Saya mengenalnya seperti saya mengenal aroma tubuh sendiri. Dia yang karena saya nyaris tutup usia dua puluh tiga tahun silam. Wajahnya teduh dengan sorot mata sederhana. Perempuan paling sabar sekaligus paling rempong yang pernah saya kenal. Kabar baiknya, saya pun mewarisi separuh sifatnya itu. Perempuan ini pernah melalui sebuah masa sulit di mana air mata seolah tak pernah mengenal kekeringan, keran penahan banjir pada kelenjar matanya seperti tak berfungsi namun justru itulah yang menjadi bekal baginya dalam menghadapi hidup hingga detik ini.
Perempuan tangguh itu adalah orang yang saya panggil Ibu.
Banyak sekali kata yang ingin saya susun untuk menggambarkan sosok Ibu. Saking banyaknya saya tidak sanggup menuliskannya. Kenapa? Karena sepintar-pintarnya seorang pujangga kelas dunia menuliskan gambaran seorang ibu, tidak akan pernah sanggup mewakili keseluruhan pengorbanan ibu terhadap anak serta keluarganya.
Ibuku, perempuan nomor satu seluruh dunia.
Saya punya track record yang tidak mulus dengan ibu. Inilah yang membuat rasa penyesalan tidak mau beranjak dari hati saya.
Saya pernah mengatakan dalam hati kalau saya membenci ibu saya (astagfirullah, maafin saya bu...), saya sering sekali mendebat ibu bahkan pernah mendiamkan ibu saya. Pasalnya? Karena saya keras kepala & merasa benar dengan apa yang saya lakukan. Saya masih sangat belia kala itu. Ditambah situasi rumah yang tidak kondusif membuat saya benar-benar merasa sendirian, tidak punya tempat bersandar. Saya kerap membandingkan hidup saya dengan teman-teman, dengan tokoh-tokoh dalam cerita novel atau karya fiksi lainnya yang saya baca. Saya beberapa kali berniat melarikan diri dari rumah karena merasa tidak betah, saya berkali-kali berdoa semoga Allah menjauhkan saya dari rumah (doa ini yang saya sesali sekarang), saya sering menangis diam-diam dalam kamar. Masa remaja yang tidak terlalu membahagiakan tetapi memberi saya pelajaran berharga yang akan saya kenang sampai saya mati.
Ibu saya tidak pandai mengekspresikan perasaannya melalui kata-kata, hanya melalui tindakan. Inilah yang membuat saya berpikir ibu tidak menyayangi saya, dulu.
Saat-saat menyebalkan adalah ketika rumah mulai dijalari suasana 'panas' dan ibu mulai rajin mengomel. Saya paling tidak bisa menoleransi suara teriakan, bentakan apalagi kata-kata kasar. Kepala saya pasti pusing, jantung saya berdegup kencang dan saya merasa tertekan. Sekarang, jika saya mengingat sebab musabab perangai ibu yang seperti itu, mata saya pasti berujung sembab. Maafkan saya, Bu...
Kembali menerawang ke belakang, kenangan manis saya semasa kecil berjumpalitan minta ditemui.
Jika
musim ulangan tiba, ibu bangun lebih pagi dari biasanya demi menyiapkan
segala sesuatu untuk ujian saya, membangunkan saya untuk belajar. Oleh
ibu, saya dikarantina. Dijauhkan dari televisi dan keramaian. Ibulah
yang mengajari saya mengaji saban subuh sebelum sore harinya saya nyetor
ke guru ngaji.
Malam ini mata saya membanjir. Saya kangen ibu...
Situasinya sudah sangat jauh berbeda. Saya dan ibu sudah seperti sahabat. Tak ada hal yang luput dari pengetahuan ibu. Apapun itu, sesederhana apapun, pasti saya ceritakan ke ibu. Tentang masa-masa kuliah, teman-teman di kampus, organisasi yang saya ikuti, cerpen-cerpen saya yang dimuat, tentang seseorang yang pernah saya taksir, tentang jodoh saya kelak, semuanya....
Tak jarang saya sukses mengajak ibu saya bercanda dan tertawa, seolah di masa lalu kami tidak pernah menegangkan urat leher.
Saya menjadi saya yang sekarang ini salah satunya adalah karena dukungan luar biasa dari ibu. Ibu tidak pernah menekan saya agar mengikuti kemauannya. Sejak saya kecil, ibu memberi peluang supaya saya terbiasa mandiri (saya baru menyadari ini setelah jadi mahasiswa). Yah, doa saya agar jauh dari rumah dikabulkan Tuhan, sebuah doa yang berhasil menyadarkan saya.
Harapan-harapan yang ibu sematkan di bahu saya belum sempurna saya wujudkan. Saya masih teus berjuang. Mengingat pengorbanan ibu, saya benar-benar malu. Maafkan saya, Bu...
Ibu, banyak benar yang ingin saya curhatkan tentang ibu. Semakin saya bercerita, semakin haru hati saya.
Apakah ibu makan dengan baik? Apakah ibu tidur dengan nyenyak? Apakah ibu bisa tersenyum setiap hari? Ibu... ibu... ibu. Jarak ini mengajariku mengenali masa lalu.
Bu, anakmu ini terlahir sebagai petualang. Ingin aku jelajahi tanah-tanah yang tidak sempat dipijaki kakimu agar aku punya kisah yang bisa kuceritakan ketika aku pulang kelak. Menemanimu bercerita di depan pintu dapur rumah panggung kita, di bawah rimbunan daun jambu air. Betapa aku ingin melihat binar seterang matahari pagi di mata tuamu, seperti menyuarakan pesan batinmu.
"Anakku sudah bukan lagi seorang gadis kecil bercelana selutut dengan rambut dikuncir satu, yang kerap berlarian di bawah guyuran hujan..."
=oOo=
Sebuah percakapan antara seorang bocah perempuan sembilan tahun dan neneknya.
"Kalau besar kamu ingin menjadi apa, Nak?" tanya Nenek.
"Aku ingin menjadi Ibu seperti ibuku!"
Bocah perempuan yang sedang berkonsentrasi mencabut uban di kepala neneknya dengan suara tegas menjawab. Sepasang mata beningnya masih berjuang menaklukan tunas-tunas uban yang baru tumbuh.
Kala itu, bocah perempuan tersebut hanya melontarkan kalimat itu tanpa berpikir panjang. Tahun-tahun yang panjang membawanya memahami bahwa apa yang ia katakan kepada neneknya benar-benar ingin diwujudkannya. Menjadi Ibu seperti Ibunya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^