Oleh : Rumah Angin
Malam berlalu. Berganti fajar yang perlahan naik menuju singgasananya. Kartika menggeliat di tempat tidur. Dibebaskannya sendi-sendi dari segala kepenatan yang membebani. Akhir pekan. Malas menyerangnya, membuat semangat dalam dirinya timbul tenggelam tak beraturan. Terbayang wajah perawat yang tak ramah, dokter senior yang suka main perintah, pasien rewel yang tak pernah berucap terimakasih membuat dirinya semakin enggan meninggalkan pembaringan. Namun apa boleh buat, mau tak mau dia harus bangkit menuju rumah sakit. Dia harus mengejar cita-citanya menjadi dokter walaupun harus menempuh pendidikan profesi yang begitu menyudutkannya, sebagai co ass atau dokter muda.
Pukul enam kurang seperempat. Kartika semakin mempercepat langkahnya ketika dia sampai di depan sebuah bangunan tua berlantai lima dan berwarna hijau muda. Bangunan itu dilindungi oleh pagar kokoh dari besi yang mulai karatan, seakan-akan tak ingin ada yang coba-coba mengusik nyawa-nyawa sekarat yang sedang berjuang untuk pulih.
Ruang PICU. Bau khas obat-obatan mulai berebutan memasuki rongga hidung. Saling dorong, saling tarik, dan bergelayutan manja pada lendir-lendir dan bulu hidungnya. Kartika tak peduli. Didekatinya seorang pasien yang telah berminggu-minggu menjadi pemilik bed di ujung ruangan itu.
Bayu, sesosok makhluk mungil berusia 6 bulan itu masih tergolek lemas di pembaringan. Di sekujur tubuhnya terpasang selang-selang yang siap mencabut nyawanya kapan saja. Pneumonia aspirasi ASI begitulah dokter memvonisnya. Nafas yang tersengal-sengal diselingi dengan dengkuran kasar membuat siapa saja yang melihatnya semakin iba. Kartika mulai mengecek denyut nadi dan pernafasan rata-rata Bayu. Wajahnya menunjukkan kelegaan karena semuanya masih dalam batas normal.
”Mbak Tika, ada pasien baru. Aspirasi meconium. ” kata Mbak Susi, seorang perawat setengah baya.
Kartika menoleh. Lalu mengerutkan kening, dilihatnya semua bed di ruangan itu telah ditempati oleh penghuninya masing-masing.
”Benarkah mbak? Lalu pasien mau ditaruh di mana? Di sini bed sudah penuh dan ventilator juga terpakai semua.”
” Tadi dokter Zizi berpesan, agar kita melepas ventilator salah satu pasien yang kira-kira tidak menunjukkan perbaikan. Mau bagaimana lagi mbak, peralatan kita juga terbatas,” kata Mbak Susi memberikan argumennya.
” Lalu ventilator siapa yang harus kita lepas? Saya lihat semua masih dalam kondisi kritis disini?”.
” Berdasarkan rekam medis, dokter Zizi menyarankan agar pasien yang diujung sana saja yang kita lepas ventilatornya,” ucap mbak Susi menunjuk pasien di ujung ruangan.
” Sudah empat belas hari dia di sini. Tekanan darah dan nadinya normal, tetapi dia sangat tergantung dengan alat. Dia hanya hidup jika memakai alat-alat ini,” Mbak Susi memandang Kartika berharap persetujuan darinya.
Kartika terhenyak, Bayu. Bagaimana mungkin dia harus melepas ventilatornya. Melepas ventilator pasien lain saja dia tak akan sanggup apalagi Bayu. Selama ini Bayu yang menjadi tempatnya bercerita semua keluh, peluh dan asa yang dia punya. Menjadi teman ketika sunyi melanda karena dia harus berjaga seorang diri di tengah malam sepi. Baginya Bayu adalah pendengar yang baik. Tak pernah menyela, walaupun juga tak pernah memberinya seucap kata. Kartika menghela napas.
”Mbak Susi, tunggu dulu di sini ya. Saya akan coba berdiskusi kembali dengan dokter Zizi. Saya akan meminta pendapat beliau untuk melakukan rujukan saja ke rumah sakit yang masih luang. Saya titip pasien baru ya mbak. Tolong dibantu memonitor, ”.
Kartika segera berlalu. Dilangkahkan kakinya menuju ruangan dokter Zizi di lantai dua. Dari luar jendela, tampak dokter zizi sedang sibuk mempelajari kasus-kasus yang dia baca di meja kerjanya.
Kartika mengetuk pintu.
”Permisi dok...”
Dokter Zizi mengangkat wajahnya, mengangguk sedikit. Kartika melangkahkan kakinya masuk ke ruangan full AC itu.
”Silahkan duduk,”
Kartika mengangguk sembari tersenyum.
”Ada masalah apa ?”
Kartika menghela nafas. Kelu lidahnya akan berkata, dokter Zizi terkenal sebagai dokter yang paling disiplin di rumah sakit ini. Dokter tegas yang tidak suka basa basi.
”Begini dok, saya dengar dari Mbak Susi dokter menyarankan melepas salah satu ventilator pasien di PICU karena ada pasien baru..”
”Ya, lalu?” potong dokter Zizi.
”Menurut saya apa tidak lebih baik dirujuk saja dok, bukankah melepas secara sengaja sama dengan membunuh dok ??”
”Bukankah kamu sudah tau prosedurnya nak? Bagaimana mungkin kita menunggu satu pasien bangun sampai waktu yang kita tidak tahu, sementara ada pasien lain yang masih mempunyai harapan untuk bertahan membutuhkan alat yang dia gunakan? Saya harap kamu bisa memahami itu,” tandas dokter senior itu.
Kartika mengangguk. Bukan menerima tetapi ia sedang mencoba menemukan kalimat yang tepat untuk `merayu` dokter Zizi. Bayu tidak boleh diperlakukan semena-mena.
“Mohon maaf dok, tetapi bukankah hal itu dapat dihindari? Sebelum ini saya sudah menghubungi pihak rumah sakit Harapan Semua dan di sana ada ventilator yang tidak dipakai, mengapa tidak kita rujuk saja ke sana?”
Dokter Zizi menatap Kartika tajam.
”Tidak semudah itu nak, kredibilitas rumah sakit akan jatuh. Apalagi secara struktur rumah sakit ini lebih tinggi dibanding dengan rumah sakit itu. Bagaimana bisa kita merujuk ke sana? Bukankah dirimu tahu yang namanya rujukan pasti ke rumah sakit yang lebih bagus.”
”Tetapi dok, masalah kita bukan pelayanan. Tetapi sarana kita yang tidak ada. Saya rasa mereka bisa memakluminya dan mereka malah bangga karena kita dapat mengesampingkan kredibilitas kita demi nyawa. Bukankah kita telah disumpah untuk menghargai sebuah kehidupan dok?”
Dokter Zizi terdiam. Dihelanya nafas dalam-dalam.
”Saya mohon dok, ”
Kartika memasang wajah memelas.
”Kamu terlalu idealis, nak. Maaf, saya tidak bisa. Ini sudah kesepakatan di rumah sakit kita. Saya minta kamu menghargainya. Atau jika kamu tidak setuju dengan peraturan di sini, kamu boleh mencari rumah sakit lain yang sesuai dengan apa yang kamu mau.”
Kartika lemas. Matanya memerah. Sudah tidak ada lagi harapan.
”Dok, ada pasien syok,” dengan tergesa Mbak Susi masuk ke ruangan dokter Zizi.
Dokter Zizi segera berlari menuju ruang PICU. Kartika mengikutinya. Tiba di PICU, Kartika terhenyak. Bayu! Nafasnya tersengal-sengal. Bibirnya mulai membiru. Tubuhnya mengejang. Kartika melihat di monitor, frekuensi denyut jantungnya mulai menurun dengan drastis. Cepat dan pasti.
”Adrenalin!” dokter Zizi memberikan perintah.
Kartika mengangguk. Diberikannya spuit berisi adrenalin yang telah diencerkan. Dokter Zizi menyuntikkan adrenalin dengan segera. Tekanan darahnya naik sedikit tetapi kemudian menurun kembali dengan drastinya, denyut jantungnya juga mulai melemah. Jantung dan pembuluh darahnya kolaps. Dalam hitungan menit, Bayu plus.
Dokter Zizi menghela napas panjang. Dia menggeleng pertanda menyerah.
Kartika lunglai. Ia menahan isak tangis yang siap meledak. Dipandanginya Bayu yang seakan tidur nyenyak. Digenggamnya ujung jari bayi mungil itu, masih hangat dan nampak pucat. Siang itu benar-benar sendu. Hari terakhirnya di stase anak meninggalkan hujan di langitnya.
”Ah Bayu, ternyata hidup memang bukan sepasti rumus matematika. Begitu hebatnya skenario Tuhan hingga aku tak sanggup mencernanya. Dia begitu pandai menyimpan rahasia kematian hambaNya,” desis Kartika.
Kartika melangkah gontai menuju tempat perawat. Saat itulah sebuah kereta dorong menerabas masuk mengangkut pasien baru. Panik.
Kartika nelangsa. Melihat wajah gadis cilik nan polos di atas kereta dorong yang berlalu di depannya. Rumah sakit ibarat sebuah jalan bercabang. Hanya ada 2 kemungkinan. Sehat atau berpulang.
=oOo=
Langit merah jingga. Semburatnya bertebaran di berbagai sudut pagi. Mentari belum sepenuhnya hadir, sepagi ini Kartika harus melangkah di bawah bayang-bayang tipisnya.
Hari ini lembaran baru dimulai. Stase baru di bangsal penyakit dalam mau tak mau membuat Kartika mepunyai sedikit harapan. Harapan yang sangat akan kesembuhan pasien-pasiennya dan senyum bahagia yang terukir karenanya. Kartika begitu merindukan keadaan itu. Keberadaannya di PICU selama dua minggu hampir membuatnya anhedonia. Setiap detik yang ada di depan matanya hanyalah bayi-bayi kritis yang berlomba-lomba mengajukan proposal kehidupan kepada Tuhan. Dan yang lebih miris, tak banyak dari proposal mereka yang diterima.
Kartika menuju tempat perawat di Dahlia lantai II. Tampak di sana beberapa co ass dan perawat asyik dengan kegiatannya masing-masing. Kartika segera menuju tempat penyimpanan rekam medis, diambilnya sebuah map yang bertuliskan ” Pak Karto, CRF ”.
”Hmm..gagal ginjal kronis,” Kartika bergumam. Dipelajarinya rekam medis dan kondisi pasien. Hari ini dialah yang bertugas mencatat status pasien itu. Kartika mulai melangkahkan kaki ke bangsal delapan nomer 45 setelah dia paham akan riwayat penyakit yang diderita pasiennya.
Di dalam bangsal nomor 8 terdapat 8 bed yang disekat tirai hijau muda. Kartika segera menuju bed nomer 45. ”Pak Karto, CRF.” Dia memastikan identitas pasien yang akan diperiksanya. Dilihatnya seorang lelaki tua tengah berjuang untuk hidup. Tubuhnya sangat kurus, tinggal kulit yang membalut tulang. Wajahnya pucat dan kulitnya dipenuhi oleh keriput di sana sini.
”Selamat pagi Pak Karto, ” Kartika menyapa ramah.
”Pagi dok.” lelaki tua itu tersenyum.
”Bagaimana? Sudah merasa baikan?”
”Sudah mendingan dok, kapan saya bisa pulang?”
Kartika terdiam. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Pasien ini mengalami gagal ginjal kronis dan harus melakukan cuci darah setiap 3 hari sekali. Prognosis penyakitnya pun buruk, kemungkinan sembuh dan kembali sempurna seperti sediakala hanya 0,01%.
”Bapak sabar ya, yang penting bapak harus mendengarkan kata dokter. Makan yang banyak dan minum obatnya teratur.” Kartika menghibur.
”Saya periksa tekanan darah dulu ya,” lanjutnya.
Pak Karto mengangguk.
Kartika mulai memeriksa tekanan darahnya. Di hirupnya nafas dalam-dalam ketika mengetahui tekanan darah Pak Karto yang tinggi, 160/100mmHg.
”Sudah baik dok ?” tanya Pak Karto polos.
Kartika tersenyum kecut. Dia mengangguk.
”Jangan lupa diminum obatnya ya pak, saya pamit dulu,” Kartika berbalik. Tak sanggup rasanya mengatakan kepada pasiennya bahwa keadaan sudah parah dan kesehatan organ-organnya memburuk. Dia melangkahkan kaki, ingin cepat-cepat pergi tetapi langkahnya tertahan oleh sebuah suara.
”Tidak mau!” Kasar dan tegas.
Kartika melangkah menuju asal suara itu. Disingkapnya tirai yang menyekatnya. Kartika terpaku sekian detik. Matanya bertemu dengan sepasang mata bening. Gadis cilik yang dilihatnya di atas kereta dorong kemarin.
”Ada apa Rin ?” tanyanya kepada Arin, teman co ass nya.
“Ini Tik, sudah seharian dia tidak makan. Padahal aku sudah bersedia menyuapi dia. Tetapi dia tetap keras kepala. Ibunya pun juga tak tampak batang hidungnya. Huh, aku ini calon dokter atau calon pembantu, bandel banget nih anak,” cetus Arin mengeluh gaduh.
Kartika tersenyum.
“Sini aku yang suapin, aku minta tolong rekam medis pasienku kamu masukin di tempat penyimpanan ya,“
Fani mengangguk. Matanya berbinar.
”Siiip,” katanya sembari berlalu meninggalkan bangsal dengan segera.
Kartika mendekatinya, gadis cilik bermata bening itu acuh memandang jendela.
”Adik cantik, namanya siapa?”
Dia bergeming. Bahkan menoleh pun tidak. Kartika menghela nafas.
”Sabar,” batinnya.
”Aku suapin ya?”
Perempuan kecil itu tetap bungkam. Namun juga tak menolak ketika Kartika menyodorkan sesendok nasi ke depan bibirnya. Suapan demi suapan dia sambut dengan mesra dan tergesa. Seperti sudah berminggu-minggu dia tak menikmatinya.
”Aku mau minum,” katanya tanpa memandang Kartika.
Kartika mengambil gelas berisi air putih dan dia berikan kepada anak itu. Tak sengaja gelas itu terlepas. Dan air mulai merembes membasahi bajunya yang abu-abu. Anak itu tak merespon, sementara Kartika dengan terburu mencari baju ganti di almari kecil pasien. Ada empat potong baju di situ dan semuanya berwarna abu-abu.
Kartika meminta anak itu membuka baju. Mulutnya ternganga melihat tubuh yang kurus dan hanya berbalut kulit layu di depannya itu penuh dengan goresan-goresan membiru. Di beberapa tempat masih memerah, seperti masih baru. Anak itu menunduk, tak berani memandang Kartika.
Kartika tak membiarkan perasaan anak itu terganggu. Dialihkannya perhatian gadis kecil itu.
”Kau suka warna abu-abu,”
Dia mengangguk.
”Mengapa?”
“Karena Ayah juga menyukai abu-abu. Kata Ayah abu-abu tidak egois. ”
Kartika senang. Gadis cilik bermata bening itu sudah mau berbicara lebih banyak.
”Wah, ayahmu hebat ya. Dia pasti orang yang sangat bijaksana. Sekarang ayahmu di mana? Bolehkah aku bertemu dengannya suatu hari nanti?”
”Dia sudah mati.”
Kartika terdiam. Enggan rasanya meneruskan interogasi ini.
”Baiklah, kau istirahat dulu ya, kakak akan memeriksa pasien yang lain dulu.”
Anak itu tak merespon. Kartika berlalu.
=oOo=
Namanya Rindu. Keberadaanya selama dua hari di bangsal penyakit dalam akibat pansitopenia yang dideritanya. Dari catatan di rekam medis, jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit Rindu sudah jauh di bawah ambang batas sehingga dia perlu mendapatkan transfusi secara rutin.
Sudah seminggu ini Kartika menggantikan Arin menyuapi Rindu. Semakin sering berinteraksi dengan gadis cilik bermata bening, Kartika menemukan kehangatan yang terasa lain. Seperti kau merasa sumringah ketika disodori sebungkus cokelat kala kanak-kanakmu. Kurang lebih seperti itulah yang dirasakannya. Rasa cokelat. Manis dan menyenangkan. Perlahan Kartika mulai terbiasa mendengar celotehan Rindu. Tentang rumah putihnya, tentang kesukaannya melihat pelangi, tentang keinginannya suatu saat menjadi bintang di langit dan tentang Ayahnya. Kartika baru tahu jika Ayah Rindu meninggal karena kecelakaan mobil 3 tahun silam. Kartika tercenung melihat raut wajah Rindu ketika mengisahkan Ayahnya. Ia tak menemu riak di sana kecuali sketsa dingin dan hening yang terpancar di matanya. Gadis cilik berusia sepuluh tahun. Sekecil itu sudah harus berkenalan dengan berupa-rupa pilu. Satu hal yang masih mengganggu benak Kartika, luka-luka di sekujur tubuh mungilnya, dari manakah semua itu? Sayangnya, Rindu tak bernafsu untuk berkisah. Selalu mengelak tatkala Kartika hendak menyinggung perihal luka-luka tersebut.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^