Sabtu, 31 Desember 2011

CATATAN UNTUK CERPEN JADUL SAYA


Huahahaha...
Oups.
Istigfar ukh...
Mangap eh maap.
Kemarin saya iseng menengok Email lama saya dan menemukan beberapa cerpen yang saya kirim ke beberapa media di folder sent 2 tahun silam. Lalu apa yang membuat saya tersipu dan ngakak geli (?).
Cerpen-cerpen saya gak ada yang beres! Pantes aja ampe jamuran pun gak bakal dilirik sama redaksi. Bukan idenya tapi tata cara penulisan cerpen saya yang Masya Allah acakadut. Saat membaca ulang semuanya saya gak brenti geleng-geleng kepala (ini bukan area ajep-ajep). Senyum-senyum sendiri. Di awal-awal saya menulis cerpen pake lepi (sebelumnya nulis pake pulpen alias manual, rupanya saya tidak mengindahkan penggunaan EYD. FYI, pelajaran yang saya sukai sewaktu di SMP-SMA adalah Bahasa Indonesia. Trus kenapa EYD aja gak tau dan gak becus? Iya, karena saya hanya fokus pada pengaplikasian materi seperti puisi, nulis cerita pendek/drama dan teater. Lainnya? Gak saya hayati dengan semangat 98`. Padahal ngakunya aku anak Indonesia.... *masuk kolong ranjang.
Okeh, lanjut kisah....
Beberapa kesalahan fatal yang sebenarnya sangat sederhana kalau saya paham EYD dalam cerpen saya adalah sebagai berikut :
1.      Penggunaan huruf kapital pada nama orang. Contoh : Tenma. Saya tulis tenma.
2.      Penggunaan tanda titik (.) dan tanda koma (,) serta huruf kapital pada pada percakapan.
Contoh :
“saya tidak tahu apa maksud pembicaraan anda”, kata laila -- salah
Saya tidak tahu apa maksud pembicaraan anda,” kata Laila. -- benar
Pada percakapan antar tokoh setelah  tanda petik seharusnya dimulai dengan huruf kapital. Trus mengenai penggunaan tanda titik (.) dan tanda koma (,) pada percakapan digunakan apabila :
->  Percakapannya tidak diikutkan dengan penjelasan (bahasa saya aneh). Saya langsung kasih contoh aja ya.
Contoh :
“Aku akan menemui Ben dan menceritakan semua ini padanya,cetus Prima -- yang saya maksud penjelasan adalah yang saya bold.
Versi lainnya tanpa penjelasan.
“Aku akan menemui Ben dan menceritakan semua ini padanya.”
3.      Penggunaan kata sambung.
Kata sambung `di` berlaku untuk dua kondisi.
->  Apabila bertemu kata sifat dan kata kerja yang kemudian berubah menjadi pasif.
Contoh : kata kerja
Bayu di pukuli preman -- salah
Bayu dipukuli preman -- benar
Contoh : kata sifat
Kayla di tertawakan seluruh teman sekelasnya -- salah
Kayla ditertawakan seluruh teman sekelasnya -- benar
--> Apabila di bertemu kata penunjuk atau tempat.
Contoh :
Dirumah -- salah
Di rumah -- benar
Disana -- salah
Di sana -- benar.
Sekian dulu catatan pengingat saya, saya bukan pengamat dan satpam EYD yang baik karena sampai saat ini pun saya masih belajar dan pengetahuan EYD saya perlu direvisi setiap harinya makanya saya giat membaca karya orang lain dan membaca buku pembelajaran EYD. Kesalahan-kesalahan sepele seperti di atas sering sekali ditemukan pada karya penuli-spenulis pemula (ya saya ini lho). Saya merekomendasikan buku On Writingnya Stephen King dan kamus EYD lengkap. Saya jamin bermanfaat bagi kita yang mau dan berniat menekuni dunia kepenulisan.
Kalo ada yang memberi koreksi silahkeun.... ^____^

Catatan Akhir Tahun



Wah, udah masuk tahun baru ya? Di saat orang-orang sibuk menyiapkan diri menyambut penuh gegap gempita pergantian tahun saya malah tidur pules! Emang gak penting ya makna tahun baru itu?
Penting.
Lha trus?
Saya masih ingat tahun lalu ketika pergantian tahun 2010 ke 2011 saya menulis resolusi hidup untuk setahun ke depan pada selembar kertas buram. Aslinya sih saya cuman ngikutin trend. Sepertinya nulis hal-hal seperti itu terlihat keren aja gitu *dikeroyok orang se-RT. Folower sejati ini mah.
Selang beberapa bulan di tahun 2011 saya limbung dan kehilangan arah hidup. Persis anak ayam yang baru ditetaskan dari telurnya beberapa hari. Periode pertama tahun 2011 adalah masa-masa suram saya. Saya kehilangan kepercayaan diri terhadap diri saya sendiri, terhadap orang-orang di sekitar saya, terhadap lingkungan saya bahkan lebih parahnya saya menyingkirkan Tuhan dari ingatan-ingatan saya! Betapa tak tahu dirinya saya ini Ya Rabb....
Terputusnya koneksi saya dengan Allah serta merta mempengaruhi seluruh rotasi dan gravitasi hidup saya. Saya menjauh dari apapun yang dinamakan kesibukan. Kondisi ruhiyah boleh dibilang kerontang. Pikiran kacau tanpa sebab yang jelas. Saya kehilangan jati diri. Sok sibuk tapi gak tahu lagi nyibukin diri dengan hal apa. Parah bener nih anak! Istigfar ukhtiiii...
 Iyaaaaa, saya kuatir udah keburu digetokin Allah.
Apa kabar resolusi saya?
Mereka baik-baik ajah
Ada beberapa yang tercapai dan itu berhubungan dengan kegiatan kepenulisan saya. Lolos tiga judul Antologi dan naskah cerpen mini saya nongol di majalah remaja. Bahagiakah saya? Tentu saja! Itu mimpi remaja saya duluuu. Sekarang kan saya udah dewasa (ceritanya berasa udah tuir hahaha lebay)
Cuma itu?
Iya.
Udah puas?
Belom lah. Mimpi saya bukan hanya sebatas itu. Langkah saya di dunia kepenulisan tidak lantas tamat usai memperoleh semua itu.
Tapi saya sedang menuai masa kritis. Saya tidak melihat apapun kecuali keputusasaan.
Kekosongan hati saya terus berlangsung hingga memasuki paruh periode kedua tahun 2011. Sebuah kesibukan luar biasa padat menyeret saya. Penelitian di laboratorium untuk bakal skripsi saya. Di situlah titik balik saya bermula. Sebuah rutinitas monoton yang kemudian membuat saya sering merenung di kala sedang menunggu waktu atau jeda tahap-tahap penelitian. Jalan pulang bisa datang dari berbagai arah sebab Allah yang maha tahu yang terbaik bagi kita.
Hal pertama yang saya sadari adalah....
Saya sudah berusaha berlari sejauh mungkin demi menghindari banyak hal dalam hidup saya dan ketika tersadar apa yang saya hindari justru masih setia mengekori langkah saya. Saya tidak meninggalkan apapun dan saya tidak ditinggalkan oleh apapun juga. Sia-sia dong pelarian saya?
Jelas sekali.
Seharusnya saya paham bahwa saya tidak perlu berlari. Selain karena saya bukan pelari dan tidak punya bakat sebagai atlet pelari (adik saya yang nomer satu adalah atlet pelari), saya hadapi saja apa yang saya anggap masalah itu. Sayang seribu sayang jiwa saya bukan pejuang sejati, saya ini pengecut kelas kakap (dan saya bukan penangkap ikan). Yang ada dipikiran saya sepanjang ada celah untuk menghindari mending cari aman aja deh alias ngacirrrr...! Saya selalu menempatkan diri di posisi setelah posisi pertama karena saya gak yakin kalo saya punya kemampuan dan potensi.
Contoh kasusnya nih, saya sebisa mungkin menghindari kompetensi kuliah yang berhubungan dengan laboratorium dan genetika karena trauma nilai Biologi Cell saya yang jeblok padahal saya udah berusaha keras secara sejak SMA saya menggilai segala yang berbau genetika dan niat saya masuk di jurusan Biologi FMIPA emang karena saya ingin mendalami pengetahuan tentang itu. Saya lumayan shock begitu tahu nilai saya jatoh, nangis dan sibuk mikir apa yang kira-kira membuatnnya seperti itu dan sampe sekarang saya masih bingung. Cerita permusuhan saya dengan laboratorium dan genetika berakhir dengan kekalahan saya sebab penelitian yang saya ambil justru tidak jauh dari itu.
Udah dibilangin gak usah lari-larian....
Hal kedua adalah....
Ukhuwah saya dengan sodara-sodara saya di LDK puaraaaah bener. Saya secara sengaja dan sadar meninggalkan mereka dan secara alamiah saya pun tergeser dari seluruh kegiatan internal dan eksternal. Bahkan mungkin saya tidak salah kalau berpikir MS (Majelis Syuro) sudah siap mendepak saya dari kepengurusan. Tinggal nunggu waktu yang tepat ajah. Saya nakal sih. Saya bukan model akhwat lembaga dakwah. Lha tarbiyah aja ogah-ogahan gitu, bagusnya emang digeplak aja biar nyadar.
 Saya beruntung dikelilingi orang-orang yang sangat sabar menghadapi saya. Mereka adalah teman-teman yang berjuang bersama di LDK sejak awal pertama kali ikut bergabung di sana. Mereka tidak pernah lelah mengajak dan mengompori saya agar kembali aktif, memberitahu dan mengirimi sms jika sudah waktunya tarbiyah. Yah, karena kita adalah saudara seperjuangan. Itulah kata mereka kepada saya.
Memasuki masa akhir kepengurusan, di situlah momentum emas kesadaran saya. Saya kemudian memahami bahwa ukhuwah adalah jurus pamungkas penghilang kepenatan kepala dan hati saya, pembuka jalan kedekatan saya dengan Allah. Hablu minallah dan hablu minannas.
Saya tidak merasakan euforia tahun baru. Saya tidak melihat kembang api dan tidak mendengar terompet. Ya iyalah, saya tertidur lebih awal karena kelelahan hehe....
Bagi saya, tidak perlu perayaan besar-besaran untuk mengawali sebuah tahun yang baru. Ini hanya masalah persepsi masing-masing sih. Bagi saya, cukup azzam yang kuat, tentang niat yang kuat untuk menjadi orang yang lebih baik dalam arti baik di mata Allah, baik menurut manusia kan relatif jadi tidak bisa dijadikan parameter. Saya sudah mengantongi momentum, semoga hari baik tersenyum pada saya.
Saya kapok bandel lagi. Jadi saya memilih menghajar diri sendiri sebelum dihajar Allah.
Satu pertanyaan, kenapa yah tahun baru masehi lebih semangat dirayakan ketimbang menyambut tahun baru islam? (berlaku bagi yang ngaku islam aja nih). Saya bukan pengamat yang baik dan tentu saja cakupan pengetahuan agama saya masih seupil. Tapi apa yang saya lihat di lingkungan yang saya tinggali makin menyiratkan gaya hidup hedonisme makin garang saja menggasak pikiran dan menjauhkan kita dari garis-garis keislaman.
Wallahu`alam. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bermuhassabah.
Yang istimewa dari tahun baru adalah... angka satu di ujung 2011 berganti menjadi angka 2, 2012. Artinya? Bumi makin panas. Siap-siap aja pake sunblock tiap hari *apadeh. Gak jelas banget nih bocah wkwkwk

Kamis, 29 Desember 2011

Saya Nitip Kangen Untuk Ibu

TUHAN TIDAK PERNAH TIDUR, NAK
Mendengar kata pahlawan, yang terbesit dalam pikiranku adalah orang-orang yang dengan gagahnya menggenggam senjata di tangannya. Dar! Der! Dor! Yang pekerjaannya membasmi kejahatan dan menciptakan kedamaian di muka bumi ini (halah, bahasaku…). Imajinasi tentang pahlawan kudapat berkat kebiasaanku melahap buku-buku sejarah dan membaca kisah-kisah para pejuang pada era kemerdekaan. Peristiwa-peristiwa heroik dalam medan pertempuran di Ambarawa, Yogyakarta, Bandung lautan api, Surabaya dan seluruh area berdarah yang telah mengorbankan jiwa dan raga para pemilik semangat Nusantara, semakin mengokohkan defenisi pahlawan di kepalaku. Bahwa pahlawan adalah mereka yang telah dengan ikhlas menjadikan dirinya sebagai tameng untuk mengusir penjajah dari bumi Pertiwi ini. Mereka yang mempertahankan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan.
Belakangan aku kembali manggut-manggut paham. Kata pahlawan tidak sesempit seperti pemikiran yang sudah mengendap bertahun-tahun di kepalaku. Siapapun bisa menjadi pahlawan. Orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain, singkatnya aku akhirnya menyimpulkan sesederhana itulah arti pahlawan dalam bentuk kata namun teramat luas dalam cakupan makna. Ada yang pernah bilang padaku, bahkan orang yang lewat di jalan kemudian menemukan pecahan beling lalu menyingkirkannya, dia bisa disebut pahlawan. Aku, dan siapapun di luar sana pasti memiliki sosok pahlawan di dalam hatinya masing-masing. Pahlawan terhadap hidup kita.
Bila ada yang bertanya padaku siapakah pahlawan yang menginspirasi hidupku hingga bisa  tetap berdiri dengan benar hingga detik ini? Orang yang telah memberiku banyak pelajaran tentang hati, tentang rasa dan tentang diri sendiri. Aku tak akan ragu apalagi sungkan untuk menyebut namanya dengan segenap haru. Dia, perempuan sederhana itu. Dialah Ibuku. Pahlawan hidupku.
=oOo=

Aku bersyukur karena Allah telah memberi kami masa-masa sulit. Sebab pada akhirnya prahara dalam rumah itulah yang mengajariku untuk lebih mengenal ibuku lebih dalam seperti beliau mengenali kami, anak-anaknya. Merobohkan tembok besar yang selama ini membatasi kami. Mengenalkanku pada cinta yang sesungguhnya terhadap perempuan yang telah memperjuangkan keberadaanku di muka bumi ini sejak masih dalam rahimnya hingga aku menghirup udara pertamaku. Memahami seperti inilah cara Ibu menyayangi kami, anak-anaknya. Tak perlu banyak berkata-kata melainkan mencerminkannya lewat tindakan.
Diluar area rumahku, mungkin orang lain memandang ibuku dengan sudut pandang yang mereka punya. Begitupun dengan aku. ibuku adalah madrasah pertama untukku dan adik-adikku. Lewat ibu, aku belajar tentang banyak hal. Masih lekat dalam ingatanku, kala aku masih terbata-bata mengeja huruf hijaiyah. Ibuku dengan tekun mengajariku. Rutin, usai shalat subuh Ibu menjadi guru ngajiku hingga beliau kemudian mempercayakanku pada seorang guru ngaji di kampung kami. Pun ketika aku baru mengenal bangku sekolah dasar. Ibu yang mengajariku membaca dan ilmu hitung. Di kemudian hari, tanpa aku sadari, Ibu telah dengan sengaja meninggalkan jejak-jejak bermakna dalam hidupku di masa lalu. Kenangan pahit menjadi madu.
Ada beberapa hal yang kujadikan referensi ketika aku bocah dulu, yang membentuk sebuah sikap nakalku pada ibu.kala itu, aku percaya Ibu tidak pernah menyayangi kami. Berdasarkan pada pengamatan jiwa kanak-kanakku. Aku membandingkan Ibuku dengan Ibu teman-teman sepermainanku. Ibu tidak pernah memanjakan kami, tidak pernah memberiku hadiah ketika aku menjadi juara kelas, tidak pernah memberiku pelukan hangat dan mengatakan bahwa beliau mencintai kami. Sampai beranjak remaja aku masih mempertahankan sikap tak acuhku pada Ibu. dingin dan asing.
Ternyata Tuhan sudah menyiapkan rencananya untuk kami. Setahun sebelum menamatkan bangku putih abu-abu, aku terperangah menjumpai wajah ibuku yang sejati. Perempuan perkasa tanpa pamrih. Di balik sifat kerasnya, aku baru menyadari betapa luas cinta Ibu untuk kami. Hatiku selalu di hujani gerimis setiap kali mengingat perilakuku terhadap Ibu. Penyesalan tanpa ujung. Prahara besar yang mengguncang rumah kami telah berhasil membangunkanku dari tidur panjang. Benarlah kata-kata bijak yang mengatakan kasih Ibu sepanjang hayat. Kasih Ibuku pada kami tiada pernah habis. Menatap lurus kedalam bola mata Ibu, selalu mempertemukanku dengan banyak hal. Tentang paras hati Ibuku yang suka mencak-mencak jika tiba bulan tua. Kutahu dengan jelas beliau penuh kasih.
Berjuang sendirian di tanah orang dengan label Mahasiswa, pencari ilmu, makin mengukuhkan keberadaan Ibu di aliran darahku. Ibuku bukanlah tipikal orang yang suka mendikte dengan kata-kata. Bekal kesabaran, pantang menyerah dan kesederhanaan kudapat bukan dengan mendengar ceramah panjang lebar dari Ibuku. Melainkan pesan-pesan terselubung di balik sifat beliau. Di tanah rantau ini aku rajin mengkilas balik kenangan-kenanganku bersama Ibu, menemukan banyak kenyataan di situ.
=oOo=
“Apapun yang terjadi, seberat apapun medan yang akan Ibu hadapi, Ibu akan tetap mengusahakan agar kalian bisa bersekolah setingi-tingginya. Menjadi orang-orang berguna.”
Ibuku berkata sambil menahan gugusan air mata yang siap membobol pelupuk matanya. Kejadian itu terjadi setahun setelah aku menempuh studi di sebuah Universitas Negeri di ibukota Provinsi. Adikku yang nomor satu baru saja menamatkan bangku SMU. Karena beberapa alas an hingga akhirnya Bapak dan Ibu sepakat menunda kelanjutan sekolah adikku. Dan Ibu dengan tatapan pedih mengikrarkan janjinya. Akan terus berjuang demi kami, anak-anaknya. Dia, Ibuku. Perempuan sederhana. Sekarang aku mengerti mengapa Ibuku bisa begitu tegar dan sabar menjalani hidupnya. Kerasnya hidup yang ibu alami di mulai ketika beliau masih bocah hingga berkeluarga seperti sekarang ini telah mengajari Ibuku bagaimana cara memperlakukan kesulitan-kesulitan hidup, bagaimana cara menyikapi ketidak beruntungan, bagaimana cara bersyukur yang paling indah yaitu dengan menjalani hidup ini dengan lega, dengan ikhlas. Ibuku sudah piatu sejak usia belasan.  Melewati banyak riak dalam perjalanan hidup beliau. Tanpa sadar, ucapan ibuku itu telah membuka tirai tebal yang selama ini memisahkan kami. Ada tangan-tangan kasat mata yang telah membawaku pulang ke hati ibu. Aku bersyukur sebab aku tidak terlambat mengenal ibuku seperti beliau mengenalku. Orang pertama yang percaya aku bisa menjadi penulis adalah ibuku. beliau tak putus-putusnya memberiku semangat dan doa.
 Ada beberapa cerita menarik tentang Ibu. Sebenarnya Ibuku adalah sosok yang pendiam. Hal yang paling ku ingat mengenai kebiasaan Ibu adalah jika beliau sedang di rundung masalah. Alarm alam dari hati Ibu. Ya. Apabila Ibu mulai rajin mengomel tanpa alasan yang jelas, sudah bisa kami simpulkan bahwa beliau sedang bertempur dengan kegalauan dan entah apa yang memicunya. Tetapi Ibuku bukanlah orang yang ringan tangan memukuli kami jika kami melakukan kesalahan. Ibu menjadi garda terdepan untuk kami ketika banyak orang-orang di luar menggosipkan kehidupan kami. Bekal kesederhanaan adalah warisan berharga Ibu kepada kami. Aku baru tahu, alasan Ibu yang tidak pernah memberiku hadiah ketika aku menjadi juara kelas karena Ibu tidak ingin mengajari anak-anaknya melakukan sesuatu demi pamrih, hadiah dan semacamnya. Dari Ibu pula aku mulai belajar mengenali seperti apa warna duniaku. Ibu tidak pernah memaksa kami untuk mengikuti apa yang beliau inginkan melainkan menyerahkan sepenuhnya pada kami pilihan-pilihan hidup itu. Contohnya, ketika aku nekat memilih jurusan Biologi MIPA bukannya memilih jurusan keguruan seperti keinginan beliau. Ibuku dengan sorot wajah penuh percaya berkata, “Kaulah yang akan menjalani semua itu bukan Ibu, Ibu tahu kau sudah memikirkan pilihanmu dengan mantap jadi mengapa Ibu harus menghalangi pilihanmu? Jalani dan percaya hatimu.”
Itulah Ibuku. Beliau mendidik kami menjadi orang yang percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Pernah juga, aku bercerita padanya tentang kegagalan bertubi-tubi yang menimpaku. Tulisan-tulisanku selalu di tolak oleh pihak media. Ibuku menasihatiku bahwa, tidak pernah ada yang sia-sia bahkan kegagalan yang merambangi hidupuku, itupun bukan kesia-siaan.
“Tuhan tidak pernah tidur, nak. DIA melihat semua apa yang kau lakukan. Hanya saja, DIA sedang menunggu waktu yang sangat tepat untuk membayar semua usahamu itu. Asalkan kau tetap sabar, terus berusaha dan berdoa. Tidak ada yang sia-sia, nak.”
Ah, selalu saja air mataku menggenang bila mengingat kembali kebersamaanku dengan Ibu. Beliau yang sejak kecil memberiku kepercayaan atas keputusan-keputusan hidupku. Beliau yang selalu menemaniku bercerita di ambang pintu dapur kala sore tiba, jika aku sedang pulang kampong. Beliau yang selalu menyuburkan optimisme dalam hatiku. Beliau yang selalu gigih memperjuangkan hidup anak-anakanya. Beliau yang tidak pandai mengeluarkan wujud kasih sayangnya pada kami, tetapi kami sangat tahu, tatapan Ibu, wajah sederhana Ibu, cintanya membias di sana. Hanya dengan menatap wajah Ibu kala beliau tertidur, cukuplah bagiku untuk terus berharap kelak Allah akan memberiku kesempatan untuk menerbitkan senyum di wajah Ibu. Senyum lepas. Benar-benar lepas tanpa beban yang selama ini masih menggerogoti bahunya. Jika tidak bisa di dunia, aku ingin membahagiakan Ibu di akhirat. Aku akan terus berusaha  menjadi orang yang tidak sia-sia agar bisa menjadi tabungan Ibu di akhirat nanti. Ibu, perempuan terkasih yang akan selalu tinggal di lubuk hatiku. Perempuan berhati lapang.   
Ketahuilah, jika kalian bertanya seberapa cinta Ibu pada kalian, kalian tidak akan sanggup menghitung betapa luasnya cinta Ibu pada kalian.


 *Saya kangen, kangen dan kangen Ibu.

Rabu, 28 Desember 2011

Hari ini.... (Season 2)

Ini udah kayak cerita sinetron aja. Influenza kok pake season segala dan jedanya pun gak terlalu berjauhan. 2-3 hari doang. Ealah... Saya yang bandel atau emang sistem imun saya yang lagi buruk? Sepanjang yang saya ingat ini flu terparah yang saya alami. Dan ini sangat mengganggu, apalagi kalo lagi shalat dan kuliah. Bersin mulu, buang ingus mulu ngabisin tissue bergulung-gulung berlembar-lembar. Hattchiii! Yang paling sakit hati kalo berasa pengen bersin tapi gak bersin-bersin jugaaaaa.... Ya Allah...


Saya kapok sakit. Tapi mo gimana lagi? Sepertinya kali ini saya bener-bener ambruk di antara sederet tugas-tugas kuliah dan agenda penting lainnya. Jika dulu saya lebih memilih ngetem di kost-an kalo lagi sakit tapi sekarang saya malah merasa makin sakit kalo tinggal di kost-an. Ya Allah moga saya gak ambruk parah. Ini belom waktunya rehat atau istirahat. Jalan ini masih panjang. Allahumma Aamiin...

Filaaaaaa, wake up sweetie...!!

Senin, 26 Desember 2011

[A Poem] Diam Saja

Aku memilih diam saja ketika kalian berseteru ribut
Aku akan memilih diam saja kali ini...

Diam-diam mengamati

Diam-diam menyalakan lentera doa
Mendentingkannya setiap aku menarik nafas
Melentingkannya ke atas langit
Menghirup diam-diam pula percakapan kacau itu dan ini

Kita sedang tak bergelut dalam drama

Tak ada protagonis
Tak ada Antagonis
Tak ada peran pembantu

Kita sedang berperang di medan tak nampak
Bisakah kita saling menggenggam hati?
Bisakah kali ini, kita belajar mencintai Tuhan bersama-sama?
Kita ini manusia

Minggu, 25 Desember 2011

[Song Of The Week] Izzatul Islam-Rabitha

*Untuk saudara-saudariku, Ikhwan wal akhwatifillah...

Dowload Mp3 di sini

Lirik :

Sesungguhnya Engkau tahu
Bahwa hati ini tlah berpadu
Berhimpun dalam naungan cintaMu

Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakkan syariat dalam kehidupan
Sesungguhnya Engkau tahu

Bahwa hati ini tlah berpadu
Berhimpun dalam naungan cintaMu
Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakkan syariat dalam kehidupan

Kuatkanlah ikatannya
Kegakkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalannya
Terangilah dengan cahyaMu
Yang tiada pernah padam
Ya Robbi bimbinglah kami…

Rapatkanlah dada kami
dengan karunia iman
Dan indahnya tawakkal padaMu

Hidupkan dengan ma’rifatMu
Matikan dalam syahid di jalanMu
Engkaulah pelindung dan pembela

Rapatkanlah dada kami
Dengan karunia iman
Dan indahnya tawakkal padaMu
Hidupkan dengan ma’rifatMu
Matikan dalam syahid di jalanMu
Engkaulah pelindung dan pembela
Kuatkanlah ikatannya
Tegakkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalannya
Terangilah dengan cahyaMu
Yang tiada pernah padam
Ya Robbi bimbinglah kami…
Ya Robbi bimbinglah kami…
Ya Robbi bimbinglah kami…

[Novelet] Pulang Part III (Tamat)

Oleh : Nafilah Nurdin & Rani Alzena (teteup duet maut)

Kartika berlari. Menerabas sunyi yang membungkam koridor rumah sakit. Tengah malam. Ia masih mengenakan setelan baju tidur. Arin mengabarinya sesuatu yang buruk lewat sms singkat.
Rindu perdarahan. Dia drop.
Kartika menyeka kasar air mata yang memenuhi kelopak matanya, mengalir deras. Diacuhkannya telpon Mas Yuga, kakak laki-lakinya yang nomor 2. Juga mengabarinya hal buruk.
”Kau harus pulang, Kar. Sakit Mama semakin parah. Sebelum semuanya terlambat...” kata-kata itu sedikit menyelip dipikirannya. Tapi dia mengacuhkannya.
Yang tinggal di kepalanya saat ini semata-mata Rindu. Bagaimana nasibnya. Masih terang di matanya ketika ia mendengarkan Rindu dengan wajah ceria bercerita tentang ayahnya. Tentang luka karena ibunya. Mengapa mendadak semuanya jungkir balik? Tuhan, mengapa?
Kartika tiba di dalam ICU. Arin menyambutnya dengan tangis. Dokter Herdi, beberapa dokter senior dan perawat memandanginya dengan sedih.
”Kami sudah berusaha, Kar.” Dokter Herdi menggeleng lemah.
Kartika seperti kehilangan suara. Lututnya lunglai. Ditatapnya tubuh ringkih yang terbujur kaku di ranjang perawatan, sejumlah alat medis menancapi kulit tipisnya. Rindu? Tuhan, mengapakah?
Kartika membekap mulutnya. Gadis cilik pemilik mata bening itu... terbayang wajah polos penuh dukanya, luka-luka di sekujur tubuhnya, keinginan-keinginan sederhananya. Tuhan, bahkan KAU belum sempat mengabulkan permintaannya.
Kartika sempoyongan, beruntung Arin lekas memapahnya. Kartika terisak perih.
”Dia bilang, dia ingin sembuh. Dia masih terlampau kecil. Dia masih punya harapan-harapan yang belum terwujud, Rindu... namanya Rindu,” kalimat Kartika tersendat-sendat.
”Rindu sudah tenang, Kar.”
Dan malam benar-benar menutup hari dengan duka.
=oOo=
Kepergian Rindu berimbas terhadap kehidupan Kartika. Ia berubah sangat pendiam. Betah berlama-lama berdiri di depan jendela ruang perawatan Rindu. Jika hujan tiba, Kartika akan setia menungguinya hingga reda dan berharap melihat pelangi. Rindu yang menghadirkan kembali potret masa kecilnya yang buram.
Mas Yuga semakin sering menghubunginya. Lewat sms dan telepon. Tetapi Kartika lebih banyak mengacuhkannya. Seperti siang tadi. Ada 10 pesan masuk dan 24 panggilan tak terjawab di ponselnya. Semuanya dari Mas Yuga.
Menjelang maghrib, Kartika menghenyakkan badan penatnya di bangku ruang tunggu rumah sakit sehabis menjenguk pasiennya. Pak Karto.
”Kau sudah diberi izin untuk pulang!”
Kartika membuka matanya yang terpejam. Tahu-tahu dokter Herdi sudah berdiri di hadapannya, menenteng sejumlah map biru.
”Aku tidak pernah mengajukan izin,” sahut Kartika datar. Lalu kembali mengatupkan kelopak matanya.
”Aku yang mewajibkanmu pulang. Yuga menghubungiku. Mama kritis di rumah sakit Solo! KAU HARUS PULANG, KARTIKA!”
Gigi Kartika gemerutukan. Ia sudah muak menghadapi lelaki berkaca mata ini. Kendatipun dia lebih senior dari dirinya. Tak ada satupun yang bisa meloloskan lelaki ini dari cengkeraman kebencian Kartika.
”KAU TIDAK BERHAK MENGATUR HIDUPKU, HERDIAN PRASETYA!”
Gunung berapi di dasar hatinya meletus memuntahkan lahar panas. Ia sudah lelah. Berpikir semuanya baik-baik saja selama 3 tahun ini sudah cukup menyiksa batinnya. Belum lagi rasa kehilangannya atas Rindu menggenapi semuanya. Kartika sudah jauh berlari, tetapi segala luka itu belum juga kunjung musnah. Hanya mengendap kejam. Menyesakkan.
”Kau memang belum berubah Kartika. Sikap kekanak-kanakanmu, keras kepalamu, sok idealismu itu. Sampai kapan kau akan memelihara amarah dan kebencian di hatimu? Bagaimana bisa kau mengaku dokter profesional? Lambat laun kau akan letih melarikan diri, menyerahlah....”
”Lelaki pengecut sepertimu mana berhak berkata sok tahu! Kau tidak mengerti apapun!” dengus Kartika.
”Sekali ini, dengarkan aku. Pulanglah....” dokter Herdi memohon
  Kartika beranjak. Menampik dokter Herdian. Baru tiga langkah, ia berhenti. Sosok jangkung Mas Yuga di depan sana membuat kakinya beku.
=oOo=
”Mama kritis. Sebelum jatuh pingsan Mama sempat menanyakan kabarmu,” tutur Yuga di balik kemudi. Kartika diam.
”Kau masih marah pada Mama, Kar?”
Kartika membuang pandangannya keluar jendela mobil yang melaju membelah jalanan basah. Hujan semakin sering jatuh. Sesaat ingatannya melayang pada Rindu. Cermin dirinya. Apa kabarmu, sayang? Tenangkah kau di surga sana?
”Mama sudah jauh berubah, Kar.”
Berubah? Benarkah? Lantas, seberapa jauh perubahan itu berefek padanya? Tidak ada yang berubah baginya. Terlampau dalam Mama menorehkan jejak kelam di hatinya. Mungkin luka-luka di sekujur tubuhnya sudah sembuh meski menyisakan bekas. Tetapi, luka di sepanjang dinding hatinya tidak pernah benar-benar sembuh. Kerap berdarah. Sejak kecil Mama memperlakukannya dengan buruk. Seolah kehadirannya di muka bumi ini sebagai sesuatu yang tidak berguna. Sebagai anak bungsu, tidak ada sayang untuknya. Tak cukup sampai di situ, bahkan 3 tahun silam Mama dengan tega membumi hanguskan impiannya. Tanpa mempertimbangkan perasaanya, Mama menjodohkan Mbak Tyas, kakak perempuannya dengan Herdi. Lelaki berkaca mata itu. Padahal ia sudah menyanggupi lamaran Herdi. Sudah sembuhkah lukanya? Mengapa Mama memasang tembok setinggi mungkin di antara mereka? Dan sekarang, Kartika sudah tak bersemangat lagi untuk merobohkan tembok itu. Keinginan itu sudah berkarat, sama seperti hatinya. Sepeninggal Papa, belasan tahun silam, satu-satunya yang tahu betapa porak-porandanya Kartika kala itu adalah Mas Yuga. Mas Yuga tempatnya berkeluh-kesah. Mas Yuga pula yang mati-matian memperjuangkannya hingga ia bisa masuk ke Fakultas Kedokteran. Sudah sembuhkah hatinya? Waktu menuliskan amarah dan kebenciannya dengan rapi.
”Mama juga manusia, Kar.”
”Aku juga manusia, Mas. Kami sama,” potong Kartika.
”Kau tak akan selamanya sanggup berlari menjauh. Kelak, kau pun harus pulang.” Mas Yuga membelokkan mobilnya memasuki pelataran rumah sakit umum kota Solo.
Kartika menarik napas panjang. Ini pertemuan pertamanya setelah 3 tahun penuh sakit hati yang ia lewatkan.
=oOo=
Perempuan itu memang sudah berubah. Wajah tuanya tak sekokoh dulu. Perlahan layu. Semenjak kedatangannya kemarin, sejauh ini Kartika hanya melihat Mama dari balik kaca ruang perawatan. Memandangi wajah kuyu Mama dengan segenap rasa yang tumpang tindih. Kanker paru-paru. Tuhan, inikah balasan sakit hatinya?
Klise.
”Akhirnya kau datang juga.” Kartika menoleh.
Mbak Tyas.
”Apa kabar?”
”Baik”
”Kau masih marah pada kami?”
Kartika mendengus malas. Kenapa pula semua orang harus mengajukan pertanyaan yang sama padanya?
”Kau berlari dengan sangat kencang meninggalkan kami tanpa sempat mendengar penjelasan,”
Kartika jengah. Malas menimpali.
”Kau harus tahu, saat itu Mama benar-benar tidak tahu jika kau dan Mas Herdi berhubungan.”
”Lantas jika Mama tahu, apakah dia akan membatalkan pernikahan kalian? Jangan menceritakan lelucon basi padaku!” ketusnya.
”Banyak hal yang kau lewatkan. Mama sudah berubah. Setelah kau pergi, Mama sering termenung di kamarmu. Beliau juga mencari tahu perkembangan tentang dirimu. Pekan lalu Mama mendekor ulang kamarmu. Mama teramat berharap agar kau bisa pulang di hari ulang tahunmu besok.”
Kartika seperti disengat listrik ribuan volt. Ulang tahun? Sudah lama sekali ia tak merayakannya. Ia bahkan nyaris lupa jika besok adalah hari ulang tahunnya.
”Mungkin karena kelelahan kondisi kesehatan Mama menjadi buruk,” ucap Mbak Tyas serak.
Ada sedikit kegaduhan di dalam sana. Alat pemantau detak jantung Mama  tiba-tiba memekik panjang. Kepanikan sekejap menyergap. Mbak Tyas menerobos masuk. Dokter yang menangani Mama nya baru tiba dan lekas memburu ke dalam.
Kartika terpaku di depan pintu. Ia menangis.
”Ibu tidak pernah memelukku, tidak pernah mencium keningku, tidak pernah mengucapkan selamat malam padaku, aku ingin ibu menyayangiku. Kakak, bisakah Tuhan mengabulkan keinginanku? Mengembalikan ibuku?”
Kalimat Rindu berulang kali mendenging di telinganya. Doa Rindu mengalir padanya. Seperti apakah pelukan hangat seorang Ibu? Kerak-kerak es yang menggerogoti dinding hatinya luruh. Cinta tidak pernah benar-benar pergi meninggalkannya. Selalu ada seperti angin. Karena ia manusia, karena Mama manusia. Karena keberadaannya adalah cinta.
Kartika memutuskan berlari. Pulang.

************************************

PICU : Salah satu ruangan di ICU khusus untuk pasien bayi/ anak-anak yang kritis
Aspirasi meconium : Infeksi paru akibat masuknya cairan mekonium ( sejenis kotoran bayi berwarna hijau) ke dalam paru.
Anhedonia : hilangnya perasaan senang.
Plus : istilah di dunia medis yaitu pasien meninggal
Pansitopenia : penyakit akibat kekurangan darah merah, darah putih, dan trombosit yang terjadi secara bersamaan.
Co ass : disebut juga dokter muda. Jenjang profesi yang harus dilalui sebelum menyandang gelar sebagai dokter.
Pneumonia aspirasi ASI : Infeksi paru akibat masuknya cairan ASI ke dalam paru
CRF : Chronic Renal Failure  atau gagal ginjal kronis (telah berlangsung lama) dan hampir tidak bisa disembuhkan.


BIODATA PENULIS :
Rani Tiyas Budiyanti. Lahir Pacitan, 12 Agustus 1989. Universitas Negeri di Surakarta. email : rhein_pizz@yahoo.com.
Nafilah Nurdin dilahirkan di Teomokole, 30 November 1989. Untuk mengeratkan silaturrahim, penulis bisa disapa lewat email : Kaliandrabayu@yahoo.com dan akun facebook :Nafilah Nurdin

*Novelet ini pernah diikutkan dalam lomba di gorup Facebook UNTUK SAHABAT dan lolos 20 besar aja hehe

[Novelet] Pulang Part II


Oleh : Nafilah Nurdin & Rani Alzena (Duet Maut)
Pukul 20.30. Hari ini dia mendapat jatah jaga malam. Penat rasanya bergumul dengan bau obat seharian. Berhadapan dengan nyawa-nyawa yang sekarat diantara hidup dan mati. Namun entah mengapa, keberadaan Rindu mampu melupakan kesedihannya karena kehilangan Bayu. Seperti sudah menjadi sebuah kewajiban baru baginya bila setiap hari ia harus menjenguk sahabat kecilnya itu.
Kartika menghentikan langkah mendengar suara isakan tertahan ketika memasuki bangsal. Kartika mempercepat langkahnya. Ia menyibakkan tirai penyekat. Seketika keningnya berkerut. Antara kaget dan bingung.
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian modis dan perhiasan yang bergelayut erat di tubuhnya melepas paksa selang infus yang terbenam di tangan Rindu. Gadis cilik itu meringis kesakitan,
”Astaga, apa yang ibu lakukan? ” Suara Kartika tertahan.
”Oh, kami akan pulang dok. Kata dokter Herdi kami sudah boleh pulang, ” sahut perempuan itu. Ibunyakah? Batin Kartika. Mengapa dia melepas sendiri selang infus Rindu? Bukankah itu tugas perawat? Seketika perasaan tak suka mengelus hatinya. Tak tega rasanya melihat Rindu meringis kesakitan. Dilihatnya darah mulai menetes dari luka bekas infus yang dicabut paksa.
Kartika mengernyitkan kening. Setahu dia esok pagi Rindu masih ada jadwal transfusi.
”Rindu belum boleh meninggalkan rumah sakit, Bu. Saya mohon biarkanlah dia benar-benar sembuh. Saya akan membicarakan ini dengan dokter Herdi.”
Perempuan itu menatap Kartika tajam. Diseretnya Rindu dengan paksa. Kartika ingin mencegahnya, tetapi lidahnya tak mampu berkata. Hanya mampu dipandanginya Rindu dengan tatapan resah. Sempat dia lihat dari kejauhan, Rindu berbalik mencuri pandang kearahnya. Dia tersenyum. Kartika mengepalkan tangannya menahan desakan emosi yang mengguncang ruang di dadanya. Tidak. Ia tak akan membiarkan siapapun menyakiti gadis kecil bermata bening itu. Tidak boleh!
Entah apa yang memantik hatinya. Kartika melangkah, lalu setengah berlari menjangkau Rindu dari tangan Ibunya. Tangan kartika mencengkeram kuat pergelangan tangan Rindu. Ibu Rindu tersentak kaget.
”Dokter! Apa yang anda lakukan? Lepaskan!”
”Tidak boleh! Ibu tidak boleh membawanya pergi! Rindu harus tetap di sini sampai dia benar-benar sembuh, kekerasan hati ibu bisa menyakiti Rindu!”
”Saya ibunya, jadi saya yang berhak menentukan apakah Rindu tetap di rawat atau tidak!” cetus perempuan itu kasar.
Kartika mengeratkan pegangannya. Ia melihat senyum samar Rindu. Aih, gadis sekecil itu... Kartika meredam matanya yang mulai mengkristal.
”Jangan menyulitkan saya, dok!”
”Ada apa ini?”
Sebuah suara memaksa Kartika menoleh kebelakang. Dokter Herdi sedang menatapnya penuh tanya.
”Dokter ini menahan saya membawa anak saya pulang dok. Bukankah rumah sakit sudah mengijinkan. Lalu untuk apa dia ikut campur urusan saya, ” perempuan itu mengadu kepada dokter Herdi sambil menatap marah ke arah Kartika.
”Tapi dok, Rindu belum sembuh benar. Besok dia harus menjalani transfusi, ” Kartika membela diri.
”Ibu, Kartika. Mari ke ruangan saya. Kita bicarakan secara baik-baik masalah ini.” Dokter Herdi melangkah menuju ruangannya, diikuti Kartika, Rindu dan perempuan itu dibelakangnya. Semua terhanyut dalam diam, tanpa kata.
=oOo=
 Malam bersenandung pilu. Dendangnya menemani Kartika yang terpaku di balkon lantai dua. Tubuhnya mematung, tak ditemukannya sedikitpun energi yang dapat membangkitkan jiwa. Hatinya tiba-tiba menahan perih mengingat Rindu. Rindu akhirnya tetap bertahan di rumah sakit ini. Setelah dokter Herdi bersedia menanggung semua biaya rumah sakit karena ibunya tak mau membiayai dan mengurusnya lagi. Kartika pun tak mengerti mengapa dokter Herdi mengabulkan keinginannya untuk mempertahankan Rindu di sini.
Melihat Rindu seperti menonton sebuah potongan perih dari dari masa lalunya. Kartika mencicipi kembali sesak yang sudah bertahun-tahun ia coba lenyapkan dari timbunan ingatannya. Masa lalu ibarat wujud iblis berkuku panjang dan berwajah menyeramkan, mengejar langkah lambatnya dan selalu mengintai dengus napasnya. Menyusupi malam-malam lelahnya dengan mimpi buruk. Dan kali ini gadis cilik pemilik mata bening itu hadir membawa cermin untuk hatinya, menyadarkan Kartika bahwa tak pernah ada yang benar-benar usai dari kelebatan masa lalunya, juga duka itu. Rindu dengan kesendirian, luka yang membiru, tangan yang berlumuran darah karena infus yang dicabut paksa mau tak mau membuat Kartika mengingat sebuah luka yang sudah susah payah ia halau. Luka yang masih terasa ngilu, bahkan mulai bernanah.
Kartika tergugu. Bersedekap. Mengusir dingin. Hidup ini bukan rumus matematika.
”Kartika Widuri?”
Lamunan Kartika sedikit terusik. Ia menoleh. Lelaki berkaca mata. Tak asing lagi bagi Kartika.
”Kamu masih tak berubah juga, Kar,” kata dokter Herdi tanpa melihat Kartika. Matanya dibiarkan menjelajahi lelampu kota yang terlihat indah dari lantai teratas rumah sakit ini.
Kartika enggan menimpali.
Dokter Herdi menyunggingkan senyum tipis.
”Kau tahu? Kelak kekerasan kepala dan idealismemu itu akan menyulitkan hidupmu,” tandas dokter Herdi sebelum berbalik pergi.
”Tapi, setidaknya aku bukan pengecut yang lari begitu saja ketika orang lain membutuhkan bantuan,” desis Kartika tajam.
Kayuhan kaki dokter Herdi tertahan sejenak.
”Kau masih harus belajar banyak, Kartika.”
=oOo=
Senja memanggil. Diselimutinya sang mentari agar tak lagi menunjukkan benderangnya di atas mega. Arin segera menyeret Kartika menuju bangsal 8 padahal belum cukup 5 menit ia tiba di rumah sakit. Hujan turun amat deras sore ini, memuntahkan air triliunan liter. Bak jarum-jarum panjang yang menghunjam tanah. Aroma tanah kering yang tertimpa air menusuk-nusuk hidung.
”Ada apa?”
”Kau harus melihat Rindu, Kar.”
”Rindu?” Kartika sedikit tegang ketika menyebut nama itu. Apa yang terjadi pada gadis cilik itu?
Arin mengibaskan tangan kirinya.
”Dia baik-baik saja. Dan kau harus melihatnya!” timpal Arin. Matanya bermekaran binar.
Tumben. Biasanya jika menyangkut Rindu ia akan memasang tampang kusut sekusut baju emak-emak yang sudah bertahun- tahun tidak menyentuh air.
Mereka tiba di bangsal 8.
”Lihatlah...”
Rindu sedang duduk di pinggiran ranjang sembari menjuntaikan sepasang kaki kurusnya melambai tergesa Kartika. Senyumnya mengembang, seindah tulip kuning yang mulai bermekaran.
”Rindu sudah baikan?”
Gadis cilik itu mengangguk. Senyumnya lebih lebar. Kartika tak pernah melihat Rindu seceria ini sebelumnya.
”Aku melihat pelangi, kak. Indah sekali.” ucap Rindu ceria lalu tangannya menunjuk ke arah jendela yang berembun.
”Di sana.”
Kartika mengelus Rambut sebahu milik Rindu. Ia mengangkat wajahnya menatap Arin yang tak henti-hentinya memamerkan gigi putihnya.
”Aku pun kaget ketika mengecek keadaannya pagi ini. Kondisinya mulai membaik.” tutur Arin lega.
” Kau mau kemana?” Kartika heran melihat Arin malah berbalik meninggalkan mereka.
” Anak itu ingin aku mencarikan bunga rumput untuknya, mana masih gerimis pula! Huft...” Sesaat wajah Arin bertukar cemberut. Kartika tertawa geli.
Ditinggalkannya Rindu yang asyik menatap pelangi dan ditemaninya Arini yang melangkah menuju ke taman belakang rumah sakit. Rumah sakit mulai sepi memberikan kesempatan untuknya berbagi  cerita dengan Arin.
” Anak yang aneh, ” Arin mengumpat sembari mencabut paksa bunga-bunga rumput dihadapannya.
”Kau harus lebih sabar menghadapinya. Kau lupa, dia masih anak-anak. Lagipula apa salahnya berkorban untuk pasienmu? Hanya mencari bunga rumput kok,” kata Kartika. Tangannya sibuk menyibak rerumputan yang basah karena hujan.
”Oh ya, pasien yang kau tangani apa kabar? Kulihat kau lebih banyak menghabiskan waktumu bersama Rindu,” Arin balik bertanya.
”Gagal ginjal kronik,” Kartika menyahut pendek.
Arini terdiam. Dia sudah tahu riwayat dan masa depan penyakit itu.
 Kartika dan Arini. Sepasang sahabat sejak SMA. Sama-sama mencintai jurusan yang mereka pilih dengan seribu konsekuensi. Termasuk konsekuensi yang berhubungan dengan nyawa seseorang. Bedanya, Arini sedikit luwes dan agak tak sabaran sedangkan Kartika adalah orang yang menjunjung tinggi idealisme. Mereka belajar akan fatamorgana kehidupan di rumah sakit ini. Menyaksikan kematian dan kesembuhan yang masih menjadi misteri di antara sekian banyak jiwa yang siap meregang nyawa. Bahkan dokter pun tak sanggup menentukan umur sebuah nyawa.
”Sudah jadi! Sekarang permintaan aneh apalagi yang akan diajukan gadis kecil itu,” cetus Arini. Pinggangnya pegal setelah beberapa saat lamanya berjongkok di halaman belakang rumah sakit. Seikat bunga rumput sesuai permintaan Rindu.
”Ingat Rin, Rindu masih anak-anak...”
”Anak yang aneh.”
Malam harinya, ketika Kartika sudah hampir terlelap di balik selimutnya ponsel di atas meja kecil di samping kanan ranjangnya bergetar. Nama Arin terpampang di layarnya. Setahu Kartika, Arin bertugas jaga malam. Ada apa? Tidak biasanya dia menelpon selarut ini.
”Rindu...” suara di seberang sana tertahan.
”Rindu kenapa, Rin?”
”Sudah kubilang kan, dia anak yang aneh!” gerutu Arin.
”Maksudmu?”
”Masak dia menyuruhku berburu kunang-kunang! Kita tukaran pasien saja ya Tik? Kalau begini terus aku bisa stres!”
Kartika menahan tawa yang siap terhambur.
”Dia masih anak-anak, Rin.”
=oOo=
Mendung masih menggelayuti langit. Dua hari lagi, tugas di stase penyakit dalam ini akan berakhir. Itu berarti Kartika harus rela berpisah dengan sahabat kecilnya. Si mata bening,  Rindu. Sejauh ini perkembangan kesehatannya berjalan baik, selama itu pula Kartika berusaha mencari jalan agar Rindu bisa menjalani transplantasi sumsum tulang belakang. Itulah satu-satunya cara kesembuhan totalnya. Dan Rindu tak perlu lagi menjalani transfusi darah setiap minggu.
Rindu sudah cukup stabil. Infus yang menyakitinya telah dilepas. Namun dia tetap menjadi penghuni bangsal 8 itu. Ibunya tidak menjemputnya, selain itu dokter Herdi masih belum mengijinkan Rindu pulang. Entah karena alasan apa Kartika tak mengetahuinya, tetapi tak dapat dia sembunyikan rasa senangnya karena kebijakan itu membuatnya masih dapat bertemu dengan Rindu.
”Ini foto ayah dan ibuku.”
Kartika menerima angsuran sehelai foto dari Rindu. Selepas petang, Kartika menemaninya memandangi langit yang mendung. Tak ada bintang di sana. Rindu memangku toples kaca berisi 4 kunang-kunang. Berkat usaha perburuan Arin. Kartika masih menyimpan geli mengingat betapa semaputnya Arin malam itu.
Kartika memandangi wajah-wajah di dalam foto tersebut. Mata bening Rindu diwariskan oleh ayahnya.
”Aku merindukan ayah, ayah yang selalu menangkapkan kunang-kunang dan mengumpulkan bunga rumput untukku, ” ucap Rindu kelu.
Kartika tercenung.
”Ibuku menakutkan. Seharusnya ayah tidak meninggalkanku sendirian. Seharusnya ayah tidak membiarkan ibu menyakitiku. Ibu selalu mengurungku di gudang yang penuh tikus dan kecoa jika malam tiba. Kalau aku tak sengaja menumpahkan susuku untuk sarapan, ibu akan memukulkan ikat pinggangnya ke badanku, padahal aku tidak menyukai susu...”
Kartika memeluk Rindu erat. Nanah di hatinya meletus. Perih.
”Jangan menceritakan apapun lagi, kumohon...” isaknya. Perihal luka-luka di sekujur tubuh Rindu nyatanya ikut melukainya.
”Ibu tidak pernah memelukku, tidak pernah mencium keningku, tidak pernah mengucapkan selamat malam padaku, aku ingin ibu menyayangiku. Kakak, bisakah Tuhan mengabulkan keinginanku? Mengembalikan ibuku?”
Tubuh Kartika bergetar. Ibu. Ibu? Ia tak ingin mengingat wajahnya. Tidak ingin! Apakah Tuhan akan mengabulkan keinginanmu dan juga keinginanku? Kantung air mata Kartika bobol seiring siluet luka yang mengiris-ngiris ingatannya. Sesak.
”Kar, Kartika. Kau tidak apa-apa?” Arini menyentuhkan tangannya di bahu Kartika. Sudah sejam sejak keluar dari bangsal 8, Kartika membisu. Sesekali matanya menerawang. Arin khawatir. Tak biasanya Kartika seperti itu.
”Aku tidak apa-apa,” sahut Kartika dingin.
”Kau yakin? Kalau kau sakit tidak usah memaksakan diri. Kau bisa minta izin pada dokter.”
Kartika menggeleng.
Entah mengapa iring-iringan luka yang sempat hilang dari lajur hidupnya seperti kompak menggempur Kartika dengan sekali tembak. Malam menutup dengan dua buah kabar kelam.