Oleh : Nafilah Nurdin
Hari
ini kulepaskan kau dari hatiku. Di antara helai-helai tipis mendung langit
Desember yang basah. Di penghujung tahun yang sembab. Tahukah kau? Rintik
bulir-bulir hujan yang menimpa atap kamarku, seumpama lagu klasik dari kotak
musik yang tak pernah ku miliki. Hanya denting nadanya yang selalu nampak
tergopoh-gopoh menyongsongku dengan selongsong cerita tentangmu bila musim
bernama hujan itu tiba. Menyisir setiap inci kenangan yang masih berdenyut
walau tak sesemarak dahulu. Ini memang tentangmu. Segalanya. Setidaknya untuk
hari ini, setelah berhari-hari… ah, bukan. Aku butuh bertahun-tahun untuk sadar
bahwa harus ada yang selekas mungkin kusingkirkan dari pekarangan hatiku. Agar
ketika hujan turun, Aku bisa bernafas lega. Harus ada yang tamat tanpa ada
bagian ke-2, ke-3 atau lebih gilanya bahkan sampai bagian ke-7! Jelas ini bukan
episode sinetron. Ini episode kita, episode yang harus kita karamkan di lautan
bening bernama keikhlasan. Bukan kau, tetapi aku. Dan hujan kemudian tak akan
bisa lagi menjadi mimpi buruk bagi ingatanku.
Hari
ini kulepaskan kau dari hatiku.
Apakah
kau akan percaya jika kubilang luka ini sudah tak perih lagi seperti saat
pertama kali kau titipkan dengan sengaja padaku tempo hari? Aku berani dikirim
ke gurun sahara sekalipun untuk membuktikan padamu juga pada dunia bahwa
periode luka-duka itu sudah permisi. Pergi bersama angin ke lembah-lembah tak
bernama yang rumpun ilalangnya berwarna hijau pelangi. Jadi ini bukan lagi
melulu tentang air mata.
Hari
ini kulepaskan kau dari hatiku.
Waktu
yang berjalan di sisiku, yang menabung rahasiaku, tahu benar bagaimana dahulu
aku berpolah seperti kehilangan rembulan di lorong-lorong pengap manakala kau
bertandang ke rumahku bersama badik pengkhianatan. Kau tikamkan pelan-pelan
sambil menyunggingkan senyum termanismu. Senyum badutmu yang telah membuatku
menjatuhkan hatiku berkali-kali. Cinta pertama di usia belia. Cinta yang
membuatku jungkir balik. Cinta yang kerap menghadirkan semburat merah muda di
kedua belah pipiku. Itulah yang kupanggil cinta, debaran aneh yang mencuri
ritme jantungku. Kepadamu. Lelaki pemilik wajah menyenangkan. Kau lihat?
Sekarang aku sedang tersenyum meski tak semanis senyum badutmu, Senyum racikan waktu. Sebab, waktu yang
senantiasa berdetak di sisiku juga menuliskan bagaimana aku merangkum perih,
membacanya dengan seksama dalam lembar-lembar pembelajaran. Kadangkala, ada
yang harus terjatuh dulu untuk menyadari bahwa jalur yang ditempuhnya keliru.
Itu aku. Dan kau jembatan tempatku terperosok kemudian bangun. Kau yang
mengantarku kembali.
Hari
ini kulepaskan kau dari hatiku, tanpa harus kusisipi tanya mengapa dulu kau
harus melukaiku? Padahal aku menyukaimu dengan segala penerimaan. Aku memang
sudah tak perlu menggugat tanya. Karena selepas kau melenggang pergi, lukaku
menuntunku dengan tabah. Aku berpikir,
inilah saatnya kubeberkan padamu perihal apa yang kusebut terima-kasih. Hari
ini kulepaskan kau dari hatiku bersama bingkisan terima kasih. Untuk apa? Untuk
cinta dan luka yang kau berikan. Karena darinya aku terbangun dari kerumunan
khilaf. Karenamu, aku berhasil melewati lorong-lorong pengap tanpa rembulan
melainkan matahari di tanganku. Dan tahukah kau, apa yang paling berharga yang
telah kau wariskan padaku tanpa kau sadari? Adalah sebuah rute indah menuju
tanah lapang. Menuju sebuah cinta yang maha dahsyat. Menuju pemilik cinta yang
sebenar-benarnya wajib dicintai melebihi tarikan nafas kita. Dia yang tiada
pernah menyakiti apalagi membuncahkan luka berkarat. Kecuali ketenangan yang
melegakan. Aku sedang menyusuri jalan ke sana (doakan aku ya).
Hari
ini kulepaskan kau dari hatiku. Lelaki berwajah menyenangkan. Pemilik senyum
badut. Adam yang telah mengajariku menulis diary sebagai cikal bakal impianku. Kau
pula yang sudah menyadarkanku bahwa tengah malam adalah ruang yang nyaman untuk
berbincang dengan hati. Dan hari ini kulepaskan kau dari hatiku. Juga perihal
luka dan cinta itu. Terima kasih karena dirimu, kutemui diriku dalam dimensi
berbeda. Bersama cinta yang kumaknai hakiki ini, Allah. Dialah muara segala
rindu. Bukankah tak ada yang diciptakan sia-sia di dunia ini? Kecuali jika ada
yang berpikir dirinya bukan anugerah terindah. Aku sudah berdamai dengan hujan.
Dan aku sudah memaafkanmu.
*Dimuat dalam antologi KKDH (Kulepaskan Kau Dari Hatiku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^