Senin, 23 April 2012

Selamat Pagiiiii

Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Pagi... Pagi... Apa kabar mimpi? Apa kabar hati? Are u gwenchana? *bahasa apa itu nak -_-
Oke, oke. Di pagi yang cerah nan dingin ini saya ingin cerita sesuatu. Bukan sesuatunya Syahrini lho ya. Kemarin saya dapet kabar dari group Cendol tersayang tercinta kalo saya dapet tiket gratis pendaftaran Kemah Sastra Nasional II! Wuuiiihhh, Alhamdulillah senangnyaaa! Siapa sih yang mau dapet gretongan? Pada mau kan? Udaaah... jangan malu-malu kucing gitu ah. Sebenarnya gak gratis juga sih karena tiket itu didapat dari hasil nulis paragraf alasan kenapa anak-anak cendol ingin ikut KEMSASNAS II, dan saya terpilih bersama empat orang lainnya gituuuu. Nah, kabar baik ini berarti membuka satu langkah jalan saya ke Bandung (tiap malem saya selalu bermimpi tentang ini). Udah ngebeeet pengen ke sanaaa, ketemu anak-anak cendol, ketemu Teteh, ketemu Aa`, ketemu semuanyaaa! Selanjutnya, tinggal mikirin tiket pesawat dan uang saku ke sana nih. Semangat! Harusss!! Bismillah...

Eeehhh, tau gak? Saya udah gak galau lagi loooh. Udah makin cakep dan makin kereen! Tuh kan, manusia itu emang punya siklus tersendiri dimana ada saat ia harus bersedih dan menangis, di lain waktu ada saat ia bisa tertawa lepas. Makasih Ya Allah... Hey kamu, teruskan hidupmu! Saya masih kangen Ibu ^^


Hanya Soal Waktu, Sayang...

Aku, perempuan.

Aku. Aku. Cukup.

Demikian saja paragraf-paragraf maya ini.

Aku punya pena. Aku punya buku. Aku punya kisah. Sendiri. Cukup.

Cukup.

Waktu akan menggilas lumat segala yang bermassa. Waktu. Hanya soal waktu, sayang.

Hanya soal waktu, kita terlindas dan habis!

Segala yang berdetak. Mimpiku. Aku tidak akan membuangnya sia-sia. Aku. Mimpiku.

Maaf.

Sabtu, 21 April 2012

[Catatan kecil] Januari-Desember 2010

Selamat tinggal, Jo. Aku pergi. Ke tempat yang tak akan bisa kau jangkau. Biar kita tak saling mencari. Cukup sampai di sini saja.
Ini bukan tentang benci apalagi marah. Lebih kepada penerimaan. Bahwa sejatinya, kau dan aku akan lebih baik jika menyusuri jalan berbeda. Kau di dalam ruang kotak-kotak yang sunyi dan gelap. Lalu aku, aku? Aku beringsut merenda kisah baru. Bersama angin sepoi. Tanpa namamu.

Selamat tinggal. Aku pergi, Jo...

=oOo=

Ning, aku merindukanmu. rindu bercengkrama denganmu. Aku kelelahan, Ning.



aku di sini, di bilik hening

meringkuk sendirian.

di luar huan deras sekali, rasanya aku akan membeku sebentar lagi...



Ning, kau dimana?

mengapa kau tak mencariku?

lonceng di gudang kita juga sudah tak bersedia berdentang untuk kita

apakah kau sudah melupakanku?



Ning, aku takut...

aku gemetar

lapar akan hangat matahari

haus celotehan ramaimu



Ning...

maaf, aku menangis lagi...



***

"apakah malaikat akan mendengar kan doa-doa kita?"

"tentu saja."

"benarkah?"

"Iya, ayo ucapkan doamu, nanti biarkan malaikat yang membawa doamu menghadap Tuhan, malaikat yang baik hati."

"... tidak, aku akan minta langsung pada Tuhan."

...

"Tuhan, jagalah hati kami, jagalah kami agar hujan tak terlalu ramah mengulum kami dalam badai. jagalah kami agar matahari tak terlalu ganas mencandai kami. kalaupun tidak engkau kabulkan. maka biarkanlah tangan kami tetap saling berpegang seerat mungkin. karena hanya dengan berdua kami kuat."



***

Ning....

=oOo=

Senandung hujan dipenghujung hari
mengundang aroma galau,
riuh lagi kelabu..
Menyisakan genangan tak berarus sesudahnya

sampai kering tanpa jadwal
sampai habis matahari menghirupnya
lalu, kapankah matahari tiba?

Cukup lama hujan singgah
kemudian pamit dgn geming
meninggalkan senja tanpa lembayung
telah dicurinya semarak penghabisan siang
kecuali mendung yang terus menggelayut manja
mungkinkah cemburu?

Kapan matahari tiba?

Sekarang malam berampas pekat
serasa-rasa tak berkantung udara
sekonyong-konyong datanglah sengau angin, merayu riang

malam terpekur
firasatnya tak enak
nampak pula di kejauhan di pucuk selatan
segerombolan hujan tergopoh-gopoh menujunya..
Aih, rupa-rupanya hujan sudah tk bersantun lagi
sesukanya saja datang menyerbu

gemuruhlah atap-atap seng dan rumbia dirumah-rumah kampung itu
padu padan dalam melodi musim basah

musim apakah ini?
Jejangkrik mengungsi cepat-cepat

malam tertikam
menggigil dingin tanpa lelap
kapan matahari tiba?
Entah siapa yang bertanya...

(Kabaena, Agustus 10')

Bapak, Dakosi Sehati?

Laki-laki yang tidak pandai menunjukan kasih sayangnya lewat ucapan. Tapi kami tahu, sangat tahu kau menyayangi kami lebih dari apapun. Bapak, miss u more than word ^^




Transisi, Delusi dan Kartini *Lho

Malem Ahad nongkrong di kamar ditemani setumpuk bacaan dan beberapa deadline cerpen. Indahnyaaaa... Belum lagi jeda menunggu hujan meteor lyrid yang bakal jatoh rame-rame antara pukul 20:00-05:00 WIB. Penasaran euy gimana ramenya langit.
Harus saya akui dengan sangat lapang hati, banyak betul kejadian-kejadian selama sepekan ini yang membuat saya takjub dan terpekur. Hey, Non! Kamu gak pernah gak keren *Gubraaak* Siapa tuh yang jatuh! hahaha
Emang bener kok! Kalo bukan saya sendiri yang ngaku-ngaku siapa coba? Bangun pagi, baca buku, ngelakuin hal-hal yang menurut saya penting untuk saya kerjakan, silaturrahim dengan sodara-sodara, ketemu orang-orang baru, kawan-kawan baru. Ye ye ye! Semuanya itu mendatangkan inspirasi tanpa batas.

Dua malam lalu Teteh ngirim sms, kurang lebih isinya kayak gini :
Semua luka yang yang tak sanggup membunuh sesungguhnya menguatkan hingga ke sel paling tersembunyi ingatan!

Makasih Teh.

Apa sih yang gak berubah dari hidup selain perubahan itu sendiri? Okelah ya, saya sempat dan memang belum cukup berani untuk bilang `kamu udah bebas dari intaian mata saya`, Tapi mau sampai kapan saya memupuk delusi amatir itu? Saya harus jawab. Jangan berlama-lama, Fila!
Dan emang gak perlu waktu lama.

Ini transisi kedua saya setelah enam tahun lalu terseok-seok di tanah yang sama. Jatuh di tempat yang sama adalah salah satu kenyataan yang sering diidentikan dengan orang bodoh. Udah tau pernah jatoh di situ, kalo lewat lagi mestinya udah tauk lah itu tempat yang sama dan jangan ampe jatoh lagi dong! Dalam konteks ini, akibat saya yang bebal makanya jatohnya di tempat itu juga. Saya bodoh? Mungkin. Oke saya bodoh. Kita sepakati bersama, bodohnya saya adalah karena gak mau memedulikan pelajaran masa lalu itu. Udah tau tapi pura-pura gak tau. Komplit, nak. Nah, setelah saya sadar kalo saya bodoh, lalu apa? Itu urusan pentingnya. Tindakan yang mengikuti kesadaran itu semestinya haruslah konkrit dan gak mencla-mencle, mau gak mau, niat gak niat. Apes bener ni manusia atu ;D

Kita sering gak yakin dengan diri kita sendiri. Mengantongi berjuta pengalaman tapi emoh berdamai dengan pengalaman jika di kenyataan apa yang diinginkan ternyata bertolak belakang dengan yang seharusnya (saya ngomong apa iniii?).

Malam ini saya nyadar (lagi, entah besok) yang memerihkan gak bikin saya mati hanya menangis. Asal jangan berhenti berpikir, membaca dan menulis maka sepanjang itu perjuangan gak akan terhenti. Transisi ini membutuhkan pengorbanan. Hati, air mata, lelah. Saya gak kuatir karena saya manusia. Gak ada hal yang berlangsung sia-sia. Sesederhana apapun itu.

Hari ini, Kartini di lahirkan ya?

Semoga perempuan-perempuan Indonesia terus berjaya, kreatif dan paham posisinya sebagai partner hidup laki-laki ^^ *pengen nulis tentang ini ah

Jumat, 20 April 2012

Ibu...

Bu... Aku rindu. Bu, apa yang tidak kau ketahui tentangku? Ibu tahu semuanya. Bu, mereka tak percaya aku pun bisa berubah. Aku bisa berubah tidak temperamen lagi, aku bisa berubah tak sekelam dulu, aku bisa berubah lebih banyak tersenyum, aku bisa berubah ramah, aku bisa berubah. Iya kan, Bu? Ibu percaya padaku. Hanya Ibu yang selalu percaya padaku tak peduli di luar sana menghujatku. Hanya Ibu.

Bu, aku menangis. Aku rindu Ibu. Kenapa tak ada yang benar-benar percaya padaku? Lalu salahkah bila kemudian aku merasa tak nyaman dengan mereka? Ibu tidak pernah memberiku ceramah, ibu tidak pernah memberiku nasehat, Ibu tidak pernah. Ibu percaya padaku. Orang sepertiku ini, dengan apakah agar aku merasa aman? Jauh darimu membuat sekujur tubuhku dingin. Aku berteriak di bawah tekanan bantal di wajahku. Berusaha meredam suaraku sendiri. Aku pada siapa menyuguhkan cerita jika semuanya selalu merasa aku orang sakit? Atau barangkali aku memang orang sakit?

Bu, doakan aku...

Dan aku memilih bungkam. Aku tak butuh bercerita. Dunia tak butuh rengekanku.

Rabu, 18 April 2012

Episode Bertahan

Sebelum cahaya kau menemukanku...
Sebelum rindu sempurna membungkus hatiku, kau menghilang
Ada apa dengan harapan kita?

K A C A U

A : Kamu akhwat?
B : Bukan, nama saya Fila.
A : Gak, maksud saya kamu ikut tarbiyah kan? Itu loh...
B : (Kalem) Iya. Bener.
A : Boleh nanya sesuatu?
B : Boleh asal jangan yang susah ya nanyanya, saya agak lemot soal matematika *ditabokin
A : Nggg... Kalo kamu akhwat, kok tulisan-tulisan kamu gak akhwat banget siiih??
B : *Jetlag eh terpana maksudnya*

Saya : *buat bahan renungan. Emang kalo akhwat gak boleh apa nulis yang diluar ituu? Kita punya cara tersendiri untuk menyampaikan kebaikan, bukan? Gak mesti harus dengan... ah sudahlah. Saya kuatir jadi munafik dengan tulisan-tulisan yang saya tidak cukup punya pengetahuan mendalam tentangnya *nyesek* Maapin saya Ya Allah... (sambil ngemil cokelat)

Puisi Soe Hoek Gie

Selasa, 11 November 1969

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza

Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku,
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandala wangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu,

Mari sini sayangku,
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau lawan yang mendung

Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak `kan pernah kehilangan apa-apa

(Catatan Seorang Demonstran, hal 432)

SEBUAH TANYA

“Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. Tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“Apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. Seperti kabut pagi itu)

“Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

Senin, 16 April 2012

Iseng

Memories

Saya gak akan lupa dengan gambar ini. Percakapan sebelumnya. Inspirasiku. Semuanya. Karena kita keren hahaha. Harus tetap baik-baik saja! Wokeh!


Kapan yak bisa ngobrol ngalor bebas lepas lagi?

Stresss....

Anak ilang di Laboratorium Genetika





Sambil nungguin Praktikum Mikrobiologi kelar dan Ukhti Tya  nongol di Laboratorium, saya ngejeplok di antara meja praktikum. Iseng. Gak tau kenapa seharian tadi bawaannya lelah. Jiwa narsis saya yang sangat rendah pun naik ke permukaan. Buat foto Profil kata saya yang langsung disambut cengiran gak percaya dari temen. Gak percaya dia kalo saya yang gak imut ini pun punya secuil minat narsis.  Sandal jepitku sayaaaaaaang ikutan kejepret.  Benar-benar postingan gak penting ^_____^










Minggu, 15 April 2012

K O M A

Batang waktu yang melapuk. Ada rinduku pada diameter tahunnya. Aku bilang selalu ada jeda di antara kita dan kau pun mengamininya. Aku tidak mengerti kenapa pagi ini, aku mengkhianati aturan yang aku buat sendiri. 

Monolog. 

Aku dengan diam yang menanak matang air mataku, memuarakan sesak yang tak punya jalan kembali. Ia melanglang buana. Sendirian. Manalah mungkin aku sanggup membuang sepatnya kehilangan di jalan-jalan ramai, jika setiap malam yang menua aku menemukanmu sedang mengamati mataku lewat pikiranku.

Ada yang beranjak pergi saat datang. Ada yang memekik luka saat tertawa. Ada yang memilih berlari saat sadar diam hanya akan menggunungkan perih. Dan aku memilih berdiam di sini, menyapih jejakmu yang tertinggalkan waktuku. -Selalu ada jeda di antara kita.

Kamis, 12 April 2012

Doa

Aku memelukmu lewat doa-doa

Sembari menunggu kabar dari langit
kapan waktu itu tiba dari perjalanan jauh
Menunggui kita yang (akhirnya) berjumpa di persimpangan 

Menuju jalan besar nan rumit sambil bergenggaman tangan...

Dear Langit... Hari Ketiga

*Benerin senyum sebelum mulai ngetik...

Ehmmm... Testing satu, dua, tiga... Oke. Mulai!

Damai itu indah lho... suer! Gak percaya? Coba aja tanya sama anaknya. Emang dia punya anak? Ergh, kita lagi ngebahas apaan sih? Tauk. Gubrak! *Dikeroyok massal.

Okeh oke, balik ke topik. 
 Damai. Ketika mendengar kata ini apa yang terbersit di pikiranmu? Tenang? Iya. Gak ada keributan? Yup. Semua hidup berdampingan dan saling tolong menolong, bergotong royong, saling menghormati. Ahaaa... persis ajaran buku PPKN jaman SD :D
Menurut KBBI online, damai berarti tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, tidak ada perang, tentram tenang. Menurut saya, saya setuju dengan KBBI online :D

Damai. Kali ini saya mengkhususkannya dengan hati. Bagaimanakah suasana hati yang sudah sanggup memetakan damai dengan sempurna? Pastilah menyenangkan. Bangun pagi dengan perasaan plong setelah semalam kelar menyusun rencana sehari itu. Menjalani hari-hari tanpa dengan kelegaan setinggi harap. Keren ya? Iya. Saya juga ingin seperti itu. Tak hanya merasa aman ketika berada di keramaian juga merasakan hal yang sama saat sendirian di kamar. Jujur, walaupun saya sangat suka kesunyian, di lain kesempatan lingkup sunyi sering membuat saya menggigil haru. Menangis sendirian mengingat itu.

Hari ketiga perjuangan saya mendamaikan hati dengan si `perusuh` perlahan-lahan menunjukkan hasil. Inilah yang dinamakan proses. Melewati detik-detik menyiksa (kata saya) yang ternyata sangat membantu jika saya mau sedikit sabar. Menikmati setiap sesaknya sebagai akibat dari `kenakalan` saya kemarin-kemarin itu. Hei, lihat! Tidak ada yang berlangsung sia-sia, kan? Hubungan sebab akibat bermain di sini. Saya memantik api, terbakar, lalu berusaha memadamkannya. Ya, sekalipun padam toh jejak kebakaran mengabadi. Hati mencatat setiap detailnya. 
Akibat adalah resiko dan tanggung jawab. Kita gak akan pernah lepas dari itu. 

Damai itu indah lho... apalagi kalo kita mencari subjek yang tepat untuk mendamaikan hati. Siapa lagi kalo bukan Allah? Gak ada tempat berlari selain Allah. Nah, bebalnya kita terlihat di sini. Kita lebih sering berlari pulang kepada Allah jika dunia menghajar kita hingga babak belur. Kita hanya mau mengamini kalo kita punya Allah saat kepentok masa-masa sulit. Kita hanya mau mengakui kalo kita gak sanggup berjalan sendiri tanpa petunjukNYA ketika air mata kesedihan membanjir gara-gara  ditimpa masalah berat. Kita hanya... ahhhh... Hanya ketika...

Dear langit...

Tapak-tapak perjuangan akan selalu tertoreh sampai akhir. Tetap doakan ya? ^__________^




[Song Of The Week] 93 Milion Miles-Jason Mraz

Saya gak mengikuti perkembangan musik baik Indonesia maupun barat sono. Trus semalam ada temen yang nge-twitt lagu ini versi Youtubenya. Saya sukaaaa sama lirik & MV-nya. 

Makna yang saya tangkap dari liriknya bahwa sejauh apapun kita berjalan, bepergian, melanglangbuana ke tempat-tempat asing, kita gak pernah sendirian dan pasti bakal balik pulang ke rumah. Bertemu Ibu & Ayah ^^
Ini dia lirik lagunya 
93 Milion Miles-Jason Mraz

93 million miles from the Sun, people get ready get ready,
’cause here it comes it’s a light, a beautiful light, over the horizon in to your eyes
Oh, my my how beautiful, oh my beautiful mother
She told me, “Son in life you’re gonna go far, and if you do it right you’ll love where you are
Just know, that wherever you go, you can always come back home”

240 thousand miles from the Moon, you’ve come a long way to belong here,
To share this view of the night, a glorious night, over the horizon is another bright sky
Oh, my my how beautiful, oh my irrefutable father,
He told me, “Son in life it may seem dark, but the absence of the light is a necessary part.
Just know, that wherever you go, no you’re never alone, you can always get back home”

You can always get back…back…
Every road is a slippery slope
There is always a hand you can hold on to.
Looking deeper through the telescope
You can see that the home’s inside of you.
Just know, that wherever you go, oh no you’re never alone, you can always get back home

You can always get back home…
93 million miles from the Sun, people get ready get ready,
’cause here it comes it’s a light, a beautiful light, over the horizon in to your eyes…

Download MP3  di sini

Music Video ^^




Source: Lirik Lagu Indonesia, Youtube

Rabu, 11 April 2012

Dear Langit.... Hari Kedua

Nikmatnya sebuah perjuangan justru akan terasa sangat berarti ketika kita sanggup menyelesaikan ujian demi ujian dengan sabar... Tapi, sampai dimana batas kesabaran itu? Kadang, belum separuh jalan sudah menguap dan menggugat. "Ini terlalu sulit, Tuhan..."

Nampaknya saya harus bersabar... *Emang kudu musti wajib itu mah :)

Dear Langit....

Hari kedua, aku gagal lagi. Besok nyoba lagi. Lagi. Lagi. Sampai jawabannya pasti. Hidup harapan!! *Tepok dinding

Ciiiieeee yang gak mellow lagi.... ^__________^

Si Aa` dari Tanah Sunda

Izinkan aku tersenyum sejenak sebelum menuliskan rentetan cerita tentang dia. Aku pertama kali `bertemu` dia di dunia maya melalui rute ketidaksengajaan. Kala itu (seraya menerawang), aku memilih nge-tam di warnet selama berjam-jam. Kepenatan merangsek ragaku. Aku kelelahan setelah mengikuti kuliah beruntun di hari itu. Begitu memasuki Om GOOGLE, segera kubuka akun Facebook ku. Secara acak membuka-buka akun milik teman. Aku tertarik dengan sebuah akun. Abrag Halimun Wilarman. Ada sesuatu yang menggelitik mataku. Yeah! Foto profilnya. Tahukah duhai kawan? Sejak dahulu, ketika aku masih di kampung halaman, aku begitu tergila-gila pada petualangan. Melalui sebuah novel karya anak negeri, ku nikmati obsesiku. Aku berharap kelak dapat menjelajahi gunung-gunung seperti yang di ceritakan dalam novel tersebut.

Lantas, apa hubungan obsesi naik gunungku dengan foto profil Abrag Halimun Wilarman? Aku jatuh cinta pada foto profil Aa` (dia lebih senang dengan panggilan itu. Katanya biar makin mantabh sebagai saudara, hehe). Dalam foto itu, nampak Aa` sedang membelakangi gunung dengan tangan terentang lepas. Subhanallah, aku benar-benar tersihir (lebay). Bukan pada oknum yang menjadi pelaku utama dalam foto itu, melainkan objek lain. Pemandangan alami di belakang Aa` lah yang menariku untuk meng-add dia. Otakku bereaksi cepat. Aku yakin, Aa adalah seorang pecinta alam. Belakangan dia meralatku, bukan pecinta tapi penggiat. Well, pecinta atau penggiat kupikir sama saja. Point pentingnya adalah aku berkawan dengan seorang anak penggiat alam. Hihi,,. Sekalipun belum pernah mendaki satupun gunung di bumi Pertiwi ini, tetapi mendengar langsung kisah para pendaki sudah cukup mengobati obsesiku. Belum lagi bila aku melihat foto-foto mereka, wuiiiih.

Singkat cerita, mulai lah aku membuka percakapan dengan Aa` lewat chatting maupun komentar-komentar di status. Biasalah. Aku berani menilai Aa` adalah orang baik. Orang baik kan relatif tuh, tapi baiknya si Aa` di atas relatif, merasakan betapa ramahnya Aa` padaku meskipun hanya lewat sapaan dunia maya (katanya orang Sunda pada baik dan ramah-ramah).

Aku lupa detail waktu ketika aku nekat mengirim pesan ke inbox Aa`. Sore menjelang azan maghrib, aku pulang dari kampus. Kecamuk menggusur ketenanganku. Inilah tipikalku. Begitu banyak tabungan masalah yang kubiarkan menggenangi hatiku. Bukannya aku tak berniat menyelesaikannya. Hanya saja aku tidak tahu jalan keluar mana yang harus ku tuju. Pelarianku : warnet dekat kost-an ku. Kebetulan aku sedang libur shalat. Air mata yang mendesak keluar, sesak yang terpendam, aku benar-benar lelah. Jasmani dan batin. Belum lagi masalah-masalah yang ku hadapi di kampus, dengan beberapa kawan hingga masalah yang datang dari diriku sendiri. Saat itulah aku nekat menulis pesan singkat padanya berisi teriakan frustasiku, kemarahanku, kekesalanku, semuanya. Sambil menangis tentunya. Beruntung warnet sedang sunyi. Bila selama ini aku tidak pernah membuka suara tentang masalahku pada orang-orang terdekatku maka kala itu, aku memilih meneriakannya pada seorang yang tak pernah ku jumpai dalam cerita nyata. Orang lain mungkin akan menyebutku bodoh atau apalah, terlebih dia adalah seorang laki-laki. Begini-begini aku tahu batasan perempuan dan laki-laki dalam agamaku.

Lihatlah apa yang terjadi kemudian. Sederet nasihat terdalam mengalir padaku dari seseorang yang jauh. Aku terharu, padahal kupikir sebelumnya dia mengabaikanku, peduli amat sama orang abu-abu, nggak jelas, dari seberang pulau Sulawesi sana, nggak ada untungnya (ini hipotesaku). Nyatanya tidak, walaupun kutegaskan dalam pesan singkatku aku tak perlu balasan, aku hanya ingin mengeluarkan sesak yang memenuhi rongga dadaku. Ia memberiku masukan. Dari situlah kami mulai akrab. Dalam sebuah percakapan yang tidak formal aku di sahkannya sebagai `adik`nya. Baru ku tahu rasanya memiliki seorang Kakak laki-laki (aku anak tertua dari 4 bersaudara, 3 perempuan dan 1 laki-laki). Jika ada kesempatan, dia selalu menanyakan kabar, kelancaran kuliahku dll. Yah, tentu saja aku masih rajin mengrecokinya dengan segunung masalah-masalahku. Dan dia belum kapok juga meladeniku. Hehe...

Untuk Aa`, ku ucapkan beribu terima kasih atas kelapangan hatimu. Menerimaku sebagai adikmu yang kesekian. Semoga allah selalu menyayangimu. Untuk orang yang selalu memberiku motivasi dan inspirasi. Untuk orang yang selalu memberiku pencerahan lewat percakapan-percakapan kami. Untuk orang yang menjadi jembatanku `bertemu` dengan saudara-saudaraku yang lain. Jika ada kesempatan bertemu kelak akan ku tagih janjimu mengajakku naik gunung. Doa yang paling sering ku sampaikan pada Allah adalah : semoga Aa` lekas menikah dengan si teteh yang matanya sipit (cihuuuuiiii). Orang Kendari menunggu Undangan ya...

*Tulisan ini menjadi juara pertama dalam lombaBest Friend Group Kepenulisan di Facebook, UNSA taon 2010.
*Kupersembahkan spesial untuk Ka Abrag Halimun Wilarman. Persaudaraan yang tidak pernah putus. Semoga sampai akhir kelak.

Setelah sempat ilang beberapa waktu gara-gara kesibukan, Ka Abrag nongol lagi dan ngirimin kamus bahasa Sunda buat sayaaaa.  Ceritanya sih buat kado milad saya November kemarin yang baru bisa dikirim sekarang. Yes! Pak Pos cepatlah datang... saya menunggu dengan sabaaarrrr :D

My Brother ^^

Angin dan Layang-layang

Angin
Layang-layang
Bawa aku pergi ke tempat-tempat berembulan merah menunggangi hening

Angin
Layang-layang
Cepat, bawa aku pergi...

H I L A N G

Hening yang bening di mata malaikat malam
jatuh ingatan ke suatu jeda yang dingin..

Maka akupun terjaga..

Aku sudah menemukannya..

Yang hilang itu bukan musnah
yang pergi itu bukan patah
yang tertinggal ini bukan sisa
yang di lupakan itu bukan sakit
dan aku bukan mimpi!

Ingatlah, ini bukan gerimis penghabisan
Lagipula, mestinya aku membaca horizon langit
Surat-surat itu ada di sana..

Tersenyumlah...

11-04-2012

Ambil! 
Bawa pergi semua ini dari mataku!
Asingkan ke tempat jauh di mana jamahan pencarianku takkan lagi sanggup menuju
Agar sanggup kutakar makna kehilangan
Agar elegi lengah mengikutiku 
Agar nyaliku bisa berteriak bebas ; kau merdeka, sayangku!
Agar damai lebih cepat terikrar di kotak waktuku
Ambil!
Lucuti sampai tandas!
Duhai... Kau yang tak sengaja menawanku
Merdekalah dengan jiwamu
Dan ambil aksaramu dari Amygdala-ku....

Ajari aku sebenar-benarnya kerelaan, Tuhan

KB
(Di suatu hari yang sejuk, kita -akan-  duduk menikmati senja dalam keheningan kopi & gerimis)

Senin, 09 April 2012

Dear Langit....

Dear Langit...
Apa kabar?

Aku datang membawa cerita yang aku tahu kau pun sudah melihatnya. Menyaksikan bagaimana aku terseok-seok... Saat malam merangkak menuju dini hari, aku sendirian dengan tangisku.
Lewat berbulan-bulan dan masih tetap sama rasanya. Sesak memenuhi ruang hampa di sini. Di bilik jantungku. Aku tidak akan pernah bisa berbohong padamu. Selamanya. 

Dear Kaliandra...

Apa kabarku?

Ini hari pertama dari sekian banyak hari pertama yang kumulai di belakang. Aku selalu menganggap hari pertama walaupun yang kujanjikan belum juga bergeser dari tempat yang tak seharusnya ia ada di sana.

Dear Langit... Doakan aku ya... ^^

Pagi Untuk Kaliandra

Ya. Saya berharap pagi ini menjadi titik mula `perjuangan` saya menemui ketenangan. Mengapa saya memilih pagi dan mengapa hari ini? Bukan sejak kemarin-kemarin saja? Ah, semua punya cerita dan jalannya masing-masing. Sebutlah ia proses. Saya mengaku inilah proses untuk saya memahami makna memaafkan dan menerima. Memaafkan karena saya dilupakan dan memahami mengapa saya harus dilupakan. Terkadang saya memang rada saklek. Ngotot dengan apa yang saya pikirkan padahal apa yang saya pikirkan dan inginkan sudah barang tentu tak akan selamanya sejalan dengan apa yang orang lain pikirkan. Ya iyalah. Kita diciptakan dengan konsekuensi berbeda. Sebuah labirin nasib.

Walaupun hati saya masih rusuh, di pagi ini saya mencoba memulai (selalu seperti itu setiap pagi kembali datang). Lagi dan lagi, saya tidak pernah melewatkan pagi tanpa doa, semoga perdamaian tercapai nun jauh di dalam sana. Saya tidak akan menyerah. Mengapa pagi? Sebab Allah menyimpan janji-janji baik di bawah langit subuh. Waktu Dhuha yang khidmat menuju pengharapan kepada Allah. Bukankah Allah selalu menepati janji dan Allah Maha Pelindung? Dialah sebaik-baik penolong... Hasbunallah wa ni`mal wakiil. Ni`mal maulaa wa Ni`mannashiir....

Jika manusia bebal dan tak tahu diri maka Allah sendiri yang akan menunjukan jalan agar kesadaran tetap berada pada koridornya. Jika manusia mengaku mencintai Rabb-nya, Maka Allah akan menunjukan jalan agar konsekuensi mencintai menemu hati : kesetiaan.

Saya sedang belajar menjadi baik. Baik-baik saja...
KB

Minggu, 08 April 2012

Pe-er Buat Fila

Jreeeeeengg...! Udah masuk Senin lagi!! Dan saya punya waktu luang yang lowooong gara-gara di kampus udah gak sengeksis dulu *sejenak inget penelitian dan proposal yang ngegantung di pojok waktu :(

Dee dalam cerpennya Elektra, kurang lebih mengatakan bahwa waktu yang terlalu luang adalah kemiskinan dalam bentuk lain.
Dan saya mengaminkan itu.

Jadi pekan ini saya mau ngelakuin beberapa hal, bolehlah nganggap ini tugas. Bukan tugas kuliah siiiihh, tapi tugas ngejar deadline beberapa lomba cerpen. Di antaranya sebagai berikut :

1. Lomba Galaxy Cinta yang diadain penerbit Diva Press. Bagi yang tertarik silahkan tengokin di sini. Buruaaaaan! gak bakal rugi dah ngikut nih lomba *ngomporin versi Cheeleader

2. Lomba menyambut Hari Pendidikan Nasional yang diadakan FLP Makassar dan ini informasi lombanya, Cekidot di sini

3. Lomba FSLDKN bagi LDK se-Indonesia

Daaaaannn... Bismillah. Semoga Allah meridhoi. Aamiin :)

Matt and Me

Malam mingguan bareng Matt!
Akhirnya setelah sekian lama dilamun air mata si muka bulet manis itu bisa berlega ria. Well, saya sebagai orang terdekat tentu saja ikut bahagia. Selama menjadi wadah penerima segala rupa curhatan dia, cuman satu doa saya yang paling sering saya ulang : Ya Allah, tolong kembalikan Matt yang saya kenal dahulu. Saya miris liat dia jatuh bangun untuk satu masalah yang terlambat ia antisipasi. Sangat terlambat.
Dan doa saya diterima *pede amat saya.
My Matt is back!
Yeah. Tapi saya gak sedang membahas kisah Matt yang mengharu biru dan bikin hati saya sesak gak abis-abis, pengen saya timpukin sandal jepit tuh oknum penoreh luka. Biar Allah aja yang membalas susuai takaran yang semestinya. Allah kan Maha Adil J dan saya hanya bisa mendoakan demi ketenangan hati Matt.
Back to topic!
Setelah nangkring makan di sebuah lokasi (rahasia), kami mutusin singgah bentar di Gramedia. Biasa, nengokin kali aja ada buku baru (nengokin doang belom tentu beli). Seperti yang udah lewat, tampang melas alias giler saya kambuh waktu liatin novel-novel keren tergeletak dengan pasrah di rak-rak buku menunggu jamahan tangan halus saya ini *huuueeek. (Emaaaaaakkk anakmu pengen punya duit buanyak biar bisa beli buaaanyyak pula buku).
Matt ngikik liat polah saya ngejeplok di depan rak novel sambil menjejerkan tiga buah novel yang udah lama saya taksir. Bumi Manusianya Pramoedya AT, Eliananya Tere-Liye dan Bunga Cantik di Balik Salju karya T. Andar. Saya berada di antara tiga pilihan rumit dan saya cuman bisa beli salah satu di antara itu. Setiap bulan saya memang selalu berusaha menargetkan membeli satu buah buku. Tapi berhubung bulan ini banyak pengeluaran dadakan jadinya saya harus me-rem semua rencana saya membeli ini-itu (buku dan beberapa potong jilbab). Gak mungkin lah saya ngikutin rencana itu, bisa jebol isi dompet ijo lumut saya. Belum lagi adik saya yang kuliah semester satu lagi dalam masa pengobatan, otomatis saya sebagai kepala/ibu rumah tangga bagi kami berdua (anak rantau ceritanya neeh) kudu jeli mengelola duit. Jangan sampe ijo lumut saya udah keburu ko`it sebelum bulan baru masuk. Mau napas pake apa dong? Pake batu? Hehe...
Setelah menempuh perenungan dalam (gak pake istikharah segala), saya mutusin beli novel DUA karya Donny Dhirgantoro! Nah lho! Lain yang diharap lain yang dituju.
Yayaya.... pilihan saya jatuh pada novel fresh n` terbaru dari Kang Donny. Saya udah kenal duluan karya beliau lewat novel motivasi-persahabatan-mimpi- cinta, 5 CM yang kereeeeen bangetttt. Satu-satunya yang menjadi pertimbangan saya adalah stok novel DUA tinggal satu-satunya. Sementara ketiga novel yang saya sebutkan sebelumnya stoknya masih lumayan banyak yang dalam pikiran jernih saya, kalo saya nabung buat bulan depan atau bulan depannya lagi, Insya Allah bukunya bisa kebeli :D. Kalo gak ada di Gramedia kota saya kan bisa pesen lewat temen-temen di Jawa sono.
Alhamdulillah koleksi buku saya nambah satu lagi. Insya Allah niat saya bikin perpustakaan pribadi makin deket pula. Selain bermimpi jadi penulis yang berguna bagi agama, keluarga, sahabat-sahabat, nusa bangsa dan dunia, keliling dunia sebagai backpacker,  saya juga kepengen punya perpustakaan. Makanya kalo beli buku saya mikir berulang kali kira-kira buku yang saya beli itu bisa gak ya dinikmati semua orang alias bisa memberi manfaat bagi orang lain yang baca.
Makasih Matt, udah nraktir saya, itung-itung ngirit ongkos makan malam (otak anak kost-an). Seumur-umur kuliah di tanah orang baru kali ini saya diajak malam mingguan pake acara makan n` jalan-jalan ke tobuk segala. Paling banter makan di warteg, noraaaaak. wkwkwk.... anak mahasiswa ini.
Siapakah Matt?
Matt ini sahabat saya dari jaman batu sebelum masehi *teteup lebay dipiara. Udah sembilan taon sama-sama. Susah senang dibagi bareng. Kalo satu jatoh yang satunya bertugas menopang dan membantu bangkit kembali. Saya sangat menyayangi dia, saking sayangnya saya ikhlas aja nama saya dipreteli jadi Jimm. Dan Matt, bukan Matt Solar, Matt Bajaj Bajuri, Matt Centrik dan Matt-Matt lainnya. Dia adalah Perempuan. Lalu kenapa harus pake nama Mattt? Ceritanya panjang, butuh waktu ekstra dan sedikit penghayatan yang dalam untuk bercerita *lempari saja saya buah salak kalo gak tahan saya berlebay garing. Kapan-kapan saya bakal cerita kok mengenai riwayat Matt-Jimm ini.
Hoaaaaammhhh, sebelum saya melayarkan perahu ke pulau kapuk izinkan saya berdoa untuk Ibu  yang berada nun jauh di rumah panggung  di seberang pulau sana, semoga hujan gak sering-sering numplek di malam hari biar besoknya Ibu bisa pergi ngajar dengan aman. Habis, kalo hujan deres malam, besoknya kan tuh jalanan becek cek gak ada ojek dan licin, gak aman buat pejalan kaki seperti Ibu yang lebih memilih berjalan kaki pergi-pulangnya ke sana. Sekolah dasar tempat Ibu ngajar jauuuuuuh bener dari rumah, harus melewati hutan dan kebun-kebun penduduk, ditambah lagi kondisi jalan yang sempit dan tejal diperparah bila hujan turun.
Semoga Allah jagain Ibu ya.... ^^
 *N.b : - Tulisan ini dibuat udah lama dan baru diposting sekarang. Saat postingan ini diturunkan saya udah baca Tetraloginya Pramoedya yang Bumi Manusia. Sumpah, keren! Top markotop dah. Ah... akhirnya kebaca juga. Udah dari kapan tau saya ngidamin karya-karya Pram. Oya, sekarang Matt udah move on. Udah sembuh dia! Alhamdulillah *sujud syukur :D

[C E R P E N] PADA SUATU MALAM


“Aku tidak akan pulang!” Kara berteriak keras seraya mematikan ponselnya. Wajahnya menyiratkan kegusaran. Kara tak menyadari sepasang mata bulatnya sudah dibasahi titik bening. Ia duduk memeluk lututnya. Jika tak sadar bahwa ia tak sendirian di tempat itu, ia sudah berteriak sekencang-kencangnya sejak tadi. Malam sudah beranjak tua dan ia masih bertahan sendirian di taman itu. Mendekap dingin bersama sederet keruwetan yang memenuhi kepalanya.
Aku tidak akan pernah pulang! Tidak akan!
Entah sudah berapa kali ia melontarkan kalimat itu. Sepanjang minggu ini, sepanjang hari, setiap kali ingatannya menyentuh rumah.
“Suaramu bisa membangunkan semua gelandangan di sekitar sini.”
Suara berat di belakang punggungnya memaksanya menoleh. Kara segera menghapus air matanya.
“Kau siapa?” Kara waspada. Ia sudah sering mendengar kekerasan yang meningkat tajam di kota ini beberapa bulan belakangan ini.
“Aku sama sepertimu, datang ke tempat ramai untuk melarikan diri.” Laki-laki asing itu melangkah mendekati Kara.
Kara mengawasi sekelilingnya, menebak kesempatan melarikan diri yang dimilikinya apabila laki-laki di hadapannya sekarang melakukan hal-hal di luar dugaannya. Nampaknya kebiasaannya melahap film-film detective memberikan pengaruh luar biasa terhadap tingkat ketakutannya. Taman yang terletak tak jauh dari kantor Walikota itu cukup lengang bila tengah malam berlalu. Lampu-lampu taman yang nyalanya telah renta, beberapa gelandangan yang memilih menutup lelahnya di bangku-bangku taman dan lalu lalang kendaraan mulai sepi pula, situasi yang tak terlalu menguntungkan bagi Kara.
“Lanang, itu namanku.”
Kara ragu-ragu menyambut uluran tangan laki-laki itu.
“Tidak apa-apa. Kau tidak perlu menyebutkan namamu kalau itu memberatkan hatimu. Sepertinya, ini pertama kalinya kau datang ke sini. Aku benar kan?” ucap Lanang seraya memasukan tangannya ke saku jaket hitam tebalnya. Menepis dingin.
Kara mengangguk.
“Biar kutebak lagi, kau ke sini karena kepalamu sedang dipenuhi banyak hal, bukan? Ya ya ya, tempat ini memang tepat untuk melarikan diri.” Lanang seolah menujukan kalimat itu untuk dirinya.
“Aku bukan melarikan diri,” potong Kara cepat.
“Benarkah? Lalu apa namanya barusan? Tak mau pulang ke rumah.” Lanang tersenyum simpul.
“Kau mengejekku?”
“Apakah aku terlihat sedang mengejekmu?”
Kara merasa tertohok, dalam hati mengumpat panjang mengapa ia harus bertemu lelaki aneh ini? Ia datang ke taman dengan harapan tak bertemu dan berbicara pada siapapun. Dihelanya napas sangat panjang.
 “Sebenarnya apa yang kita cari dalam pelarian diri semacam ini? Tidakkah kau merasa kita terlalu picik dan licik karena telah melarikan diri dari apa yang seharusnya kita hadapi?” Laki-laki bernama Lanang itu kemudian berucap dengan nada letih.
“Harus berapa kali aku bilang aku tidak sedang dalam pelarian. Bisakah kau menyimpan semua rasa sok tahumu untuk dirimu sendiri? Mendengarnya membuatku sakit kepala,” cetus Kara tak bersahabat. Sama tak bersahabatnya dengan hatinya saat ini.
Lanang tertawa kecil.
“Kau gadis keras kepala. Apakah rumahmu tak senyaman lagi yang kau harapkan selama ini? Ahay, seharusnya rumah menjadi tempat pulang ketika dunia tak menghendaki kehadiran kita, bukankah seperti itu?”
“Sekadar mengingatkan, belum cukup sejam kita berkenalan kau sudah berpanjang lebar.” Kara mulai gelisah.
“Salah?”
Ya Tuhan, berasal dari planet manakah lelaki asing ini? Tanpa tedeng aling-aling langsung mengajaknya bercakap seolah mereka sepasang sahabat karib yang sudah lama tak bertemu dan kembali dipertemukan waktu untuk bertukar cerita. Aneh. Baiklah. Kara mencoba membuat sebuah kesimpulan, lelaki ini sedang ingin mengeluarkan apa yang memenuhi batok kepalanya. Berbicara sesukanya. Sia-sia belaka mencoba menahannya untuk diam. Menyingkir secepatnya dari situ akan lebih baik bagi Kara yang sedang tak butuh seseorang di dekatnya.
“Kau tak berniat pergi dari sini, kan?”
Dugaan Kara tepat. Lelaki itu mencoba menahan langkahnya ketika dilihatnya gadis itu bangkit dari bangku taman.
“Aku tak bernafsu bertengkar malam ini,” timpalnya.
“Kau lupa? Kita belum cukup sejam berkenalan. Tak sopan rasanya jika bertengkar sedini ini. Duduklah...”
Kara sepenuh hati menahan kejengkelan amat sangat di balik dadanya. Ia tetap melanjutkan laju kakinya. Sebentar lagi kepalanya serasa akan ikut meledak bersama emosi yang terakumulasi sempurna.
“Hari ini koran mengabarkan seorang gadis mati terbunuh di jembatan kota. Diperkosa dahulu sebelum direnggut nyawanya. Kau tidak takut berita serupa akan muncul di koran esok hari? Berkeliaran sendirian bukan pilihan tepat.”
Kara seolah tak mendengar. Dingin yang mencucuk tulang menyerang garang. Malam merembang dalam sunyi dini hari. Kemana ia akan pergi sepagi buta ini?
Lanang mengusap wajahnya yang memutih. Pucat tak terekam cahaya lampu taman. Orang-orang selalu membelakangi dan meninggalkanku.... Ia hendak merebahkan badan, tidur ketika telinganya mendengar tapak-tapak kaki bergerak menujunya.
“Aku bukannya takut berkeliaran sendiri ya....”
Kara berdiri tegak memeluk kedua buah bahunya. Setengah menggigil kedinginan.
Lanang tersenyum simpul.
Kecuali gadis ini....
---
“Kau benar. Aku lari dari rumah. Ah, lebih tepatnya menyingkir dulu dari sana.” Kara menerawang jauh.
Lanang mendengarkan seksama. Tatapannya lekat di wajah Kara.
“Aku bertengkar dengan Jen, bibiku. Aku lupa memberitahumu kalau ayah dan ibuku sudah almarhum. Yah, kau tak perlu memasang tampang kasihan. Aku baik-baik saja.”
Lanang tertawa. Gadis malang, batinnya. Walaupun ia sekuat hati menyembunyikan kesedihannya, menutupinya serapat mungkin dari mata siapa saja yang ia temui namun setiap kalimat yang dilontarkannya menunjukan jika ia sedang berusaha membuat tameng setinggi mungkin agar orang tak mengasihaninya dan sayang sekali, gagal.
“Kenapa kalian bertengkar?” tanyanya.
“Jen merasa seolah telah menguasai seluruh hidupku. Ia ingin aku mengikuti apa yang diinginkannya. Aku benar-benar muak menghadapinya.”
“Kau membencinya?”
Kali ini Kara terdiam. Terlintas wajah renta Jen di pelupuk ingatannya. Wanita yang sama sekali tak punya ikatan darah dengannya. Jen adalah sahabat karib almarhum ibunya. Saat kecelakaan yang merenggut hidup kedua orang tuanya, Jen lah satu-satunya orang yang bersedia merawatnya hingga detik ini. Kara menunduk. Hatinya berderak aneh. Apakah ia membenci Jen? Jen memaksanya mengambil beasiswa ke luar Provinsi dan mereka bertengkar karena itu. Kara merasa Jen sengaja membuangnya, menyuruhnya pergi lewat beasiswa itu. Barangkali Jen sudah tak sanggup lagi menampungnya, itulah yang ada di pikiran Kara sejak ia memutuskan pergi dari rumah beberapa hari silam. Mengelana di sudut-sudut kota. Ia sengaja tak menghubungi siapapun sebab Jen pasti akan menemukannya bila ia menginap di rumah teman. Saat sadar uang di dompetnya tak cukup lagi menyewa kamar penginapan, di taman inilah ia menggelandang malam ini dan bertemu Lanang. Lelaki aneh itu....
“Kau membenci Jen?” Lanang mengulang pertanyaannya.  
“Jen tak menginginkanku lagi,” lirih Kara. Matanya hampir basah lagi.
“Kau sedang marah. Kau tahu? Saat manusia marah maka yang ada di depan matanya hanyalah kemarahan itu. Kau takut ditinggalkan, bukan begitu?”
“Entahlah.”
“Kita berdua orang seperti itu. Takut kehilangan dan ditinggalkan orang-orang di sekitar kita.”
“Lihatlah... kau mencoba sok tahu lagi.” Kara mencibir.
“Tapi ucapanku benar, kan?” serang Lanang.
Kara mengangkat bahu.
“Kehilangan terbesarku adalah ayah dan ibuku. Jika Jen menyuruhku pergi juga, aku tak punya siapa-siapa lagi.”
“Kenapa kau berpikir semata-mata Jen ingin membuangmu? Mungkin saja ia melakukan itu demi kebaikanmu juga. Seharusnya kau berterimakasih atas niat baiknya. Ingat, kau sedang marah.”
“Hei!” Tiba-tiba Kara berseru tertahan. Ditatapnya Lanang tanpa kedip.
“Ada apa?”
“Kita bahkan belum genap sehari berkenalan.”
“Lalu?”
“Bercerita panjang lebar seperti teman lama, bukankah ini aneh?”
“Tidak. Kita bukan alien, kenapa harus merasa begitu?”
“Tapi tetap saja aku merasa ini sedikit aneh,” ucap Kara pelan.
“Kau ingat tadi aku memberitahumu ada gadis mati terbunuh masuk koran kemarin? Kalau aku bilang orang yang membunuhnya sedang duduk di hadapanmu, kau percaya?” Lanang setengah berbisik membuat Kara menahan napas.
“Aku bukan orang yang mudah kau takuti dengan lelucon semacam itu. Kalau orang itu adalah kau, mana mungkin kau enteng saja menasehatiku ini itu dan membersamaiku selarut ini,” tepis Kara.
“Jadi kau tak percaya? Berarti kau tak perlu merasa aneh.”
“Kau tak punya tampang jahat.”
Lanang tercenung sangat lama. Raut wajahnya berubah.
“Ada dua jenis orang jahat di dunia ini yang aku tahu. Pertama, orang yang benar-benar sengaja menjadikan dirinya jahat dan kedua, orang yang tidak sengaja menjadikan dirinya jahat. Kau harus berhati-hati dengan yang kedua, orang-orang seperti ini seringkali tak terduga. Bisa jadi aku termasuk jenis orang jahat yang kedua itu,” pungkasnya bernada rendah.
“Kau belum menceritakan kenapa kau bisa datang ke tempat ini?”  Kara tak memedulikan kesenduan dalam nada suara Lanang.
“Aku?”
Kara mengangguk. Menunggu.
“Aku membunuh seseorang. Mayatnya sudah dikuburkan dan aku masih melarikan diri. Aku takut. Aku tidak sengaja menghabisinya. Dia menghinaku seolah-olah aku ini sampah yang patut dibakar habis. Aku memang mencintainya tapi ia tak pantas menerima perasaanku. Di taman ini, aku membunuhnya.” Dingin suara Lanang.
“Astaga! Kau benar-benar pandai membuat lelucon mengerikan.” Kara merasakan seluruh kuduknya meremang. Merinding. Ia meringis. Tertawa sumbang.
Lanang terbahak keras. Sangat keras hingga memantul dalam keheningan dini hari. Membahana ribut. Ada sesuatu yang aneh perlahan menelusupi dinding hati Kara. Lelaki ini... membuatnya khawatir.
“Selamat. Kau gagal menakutiku...” Kara mencoba tertawa tapi tak berhasil.
“Tidurlah... Esok kau harus pulang. Temui Jen. Aku akan menjagamu malam ini, tidak akan terjadi apa-apa,” cetus Lanang kemudian lebih bernada perintah.
“Kita belum lama bertemu dan berkenalan. Bagaimana aku bisa percaya padamu?”
“Jika kau tak percaya, kau sudah meninggalkan taman ini sejak tadi dan sekarang kau masih di sini.”
Kara mendehem. Seharusnya ia menyadari lebih awal kalau Lanang tak bisa didebat. Kara Berbaring di bangku taman yang lembab oleh embun. Lanang mengawasinya dari bangku seberang. Jaketnya kini sudah berpindah menyelimuti separuh badan Kara.
Kara membuka matanya kembali.
“Namaku Kara. Aku percaya kau bukan orang jahat. Hatiku bilang begitu. Kau boleh menertawakan aku kalau kau merasa itu lucu dan sedikit lebay.”
Lanang mengulum senyum.
Malam itu, Kara bermimpi Jen datang memeluknya sangat erat.
---
Jen memang memeluk Kara. Keesokan harinya Kara terbangun dengan Jen di sampingnya. Suara tivi mendenging ribut di telinganya. Sudah pagi rupanya.
“Ah, akhirnya kau bangun sayang...” lembut suara Jen seperti tak pernah terjadi pertengkaran hebat di antara mereka. Riang betul kelihatannya.
Kara mengenali kamarnya sendiri. Pertanyaannya, kenapa ia bisa berada di sini? Bukankah semalam.... Lanang?
“Menjelang pagi, sebuah taksi mengantarmu ke rumah. Hampir saja aku menelpon polisi. Nak, kukira  kau tak mau lagi kembali padaku. Kau tahu aku tak punya siapa-siapa selain dirimu. Maafkan kekerasan hatiku kemarin. Sungguh aku tak berniat mengusirmu dari sini. Aku benar-benar ingin kau bisa mendapatkan pendidikan yang memadai dan salah satunya adalah mencoba beasiswa itu. Tapi kalau kau tak menyukainya... aku tidak akan memaksamu....” Jen berpanjang lebar menjawab pertanyaan yang tersirat di paras Kara. Wajahnya menyiratkan penyesalan mendalam. Melihat itu Kara semakin merasa bersalah.
“Aku akan mencoba beasiswa itu....” ucapnya.
“Benarkah? Kau tidak menuduhku mengusirmu kan?”
“Maafkan aku, Jen.” Kara memeluk Jen. Sungguh tak ada tempat senyaman pelukan Jen. Wanita paruh baya inilah yang merawatnya sejak berusia sembilan tahun.
Mendadak mata Kara tertahan pada layar tivi yang menayangkan berita pagi ini. Sesuatu di sana menarik perhatiannya. Ya Tuhan.... Kara menutup mulutnya menahan teriakan kaget yang nyaris terhambur. Suaranya seperti orang tercekik.
“Ada apa, Nak?” Jen yang heran ikut mengarahkan pandangannya ke tivi. Berita kriminal. Sudah biasa menurutnya. Apa yang membuat Kara memucat?
“Pelakunya menyerahkan diri? Oh, syukurlah... aku ketakutan ketika ingat kau berkeliaran sendirian di luar sana sementara seorang pembunuh sekaligus pemerkosa seorang gadis masih berkeliaran bebas. Bagaimana jika ia bertemu denganmu? Hanya Tuhan yang tahu...” Jen terus saja berceloteh.
Kara merasakan matanya memanas. Sebentar saja air matanya mengalir deras. Dibenamkannya kepalanya di ketiak Jen. Hatinya kebas.
“Ya ya... bersyukurlah karena kau tak sempat bertemu laki-laki jahat itu....”
Air mata Kara menderas.
Bagaimana bisa Lanang bisa berada di sana? Di antara kawalan polisi, tertunduk rikuh dalam sorotan blitz kamera wartawan? Pembunuh? Pemerkosa? Ah, bukankah semalam ia dan Lanang tak sengaja bertemu lalu berbincang layaknya kawan lama? Laki-laki itu bahkan menasehatinya. Bagaimanalah ini? Seluruh persendian Kara menuju mati rasa.
“Kau masih ingat gadis yang masuk koran kemarin? Kalau aku bilang orang yang membunuhnya sedang duduk di hadapanmu, kau percaya?”