Oleh : Nafilah Nurdin & Rani Alzena (Duet Maut)
Pukul 20.30. Hari ini dia mendapat jatah jaga malam. Penat rasanya bergumul dengan bau obat seharian. Berhadapan dengan nyawa-nyawa yang sekarat diantara hidup dan mati. Namun entah mengapa, keberadaan Rindu mampu melupakan kesedihannya karena kehilangan Bayu. Seperti sudah menjadi sebuah kewajiban baru baginya bila setiap hari ia harus menjenguk sahabat kecilnya itu.
Kartika menghentikan langkah mendengar suara isakan tertahan ketika memasuki bangsal. Kartika mempercepat langkahnya. Ia menyibakkan tirai penyekat. Seketika keningnya berkerut. Antara kaget dan bingung.
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian modis dan perhiasan yang bergelayut erat di tubuhnya melepas paksa selang infus yang terbenam di tangan Rindu. Gadis cilik itu meringis kesakitan,
”Astaga, apa yang ibu lakukan? ” Suara Kartika tertahan.
”Oh, kami akan pulang dok. Kata dokter Herdi kami sudah boleh pulang, ” sahut perempuan itu. Ibunyakah? Batin Kartika. Mengapa dia melepas sendiri selang infus Rindu? Bukankah itu tugas perawat? Seketika perasaan tak suka mengelus hatinya. Tak tega rasanya melihat Rindu meringis kesakitan. Dilihatnya darah mulai menetes dari luka bekas infus yang dicabut paksa.
Kartika mengernyitkan kening. Setahu dia esok pagi Rindu masih ada jadwal transfusi.
”Rindu belum boleh meninggalkan rumah sakit, Bu. Saya mohon biarkanlah dia benar-benar sembuh. Saya akan membicarakan ini dengan dokter Herdi.”
Perempuan itu menatap Kartika tajam. Diseretnya Rindu dengan paksa. Kartika ingin mencegahnya, tetapi lidahnya tak mampu berkata. Hanya mampu dipandanginya Rindu dengan tatapan resah. Sempat dia lihat dari kejauhan, Rindu berbalik mencuri pandang kearahnya. Dia tersenyum. Kartika mengepalkan tangannya menahan desakan emosi yang mengguncang ruang di dadanya. Tidak. Ia tak akan membiarkan siapapun menyakiti gadis kecil bermata bening itu. Tidak boleh!
Entah apa yang memantik hatinya. Kartika melangkah, lalu setengah berlari menjangkau Rindu dari tangan Ibunya. Tangan kartika mencengkeram kuat pergelangan tangan Rindu. Ibu Rindu tersentak kaget.
”Dokter! Apa yang anda lakukan? Lepaskan!”
”Tidak boleh! Ibu tidak boleh membawanya pergi! Rindu harus tetap di sini sampai dia benar-benar sembuh, kekerasan hati ibu bisa menyakiti Rindu!”
”Saya ibunya, jadi saya yang berhak menentukan apakah Rindu tetap di rawat atau tidak!” cetus perempuan itu kasar.
Kartika mengeratkan pegangannya. Ia melihat senyum samar Rindu. Aih, gadis sekecil itu... Kartika meredam matanya yang mulai mengkristal.
”Jangan menyulitkan saya, dok!”
”Ada apa ini?”
Sebuah suara memaksa Kartika menoleh kebelakang. Dokter Herdi sedang menatapnya penuh tanya.
”Dokter ini menahan saya membawa anak saya pulang dok. Bukankah rumah sakit sudah mengijinkan. Lalu untuk apa dia ikut campur urusan saya, ” perempuan itu mengadu kepada dokter Herdi sambil menatap marah ke arah Kartika.
”Tapi dok, Rindu belum sembuh benar. Besok dia harus menjalani transfusi, ” Kartika membela diri.
”Ibu, Kartika. Mari ke ruangan saya. Kita bicarakan secara baik-baik masalah ini.” Dokter Herdi melangkah menuju ruangannya, diikuti Kartika, Rindu dan perempuan itu dibelakangnya. Semua terhanyut dalam diam, tanpa kata.
=oOo=
Malam bersenandung pilu. Dendangnya menemani Kartika yang terpaku di balkon lantai dua. Tubuhnya mematung, tak ditemukannya sedikitpun energi yang dapat membangkitkan jiwa. Hatinya tiba-tiba menahan perih mengingat Rindu. Rindu akhirnya tetap bertahan di rumah sakit ini. Setelah dokter Herdi bersedia menanggung semua biaya rumah sakit karena ibunya tak mau membiayai dan mengurusnya lagi. Kartika pun tak mengerti mengapa dokter Herdi mengabulkan keinginannya untuk mempertahankan Rindu di sini.
Melihat Rindu seperti menonton sebuah potongan perih dari dari masa lalunya. Kartika mencicipi kembali sesak yang sudah bertahun-tahun ia coba lenyapkan dari timbunan ingatannya. Masa lalu ibarat wujud iblis berkuku panjang dan berwajah menyeramkan, mengejar langkah lambatnya dan selalu mengintai dengus napasnya. Menyusupi malam-malam lelahnya dengan mimpi buruk. Dan kali ini gadis cilik pemilik mata bening itu hadir membawa cermin untuk hatinya, menyadarkan Kartika bahwa tak pernah ada yang benar-benar usai dari kelebatan masa lalunya, juga duka itu. Rindu dengan kesendirian, luka yang membiru, tangan yang berlumuran darah karena infus yang dicabut paksa mau tak mau membuat Kartika mengingat sebuah luka yang sudah susah payah ia halau. Luka yang masih terasa ngilu, bahkan mulai bernanah.
Kartika tergugu. Bersedekap. Mengusir dingin. Hidup ini bukan rumus matematika.
”Kartika Widuri?”
Lamunan Kartika sedikit terusik. Ia menoleh. Lelaki berkaca mata. Tak asing lagi bagi Kartika.
”Kamu masih tak berubah juga, Kar,” kata dokter Herdi tanpa melihat Kartika. Matanya dibiarkan menjelajahi lelampu kota yang terlihat indah dari lantai teratas rumah sakit ini.
Kartika enggan menimpali.
Dokter Herdi menyunggingkan senyum tipis.
”Kau tahu? Kelak kekerasan kepala dan idealismemu itu akan menyulitkan hidupmu,” tandas dokter Herdi sebelum berbalik pergi.
”Tapi, setidaknya aku bukan pengecut yang lari begitu saja ketika orang lain membutuhkan bantuan,” desis Kartika tajam.
Kayuhan kaki dokter Herdi tertahan sejenak.
”Kau masih harus belajar banyak, Kartika.”
=oOo=
Senja memanggil. Diselimutinya sang mentari agar tak lagi menunjukkan benderangnya di atas mega. Arin segera menyeret Kartika menuju bangsal 8 padahal belum cukup 5 menit ia tiba di rumah sakit. Hujan turun amat deras sore ini, memuntahkan air triliunan liter. Bak jarum-jarum panjang yang menghunjam tanah. Aroma tanah kering yang tertimpa air menusuk-nusuk hidung.
”Ada apa?”
”Kau harus melihat Rindu, Kar.”
”Rindu?” Kartika sedikit tegang ketika menyebut nama itu. Apa yang terjadi pada gadis cilik itu?
Arin mengibaskan tangan kirinya.
”Dia baik-baik saja. Dan kau harus melihatnya!” timpal Arin. Matanya bermekaran binar.
Tumben. Biasanya jika menyangkut Rindu ia akan memasang tampang kusut sekusut baju emak-emak yang sudah bertahun- tahun tidak menyentuh air.
Mereka tiba di bangsal 8.
”Lihatlah...”
Rindu sedang duduk di pinggiran ranjang sembari menjuntaikan sepasang kaki kurusnya melambai tergesa Kartika. Senyumnya mengembang, seindah tulip kuning yang mulai bermekaran.
”Rindu sudah baikan?”
Gadis cilik itu mengangguk. Senyumnya lebih lebar. Kartika tak pernah melihat Rindu seceria ini sebelumnya.
”Aku melihat pelangi, kak. Indah sekali.” ucap Rindu ceria lalu tangannya menunjuk ke arah jendela yang berembun.
”Di sana.”
Kartika mengelus Rambut sebahu milik Rindu. Ia mengangkat wajahnya menatap Arin yang tak henti-hentinya memamerkan gigi putihnya.
”Aku pun kaget ketika mengecek keadaannya pagi ini. Kondisinya mulai membaik.” tutur Arin lega.
” Kau mau kemana?” Kartika heran melihat Arin malah berbalik meninggalkan mereka.
” Anak itu ingin aku mencarikan bunga rumput untuknya, mana masih gerimis pula! Huft...” Sesaat wajah Arin bertukar cemberut. Kartika tertawa geli.
Ditinggalkannya Rindu yang asyik menatap pelangi dan ditemaninya Arini yang melangkah menuju ke taman belakang rumah sakit. Rumah sakit mulai sepi memberikan kesempatan untuknya berbagi cerita dengan Arin.
” Anak yang aneh, ” Arin mengumpat sembari mencabut paksa bunga-bunga rumput dihadapannya.
”Kau harus lebih sabar menghadapinya. Kau lupa, dia masih anak-anak. Lagipula apa salahnya berkorban untuk pasienmu? Hanya mencari bunga rumput kok,” kata Kartika. Tangannya sibuk menyibak rerumputan yang basah karena hujan.
”Oh ya, pasien yang kau tangani apa kabar? Kulihat kau lebih banyak menghabiskan waktumu bersama Rindu,” Arin balik bertanya.
”Gagal ginjal kronik,” Kartika menyahut pendek.
Arini terdiam. Dia sudah tahu riwayat dan masa depan penyakit itu.
Kartika dan Arini. Sepasang sahabat sejak SMA. Sama-sama mencintai jurusan yang mereka pilih dengan seribu konsekuensi. Termasuk konsekuensi yang berhubungan dengan nyawa seseorang. Bedanya, Arini sedikit luwes dan agak tak sabaran sedangkan Kartika adalah orang yang menjunjung tinggi idealisme. Mereka belajar akan fatamorgana kehidupan di rumah sakit ini. Menyaksikan kematian dan kesembuhan yang masih menjadi misteri di antara sekian banyak jiwa yang siap meregang nyawa. Bahkan dokter pun tak sanggup menentukan umur sebuah nyawa.
”Sudah jadi! Sekarang permintaan aneh apalagi yang akan diajukan gadis kecil itu,” cetus Arini. Pinggangnya pegal setelah beberapa saat lamanya berjongkok di halaman belakang rumah sakit. Seikat bunga rumput sesuai permintaan Rindu.
”Ingat Rin, Rindu masih anak-anak...”
”Anak yang aneh.”
Malam harinya, ketika Kartika sudah hampir terlelap di balik selimutnya ponsel di atas meja kecil di samping kanan ranjangnya bergetar. Nama Arin terpampang di layarnya. Setahu Kartika, Arin bertugas jaga malam. Ada apa? Tidak biasanya dia menelpon selarut ini.
”Rindu...” suara di seberang sana tertahan.
”Rindu kenapa, Rin?”
”Sudah kubilang kan, dia anak yang aneh!” gerutu Arin.
”Maksudmu?”
”Masak dia menyuruhku berburu kunang-kunang! Kita tukaran pasien saja ya Tik? Kalau begini terus aku bisa stres!”
Kartika menahan tawa yang siap terhambur.
”Dia masih anak-anak, Rin.”
=oOo=
Mendung masih menggelayuti langit. Dua hari lagi, tugas di stase penyakit dalam ini akan berakhir. Itu berarti Kartika harus rela berpisah dengan sahabat kecilnya. Si mata bening, Rindu. Sejauh ini perkembangan kesehatannya berjalan baik, selama itu pula Kartika berusaha mencari jalan agar Rindu bisa menjalani transplantasi sumsum tulang belakang. Itulah satu-satunya cara kesembuhan totalnya. Dan Rindu tak perlu lagi menjalani transfusi darah setiap minggu.
Rindu sudah cukup stabil. Infus yang menyakitinya telah dilepas. Namun dia tetap menjadi penghuni bangsal 8 itu. Ibunya tidak menjemputnya, selain itu dokter Herdi masih belum mengijinkan Rindu pulang. Entah karena alasan apa Kartika tak mengetahuinya, tetapi tak dapat dia sembunyikan rasa senangnya karena kebijakan itu membuatnya masih dapat bertemu dengan Rindu.
”Ini foto ayah dan ibuku.”
Kartika menerima angsuran sehelai foto dari Rindu. Selepas petang, Kartika menemaninya memandangi langit yang mendung. Tak ada bintang di sana. Rindu memangku toples kaca berisi 4 kunang-kunang. Berkat usaha perburuan Arin. Kartika masih menyimpan geli mengingat betapa semaputnya Arin malam itu.
Kartika memandangi wajah-wajah di dalam foto tersebut. Mata bening Rindu diwariskan oleh ayahnya.
”Aku merindukan ayah, ayah yang selalu menangkapkan kunang-kunang dan mengumpulkan bunga rumput untukku, ” ucap Rindu kelu.
Kartika tercenung.
”Ibuku menakutkan. Seharusnya ayah tidak meninggalkanku sendirian. Seharusnya ayah tidak membiarkan ibu menyakitiku. Ibu selalu mengurungku di gudang yang penuh tikus dan kecoa jika malam tiba. Kalau aku tak sengaja menumpahkan susuku untuk sarapan, ibu akan memukulkan ikat pinggangnya ke badanku, padahal aku tidak menyukai susu...”
Kartika memeluk Rindu erat. Nanah di hatinya meletus. Perih.
”Jangan menceritakan apapun lagi, kumohon...” isaknya. Perihal luka-luka di sekujur tubuh Rindu nyatanya ikut melukainya.
”Ibu tidak pernah memelukku, tidak pernah mencium keningku, tidak pernah mengucapkan selamat malam padaku, aku ingin ibu menyayangiku. Kakak, bisakah Tuhan mengabulkan keinginanku? Mengembalikan ibuku?”
Tubuh Kartika bergetar. Ibu. Ibu? Ia tak ingin mengingat wajahnya. Tidak ingin! Apakah Tuhan akan mengabulkan keinginanmu dan juga keinginanku? Kantung air mata Kartika bobol seiring siluet luka yang mengiris-ngiris ingatannya. Sesak.
”Kar, Kartika. Kau tidak apa-apa?” Arini menyentuhkan tangannya di bahu Kartika. Sudah sejam sejak keluar dari bangsal 8, Kartika membisu. Sesekali matanya menerawang. Arin khawatir. Tak biasanya Kartika seperti itu.
”Aku tidak apa-apa,” sahut Kartika dingin.
”Kau yakin? Kalau kau sakit tidak usah memaksakan diri. Kau bisa minta izin pada dokter.”
Kartika menggeleng.
Entah mengapa iring-iringan luka yang sempat hilang dari lajur hidupnya seperti kompak menggempur Kartika dengan sekali tembak. Malam menutup dengan dua buah kabar kelam.