Duhai hatiku....

Seandainya saya khilaf dan lupa kalo kepala saya terbuat dari struktur materi yang bisa retak bila berbenturan dengan benda keras maka saat ini juga saya akan dengan ikhlas menjedotkan kepala ke tembok terdekat. Syukur Alhamdulillah saya bukan tipikal orang nekat. Jadi sampai detik saya nulis catatan ini, saya masih sehat wal`afiat.

Hari ini saya merasa seolah ditampar bolak-balik sesuatu yang tidak nampak tapi efek `tamparannya` sungguh luar biasa, diam-diam saya nangis tanpa suara. Entahlah. Malu, takut, khawatir dan merasa sangat bersalah karena telah mendzhalimi diri dan hati saya sendiri.

Saya makin nyadar kalo sebagai manusia saya sangat kerdil dan tidak ada apa-apanya. Ada begitu banyak hal berbondong-bondong menyesakki otak saya dan untungnya saya masih bisa bernapas lega. Kenapa? karena saya tahu betul ini adalah imbas dari apa yang tanpa sengaja saya usahakan sebelumnya. Saya secara sadar menyiapkan sebuah pembelajaran bagi saya sendiri melalui tindak-tanduk saya di waktu-waktu yang sudah lewat. Saya pernah mendengar seseorang berkata bahwa hidup kita adalah serangkaian sebab akibat yang terjadi berulang-ulang. Tak ada satu hal pun yang luput dari pembalasan.

Hari ini, saya mendulang sebagian besar kelalaian yang saya kerjakan dulu. Dan saya pun malu...

Duhai hati, maafkan jika selama ini aku membuatmu terluka, jatuh dan patah diam-diam

Duhai hati, maafkan aku yang telah mengabaikan pekikanmu secara terang-terangan

Duhai hati, maafkan aku sebab aku tak menjagamu sepenuh hati agar tidak tersentuh kelalaian...

Duhai hati

Duhai hatiku, bisakah kita berbaikan kembali?

Bisa?

Aku sedang menapaki sebuah pijakan baru di ranah harapan yang baru juga

Tanpa keakuran kita, aku tidak akan sanggup bangkit dan menjejaki tanah yang seharusnya aku jejaki

Duhai hatiku, bisakah kita saling menemani merengkuh jalan yang dijanjikan Allah yang imbalannya berbuah SyurgaNYA kelak?

Duhai hatiku, aku sangat membutuhkan keikhlasanmu...

Rumah Angin, 8 Januari 2012