Selasa, 20 Desember 2011

[Sebuah Flash Fiction] Ini Elegi Penutup

 Oleh : Nafilah Nurdin
Ini kulminasi cerita yang menyesakan. Duka ini terlalu ramai. Memekakkan telinga. Aku berkali-kali bermain-main dengan kata seandainya. Ya. Seandainya kau datang menemuiku pukul 8 malam kemarin. Seandainya kau menepati janji. Terlalu banyak kata seandainya.
            Kau pernah bilang Tuhan tak suka kata seandainya. Kata itu menyiratkan ketidakikhlasan. Aku tahu itu. Yang tak kutahu adalah mengapa kau tak membantuku untuk menjauhi kata itu? Andai saja kau mau sedikit mematuhi janji, maka tak akan pernah ada duka ini. Segerombolan kabut itu tak akan singgah mengerubungi langit November. Langit yang sejatinya akan menjadi saksi kebahagiaan kita.
            “Aku datang Kay,” bisikmu sendu.
Ya, aku melihatmu. Mengapa kau datang terlambat? Kumohon jangan memberiku tatapan seperti itu. Bisakah kau merengkuhku dengan ketegaran? Aku sudah lelah menangis.
“Maafkan, tolong maafkan aku…”
Selalu ada ruang untuk memaafkanmu. Bukankah kau tahu itu? Hanya saja untuk saat ini aku lebih suka bermain-main dengan penyesalan. Aku tahu betul ini sia-sia. Tetapi apakah salah jika sejenak saja aku mendulang sebanyak-banyaknya amarah dan pada jeda waktu berikutnya kulepaskan dengan sekali sentak segala duka ini? Aku berpikir dengan seperti ini maka luluslah hatiku untuk membiarkanmu dengan hidupmu. Aku sadar aku tidak pernah punya hak untuk mengacaukanmu.
Hal yang paling ingin kudengar saat ini adalah mengapa kau tak datang pukul 8 malam kemarin? Mengapa kau tak menghubungiku? Bahkan sampai aku benar-benar pamit, kau masih bungkam. Ini kisah kita, maka harus kita pula yang mengakhirinya dengan sopan. Itu yang ingin kutuntaskan.
“Mengapa kau tak datang?”
Kau diam saja.
“Aku bukan pengantin semestamu, Kay…”
Apa?
“Maafkan aku. Aku bukan lelaki yang kau harapkan. Aku bukan pangeran berkuda yang selama ini kau impikan. Aku bukan lelaki, Kay…”
Kau menangis? Mengapa?
“Mestinya kusadari ini sejak awal. Akulah penyebab semua ini. Aku yang menciptakan lukamu. Aku yang memberimu jelaga. Aku yang dengan sengaja mengalirkan darah di hatimu. Aku penyihir jahat yang menyembunyikan pangeran berkudamu.”
“Kau tahu? Jauh-jauh hari sebelum aku mengenalmu aku telah lebih dahulu mengikat janji pada orang lain. Malangnya saat bertemu denganmu, aku mulai belajar menghindari kejujuran. Aku egois dengan memilih memberimu janji. Aku bukan lelaki, Kay. Aku pencipta dukamu. Makilah aku semaumu. Maaf… maafkan aku…”
Ya Tuhan…
“Dan malam ketika kau menungguku untuk datang meminangmu resmi, malam ketika petaka itu menjemputmu, ketika kawanan perampok itu membantai rumahmu, aku, lelaki keparat ini sedang mengucap janji semesta dengan hati yang lain. Kay… dengan jalan apakah agar aku tahu kau memaafkanku? Aku sungguh menyesal…”
Tidak. Aku tidak ingin mendengar apapun. Bukan kata-kata seperti itu yang ingin kudengar.
“Aku bukan pengantin semestamu. Aku yakin, Tuhan telah menyiapkan pengantin untuk semesta hatimu di sana.  Selamat tinggal, Kay. ”
Angin mematuki hening. Daun-daun kamboja luruh di pangkuanku.
Ah, sayang sekali kau tak mengakhirinya dengan sopan. Ini elegi penutup.

*Diikutkan dalam lomba Perpustakaan Abatasa September taon lalu dan alhamdulillah gak lolos wkwkwk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^