ibu, tidak akan pernah sanggup mewakili keseluruhan pengorbanan ibu terhadap anak serta keluarganya.

Ibuku, perempuan nomor satu seluruh dunia.

Saya punya track record yang tidak mulus dengan ibu. Inilah yang membuat rasa penyesalan tidak mau beranjak dari hati saya.

Saya pernah mengatakan dalam hati kalau saya membenci ibu saya (astagfirullah, maafin saya bu...), saya sering sekali mendebat ibu bahkan pernah mendiamkan ibu saya. Pasalnya? Karena saya keras kepala & merasa benar dengan apa yang saya lakukan. Saya masih sangat belia kala itu. Ditambah situasi rumah yang tidak kondusif membuat saya benar-benar merasa sendirian, tidak punya tempat bersandar. Saya kerap membandingkan hidup saya dengan teman-teman, dengan tokoh-tokoh dalam cerita novel atau karya fiksi lainnya yang saya baca. Saya beberapa kali berniat melarikan diri dari rumah karena merasa tidak betah, saya berkali-kali berdoa semoga Allah menjauhkan saya dari rumah (doa ini yang saya sesali sekarang), saya sering menangis diam-diam dalam kamar. Masa remaja yang tidak terlalu membahagiakan tetapi memberi saya pelajaran berharga yang akan saya kenang sampai saya mati.

Ibu saya tidak pandai mengekspresikan perasaannya melalui kata-kata, hanya melalui tindakan. Inilah yang membuat saya berpikir ibu tidak menyayangi saya, dulu.

Saat-saat menyebalkan adalah ketika rumah mulai dijalari suasana 'panas' dan ibu mulai rajin mengomel. Saya paling tidak bisa menoleransi suara teriakan, bentakan apalagi kata-kata kasar. Kepala saya pasti pusing,  jantung saya berdegup kencang dan saya merasa tertekan. Sekarang, jika saya mengingat sebab musabab perangai ibu yang seperti itu, mata saya pasti berujung sembab. Maafkan saya, Bu...

Kembali menerawang ke belakang, kenangan manis saya semasa kecil berjumpalitan minta ditemui.
Jika musim ulangan tiba, ibu bangun lebih pagi dari biasanya demi menyiapkan segala sesuatu untuk ujian saya, membangunkan saya untuk belajar. Oleh ibu, saya dikarantina. Dijauhkan dari televisi dan keramaian. Ibulah yang mengajari saya mengaji saban subuh sebelum sore harinya saya nyetor ke guru ngaji.

Malam ini mata saya membanjir. Saya kangen ibu...

Situasinya sudah sangat jauh berbeda. Saya dan ibu sudah seperti sahabat. Tak ada hal yang luput dari pengetahuan ibu. Apapun itu, sesederhana apapun, pasti saya ceritakan ke ibu. Tentang masa-masa kuliah, teman-teman di kampus, organisasi yang saya ikuti, cerpen-cerpen saya yang dimuat, tentang seseorang yang pernah saya taksir, tentang jodoh saya kelak, semuanya....
Tak jarang saya sukses mengajak ibu saya bercanda dan tertawa, seolah di masa lalu kami tidak pernah menegangkan urat leher.

Saya menjadi saya yang sekarang ini salah satunya adalah karena dukungan luar biasa dari ibu. Ibu tidak pernah menekan saya agar mengikuti kemauannya. Sejak saya kecil, ibu memberi peluang supaya saya terbiasa mandiri (saya baru menyadari ini setelah jadi mahasiswa). Yah, doa saya agar jauh dari rumah dikabulkan Tuhan, sebuah doa yang berhasil menyadarkan saya.

Harapan-harapan yang ibu sematkan di bahu saya belum sempurna saya wujudkan. Saya masih teus berjuang. Mengingat pengorbanan ibu, saya benar-benar malu. Maafkan saya, Bu...
Ibu, banyak benar yang ingin saya curhatkan tentang ibu. Semakin saya bercerita, semakin haru hati saya.

Apakah ibu makan dengan baik? Apakah ibu tidur dengan nyenyak? Apakah ibu bisa tersenyum setiap hari? Ibu... ibu... ibu. Jarak ini mengajariku mengenali masa lalu.

Bu, anakmu ini terlahir sebagai petualang. Ingin aku jelajahi tanah-tanah yang tidak sempat dipijaki kakimu agar aku punya kisah yang bisa kuceritakan ketika aku pulang kelak. Menemanimu bercerita di depan pintu dapur rumah panggung kita, di bawah rimbunan daun jambu air. Betapa aku ingin melihat binar seterang matahari pagi di mata tuamu, seperti menyuarakan pesan batinmu.

"Anakku sudah bukan lagi seorang gadis kecil bercelana selutut dengan rambut dikuncir satu, yang kerap berlarian di bawah guyuran hujan..."

=oOo=
Sebuah percakapan antara seorang bocah perempuan sembilan tahun dan neneknya.

"Kalau besar kamu ingin menjadi apa, Nak?" tanya Nenek.

"Aku ingin menjadi Ibu seperti ibuku!"

Bocah perempuan yang sedang berkonsentrasi mencabut uban di kepala neneknya dengan suara tegas menjawab. Sepasang mata beningnya masih berjuang menaklukan tunas-tunas uban yang baru tumbuh.

Kala itu, bocah perempuan tersebut hanya melontarkan kalimat itu tanpa berpikir panjang. Tahun-tahun yang panjang membawanya memahami bahwa apa yang ia katakan kepada neneknya benar-benar ingin diwujudkannya. Menjadi Ibu seperti Ibunya...