“Aku tidak akan pulang!” Kara berteriak keras seraya mematikan ponselnya. Wajahnya menyiratkan kegusaran. Kara tak menyadari sepasang mata bulatnya sudah dibasahi titik bening. Ia duduk memeluk lututnya. Jika tak sadar bahwa ia tak sendirian di tempat itu, ia sudah berteriak sekencang-kencangnya sejak tadi. Malam sudah beranjak tua dan ia masih bertahan sendirian di taman itu. Mendekap dingin bersama sederet keruwetan yang memenuhi kepalanya.
Aku tidak akan pernah pulang! Tidak akan!
Entah sudah berapa kali ia melontarkan kalimat itu. Sepanjang minggu ini, sepanjang hari, setiap kali ingatannya menyentuh rumah.
“Suaramu bisa membangunkan semua gelandangan di sekitar sini.”
Suara berat di belakang punggungnya memaksanya menoleh. Kara segera menghapus air matanya.
“Kau siapa?” Kara waspada. Ia sudah sering mendengar kekerasan yang meningkat tajam di kota ini beberapa bulan belakangan ini.
“Aku sama sepertimu, datang ke tempat ramai untuk melarikan diri.” Laki-laki asing itu melangkah mendekati Kara.
Kara mengawasi sekelilingnya, menebak kesempatan melarikan diri yang dimilikinya apabila laki-laki di hadapannya sekarang melakukan hal-hal di luar dugaannya. Nampaknya kebiasaannya melahap film-film detective memberikan pengaruh luar biasa terhadap tingkat ketakutannya. Taman yang terletak tak jauh dari kantor Walikota itu cukup lengang bila tengah malam berlalu. Lampu-lampu taman yang nyalanya telah renta, beberapa gelandangan yang memilih menutup lelahnya di bangku-bangku taman dan lalu lalang kendaraan mulai sepi pula, situasi yang tak terlalu menguntungkan bagi Kara.
“Lanang, itu namanku.”
Kara ragu-ragu menyambut uluran tangan laki-laki itu.
“Tidak apa-apa. Kau tidak perlu menyebutkan namamu kalau itu memberatkan hatimu. Sepertinya, ini pertama kalinya kau datang ke sini. Aku benar kan?” ucap Lanang seraya memasukan tangannya ke saku jaket hitam tebalnya. Menepis dingin.
Kara mengangguk.
“Biar kutebak lagi, kau ke sini karena kepalamu sedang dipenuhi banyak hal, bukan? Ya ya ya, tempat ini memang tepat untuk melarikan diri.” Lanang seolah menujukan kalimat itu untuk dirinya.
“Aku bukan melarikan diri,” potong Kara cepat.
“Benarkah? Lalu apa namanya barusan? Tak mau pulang ke rumah.” Lanang tersenyum simpul.
“Kau mengejekku?”
“Apakah aku terlihat sedang mengejekmu?”
Kara merasa tertohok, dalam hati mengumpat panjang mengapa ia harus bertemu lelaki aneh ini? Ia datang ke taman dengan harapan tak bertemu dan berbicara pada siapapun. Dihelanya napas sangat panjang.
“Sebenarnya apa yang kita cari dalam pelarian diri semacam ini? Tidakkah kau merasa kita terlalu picik dan licik karena telah melarikan diri dari apa yang seharusnya kita hadapi?” Laki-laki bernama Lanang itu kemudian berucap dengan nada letih.
“Harus berapa kali aku bilang aku tidak sedang dalam pelarian. Bisakah kau menyimpan semua rasa sok tahumu untuk dirimu sendiri? Mendengarnya membuatku sakit kepala,” cetus Kara tak bersahabat. Sama tak bersahabatnya dengan hatinya saat ini.
Lanang tertawa kecil.
“Kau gadis keras kepala. Apakah rumahmu tak senyaman lagi yang kau harapkan selama ini? Ahay, seharusnya rumah menjadi tempat pulang ketika dunia tak menghendaki kehadiran kita, bukankah seperti itu?”
“Sekadar mengingatkan, belum cukup sejam kita berkenalan kau sudah berpanjang lebar.” Kara mulai gelisah.
“Salah?”
Ya Tuhan, berasal dari planet manakah lelaki asing ini? Tanpa tedeng aling-aling langsung mengajaknya bercakap seolah mereka sepasang sahabat karib yang sudah lama tak bertemu dan kembali dipertemukan waktu untuk bertukar cerita. Aneh. Baiklah. Kara mencoba membuat sebuah kesimpulan, lelaki ini sedang ingin mengeluarkan apa yang memenuhi batok kepalanya. Berbicara sesukanya. Sia-sia belaka mencoba menahannya untuk diam. Menyingkir secepatnya dari situ akan lebih baik bagi Kara yang sedang tak butuh seseorang di dekatnya.
“Kau tak berniat pergi dari sini, kan?”
Dugaan Kara tepat. Lelaki itu mencoba menahan langkahnya ketika dilihatnya gadis itu bangkit dari bangku taman.
“Aku tak bernafsu bertengkar malam ini,” timpalnya.
“Kau lupa? Kita belum cukup sejam berkenalan. Tak sopan rasanya jika bertengkar sedini ini. Duduklah...”
Kara sepenuh hati menahan kejengkelan amat sangat di balik dadanya. Ia tetap melanjutkan laju kakinya. Sebentar lagi kepalanya serasa akan ikut meledak bersama emosi yang terakumulasi sempurna.
“Hari ini koran mengabarkan seorang gadis mati terbunuh di jembatan kota. Diperkosa dahulu sebelum direnggut nyawanya. Kau tidak takut berita serupa akan muncul di koran esok hari? Berkeliaran sendirian bukan pilihan tepat.”
Kara seolah tak mendengar. Dingin yang mencucuk tulang menyerang garang. Malam merembang dalam sunyi dini hari. Kemana ia akan pergi sepagi buta ini?
Lanang mengusap wajahnya yang memutih. Pucat tak terekam cahaya lampu taman. Orang-orang selalu membelakangi dan meninggalkanku.... Ia hendak merebahkan badan, tidur ketika telinganya mendengar tapak-tapak kaki bergerak menujunya.
“Aku bukannya takut berkeliaran sendiri ya....”
Kara berdiri tegak memeluk kedua buah bahunya. Setengah menggigil kedinginan.
Lanang tersenyum simpul.
Kecuali gadis ini....
---
“Kau benar. Aku lari dari rumah. Ah, lebih tepatnya menyingkir dulu dari sana.” Kara menerawang jauh.
Lanang mendengarkan seksama. Tatapannya lekat di wajah Kara.
“Aku bertengkar dengan Jen, bibiku. Aku lupa memberitahumu kalau ayah dan ibuku sudah almarhum. Yah, kau tak perlu memasang tampang kasihan. Aku baik-baik saja.”
Lanang tertawa. Gadis malang, batinnya. Walaupun ia sekuat hati menyembunyikan kesedihannya, menutupinya serapat mungkin dari mata siapa saja yang ia temui namun setiap kalimat yang dilontarkannya menunjukan jika ia sedang berusaha membuat tameng setinggi mungkin agar orang tak mengasihaninya dan sayang sekali, gagal.
“Kenapa kalian bertengkar?” tanyanya.
“Jen merasa seolah telah menguasai seluruh hidupku. Ia ingin aku mengikuti apa yang diinginkannya. Aku benar-benar muak menghadapinya.”
“Kau membencinya?”
Kali ini Kara terdiam. Terlintas wajah renta Jen di pelupuk ingatannya. Wanita yang sama sekali tak punya ikatan darah dengannya. Jen adalah sahabat karib almarhum ibunya. Saat kecelakaan yang merenggut hidup kedua orang tuanya, Jen lah satu-satunya orang yang bersedia merawatnya hingga detik ini. Kara menunduk. Hatinya berderak aneh. Apakah ia membenci Jen? Jen memaksanya mengambil beasiswa ke luar Provinsi dan mereka bertengkar karena itu. Kara merasa Jen sengaja membuangnya, menyuruhnya pergi lewat beasiswa itu. Barangkali Jen sudah tak sanggup lagi menampungnya, itulah yang ada di pikiran Kara sejak ia memutuskan pergi dari rumah beberapa hari silam. Mengelana di sudut-sudut kota. Ia sengaja tak menghubungi siapapun sebab Jen pasti akan menemukannya bila ia menginap di rumah teman. Saat sadar uang di dompetnya tak cukup lagi menyewa kamar penginapan, di taman inilah ia menggelandang malam ini dan bertemu Lanang. Lelaki aneh itu....
“Kau membenci Jen?” Lanang mengulang pertanyaannya.
“Jen tak menginginkanku lagi,” lirih Kara. Matanya hampir basah lagi.
“Kau sedang marah. Kau tahu? Saat manusia marah maka yang ada di depan matanya hanyalah kemarahan itu. Kau takut ditinggalkan, bukan begitu?”
“Entahlah.”
“Kita berdua orang seperti itu. Takut kehilangan dan ditinggalkan orang-orang di sekitar kita.”
“Lihatlah... kau mencoba sok tahu lagi.” Kara mencibir.
“Tapi ucapanku benar, kan?” serang Lanang.
Kara mengangkat bahu.
“Kehilangan terbesarku adalah ayah dan ibuku. Jika Jen menyuruhku pergi juga, aku tak punya siapa-siapa lagi.”
“Kenapa kau berpikir semata-mata Jen ingin membuangmu? Mungkin saja ia melakukan itu demi kebaikanmu juga. Seharusnya kau berterimakasih atas niat baiknya. Ingat, kau sedang marah.”
“Hei!” Tiba-tiba Kara berseru tertahan. Ditatapnya Lanang tanpa kedip.
“Ada apa?”
“Kita bahkan belum genap sehari berkenalan.”
“Lalu?”
“Bercerita panjang lebar seperti teman lama, bukankah ini aneh?”
“Tidak. Kita bukan alien, kenapa harus merasa begitu?”
“Tapi tetap saja aku merasa ini sedikit aneh,” ucap Kara pelan.
“Kau ingat tadi aku memberitahumu ada gadis mati terbunuh masuk koran kemarin? Kalau aku bilang orang yang membunuhnya sedang duduk di hadapanmu, kau percaya?” Lanang setengah berbisik membuat Kara menahan napas.
“Aku bukan orang yang mudah kau takuti dengan lelucon semacam itu. Kalau orang itu adalah kau, mana mungkin kau enteng saja menasehatiku ini itu dan membersamaiku selarut ini,” tepis Kara.
“Jadi kau tak percaya? Berarti kau tak perlu merasa aneh.”
“Kau tak punya tampang jahat.”
Lanang tercenung sangat lama. Raut wajahnya berubah.
“Ada dua jenis orang jahat di dunia ini yang aku tahu. Pertama, orang yang benar-benar sengaja menjadikan dirinya jahat dan kedua, orang yang tidak sengaja menjadikan dirinya jahat. Kau harus berhati-hati dengan yang kedua, orang-orang seperti ini seringkali tak terduga. Bisa jadi aku termasuk jenis orang jahat yang kedua itu,” pungkasnya bernada rendah.
“Kau belum menceritakan kenapa kau bisa datang ke tempat ini?” Kara tak memedulikan kesenduan dalam nada suara Lanang.
“Aku?”
Kara mengangguk. Menunggu.
“Aku membunuh seseorang. Mayatnya sudah dikuburkan dan aku masih melarikan diri. Aku takut. Aku tidak sengaja menghabisinya. Dia menghinaku seolah-olah aku ini sampah yang patut dibakar habis. Aku memang mencintainya tapi ia tak pantas menerima perasaanku. Di taman ini, aku membunuhnya.” Dingin suara Lanang.
“Astaga! Kau benar-benar pandai membuat lelucon mengerikan.” Kara merasakan seluruh kuduknya meremang. Merinding. Ia meringis. Tertawa sumbang.
Lanang terbahak keras. Sangat keras hingga memantul dalam keheningan dini hari. Membahana ribut. Ada sesuatu yang aneh perlahan menelusupi dinding hati Kara. Lelaki ini... membuatnya khawatir.
“Selamat. Kau gagal menakutiku...” Kara mencoba tertawa tapi tak berhasil.
“Tidurlah... Esok kau harus pulang. Temui Jen. Aku akan menjagamu malam ini, tidak akan terjadi apa-apa,” cetus Lanang kemudian lebih bernada perintah.
“Kita belum lama bertemu dan berkenalan. Bagaimana aku bisa percaya padamu?”
“Jika kau tak percaya, kau sudah meninggalkan taman ini sejak tadi dan sekarang kau masih di sini.”
Kara mendehem. Seharusnya ia menyadari lebih awal kalau Lanang tak bisa didebat. Kara Berbaring di bangku taman yang lembab oleh embun. Lanang mengawasinya dari bangku seberang. Jaketnya kini sudah berpindah menyelimuti separuh badan Kara.
Kara membuka matanya kembali.
“Namaku Kara. Aku percaya kau bukan orang jahat. Hatiku bilang begitu. Kau boleh menertawakan aku kalau kau merasa itu lucu dan sedikit lebay.”
Lanang mengulum senyum.
Malam itu, Kara bermimpi Jen datang memeluknya sangat erat.
---
Jen memang memeluk Kara. Keesokan harinya Kara terbangun dengan Jen di sampingnya. Suara tivi mendenging ribut di telinganya. Sudah pagi rupanya.
“Ah, akhirnya kau bangun sayang...” lembut suara Jen seperti tak pernah terjadi pertengkaran hebat di antara mereka. Riang betul kelihatannya.
Kara mengenali kamarnya sendiri. Pertanyaannya, kenapa ia bisa berada di sini? Bukankah semalam.... Lanang?
“Menjelang pagi, sebuah taksi mengantarmu ke rumah. Hampir saja aku menelpon polisi. Nak, kukira kau tak mau lagi kembali padaku. Kau tahu aku tak punya siapa-siapa selain dirimu. Maafkan kekerasan hatiku kemarin. Sungguh aku tak berniat mengusirmu dari sini. Aku benar-benar ingin kau bisa mendapatkan pendidikan yang memadai dan salah satunya adalah mencoba beasiswa itu. Tapi kalau kau tak menyukainya... aku tidak akan memaksamu....” Jen berpanjang lebar menjawab pertanyaan yang tersirat di paras Kara. Wajahnya menyiratkan penyesalan mendalam. Melihat itu Kara semakin merasa bersalah.
“Aku akan mencoba beasiswa itu....” ucapnya.
“Benarkah? Kau tidak menuduhku mengusirmu kan?”
“Maafkan aku, Jen.” Kara memeluk Jen. Sungguh tak ada tempat senyaman pelukan Jen. Wanita paruh baya inilah yang merawatnya sejak berusia sembilan tahun.
Mendadak mata Kara tertahan pada layar tivi yang menayangkan berita pagi ini. Sesuatu di sana menarik perhatiannya. Ya Tuhan.... Kara menutup mulutnya menahan teriakan kaget yang nyaris terhambur. Suaranya seperti orang tercekik.
“Ada apa, Nak?” Jen yang heran ikut mengarahkan pandangannya ke tivi. Berita kriminal. Sudah biasa menurutnya. Apa yang membuat Kara memucat?
“Pelakunya menyerahkan diri? Oh, syukurlah... aku ketakutan ketika ingat kau berkeliaran sendirian di luar sana sementara seorang pembunuh sekaligus pemerkosa seorang gadis masih berkeliaran bebas. Bagaimana jika ia bertemu denganmu? Hanya Tuhan yang tahu...” Jen terus saja berceloteh.
Kara merasakan matanya memanas. Sebentar saja air matanya mengalir deras. Dibenamkannya kepalanya di ketiak Jen. Hatinya kebas.
“Ya ya... bersyukurlah karena kau tak sempat bertemu laki-laki jahat itu....”
Air mata Kara menderas.
Bagaimana bisa Lanang bisa berada di sana? Di antara kawalan polisi, tertunduk rikuh dalam sorotan blitz kamera wartawan? Pembunuh? Pemerkosa? Ah, bukankah semalam ia dan Lanang tak sengaja bertemu lalu berbincang layaknya kawan lama? Laki-laki itu bahkan menasehatinya. Bagaimanalah ini? Seluruh persendian Kara menuju mati rasa.
“Kau masih ingat gadis yang masuk koran kemarin? Kalau aku bilang orang yang membunuhnya sedang duduk di hadapanmu, kau percaya?”