Minggu, 25 Desember 2011

[Novelet] Pulang Part III (Tamat)

Oleh : Nafilah Nurdin & Rani Alzena (teteup duet maut)

Kartika berlari. Menerabas sunyi yang membungkam koridor rumah sakit. Tengah malam. Ia masih mengenakan setelan baju tidur. Arin mengabarinya sesuatu yang buruk lewat sms singkat.
Rindu perdarahan. Dia drop.
Kartika menyeka kasar air mata yang memenuhi kelopak matanya, mengalir deras. Diacuhkannya telpon Mas Yuga, kakak laki-lakinya yang nomor 2. Juga mengabarinya hal buruk.
”Kau harus pulang, Kar. Sakit Mama semakin parah. Sebelum semuanya terlambat...” kata-kata itu sedikit menyelip dipikirannya. Tapi dia mengacuhkannya.
Yang tinggal di kepalanya saat ini semata-mata Rindu. Bagaimana nasibnya. Masih terang di matanya ketika ia mendengarkan Rindu dengan wajah ceria bercerita tentang ayahnya. Tentang luka karena ibunya. Mengapa mendadak semuanya jungkir balik? Tuhan, mengapa?
Kartika tiba di dalam ICU. Arin menyambutnya dengan tangis. Dokter Herdi, beberapa dokter senior dan perawat memandanginya dengan sedih.
”Kami sudah berusaha, Kar.” Dokter Herdi menggeleng lemah.
Kartika seperti kehilangan suara. Lututnya lunglai. Ditatapnya tubuh ringkih yang terbujur kaku di ranjang perawatan, sejumlah alat medis menancapi kulit tipisnya. Rindu? Tuhan, mengapakah?
Kartika membekap mulutnya. Gadis cilik pemilik mata bening itu... terbayang wajah polos penuh dukanya, luka-luka di sekujur tubuhnya, keinginan-keinginan sederhananya. Tuhan, bahkan KAU belum sempat mengabulkan permintaannya.
Kartika sempoyongan, beruntung Arin lekas memapahnya. Kartika terisak perih.
”Dia bilang, dia ingin sembuh. Dia masih terlampau kecil. Dia masih punya harapan-harapan yang belum terwujud, Rindu... namanya Rindu,” kalimat Kartika tersendat-sendat.
”Rindu sudah tenang, Kar.”
Dan malam benar-benar menutup hari dengan duka.
=oOo=
Kepergian Rindu berimbas terhadap kehidupan Kartika. Ia berubah sangat pendiam. Betah berlama-lama berdiri di depan jendela ruang perawatan Rindu. Jika hujan tiba, Kartika akan setia menungguinya hingga reda dan berharap melihat pelangi. Rindu yang menghadirkan kembali potret masa kecilnya yang buram.
Mas Yuga semakin sering menghubunginya. Lewat sms dan telepon. Tetapi Kartika lebih banyak mengacuhkannya. Seperti siang tadi. Ada 10 pesan masuk dan 24 panggilan tak terjawab di ponselnya. Semuanya dari Mas Yuga.
Menjelang maghrib, Kartika menghenyakkan badan penatnya di bangku ruang tunggu rumah sakit sehabis menjenguk pasiennya. Pak Karto.
”Kau sudah diberi izin untuk pulang!”
Kartika membuka matanya yang terpejam. Tahu-tahu dokter Herdi sudah berdiri di hadapannya, menenteng sejumlah map biru.
”Aku tidak pernah mengajukan izin,” sahut Kartika datar. Lalu kembali mengatupkan kelopak matanya.
”Aku yang mewajibkanmu pulang. Yuga menghubungiku. Mama kritis di rumah sakit Solo! KAU HARUS PULANG, KARTIKA!”
Gigi Kartika gemerutukan. Ia sudah muak menghadapi lelaki berkaca mata ini. Kendatipun dia lebih senior dari dirinya. Tak ada satupun yang bisa meloloskan lelaki ini dari cengkeraman kebencian Kartika.
”KAU TIDAK BERHAK MENGATUR HIDUPKU, HERDIAN PRASETYA!”
Gunung berapi di dasar hatinya meletus memuntahkan lahar panas. Ia sudah lelah. Berpikir semuanya baik-baik saja selama 3 tahun ini sudah cukup menyiksa batinnya. Belum lagi rasa kehilangannya atas Rindu menggenapi semuanya. Kartika sudah jauh berlari, tetapi segala luka itu belum juga kunjung musnah. Hanya mengendap kejam. Menyesakkan.
”Kau memang belum berubah Kartika. Sikap kekanak-kanakanmu, keras kepalamu, sok idealismu itu. Sampai kapan kau akan memelihara amarah dan kebencian di hatimu? Bagaimana bisa kau mengaku dokter profesional? Lambat laun kau akan letih melarikan diri, menyerahlah....”
”Lelaki pengecut sepertimu mana berhak berkata sok tahu! Kau tidak mengerti apapun!” dengus Kartika.
”Sekali ini, dengarkan aku. Pulanglah....” dokter Herdi memohon
  Kartika beranjak. Menampik dokter Herdian. Baru tiga langkah, ia berhenti. Sosok jangkung Mas Yuga di depan sana membuat kakinya beku.
=oOo=
”Mama kritis. Sebelum jatuh pingsan Mama sempat menanyakan kabarmu,” tutur Yuga di balik kemudi. Kartika diam.
”Kau masih marah pada Mama, Kar?”
Kartika membuang pandangannya keluar jendela mobil yang melaju membelah jalanan basah. Hujan semakin sering jatuh. Sesaat ingatannya melayang pada Rindu. Cermin dirinya. Apa kabarmu, sayang? Tenangkah kau di surga sana?
”Mama sudah jauh berubah, Kar.”
Berubah? Benarkah? Lantas, seberapa jauh perubahan itu berefek padanya? Tidak ada yang berubah baginya. Terlampau dalam Mama menorehkan jejak kelam di hatinya. Mungkin luka-luka di sekujur tubuhnya sudah sembuh meski menyisakan bekas. Tetapi, luka di sepanjang dinding hatinya tidak pernah benar-benar sembuh. Kerap berdarah. Sejak kecil Mama memperlakukannya dengan buruk. Seolah kehadirannya di muka bumi ini sebagai sesuatu yang tidak berguna. Sebagai anak bungsu, tidak ada sayang untuknya. Tak cukup sampai di situ, bahkan 3 tahun silam Mama dengan tega membumi hanguskan impiannya. Tanpa mempertimbangkan perasaanya, Mama menjodohkan Mbak Tyas, kakak perempuannya dengan Herdi. Lelaki berkaca mata itu. Padahal ia sudah menyanggupi lamaran Herdi. Sudah sembuhkah lukanya? Mengapa Mama memasang tembok setinggi mungkin di antara mereka? Dan sekarang, Kartika sudah tak bersemangat lagi untuk merobohkan tembok itu. Keinginan itu sudah berkarat, sama seperti hatinya. Sepeninggal Papa, belasan tahun silam, satu-satunya yang tahu betapa porak-porandanya Kartika kala itu adalah Mas Yuga. Mas Yuga tempatnya berkeluh-kesah. Mas Yuga pula yang mati-matian memperjuangkannya hingga ia bisa masuk ke Fakultas Kedokteran. Sudah sembuhkah hatinya? Waktu menuliskan amarah dan kebenciannya dengan rapi.
”Mama juga manusia, Kar.”
”Aku juga manusia, Mas. Kami sama,” potong Kartika.
”Kau tak akan selamanya sanggup berlari menjauh. Kelak, kau pun harus pulang.” Mas Yuga membelokkan mobilnya memasuki pelataran rumah sakit umum kota Solo.
Kartika menarik napas panjang. Ini pertemuan pertamanya setelah 3 tahun penuh sakit hati yang ia lewatkan.
=oOo=
Perempuan itu memang sudah berubah. Wajah tuanya tak sekokoh dulu. Perlahan layu. Semenjak kedatangannya kemarin, sejauh ini Kartika hanya melihat Mama dari balik kaca ruang perawatan. Memandangi wajah kuyu Mama dengan segenap rasa yang tumpang tindih. Kanker paru-paru. Tuhan, inikah balasan sakit hatinya?
Klise.
”Akhirnya kau datang juga.” Kartika menoleh.
Mbak Tyas.
”Apa kabar?”
”Baik”
”Kau masih marah pada kami?”
Kartika mendengus malas. Kenapa pula semua orang harus mengajukan pertanyaan yang sama padanya?
”Kau berlari dengan sangat kencang meninggalkan kami tanpa sempat mendengar penjelasan,”
Kartika jengah. Malas menimpali.
”Kau harus tahu, saat itu Mama benar-benar tidak tahu jika kau dan Mas Herdi berhubungan.”
”Lantas jika Mama tahu, apakah dia akan membatalkan pernikahan kalian? Jangan menceritakan lelucon basi padaku!” ketusnya.
”Banyak hal yang kau lewatkan. Mama sudah berubah. Setelah kau pergi, Mama sering termenung di kamarmu. Beliau juga mencari tahu perkembangan tentang dirimu. Pekan lalu Mama mendekor ulang kamarmu. Mama teramat berharap agar kau bisa pulang di hari ulang tahunmu besok.”
Kartika seperti disengat listrik ribuan volt. Ulang tahun? Sudah lama sekali ia tak merayakannya. Ia bahkan nyaris lupa jika besok adalah hari ulang tahunnya.
”Mungkin karena kelelahan kondisi kesehatan Mama menjadi buruk,” ucap Mbak Tyas serak.
Ada sedikit kegaduhan di dalam sana. Alat pemantau detak jantung Mama  tiba-tiba memekik panjang. Kepanikan sekejap menyergap. Mbak Tyas menerobos masuk. Dokter yang menangani Mama nya baru tiba dan lekas memburu ke dalam.
Kartika terpaku di depan pintu. Ia menangis.
”Ibu tidak pernah memelukku, tidak pernah mencium keningku, tidak pernah mengucapkan selamat malam padaku, aku ingin ibu menyayangiku. Kakak, bisakah Tuhan mengabulkan keinginanku? Mengembalikan ibuku?”
Kalimat Rindu berulang kali mendenging di telinganya. Doa Rindu mengalir padanya. Seperti apakah pelukan hangat seorang Ibu? Kerak-kerak es yang menggerogoti dinding hatinya luruh. Cinta tidak pernah benar-benar pergi meninggalkannya. Selalu ada seperti angin. Karena ia manusia, karena Mama manusia. Karena keberadaannya adalah cinta.
Kartika memutuskan berlari. Pulang.

************************************

PICU : Salah satu ruangan di ICU khusus untuk pasien bayi/ anak-anak yang kritis
Aspirasi meconium : Infeksi paru akibat masuknya cairan mekonium ( sejenis kotoran bayi berwarna hijau) ke dalam paru.
Anhedonia : hilangnya perasaan senang.
Plus : istilah di dunia medis yaitu pasien meninggal
Pansitopenia : penyakit akibat kekurangan darah merah, darah putih, dan trombosit yang terjadi secara bersamaan.
Co ass : disebut juga dokter muda. Jenjang profesi yang harus dilalui sebelum menyandang gelar sebagai dokter.
Pneumonia aspirasi ASI : Infeksi paru akibat masuknya cairan ASI ke dalam paru
CRF : Chronic Renal Failure  atau gagal ginjal kronis (telah berlangsung lama) dan hampir tidak bisa disembuhkan.


BIODATA PENULIS :
Rani Tiyas Budiyanti. Lahir Pacitan, 12 Agustus 1989. Universitas Negeri di Surakarta. email : rhein_pizz@yahoo.com.
Nafilah Nurdin dilahirkan di Teomokole, 30 November 1989. Untuk mengeratkan silaturrahim, penulis bisa disapa lewat email : Kaliandrabayu@yahoo.com dan akun facebook :Nafilah Nurdin

*Novelet ini pernah diikutkan dalam lomba di gorup Facebook UNTUK SAHABAT dan lolos 20 besar aja hehe

3 komentar:

  1. Wa`alaikum salam... Makasih udah mampir Mas. Saya udah folbek ^^

    BalasHapus
  2. suka noveletnya... keren,,
    tetap semangat untuk terus menulis ya,, ^__^

    BalasHapus
  3. @emje : Iyap, makasih udah nyempetin baca ukh... ^____^

    BalasHapus

Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^