RUMAH KUNANG-KUNANG
Oleh : Nafilah Nurdin
BRAKKK!
Bantingan super keras itu mengagetkan Dhira. Pensil warna
digenggamannya terlepas seketika. Mungkin itu bantingan pintu rumah sebab
dinding kamarnya juga ikut bergetar saking kuat hentakannya. Hening sebentar.
Gadis Sembilan tahun itu urung melanjutkan gambarnya. Ada getar luar biasa yang
menjalari seluruh sendi tubuhnya. Cepat sekali butir-butir keringat menembus
pori-pori kulitnya. Beberapa minggu belakangan, pintu menjadi objek paling
vital yang menjadi sasaran kemarahan laki-laki itu. Dan Dhira belum juga
terbiasa meningkahinya.
Tubuhnya menegak. Menunggu. Waspada.
PRAAANNGG!
Bunyi benda jatuh. Mungkin pecah. Entah apa. Tubuh Dhira
menggigil. Ia hapal betul jalan cerita yang dibuka oleh sebuah keributan di
pintu depan. Setelah ini akan diikuti bentakan-bentakan keras, makian serapah,
bunyi benda-benda yang saling beradu, pekikan Ibunya lalu berakhir dengan
tangis kesakitan Ibunya. Selalu seperti itu. Ritme yang menakutkan.
Dhira terisak. Air matanya membanjir cepat. Diambilnya boneka
Teddy Bear cokelat kesayangannya di atas ranjang. Memeluknya erat seolah ingin
melarikan segenap ketakutannya. Tidak. laki-laki gelap itu tidak akan bisa
menyentuhnya. Tidak akan bisa. Ia tidak boleh takut. Jangan takut, Dhira.
Dhira menelungkupkan tubuhnya di bawah kolong ranjangnya. Di
sini, tak akan ada satupun orang yang akan menemukannya. Tidak Ibunya, juga
laki-laki gelap itu. Ia akan berbaring sepanjang malam hingga datang waktu
fajar. Biasanya, hari terang akan membantunya sedikit melupakan ketakutannya
terhadap malam, yang tak pernah lelah menjemputnya dalam bayang-bayang
kesesakan. Dan ia juga tak pernah lupa bercerita kepada Tuhan tentang air
matanya. Ia paham, sekalipun ia tak bercerita, Tuhan sudah tahu apa yang
terjadi. Kata Ibunya, Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan pastilah melihat
semuanya. Oleh sebab itu ia bercerita. Mungkin saja dengan begitu Tuhan akan
selekasnya menolongnya. Menolong Ibunya. Dengan cerita yang sama dan harapan
yang sama, ia yakin Tuhan tak akan bosan. Kata Ibunya lagi, Tuhan teramat
sayang kepada anak-anak yang rajin berdoa. Di bawah kolong ranjangnya yang
gelap lagi pengap karena langit-langitnya yang terlalu rendah, kepalanya sudah
terlalu sering terantuk. Kadangkala karena ia terburu-buru bersembunyi atau
ketika bangun di pagi hari, ia lupa bahwa ia sedang tertidur di bawah kolong
ranjang.
Dhira menghapus air matanya yang masih saja mengalir deras.
Suara-suara di luar kamarnya semakin parah. Ia hanya bisa menangis tanpa suara
ketika mendengar teriakan minta tolong dari Ibunya. Ia hanya bisa mengepalkan
jemari-jemari kecilnya, aih. Tangan yang masih terlampau mungil untuk dipakai
memukul. Ia hanya bisa menegakkan telinganya untuk menyerap semua jerit
kesakitan Ibunya. Ia hanya bisa bersembunyi setiap kali gedoran kasar singgah
di pintu kamarnya. Mendengar laki-laki gelap itu menyerukan namanya berulang
kali diselingi tawa sangar membahana. Suara yang teramat dibencinya.
Malam, mengapa lambat sekali jalanmu?
=oOo=
“Ini gambar Ibu, Ayah dan Dhira! Untuk Ibu….”
Ibunya menerima kertas gambar itu dari tangannya. Mata Ibunya
terlihat berbinar. Itu menandakan bahwa ia tak perlu khawatir perjuangannya
menyelesaikan gambar itu selama 3 hari berturut-turut menguap sia-sia. Senyum
Ibunya sudah lebih dari cukup melegakan. Setelahnya ia menggelayut manja di
lengan Ibunya. Menagih cerita tentang Ayahnya.
Selama ini, ia mendapat gambaran tentang Ayahnya hanya dari
cerita indah Ibunya. Mereka hanya tinggal berdua karena sejak lahir, Dhira
belum pernah melihat sosok Ayahnya. Di beranda rumahnya, setiap menjelang senja
mengalirlah serentetan cerita dari bibir Ibunya. Dan ia akan dengan seksama
mendengarkan. Tak ada yang tak menarik. Ibunya mengatakan bahwa Ayahnya suatu
saat akan pulang. Ketika ia bertanya kapan, Ibunya biasanya akan mengelus
punggung kepalanya lalu menautkan hidungnya ke hidung Dhira dan berkata itu tak
akan lama lagi. Dhira akan mengangguk percaya. Sebab selama ini, Ibunya tidak pernah
membohonginya.
Tetapi senja ini, wajah Ibunya terlihat murung. Sepasang
matanya mengalirkan kegelisahan. Dhira luput melihat itu. Ia tetap datang
dengan sepotong kertas bergambar di tangannya. Memperlihatkan pada Ibunya lalu
menggelayut manja di lengan Ibunya. Dhira tak mengira dan tidak akan pernah
sanggup mengerti mengapa hari ini mendadak semuanya berubah. Ketika ia menagih
cerita. Ibunya menggeleng pelan. Perubahan pertama. Penolakan pertama Ibunya
atas permintaannya.
“Mengapa, Ibu? Ibu tidak suka gambar Dhira? Ibu marah sama
Dhira ya? Ibu sakit? Mengapa Wajah Ibu pucat?”
Dhira meletakkan telapak tangannya di kening Ibunya seperti
yang sering dilakukan Ibunya bila ia mengeluh demam.
“Tidak panas. Berarti Ibu tidak suka gambar Dhira. Ibu marah
karena Dhira menggambar Ayah jelek sekali ya?. Maafin Dhira, Ibu. Pensil warna
Dhira sudah habis. Jadi Dhira terpaksa menggambar Ayah dengan pensil warna
hitam.”
“Tidak sayang. Ibu tidak marah sama Dhira,” sahut Ibunya
pelan seraya mengelus keningnya.
“Tapi kenapa Ibu tidak mau bercerita? Karena gambar Dhira
jelek? Baiklah, Dhira akan membuat gambar yang lain biar Ibu mau bercerita
lagi.”
Di ujung kalimatnya, terdengar derit rem dadakan di luar halaman
rumah. Ibunya terburu-buru bangkit dari kursi rotan yang sedari tadi di
dudukinya. Melepaskan tangan Dhira dari lengannya tanpa menatap mataya.
Perubahan kedua. Ibunya tidak pernah melepaskan pegangan tangannya. Tidak
ketika di beranda. Tidak ketika senja kemarin dan kemarin. Dhira bergeming.
Menatap belakang Ibunya yang kini berdiri di dekat tangga beranda. Menyambut si
pengendara motor yang barusan berhenti di depan rumah. Rupanya Tante Rani. Adik
Ibunya. Satu-satunya, kata Ibunya. Biasanya, kemunculan Tante Rani
mengisyaratkan hal buruk. Ia akan dititipkan, misalnya. Seperti ketika Ibunya
di tugaskan di luar kota. Apakah?
“Kenapa lama sekali, Ran?” suara Ibunya. Nampak terburu-buru.
“Macet Mbak. Biasalah. Jam segini padat merayap. Jenggotan
baru nyampe,” sahut tante Rani. “Sweetie! Kok Tante Rani nggak disambut sih?”
Tante Rani menghampirinya dan menciumi pipi kanannya.
Tante Rani dan Ibunya melangkah menuju ke dalam rumah.
“Dia sudah keluar, Ran. Aku lihat beritanya di koran
kemarin!” Dhira mendengar Ibunya berbisik.
“Jangan terlalu khawatir, Mbak. Lagipula dia nggak tahu kan
kalau Mbak sekarang tinggal di sini?”
“Mbak takut, Ran. Dia akan menyakiti Dhira. Dia pasti akan
menemukan kami cepat atau lambat. Untuk sementara ini aku titip Dhira sama kamu
ya?”
Dhira mengamati seksama paras Ibunya. Dia? Siapa? Percakapan
yang mencurigakan.
Kemudian segalanya berlangsung teramat cepat sebelum ia
berhasil mencerna perihal apakah yang telah merenggut ketenangan Ibunya.
Dhira menggeleng keras ketika Ibunya mengatakan bahwa ia
harus mau menginap di rumah tante Rani selama beberapa hari.
“Toh Ibu nggak akan keluar kota, kan? Terus, kenapa Dhira
harus tinggal bersama Tante Rani?” Ia sudah menangis duluan.
“Hanya beberapa hari, sayang. Habis itu Dhira bisa pulang ke
rumah kembali,” bujuk Ibunya.
“Kenapa?”
“Dhira, dengarkan Ibu, nak. Dhira masih ingat rumah
kunang-kunang yang Ibu ceritakan?”
Bagaimana ia bisa lupa kalau nyaris di setiap malam Ibunya
mendongengkannya untuknya. Tentang rumah kunang-kunang di atas bukit. Kata
Ibunya, Rumah itu tidak pernah mengalami kegelapan sepanjang masa karena seribu
kunang-kunang yang selalu meneranginya. Kunang-kunang yang selalu memberikan
ketenangan di rumah itu. Para penghuni yang merupakan kurcaci berhati baik suka
mengirim kunang-kunang ke rumah-rumah di bawah bukit. Membawa terang. Dhira
hanya sekali-dua kali melihat rupa kunang-kunang. Ketika Ibunya mengajaknya
berlibur ke puncak tahun baru kemarin.
Apa hubungannya dia tinggal beberapa hari di rumah Tante Rani
dengan cerita rumah kunang-kunang Ibunya?
“Ibu akan menangkapkan banyak kunang-kunang untuk Dhira, jadi
selama Ibu berburu kunang-kunang Dhira sama tante Rani dulu ya?”
“Dhira nggak butuh kunang-kunang!” Ia merengek. Ibunya tidak
menyadari, bakal kesedihannya mulai muncul saat Ibunya menolak bercerita
tentang Ayahnya tadi. Perubahan ketiga. Ibunya seolah selalu menolak tatapan
dalam Dhira. Ada sesuatu di dalam bola mata Ibunya. Dhira melihatnya. Apa itu?
Semacam ketakutan. Mungkin. Ia belum pernah melihat Ibunya canggung begini.
Belum pernah.
Tetapi Ibunya tetap mengirimnya ke rumah Tante Rani. Bahkan
tangisan pemberontakan Dhira hanya menyundul langit-langit kosong. Ibunya
bergeming. Perubahan ke empat. Ibunya hari ini rajin menghela napas panjang.
=oOo=
Setelah lima hari tinggal di rumah Tante Rani, akhirnya ia
pulang. Dan ia menjumpai segalanya berubah. Ada lebam ungu di sudut mata kiri
Ibunya. Mustahil jika itu karena berburu kunang-kunang. Sepasang mata Ibunya
yang selalu tersenyum menyambutnya juga sembab. Tidak pernah ada kunang-kunang
di rumah.
Ada orang lain di rumah. Laki-laki tinggi besar dengan wajah
yang dijejali beberapa bekas luka memanjang. Dhira bergidik ngeri melihatnya.
Belum lagi beberapa tato menyeramkan di sepanjang lengan hingga pergelangan
tangannya. Sejak pertama bersitatap dengannya, Dhira seketika merasa kehilangan
rasa aman sorot mata yang jahat. Persis salah satu karakter tokoh kartun yang
sering ditontonnya di tivi.
Lelaki gelap itu, datang memporak-porandakkan kebahagiaannya
bersama Ibunya. Tak ada yang tersisa. Bahkan gambar-gambarnya bersama Ayah dan
Ibunya habis dibakar oleh laki-laki tinggi besar itu.. Saat ia berusaha
menolong Ibunya yang berusaha menyelamatkan gambar-gambarnya dari laki-laki
itu, ia justeru terlempar kena tendangan jauh menghantam tembok. Sakit. Serasa
remuk. Napasnya terhenti sejenak. Tetapi ia lebih sakit dan sedih melihat tubuh
Ibunya yang menjadi bulan-bulanan. Ia hanya bisa menangis.
Dhira tidak pernah sanggup mengerti. Juga ketika laki-laki
itu menyuruhnya lebih kepada memaksa agar memanggilnya Ayah. Ayah? Kepada
laki-laki yang memberi Ibunya air mata?
Lalu menjelmalah malam-malam panjang lagi gelap serupa
bayang-bayang hitam. Menenggelamkan Ibunya dalam kesedihan luar biasa. Dhira
tak pernah mampu mereka-reka kisah. Ibunya sudah tercerabut paksa dari
kebersamaan itu. Padahal ia belum sempat menagih cerita, siapa laki-laki itu?
Mengapa Ibu selalu dipukuli? Mengapa Ibu? Apakah selama ini Ibu membohongiku?
Tetapi Ibunya tak pernah berbohong? Kata Ibunya, Tuhan membenci kebohongan,
kecuali kebohongan demi kebaikan. Apakah ada yang seperti itu di dunia?
“Dhira harus jadi anak yang baik. Jangan nakal, Ibu akan
selalu menyayangi Dhira. Ibu akan membuat rumah kunang-kunang untuk Dhira.
Jangan menangis, nak. Ibu akan baik-baik saja, sayang….”
Siang sepulang sekolah, Dhira bersimpuh di samping tubuh
Ibunya yang tergeletak kepayahan di lantai kamarnya. Darah merembesi sudut
bibirnya. Lebam-lebam ungu kebiruan yang belum juga hilang. Dan laki-laki gelap
itu kini lenyap sehabis membuat Ibunya babak belur.
“Siapa dia, Ibu?”
“Dia jahat! Mengapa dia selalu memukuli Ibu? Mengapa Ibu diam
saja? Ibu, jawab Dhira, Ibu…” isaknya tertahan.
Ibunya tak berkata apa-apa hanya berusaha menjangkau Dhira ke
dalam pelukannya. Meski kemudian ia harus sekuat tenaga menahan sakit luar
biasa yang menyerang seluruh tubuhnya ketika berhasil memeluk Dhira. Ini takkan
sederhana dan terlihat mudah oleh anak sekecil itu. Air matanya bergulir
patah-patah.
“Ibu akan membuatkan rumah kunang-kunang untukmu, nak…” bisik
Ibunya lemah setengah meringis menahan sakit.
=oOo=
Ada suara gaduh di luar sana. Bukan suara Ibunya. Bukan pula
suara beringas laki-laki gelap itu. Dhira terbangun. Kepalanya terantuk
langit-langit ranjang. Lagi. Utnuk yang kesekian kalinya. Beberapa menit ia
masih memilih diam di kolong ranjang. Menunggu. Biasanya, Ibunya akan datang
menghampirinya. Dengan langkah-langkahnya yang pincang. Membantunya keluar.
Menyuruhnya mandi dan membuatkan sarapan roti selai kacang favoritnya dan
melepasnya ke sekolah.
Beberapa menit berlalu. Pintu kamarnya berderit. Ada beberapa
pasang kaki yang melangkah masuk. Mondar-mandir. Dhira menahan napas.
“Ada anak perempuan Pelaku di sini, dimana dia?”
“Kita harus menemukannya, perintahkan yang lain memeriksa
seluruh ruangan dan jangan sampai ada yang terlewat.”
“Siap!”
“Sebentar, ada sesuatu di bawah sini…”
Sepasang mata besar itu terbelalak kaget. Dhira tak bergerak.
=oOo=
Bagi Dhira ini memang tidak pernah mudah dan sederhana.
Mendadak rumahnya dipenuhi orang-orang asing. Banyak sekali bapak-bapak
berseragam cokelat, setiap saat kilatan putih menampar wajahnya. Ini
jelas bukan cahaya kunang-kunang. Bapak berseragam cokelat itu masih juga
menggenggam tangannya. Semua orang terlihat sibuk. Banyak genangan merah di
sekitar kakinya.
Ia melihat Tante Rani sedang serius berbicara dengan seorang
bapak berseragam cokelat. Dimana Ibunya?
“Tante Rani….” Suara Dhira serak.
Tante Rani menoleh. Matanya basah. Dihampirinya Dhira dan
memeluknya erat.
“Ibuku dimana?”
Tante Rani tak menjawab.
“Tante Ran… Ibuku dimana?” Dhira menangis keras demi
dilihatnya seluruh orang-orang di ruangan itu memberinya tatapan yang belum
pernah ia dapat sebelumnya. Dimana Ibunya?
“Ibumu sedang mencari kunang-kunang yang banyak untuk rumah
kunang-kunang Dhira, Ibumu pasti akan kembali, sayang…. Sementara ini Dhira
sama tante Rani ya?”
Dhira menggeleng keras. Air matanya membanjir. Kilatan cahaya
itu makin banyak saja yang menerpa wajahnya.
“Ibuku dimana? Ibuku dimana?? Ibu….”
Karena bagi Dhira ini takkan pernah mudah dan sederhana.
“Ibu akan membuatkan rumah kunang-kunang untukmu, nak…”
Kendari, 31 Desember 2010. 03:40
Special thanks to : kunang-kunang satu pohon.
PUISI-AKULAH SUNYI
Oleh : Nafilah Nurdin
Akulah sunyi
Yang dini hari tadi menemani tangismu..
Akulah sunyi
Si penjaga hatimu
Tak pernah lelap demi dirimu....
Akulah sunyi
Tempatmu berpulang kala kau berantakan...
Akulah sunyi....
Telah dengan sengaja menyita seluruh aliran jiwamu untuk ku
tinggali..
Akulah sunyi
Yang mengantarkanmu kepada TUHAN mu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^